"Kamu kalau sudah ganti baju langsung ke dapur, bantuin Bi Wati siapin makan malam, akan ada tamu malam ini"
Sederet kalimat itu menyambut Ara saat ia melewati ruang keluarga. Dia baru saja pulang kerja dan harus membantu menyiapkan makan malam, sejujurnya dia sangat lelah karna hari ini banyak sekali pekerjaan di kantor. Ditambah dia harus berjalan kaki dari Jalan raya menuju ke dalam komplek rumah karna angkot tentu tidak bisa masuk kedalam perumahan. Ara sudah terbiasa sebenarnya namun kadang rasa lelah itu juga datang.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya Ara langsung bergegas ke dapur.
"masak apa Bi?"
"eh non Ara. Ini tinggal masak rendang tapi sudah hampir selesai kok non, non gausah ke sini pasti capek habis pulang kerja" Bi Wati berucap sambil mendorong lengan Ara agar menjauh dari area dapur, Bi Wati memang paling dekat dengan Ara. Bi Wati sudah bekerja di sini sejak Ara berusia enam tahun. Selain bertugas sebagai ART Bi Wati juga bertugas merawat Ara waktu Ara masih kecil.
"enggak Bi. Nanti kalo Mama lihat aku enggak di dapur Mama bakal marah. Tadi Mama nyuruh aku bantuin bibi" ucap Ara sambil berjalan mendekat untuk ikut memeriksa rendang yang sedang dimasak Bi Wati.
"emang tamunya siapa Bi, kok masaknya sampe sebanyak ini? rumah juga didekor ulang, tadi aku liat Nina-salah satu ART- di depan sama yang lain lagi sibuk nata ruang tamu. Pantes nggak ada yang bantuin Bibi masak."
Bi Wati seketika menatap Ara sambil menghela nafas, kemudian beliau membawa kedua tangan Ara kedalam genggamannya.
"tadi Bibi sempat dengar katanya ada yang mau melamar." Jelas Bi Wati dengan wajah lesu.
"Terus"
"Anak gadis yang ada di rumah ini sekarang kan cuma non Ara, Bibi takut non, Bibi takut nyonya sama tuan menikahkan non Ara sama orang yang tidak baik" ucap Bi Wati dengan mata berkaca-kaca.
"enggak mungkin lah Bi. Bibi pasti salah dengar." Ara sebenarnya sedikit khawatir mendengar itu, bukan tidak mungkin Mamanya menikahkannya demi bisa menyingkirkannya dari rumah ini.
Bukan lagi rahasia di keluarga ini tentang bagaimana Mamanya memperlakukan Ara sejak kecil. Dipukul dan dikurung di dalam gudang atau kamar mandi sudah menjadi makanan sehari-hari Ara.
Bahkan Ara hampir meregang nyawa akibat dilempar ke kolam renang oleh Mamanya saat usianya tujuh tahun.
"non Ara, kata nyonya non ara disuruh siap-siap, dandan yang cantik." Ucap Nina yang datang dari arah ruang tamu
"ini non dari nyonya" lanjut Nina sambil menyerahkan paper bag yang tadi dipegangnya
Ara menerima paper bag itu dan kemudian mengintip kedalam paper bag untuk melihat isinya.
Sebuah gaun berwarna pink pastel. lalu Ara menatap ke arah Bi Wati yang juga sedang menatapnya dengan wajah khawatir. Yang ditakutkannya ternyata benar terjadi.
"Ara ke kamar dulu ya Bi" ucap Ara sambil berjalan keluar dari dapur
Ara tau kalau Bi Wati sangat khawatir. Namun yang bisa Ara lakukan hanya menuruti saja, menolakpun rasa-rasanya percuma. Dari pada hanya menambah masalah di rumah ini lebih baik dia mengalah.
...****************...
Tamu yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang, sepasang suami istri paruh baya yang bisa Ara tebak bukan dari keluarga biasa, terlihat dari penampilan si istri yang begitu anggun. Gaun yang dipakai wanita tersebut pasti rancangan desainer hebat, ditambah beberapa perhiasan dari brand ternama yang ikut melengkapi tampilannya.
Acara makan malam sudah selesai sekarang para orang tua ini sedang mengobrol basa-basi. Ara tidak terlalu memperhatikan. Hingga mereka memilih pindah untuk kembali duduk di ruang tamu. Ara mulai tersadar kalau pembahasan yang sebenarnya akan segera dimulai.
Ara duduk di sofa single tepat di samping kanan si tamu perempuan, dari tadi dia terus memperhatikan penampilan Ara sambil tersenyum tapi dengan tatapan sendu. ada apa dengan wanita itu? Wanita yang bernama Ayana itu dan suaminya yang benama Josh kentara sekali sangat memperhatikan Ara dari sejak mereka datang.
"Ara sekarang sudah umur berapa?" tanya tante Ayana membuka obrolan dengan Ara yang sejak tadi hanya diam
"su-su-sudah dua puluh tiga tante" jawab Ara gugup
"sudah cukup dewasa ya.." Ara hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk menanggapi
"kamu sudah dengar maksud dan tujuan tante dan om kemari?"
Seketika Ara menatap kearah Papa dan Mama yang membuang pandangan mereka ke arah lain. Kalau Ara menjawab tidak sudah pasti si tamu akan merasa kaget, karna sudah pasti dia mengira Ara sudah mengetahui tentang ini.
"sudah tante" Ara memilih jalan aman saja, dia tau jika dia menjawab belum maka Mama dan Papanya akan marah, meski pun memang pada kenyataannya dia baru mengetahuinya hari ini.
"gimana? kamu mau kan, menikah sama anak tante"
Seketika semua mata memandang ke arah Ara, mereka semua menunggu jawaban Ara. Sedang yang ditatap sendiri kelihatan bingung, tentu saja bingung dia bahkan belum bertemu dengan orangnya, masa langsung ditanya soal menikah.
"Maaf sebelumnya tante, tapi anak tante belum pernah bertemu dengan Ara, begitupun sebaliknya. Bagaimana bisa dua orang yang tidak saling kenal tiba-tiba menikah?" Akhirnya Ara memberanikan diri untuk menyampaikan ke'enggangannya, meski begitu dia marasakan tatapan menusuk dari arah Mamanya.
"Loh? Kamu bukannya sudah kenal sama Dean?" tante Ayana terlihat kaget sekali
"Dean?" gumam Ara yang ternyata didengar oleh tante Ayana.
"Kamu bukannya kerja di tempat Dean?" tanya tante Ayana memastikan
"Dean Ardi Nugroho" tambah tante Ayana menyebutkan nama lengkap sang putra
Nama itu sangat tidak asing ditelinga Ara tapi di mana dia pernah mendengarnya?
sambil berusaha mengingat ara terus melafalkan nama itu.
"Dean bilang sudah pernah bertemu kamu. Kamu kerja di Nugroho Group Kan?"
Mendengar itu seketika tubuh Ara langsung menegang, punggungnya seperti disiram air dingin. Bagaimana bisa Pimpinan diperusahaan tempat ia bekerja adalah orang yang akan dijodohkan dengannya? Apa tidak salah?
Tante Ayana masih memandang Ara dengan tatapan bingung, seakan-akan telah terjadi kesalahpahaman di sini.
"Ara kamu jangan bercanda deh, Mamakan udah pernah kasih liat fotonya Dean" Ara hanya melongo mendengarnya, dia saja diberitahu tentang lamaran ini baru tadi sore, itu pun oleh Bi Wati.
"Kamu pasti lupa" lanjut Mamanya berusaha mencairkan suasana yang sedikit awkward karna Ara yang kelihatan bingung.
"Jadi kapan pernikahannya akan digelar?" Pertanyaan dari Papa langsung mencuri atensi mereka. Ara semakin merasa bahwa tanggapannya tidak diperlukan di sini. Ara terlihat ingin bersuara lagi sebelum matanya tidak sengaja bertabrakan dengan mata sang Mama yang sedang menatapnya tajam. Akhirnya Ara hanya memilih untuk menunduk dan diam.
"Dari pihak kami semuanya sudah siap Pak Subroto tinggal tentukan tanggalnya saja" Jawab om Josh dengan mantap.
Ara tidak lagi mendengarkan percakapan mereka, ia hanya menangkap sedikit dari obrolan itu yaitu tentang tanggal pernikahannya yang akan digelar tiga minggu dari sekarang. Acaranya sederhana karna katanya itu permintaan dari sang calon mempelai laki-laki yang meminta pernikahan diadakan di gereja dan tanpa resepsi, serta hanya akan mengundang keluarga inti saja.
...****************...
Berangkat kerja hari ini terasa sangat berbeda bagi Ara, semangat yang biasanya menggebu-gebu untuk bekerja menjadi hilang. Perkataan Papanya pagi ini benar-benar membuat Ara tidak bisa menghindari penikahan itu.
Kepalanya kini dipenuhi kekhawatiran tentang pernikahan yang sudah di depan mata. Mengapa harus Ara? pertanyaan itu berkecamuk dibenak Ara saat ini. Belum lagi fakta bahwa calon suaminya adalah Dean Ardi Nugroho. Ara tidak terlalu mengenalnya, namun Ara sedikit tau, dia pimpinan di perusahaan tempatnya bekerja, Ara sudah bekerja di situ hampir dua tahun.
ting*
Notifikasi pesan masuk dari telfon genggamnya menyadarkan Ara.
+628233635xxxx
*Jam makan siang nanti kamu dijemput supir tante yaa, tante temani kamu fitting gaun pengantin. Tante juga sudah kabari Mama kamu.
Dari tante Ayana*
Ara hanya membalas pesan itu sekenanya. Semua hal tentang pernikahan ini serba mendadak, semuanya seperti tanpa persiapan. Mereka sudah mempersiapkannya katanya namun yang tidak siap di sini adalah Ara. Dia bahkan belum pernah berbicara bertatap muka dengan calon suaminya.
Sebentar lagi Ara akan sampai di kantor. bagaimana jika dia bertemu dengan Dean? Sudah pasti Dean mengenalinya selama ini. Lalu kenapa dia tidak pernah memberitahu Ara? Sejak kapan Pria itu tau?
Ara memasuki kantor dengan perasaan campur aduk, moodnya benar-benar buruk hari ini. Namun dia sadar bahwa dia harus tetap profesional bagaimana pun ini tempat kerja, masalah pribadinya tidak boleh mengganggu kinerjanya sebagai seorang karyawan.
Bekerja diperusahaan besar memang membuat kita harus mengesampingkan segala hal tentang diri kita sendiri, karna kita dituntut untuk selalu profesional setiap saat. Meski sebenarnya keadaan kita sedang sangat buruk sekalipun.
Namun Ara senang bekerja di sini, selain karna gajinya yang lumayan, lingkungan kerjanya juga bagus.
Apa setelah menikah Ara masih bisa bekerja di sini? Mungkin iya mungkin juga tidak, tapi Ara berharap dia masih bisa bekerja meski sudah menikah nanti.
Selain segala hal tentang persiapan pernikahan yang serba dadakan ini hati kecil Ara diam-diam bertanya 'bagaiman pendapat pria itu tentangnya?'
Setelah selesai melakukan fitting gaun pernikahan Ara akhirnya kembali ke kantor, sebelumnya dia juga sudah makan siang dengan tante Ayana juga Mama.
Ara kembali ke kantor sekitar pukul setengah tiga, sudah melebihi jam makan siang memang. Namun dia sudah menghubungi atasannya di divisinya untuk memberi tahu bahwa dia akan telat kembali ke kantor.
Persiapan pernikahan yang dilaksanakan secara sederhana ini memang tidak terlalu menguras tenaga, fitting baju pengantin saja bahkan tidak sampai dua jam, karna memang tante Ayana sudah mempersiapkan semuanya. Keluarga Ara terkesan tinggal terima beres saja.
Dalam pernikahan ini keluarga pihak calon suaminyalah yang paling antusias.
Karna ingin segera sampai ke kantor Ara memilih memesan ojek online dari pada menerima tawaran diantar oleh supir dari calon mertuanya.
Naik motor adalah pilihan terbaik untuk menghindari macet di jalan.
Sesampainya di area gedung kantor Ara segera melepas helm dan membayar ongkos kepada si pengemudi, lalu segera masuk ke dalam gedung.
Ara kemudian memasuki gedung kantor. Hal yang Ara takutkan dari tadi pagi benar-benar terjadi, dia dan Dean berpapasan di depan pintu masuk lobi kantor. Dean yang ingin keluar kantor bersama sekretarisnya sedangkan Ara hendak memasuki kantor, mata mereka sempat bertemu beberapa saat hingga akhirnya Dean yang membuang pandangannya ke arah lain.
Jantung Ara rasanya mau meloncat keluar. Namun Ara segera mengendalikan ekspresinya, ia yakin wajahnya sudah semerah udang rebus sekarang.
Ara harus memastikan hal seperti tadi tidak boleh terjadi lagi. Berpapasan dengan Dean di area kantor itu bukan ide yang bagus.
Setelah mencuci wajah di toilet Ara sudah merasa lebih segar dan ia bisa melanjutkan pekerjaannya.
...****************...
Hari-hari terus berganti, persiapan pernikahan juga sudah hampir rampung, tinggal satu hal yang belum, yaitu cincin pernikahan. Bukankah biasanya cincin pernikahan dipilih oleh kedua calon pengantin?
Penikahan tinggal sepuluh hari lagi, namun semakin mendekati hari pernikahan, Ara semakin ragu. Bagaimana tidak, sepuluh hari lagi dia akan menikah namun sampai hari ini dia dan Dean belum pernah berbicara sekalipun. Mereka hanya pernah berpapasan, Dean juga tidak pernah menghubunginya padahal menurut tante Ayana, beliau sudah memberikan kontak Ara kepada Dean.
Keluarga Ara juga sepertinya tidak terlalu memikirkan pernikahan ini, bahkan Papanya tidak pernah menyinggung soal pernikahan ini dengan Ara, atau sekedar mananyakan tentang persiapan pernikahan saja tidak. Di rumah seperti biasa. Rumah ini begitu dingin untuk Ara, mereka tidak memperdulikan Ara.
Suasana malam yang sepi seperti ini membuat ingatan-ingatan Ara tentang hal-hal yang sudah ia alami muncul ke permukann.
Ara anak haram, itu yang selalu Mamanya katakan saat sedang melampiaskan amarahnya kepada Ara.
Ara adalah anak dari seorang perempuan yang dihamili oleh Papanya. Ara tidak mengenal Mama kandunganya, menurut yang Ara dengar Mama kandungnya meninggal setelah melahirkan Ara karna mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan. Ara diambil oleh Papanya dari rumah sakit setelah dihubungi oleh pihak rumah sakit, rupanya sebelum meninggal Mama kandungnya meminta pihak rumah sakit untuk menghubunginya seseorang yang ternyata adalah ayah kandung sang bayi, karna Mama kandungnya sepertinya tidak memiliki kerabat.
"non, non ara kok masih di sini, ini sudah larut nanti masuk angin" suara Bi Wati memasuki indra pendengaran Ara yang membuatnya tersadar.
"bentar lagi Bi. Mama sama Papa kapan pulang?" Mama dan Papanya sedang pergi keluar negri, Ara mengetahuinya saat pulang tadi sore.
"kayaknya sih sebelum pernikahan non, soalnya tadi Bibi dengar tuan bahas soal tanggal pernikahan gitu ke nyonya" jawab Bi Wati
"Bi, apa Ara akan bahagia dengan pernikahan ini?" tanya Ara setelah Bi wati mengambil duduk di sampingnya, taman belakang rumah ini memang sangat cocok dijadikan tempat mengobrol, sejuk karna ditanami banyak tumbuhan.
"serahkan saja semuanya sama yang di atas non, kita manusia hanya bisa menebak-nebak" Bi Wati seperti biasa, selalu menjadi yang paling mengerti.
"Ara takut Bi, tapi Ara juga nggak bisa apa-apa. Semua hal di hidup Ara mereka yang ambil kendali" sungai kecil itu akhirnya terbentuk di pipi Ara.
"Yang sabar non, neraka yang selama ini non Ara alami di rumah ini, kita doakan saja tidak akan terjadi lagi setelah menikah. semoga calon suami non Ara adalah laki-laki baik yang bertanggung jawab"
Ara mengamini dalam hati. semoga saja.
Ara memang paling menyukai waktu mengobrol dengan Bi Wati, dia seperti menemukan sosok seorang Ibu yang tidak pernah Ara rasakan kehadirannya. Ia bisa membicarakan apa saja dengan Bi Wati. Ara tidak tau apakah dirinya akan masih ada sampai hari ini jika Bi Wati tidak datang dan bekerja di rumah ini.
Setelah dirasa udara malam semakin menusuk dikulit, Ara dan Bi Wati memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Beristirahat di kamar masing-masing karna malam sudah sangat larut.
...****************...
Di hari minggu yang cerah ini, tiba-tiba Ara dihubungi calon mertuanya yang memintanya untuk bersiap-siap karna akan dijemput oleh supir yang akan mengantarkannya ke kediaman sang calon mertua. Ia diajak makan siang bersama. Ini adalah kali pertama Ara datang ke rumah keluarga calon suaminya.
Ara kemudian bersiap-siap memakai pakaian selayak mungkin. Ara juga sudah mengirim pesan ke Mamanya, untuk memberi tahu. Ara takut Mamanya marah kalau Ara pergi tanpa sepengetahuan beliau.
Setelah sopir yang hendak menjemputnya datang Ara segera berangkat menuju kediaman calon mertuanya, tidak terlalu jauh ternyata hanya sekitar dua puluh menit.
Sesampainya Ara segera turun dari mobil, Ara langsung di buat takjub dengan kemegahan rumah di hadapannya, rumah Papanya Ara juga termasuk megah namun masih kalah jika di bandingkan dengan rumah di depannya. Ada berapa orang yang tinggal di sini? tanya ara dalam hati
Suara pintu yang terbuka menyadarkan Ara dari keterpukauannya akan rumah ini.
"eh sudah sampai toh, kenapa nggak masuk? ayo masuk" senyum ramah di depannya juga mengundang senyum di wajah Ara.
"iya tante" Ara pun memasuki rumah bersama Tante Ayana.
"ayo duduk, tadi di jalan macet?" tanya tante Ayana sambil menepuk sofa di sebelahnya, memberi kode agar Ara duduk di sana
"enggak terlalu tante" jawab Ara setelah ia duduk
"gimana kabar kamu?"
"baik tante, tante sendiri?"
"tante juga baik. Sebentar lagi Dean sampai kita tunggu sebentar ya"
"iya tante"
"Oh iya tante panggil Om dulu ya, tante tinggal sebentar nggak apa-apa kan?"
"nggak apa-apa tan" jawab Ara sambil tersenyum
Sepeninggalan Tante Ayana, Ara hanya duduk sambil sesekali memutar matanya mengagumi keindahan interior ruang tamu ini. Ruangan dengan desain klasik yang terlihat mewah, yang di dominasi warna beige serta beberapa furniture yang melengkapi kesan mewah. Perpaduan warnanya sangat cantik, sangat klasik.
Tante Ayana belum kembali sudah sekitar sepuluh menit, tapi Ara mendengar ada suara langkah kaki dari arah pintu depan, seperti ada yang baru masuk.
Karna merasa bosan Ara akhirnya memutuskan untuk bermain ponsel sambil menunggu Tante Ayana.
Saat Ara sedang begitu fokus memperhatikan layar ponselnya, tiba-tiba seseorang datang dan duduk di sofa tepat di seberang Ara. Ara yang mengetahuinya pun segera mengangkat wajahnya untuk melihat, seorang laki-laki tampan yang kini tengah menatap Ara dengan intens, laki-laki yang beberapa hari lagi akan menjadi suaminya.
"saya saja yang akan membeli cincinnya. kamu tidak perlu ikut"
Kalimat itu seketika menghentikan tangan Ara yang hendak memasang sabuk pengaman. Rencananya Ia dan Dean akan pergi untuk mencari cincin pernikahan mereka.
Setelah makan siang Tante Ayana menyarankan mereka untuk mencari cincin pernikahan, sambil Dean mengantar Ara pulang nantinya.
"kamu pulang naik taxi saja. Nanti saya turunkan di halte depan komplek" lanjut Dean
Ara hanya menjawab iya sambil mengangguk, dia juga tidak tau harus bagaimana sekarang ini. sikap Dean benar-benar dingin dan terlihat sangat membatasi diri.
Bahkan saat makan siang tadi pun Dean tak berbicara sepatah katapun kepada Ara, Ia hanya menjawab sekenanya saat diajak bicara oleh kedua orangtuanya.
Seperti yang sudah Ia katakan Dean benar-benar menghentikan mobilnya tepat di depan halte.
Melihat itu Ara segera turun, saat hendak mengucapkan terima kasih Dean sudah keburu melajukan mobilnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Apa yang salah dengan laki-laki itu tanya Ara dalam hati.
"Jika dia memang tidak menginginkan pernikahan ini kenapa tidak menolak dari awal? Dia kan laki-laki harusnya lebih berani menolak dong" Ara mendumel mengeluarkan unek-unek yang sedari tadi ditahannya tentang calon suaminya itu, sembari menunggu angkot.
...****************...
Hari yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba. Pernikahan yang serasa mimpi ini akhirnya akan terjadi juga. Di sinilah mereka sekarang Ara dengan balutan gaun putih panjang sedang Dean dengan tuxedo berwarna hitam, serasi sekali.
Pernikahan ini memang benar-benar hanya dihadiri keluarga inti. Dari keluarga Ara hanya ada kedua orang tuanya dan Bi Wati serta ART lain, sedangkan dari pihak keluarga Dean dihadiri kedua orangtuanya, Bima si sekretari yang juga orang kepercayaannya, serta beberapa orang yang tidak Ara kenal.
"Di hadapan Iman dan para saksi saya, Dean Ardi Nugroho, menyatakan dengan tulus ikhlas mengambil engkau Diara Aluna Subroto menjadi istri saya, untuk saling menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus" suara tegas Dean memenuhi seluruh ruangan, mengucapkan janji suci pernikahan miliknya dengan begitu lantang.
"Di hadapan Iman dan para saksi saya, Diara Aluna Subroto, menyatakan dengan tulus ikhlas mengambil engkau Dean Ardi Nugroho menjadi suami saya, untuk saling menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus" suara Ara yang pelan dan sedikit bergetar melafalkan janji suci pernikahan miliknya. Perasaan Ara begitu haru saat ini. Momen sakral ini begitu ia impikan sebenarnya bersama orang yang dia cinta dan tentunya mencintainya, namun kenyataan berkata lain. Ara kini berdiri di altar ini mengucapkan janji suci pernikahan bersama pria yang bahkan tidak tersenyum sedikitpun saat melihat ke arahnya.
Segala prosesi pernikahan akhirnya selesai, karna tidak mengadakan resepsi maka acara pernikahan ini ditutup dengan acara makan malam bersama di sebuah hotel yang juga menjadi tempat mereka menginap malam ini.
Acara makan malampun hanya diikuti oleh kedua orangtua Ara, kedua orangtua Dean, Bima, dan tiga orang lainnya yang ternyata adalah sahabat Dean.
Karna merasa cukup lelah Ara memilih untuk pamit masuk ke kamar lebih dulu, ia sedikit mengantuk. Jam juga sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, yang lain masih sibuk mengobrol, juga suaminya.
Setelah sampai di dalam kamar Ara baru menyadari bahwa perubahan besar dalam hidupnya akan terjadi mulai malam ini.
Dia tidak akan tidur sendiri lagi mulai malam ini, Ia akan berbagi segala hal dengan suaminya.
Kamar ini dihias begitu indah khas kamar pengantin baru. Dengan taburan sedikit bunga mawar dan beberapa lilin yang menghiasi sekitar kamar.
Apa yang akan terjadi malam ini? saat pertanyaan itu terlintas, Ara merasakan jantungnya berdetak cepat sekali. Ia sedikit gugup.
Untunglah ia memilih lebih dulu masuk ke kamar bisa dibayangkan betapa canggungnya mereka berdua jika mereka masuk berbarengan, apalagi Dean yang sepertinya masih enggan berbasa-basi dengannya.
Setelah mandi dan berpakaian Ara memilih untuk berbaring di atas ranjang sembari menunggu Dean? mungkin.
Namun sampai jam menunjukkan waktu tengah malam Dean belum juga muncul. Ara akhirnya tertidur.
Dean akhirnya masuk ke dalam kamar, sekitar pukul satu dini hari. setelah membersihkan badan, Dean akhirnya ikut membaringkan diri di ranjang di sisi kosong di sebelah Ara.
Dia hanya menatap kosong ke arah perempuan yang tengah berbaring dengan begitu tenang di sampingnya. wajahnya datar, tak ada ekspresi apapun. Yang ada di fikiran dan hatinya hanya dia yang tau, namun segala sikap yang ditunjukkannya selama ini memperlihatkan bahwa ia tidak menyukai Ara.
...****************...
"jadi kita nggak tinggal dengan ayah dan Mama?" tanya Ara setelah Ia dan Dean memasuki mobil menuju ke rumah tempat mereka akan tinggal. Ternyata selama ini Dean tidak tinggal dengan orang tuanya. Fakta itu sedikit membuat Ara terkejut. Ia kira ia akan tinggal dengan mertuanya secara Dean adalah anak tunggal di keluarga ini.
"sudah tau, kenapa masih bertanya" jawab Dean tanpa menoleh ke arah Ara
Dean sepertinya memang tidak menyukai Ara atau bahkan sepertinya suaminya itu memiliki perasaan benci terhadap Ara. Terlihat sekali dari sikapnya, dia bahkan tidak berusaha menutup-nutupi rasa tidak sukanya pada Ara.
Sejak mereka meninggalkan hotel tadi siang, sikap Dean semakin dingin saja, Ia bahkan hampir meninggalkan Ara di lobi hotel. Tak ada yang terjadi tadi malam, saat membuka matanya di pagi hari Ara hanya mendapati dirinya yang sendirian di dalam kamar.
Kemana perginya suaminya itu? Lalu sekitar Jam sebelas Dean akhirnya muncul dan hanya menyuruh Ara untuk segera berkemas karna mereka akan segera pulang. Dean hanya mengucapkan kalimat-kalimat singkat dengan wajah datar. Sikapnya semakin dingin saja.
Apakah ini adalah babak baru dari penderitaan yang akan Ara alami? Apakah yang ditakutkan oleh Bi Wati akan terjadi?
Ara hanya terdiam sambil memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Dia dan laki-laki di sampingnya ini bukan lagi orang asing, mereka berdua adalah sepasang suami istri.
Ara juga merasakan keanehan di dalam keluarga Dean, Dean memanggil Om Josh dengan sebutan Ayah, sedangkan Tante Ayana Dipanggil Mama. Tak hanya itu saja sikap Dean terhadap Tante Ayana juga terkesan dingin, bahkan tadi saat mereka pamit kepada kedua orang tuanya Dean hanya melewati tante Ayana dan hanya menyalami Ayahnya saja.
Sedang tante Ayana juga tidak mengatakan apa-apa seolah itu sudah biasa terjadi.
Ada begitu banyak hal yang tidak Ara ketahui tentang laki-laki di sampingnya ini, laki-laki yang sedang fokus menyetir tanpa menghiraukan Ara di sampingnya ini seolah memasang bentang tinggi yang membatasi Ara agar tidak mengetahui apapun, Ara juga tidak leluasa bertanya, mengingat sikap dingin Dean kepadanya.
Namun jika awalnya saja sudah seperti ini lalu akan seperti apa nantinya pernikahan ini, bagaimana masa depan mereka berdua jika mereka masih tetap asing bagi satu sama lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!