Hari yang begitu terik, membuat seorang gadis menutupi matanya menggunakan buku yang berada di tangan kanannya dari silaunya matahari di siang hari.
Inilah dia, gadis cantik bernama Elena Valentine Ermolaev dengan berperawakan tinggi layaknya tinggi badan pria, berwajah tegas, rambut panjang yang terlihat sangat terurus, kulit putih bersih, hidup mancung, dan bibir kecil berbentuk love.
Dia berjalan dengan langkah lebarnya sedikit lebih cepat menuju gedung tinggi tempat dia menempuh pendidikannya karena panasnya matahari yang begitu menyengat kulit putihnya.
"Elena, loe dari mana sih? lama banget deh." tanya seorang gadis yang lebih pendek dari Elena namun begitu manis dan lucu. Iya, namanya Anira.
"Entah deh, memang gini anaknya." ujar seorang gadis lain seusia mereka dengan memutar bola matanya malas. Namanya Gina.
"Sorry, tadi gue nganter bunga dulu ke pelanggan disuruh mama." jawab Elena sembari meletakkan tasnya di kursi paling depan tempat dia duduk.
"Udah udah, kita ke kantin aja yuk. Rapatnya satu jam lagi katanya, jadi kita bisa makan dulu." Kali ini seorang pria yang berujar. Namanya putra, dia sangat manis dengan kedua lesung pipi di pipinya. Dia sama tingginya dengan Elena. Disampingnya juga ada pria seusia mereka, hanya saja dia asik bermain hp sedari tadi. Namanya, Viktor.
"Yauda yuk." sahut mereka kompak.
"Gue gak sabar deh, cepet cepet lulusnya. Udah cape gue ngadapin dosen dosen ini. Ada yang pelit nilai lah, ada yang galak, ada sok ngartis, haduh cape deh." ujar Gina disana sambil mengunyah baksonya nikmat. Semua mengangguk setuju.
"Wah, loe bener banget sih, untung aja tinggal 3 bulan lagi kita lulusnya." sambung Putra disana tenang setelah menghabiskan nasi goreng miliknya.
Tring.....pesan masuk
Elena menatap hp nya yang berdering pesan. Sebentar membaca pesan, Elena mengerutkan keningnya heran membaca pesan itu.
"Dari siapa lena?" kali ini Viktor yang berbicara. Dia tidak lagi bermain hp nya. Teman temannya juga menatap Elena penasaran, apalagi melihat reaksi Elena yang setelah membaca pesan itu.
"Ini pesan dari pak Genda, dia suruh gue ke ruangannya." Jawabnya sedikit gelisah.
Tring....
Teman teman Elena menatap hp mereka masing masing karena berbunyi pesan masuk.
"Loh ini pak Genda juga panggil loe melalui grup Lena, ada apa ya?" ujar Anira disana bingung.
"Loe ada masalah sama bapak itu?" tanya putra disana serius.
"Gak mungkinlah, orang Elena anak kesayangan bapak itu." Bukannya Elena yang menjawab melainkan Gina sambil memukul pelan lengan putra tidak percaya.
"Iya juga sih. Tapi disini dibilang bapak itu mau menyampaikan sesuatu yang serius. Gak biasanya deh, biasanya juga langsung didepan kita semua pas dikelas." ucap Putra.
"Udah udah, yang ada gue ngak pigi pigi karena kalian nanya terus. Gue pigi dulu ya." ujar Elena disana mencoba tenang sambil berdiri dan segera pergi. Sebenarnya dia juga sedikit gelisah, karena tak biasanya seperti ini. Dia memang dekat dengan pak Genda yang merupakan salah satu atasan dosen, hanya saja dia masuk ke kelas mereka untuk mengajar. Dia dekat karena dia cukup aktif sewaktu belajar bersama pak Genda.
"Jangan lupa kabarin ya." teriak Anira disana kuat melambaikan tangan.
Aduh...
"Apa sih putra, sakit banget woy." ujar Anira meringis karena putra mencubit lengan tangannya. Putra memang sangat suka mencubit orang apalagi cubitannya sangat sakit. Orang orang mungkin tidak menyangka seorang Putra yang kelihatan cool sebenarnya suka mencubit.
"Loe yang apa-apaan! Bisa ngak sih gak usah teriak teriak, telinga gue sakit dengar suara loe! lumayan enak didengar!" sahut putra ketus disana menatap tajam Anira.
Gina dan Viktor hanya menggeleng saja melihat mereka. Mereka sudah bosan melihat keseharian mereka ketika berkumpul pasti harus melihat pemandangan ribut seperti ini.
Sesampainya di ruangan yang cukup besar dan tertata rapi, Elena masuk dengan pelan sambil menatap kesetiap sudut ruangan, lalu tatapannya terhenti kepada dua pria yang sudah berumur dengan pakaian jas rapi yang mereka pakai sedang menatapnya.
"Mari, silakan duduk Elena." ujar satu pria yang tak lain adalah Genda dengan senyum tipisnya. Elena hanya mengangguk sembari duduk ditempat yang ditunjuk dengan senyum manisnya. Siapa sangka dia akan bertemu dua orang penting di universitas ternama ini.
Keadaan sangat hening dengan hanya terdengar suara ac. Namun tak lama kemudian, akhirnya pembicaraan dimulai.
"Kamu tau apa yang membuat kamu dipanggil kesini?" tanya Genda dengan tegas disana. Elena menjadi gelisah mendengarnya.
"Saya tidak tau pak, kan bapak belum kasih tau." jawab Elena polos disana sedikit menunduk. Namun, tak lama kemudian Elena terkaget mendengar gelak tawa dari kedua pria penting ini.
"Haaahahha." tawa Genda bersama pria seusianya yang bernama Moris. Mereka adalah sepupu dan universitas ini adalah milik kakek mereka.
Elena diam menatap mereka heran. Apa ada yang salah? Apa dia salah berbicara? Dimana titik lucunya? Bukannya benar jawaban darinya?
"Kenapa pak?" tanya Elena heran menatap mereka bergantian.
"Tidak tidak! Jawabanmu benar namun itu sangat lucu." jawab Moris disana memberhentikan tawanya perlahan.
"Apa yang lucu?" batin elena.
"Selamat ya Elena." ujar Genda disana tersenyum hangat sambil memberikan surat berkertas putih disana.
Elena diam menatap kertas itu dan perlahan mengambilnya.
"Saya buka?" tanya Elena meminta izin disana ragu.
"Tidak kamu jual saja." jawab Moris disana mendengus bercanda.
"Ya silahkan dibuka Elena." sambung Genda disana.
"Serba salah, nanti langsung dibuka dibilang lancang, ditanya dulu mereka kesal, huhh." batin elena.
Perlahan namun pasti, Elena membuka surat itu.
"Wah." gumam Elena kaget membekap mulutnya menggunakan tangan kanannya sembari terus membaca isi surat dengan tangan kirinya memegang surat itu.
"Ini serius pak?" tanya Elena disana tak percaya setelah selesai membacanya. Dia masih membelalak menatap isi surat itu.
"Ya tentu saja. Selamat ya. Kamu salah satu mahasiswa diantara beberapa mahasiswa yang akan lulus dipercepat. Kamu hanya perlu menunggu sebulan lagi." ujar Moris disana menjelaskan.
Mata elena sedikit berkaca kaca mendengarnya.
"Tapi kenapa pak?" tanya Elena disana.
"Kamu ini, banyak tanya sekali. Yang penting kamu akan lulus sebulan lagi, ini semua karena usahamu yang tiada henti. Surat ini, beritahu kepada orangtuamu, mereka pasti bangga. Kami tidak perlu untuk mengundang orang tua, karena ini bersangkutan langsung kepada orang yang bersangkutan. Nanti, akan diberitahu lewat grup lagi agar teman temanmu yang lain bisa mengetahuinya." ujar Genda disana tenang.
"Baik terimakasih pak." sahut elena disana mencoba menjaga sikap. Dia takut dia akan menari-nari dihadapan dua pria penting ini. Tapi tak dapat dipungkiri, dia tetap saja tidak bisa memberhentikan senyum lebarnya.
"Oh iya, jangan pulang dulu. Kalian yang mendapatkan hak istimewa ini tetap mengikuti rapat. Rapatnya tinggal 15 menit lagi akan dimulai." ujar Moris disana.
"Baik pak, sekali lagi terimakasih." jawab Elena disana lalu segera pergi dengan senyum lebarnya.
Rapat dimulai dan selesai hanya dalam 30 menit. Semua para mahasiswa dan mahasiswi telah mengetahui siapa yang mendapatkan hak istimewa dari semua jurusan. Ya, orang orang terpilih.
"Ih loe enak banget deh Elena, beruntung banget." ujar Anira mendengus sambil berjalan bersama teman temannya. Semua mengangguk setuju.
"Ya gimana, mungkin memang udah nasib gue." sahut Elena mengangkat bahu acuh sambil berjalan.
Mereka berjalan dengan pelan sambil terus berbincang namun...
bugh....
"Aduh." ringis Elena memegang bahunya yang disenggol. Sebenarnya itu kuat bagi yang lain, hanya saja bagi Elena biasa saja, dia hanya kaget karena disenggol secara tiba tiba.
Semua menatap siapa pelakunya. Yah... segerombolan wanita sebaya mereka. Dan salah satu dari mereka adalah pacar Viktor.
"Sorry ya, sengaja." ujar salah satu dari mereka dengan sinis. Bisa dibilang dia yang memimpin dalam pertemanan mereka. Namanya Fani, wanita sejurusan dengan Elena namun berbeda kelas. Dia sangat tidak menyukai Elena karena pria pujaan hatinya yang tak lain yang mendapatkan hak istimewa juga sering melirik Elena. Dia sangat membenci Elena, apalagi melihat dia yang merupakan salah satu primadona di kampus ini. Siapa yang tidak tau Elena? Wanita cantik, tinggi, berwajah tegas, dan berprestasi sepertinya. Bahkan dosen dosen banyak mengenalnya.
Teman teman Elena menatap Fani dan teman temannya dengan penuh permusuhan. Sementara Elena menatap mereka santai tak tersinggung. Dia sudah sangat lelah menghadapi drama mereka ini, sangat sangat mengganggunya.
"Kalian enggak ada kerjaan lain ya selain ngikutin dan gangguin kami?" tanya Gina sinis menatap mereka.
"Oh mungkin dia iri kali, karna Elena kan dapat hak istimewa." sambung putra menyindir.
Mereka tertawa namun tidak dengan Elena, dia masih menatap mereka santai. Fani dan teman temannya menatap mereka panas karena emosi dan semakin emosi melihat wajah santai dan angkuh Elena. Namun tak sampai disitu, dia mengangkat tangan hendak menampar wajah angkuh milik Elena tapi...
bugh..
Ya, itulah pria pujaan hatinya Fani yang menjadi salah satu alasan kenapa dia membenci Elena. Sean, namanya adalah Sean. Pria primadona di kampus ini. Berwajah tegas, berkulit kuning langsat, manis, dan pandai seperti Elena. Dia juga salah satu mahasiswa yang mendapatkan hak istimewa itu.
"Sean." gumam Fani menatap Sean gugup. Sean menghempaskan tangan Fani kasar.
"Berhenti gangguin dia fan." ujar pelan Sean namun masih sangat terdengar.
"E..engga kok, ta..tadi..." ucapannya terpotong karena temannya Ani menarik tangannya menjauh. Fani menolak namun tenaganya tak sanggup menolak karena ditarik oleh temannya yang lain. Akhirnya dia pergi secara terpaksa, tetapi tetap tatapannya menatap mereka tak terima.
"Selamat ya." ujar Sean mengalihkan pembicaraan.
"Buat apa?" tanya Elena yang masih belum mengerti, apalagi ketika dia menatap kebawah, tangan Sean hendak menyalami tangannya.
"Lulus dipercepat." jawab singkat Sean sambil kembali menarik tangannya karena tidak dibalas.
"Oh itu. Iya, makasih ya, dan selamat juga buat loe." ujar Elena sadar maksud dari kata kata Sean sambil tersenyum ramah.
Sut...
Inilah yang Sean sukai, senyuman manis Elena. Dia memang berwajah tegas, tapi ketika dia tersenyum, itu sangat indah dipandang karena sangat manis. Jujur, dia sepertinya menyukai elena.
"Enggak salaman nih." ujar Sean pelan sambil tersenyum tipis.
"Oh iya." sambung Elena tetap tersenyum dan akhirnya mereka berjabat tangan.
"Kalau nanti udah lulus trus pelantikan, tetep disini kan kerjanya?" tanya Sean penasaran.
"Kemungkinan besar sih enggak, gue mau keluar negeri aja." jawab Elena disana.
"Loh, berarti selama ini loe serius mau pergi Len?" sambung Gina disana kaget.
Sebenarnya, Elena sudah sering mengatakan kepada mereka teman-temannya bahwa dia tidak akan di kota ini setelah lulus, tapi teman temannya tidak percaya dan menganggap Elena bercanda. Elena hanya bersikap acuh saja tidak peduli. Toh, mereka akan tau juga nanti setelah saatnya semua itu terjadi. Dia sudah beberapa kali menjelaskan tapi tidak dipercayai. Yasudah...
Sean seketika menjadi murung mendengarnya. Hatinya terasa tidak nyaman mendengar jawaban Elena.
"Oh gitu ya." ujar Sean mengangguk pelan saja.
"Iya Sean, yauda kami duluan ya." Ujar Elena dan segera pergi diikuti temannya, Sean hanya tersenyum sebagai balasan.
"Yah...selama ini berarti loe enggak bercanda dong." Ujar Anira sedih. Dia juga awalnya mengira Elena sedang bercanda tapi ternyata tidak. Yang lainnya juga menatap Elena sedih.
"Kan gue uda bilangin dari kemarin kemarin kalau gue itu memang rencananya setelah lulus enggak disini kerjanya." sambung Elena disana sedikit bernada kesal. Dia kesal karena mereka tak mempercayainya.
"Tapi kalau untuk urusan yang tadi, loe sadar enggak sih Len, kayanya Sean suka deh sama loe." Ujar putra mengalihkan pembicaraan. Dia bukan suka kepada Elena dan merasa cemburu, hey... dia juga punya pacar, hanya saja LDR karena beda kota dengan sang kekasih.
Elena diam menatap putra. Dia sebenarnya enggak sadar karena setiap bertemu Sean, wajah Sean tidak ada tanda tanda menyukainya. Dia juga tidak menyukai Sean. Sempat dulu, sewaktu mereka sedang pelatihan, dia dan Sean juga Fani satu kelas sementara karena mereka awalnya tidak sekelas, bahkan sampai sekarang, hanya sewaktu pelatihan saja mereka sekelas. Fani sekelas dengan Sean tetapi kelas Elena dan teman temannya berada disamping kelas mereka. Ya... kelas mereka samping sampingan. Elena dulu sempat menyukai Sean tapi ketika sadar bahwa wanita yang suka mengganggunya sangat terobsesi dengan Sean, dia segera mundur. Dia malas berurusan dengan orang seperti Fani. Dan sampai sekarang, dia tak pernah lagi mau menyukai Sean.
"Entahlah put, gue males bahas itu. Eh yaudah ya, gue mau pulang dulu, mau kasih tau ini ke bos gue, babay teman temanku tersayang." ujar Elena menunjuk suratnya bangga dan segera pergi kearah motornya di parkiran.
"Loe bener sih put, gue juga sadar itu." ujar Gina menyahut ucapan Putra setelah kepergian elena.
"Tapi kayaknya, Elena enggak ada perasaan apa apa lagi deh sama Sean, cukup yang dulu aja." ujar Anira disana ikut-ikutan. Mereka tau kalau Elena sempat menyukai Sean karena Elena sendiri yang memberitahu mereka.
"Dan untuk loe Viktor, gue heran kok loe mau sih sama salah satu anggota dari si Fani itu, ingat mereka enggak suka lihat kita terutama Elena." ujar Gina menekan kata-katanya menatap Viktor dingin.
Memang benar, Viktor memang berpacaran dengan Kayla, salah satu anggota dari Fani. Elena dan temannya yang lain heran dan kaget ketika mengetahui hal itu, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan menerimanya secara paksa. Mereka tak tega kalau harus memusuhi Viktor yang sudah lama berteman dengan mereka. Namun ya begitu, Gina ataupun yang lain sering menyindir Viktor karena hal itu. Viktor hanya diam saja mendengarnya.
Ditempat lain, terlihat seorang wanita dewasa yang sangat cantik dan elegan layaknya model namun sebenarnya dia memang seorang model, hahaha. Dia sedang bersama pria yang juga sudah cukup dewasa sepertinya, dia terlihat seperti tidak menyukai wanita yang selalu mengganggunya ini.
"Pergilah Vania!" ujar pria itu dingin sambil terus bekerja di komputer yang berada dia hadapannya. Namanya Zeyn Laviser. Pria yang merupakan pemimpin dari perusahaan terkenal di kota itu. Dia dikenal sebagai orang yang sangat dingin dan tak tersentuh. Bahkan jarang terlihat tersenyum. Dia tidak suka disentuh sentuh apalagi jika disentuh sentuh sesuka hati.
"Aku tidak mau, aku akan menunggumu sampai kita pulang bersama." jawab wanita itu yang sedang duduk di sofa sambil terus menatapinya. Namanya Vania. Seorang model terkenal dan anak dari pemilik perusahaan terkenal juga. Dia sangat menyukai Zeyn namun Zeyn tak pernah mau menggubrisnya. Namun dia tetap tidak mau menyerah mengejar Zeyn. Walaupun banyak yang ingin bersama Vania, Vania tetap memilih Zeyn.
Perusahaan yang dipimpin oleh Zeyn adalah perusahaan papanya yang sudah diambil alih oleh Zeyn. Zeyn awalnya bekerja membantu papanya di perusahaan ini namun ketika umurnya sudah 27 tahun, dia yang lanjut meneruskan perusahaan ini. Sementara Vania, dia berumur 26 tahun. Dia mengenal Zeyn ketika ada pesta yang melibatkan pemimpin pemimpin besar. Saat pertama kali bertemu, dia sangat tertarik kepada zeyn. Dia berulang kali menyuruh papanya menjodohkan dia dengan Zeyn namun papanya menolak. Perusahaan mereka masih dibawah dari perusahaan keluarga Zeyn. Keluarga Zeyn memang sangat berada. Mereka mempunyai banyak perusahaan perusahaan yang bergerak di bidang berbeda, sementara Zeyn, dia memegang kendali perusahaan bersejarah. Ya, perusahaan yang dipimpin oleh Zeyn adalah perusahaan yang pertama kali mereka bangun. Dari sini, semuanya bisa ada dan berkembang dengan sangat pesat. Memang, papa Zeyn awalnya yang memimpin perusahaan namun dia sempat menjadi dosen tetapi berhenti tetapi ketika perusahaan sudah diambil alih oleh anaknya, dia kembali melanjut menjadi dosen.
Oh iya, kalian tau siapa papanya? Iya, papanya adalah Genda dan om nya adalah Moris.
"Tidak Vania, hari ini aku akan lembur, jadi pulanglah." ujar Zeyn tanpa menatap Vania. Dia tetap sibuk mengetik di komputer miliknya.
Jika kalian pikir, layaknya wanita yang bergelayut manja di lengan pria pujaan hatinya, maka kalian salah, ingat Zeyn tidak suka disentuh sentuh dan Vania juga tidak berani menyentuh-nyentuhnya.
"Yasudah aku akan menemanimu lembur." ujar Vania tak mau menyerah. Sangat sulit untuk bisa dekat dengan Zeyn, dia orang yang sibuk dan dia selalu menolak dirinya entah dalam hal apapun itu.
"Tidak Vania, tolong mengertilah. Aku akan lembur kerja bersama asistenku virgo. Dan kami nanti akan pergi menemui pertemuan perjanjian di hotel wangsana, setelahnya kami mungkin akan menginap disana." ujar Zeyn menjelaskan. Zeyn berharap setelah menjelaskannya Vania akan segera pergi tapi ternyata tidak, dugaannya sangat salah.
"Yasudah aku juga akan menginap di hotel yang sama." ujar Vania lagi lagi tak mau menyerah.
Zeyn yang mendengarnya berupaya untuk menahan emosinya. Zeyn menghentikan sebentar pekerjaannya dan memejamkan sebentar matanya untuk meredam amarahnya. Siapa yang tidak gampang emosi? Situasinya, Zeyn benar benar sangat lelah hari ini dan dia belum makan. Tapi sekalipun dia pria dingin, dia bukan tipe laki laki yang suka berbuat kasar kepada wanita.
Vania yang melihatnya menjadi gugup. Jika sudah begini, dia tau bahwa Zeyn sedang menahan emosinya. Apalagi ketika Zeyn berbalik menatapnya dingin dan datar, Vania semakin gugup.
"I..iya, aku akan pulang." Ujar Vania gugup segera berdiri meninggalkan ruangan Zeyn. Namun ternyata, dia belum sepenuhnya keluar dari kantor Zeyn. Dia berada di luar ruangan Zeyn dan masih berdiri disana, Vania seperti tengah memikirkan sesuatu. Ekspresinya seperti menyiratkan bahwa dia sebentar lagi akan melakukan sesuatu yang serius.
Namun dari arah depan, Virgo, asisten Zeyn, berjalan tegak kearah ruangan Zeyn sambil membawa berkas berkas kertas di tangannya. Dia sudah banyak mengenal Vania, apalagi ketika Vania yang sering kali datang ke kantor ini. Virgo yang melihat ada Vania didepan ruangan Zeyn sudah tidak heran, tapi dia sedikit heran melihat Vania yang berdiam diri seperti tengah memikirkan sesuatu. Apalagi melihat ekspresi Vania. Namun dia tidak mau ambil pusing, dia tetap berjalan ke arah ruangan Zeyn dan sett....
Tatapan mereka bertemu tetapi Vania langsung berlalu pergi tanpa ada pembicaraan apapun. Virgo juga tidak peduli itu, dia langsung masuk saja.
Apa kalian berpikir bahwa Virgo menyukai Vania? maka jawabannya tidak. Virgo tidak menyukai Vania, kenapa? Walaupun Vania cantik dan terkenal, Vania bukan tipe Virgo. Lagian juga, Virgo sudah memiliki kekasih.
Hari mulai gelap. Di tempat lain, di rumah yang cukup besar, terlihat Elena bersama kedua orangtuanya dan satu kakak laki-laki nya tengah berkumpul bersama. Mereka memang keluarga harmonis.
"Ma pa, Vania mau kasih kejutan buat mama sama papa." Ujar Elena dengan senyum manisnya.
"Loh cuman buat mama papa, sama abang mana?" sambung Edward, anak kedua dan salah satu kakak lelaki Elena. Mereka memang tiga bersaudara, dan Elena sebagai anak bungsu. Edward juga sudah bekerja mengurus cabang cabang toko bunga milik keluarganya.
"Diam aja deh bang, abang gak diajak." sambung Elena ketus mengibaskan tangannya kesal kearah wajah Edward. Edward yang melihatnya menatap sinis Elena.
Nita dan Wilson yang tak lain adalah orang tua mereka hanya menggeleng saja melihat tingkah anak anak mereka.
"Kejutan apa sayang?" tanya Nita lembut. Wanita cantik berkulit putih dan bersih yang sangat mirip dengan Elena sementara Wilson mirip dengan Edward dan kakak lelakinya yang satu lagi.
Elena tersenyum aneh membuat Nita, Wilson, dan Edward menatapnya semakin penasaran.
"Tadaaa!" seru Elena kuat sambil menunjukkan kertas putih yang tadi dia sembunyikan di balik bantal. Wilson mengambilnya dan cepat cepat membukanya karena penasaran. Semua orang menatap kearah kertas itu.
Saat sudah terbuka lebar. Nita, Wilson, dan Edward mangap sambil terus membaca isi surat itu sampai habis.
"Serius sayang?" tanya Wilson tak percaya. Elena mengangguk semangat.
Bugh...
Bukan Nita ataupun Wilson yang memeluk Elena tetapi Edward. Nita, Wilson, juga Elena menatap heran kearah Edward. Sebab Edward dan Elena selalu saja bertengkar, tidak pernah akur, bahkan suka saling menjelekkan.
"Loh." gumam Elena kaget.
"Kalau dipeluk itu dibalas ya adek sayang." bisik Edward masih belum melepaskan pelukannya. Elena yang mendengarnya cepat cepat membalas pelukan Edward.
Setelah pelukan Edward dan Elena terlepas, sekarang Nita dan Wilson yang memeluk Elena dengan haru.
"Selamat ya sayang." ujar Nita dan Wilson kompak.
"Mama sama papa sangat bangga deh." ujar Wilson dan Nita yang mengangguk semangat. Elena yang mendengarnya menjadi tersentuh dan matanya berkaca-kaca. Ini sesuatu yang paling membahagiakan dalam hidupnya, ketika dia bisa membuat orang tuanya bangga karena dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!