NovelToon NovelToon

Istri Dosen Galak

Hukuman Dosen Galak

“Jika kalian hanya ingin tidur, lebih baik segera tinggalkan kelas ini!” Seorang dosen yang sedang mengajar berkata dengan nada yang dan

ekspresi wajah marah.

Infiera Falguni, gadis cantik yang berusia 21 tahun, yang memiliki lesung pipi, duduk seraya menumpukkan kedua tangannya di atas meja. Kepalanya diletakkan di atasnya. Dia tertidur saat jam pelajaran berlangsung.

Dosen yang sedang mengajar seketika terdiam saat matanya melihat sosok gadis itu. Suasana kalas semakin hening dan beberapa pasang mata melihat arah pandang sang dosen.

Bimo, teman yang duduk di sebelah Fiera menatap gugup dosennya yang menatap tajam gadis di sebelahnya. Dia menendang kaki Fiera supaya gadis itu terbangun. Namun, dia tidak berani mengeluarkan suaranya karena merasa

takut.

Infiera masih saja lelap dalam tidurnya, dia hanya

menggerakkan kepala sedikit.

Kesal, Bimo menendang kaki gadis itu dengan keras, membuatnya mengaduh sakit.

“Jangan ganggu, sedikit lagi!” gumamnya ambigu.

Riuh, semua mahasiswa terdengar menahan tawa saat mendengar gumaman Infiera. Berani sekali dia, pikir semua orang yang ada di sana. Apa lagi, wajah dosen galak di depan mereka terlihat sangat menakutkan.

Dosen yang berdiri di depan kelas, menutup spidol di tangannya, lalu mengangkatnya ke udara dan melemparkannya ke arah belakang.

Pletak!

Tepat sasaran. Spidol itu mendarat di kepala Infiera, membuat wanita itu mengaduh dan langsung mengangkat kepalanya. “Hei, lo bisa

diam, ga, sih? Lo, ga, tahu? Gue cape banget!” gerutu Fiera, seraya menggosok kepala bagian kiri yang terkena lemparan spidol.

Bimo yang mendapat tuduhan itu melotot, lalu menggerakkan kepalanya pada Fiera untuk melihat ke depan, supaya dia tahu siapa pelaku sebenarnya.

“Apaan, sih, lo? Kepala lo sengklek?”

Bimo tidak memedulikan ucapan kurang ajar temannya, dia masih melakukan hal yang sama, supaya gadis bodoh itu melihat ke depan.

Fiera kembali ingin berbicara, tapi suara berat di depan kelas terdengar. “Sudah puas tidurnya, Nona?” tanya sang dosen, menyindir.

Infiera tersentak mendengar hal itu. Dia merotasi pandangannya ke depan, baru saat itulah dia sadar kalau dirinya sedang di kelas dosen galak, yang tak lain adalah Abimanyu Alsaki.

Fiera menggigit bibirnya.

“Maaf—“

“Keluar, bawa tasmu dan tinggalkan kelas ini!” Abimanyu berkata tegas.

“Tapi, Pak... .” Fiera tidak bisa meninggalkan kelas itu, dia bisa mendapatkan nilai yang sangat buruk untuk mata pelajarannya. Jangan sampai, hanya karena nilai mata pelajarannya yang hancur, Fiera harus kembali mengulang.

“Memilih keluar atau tidak akan bisa ikut ujian saya?”

Seperti ada geledek di dalam kepalanya saat mendengar itu. Ancamannya jauh lebih mengerikan.

“Ti-tidak, Pak. Saya akan segera keluar."

Fiera bangkit dari duduknya, memasukkan buku-buku dan segera melangkah ke depan untuk keluar. Saat dia tepat di hadapan Abimanyu, suara dingin dosennya itu kembali terdengar, “Pastikan, dua hari lagi, kau

meletakkan hasil resensi dua buku di atas meja kerjaku!”

Sudah jatuh tertimpa tangga. Tertidur di kelas Abimanyu saja sudah bencana. Sekarang, Fiera harus membuat resensi dua buku sekaligus? Sial!

“Ba-baik, Pak.”

Fiera melangkah keluar dan merasakan seluruh tubuhnya yang lunglai. Dasar dosen gila, apa tidak cukup hanya mengeluarkannya?

***

Kelas berakhir, beberapa mahasiswa satu-persatu meninggalkan kelas.

Bimo tergelak saat melihat temannya yang berdiri di depan kelas dengan ekspresi yang kusut. Dia cemberut kesal.

“Puas lo?”

“Puas banget, dong, lihat putri tidur sekarang jadi gapura kelas. Haha ... Fier, lo mimpi apa tadi?” Bimo ingat betul apa yang dikatakan temannya saat tidur.

“Haha ... Bim, seharusnya lo biarin aja dia tidur. Apa katanya? ‘Jangan ganggu, belum selesai!” Anisa, temannya yang lain ikut menimpali dengan kalimat ambigu Infiera saat tidur.

“Kalian jangan ngadi-ngadi!” Infiera tidak menyangka kalau dia mengatakan itu saat tidur. Sangat memalukan!

“Lo pikir kami bercanda? Andai lo lihat bagaimana wajah Pak Abi semakin suram saat mendengar itu.”

Infiera merona mendengar hal itu. Kegilaan macam apa yang dilakukannya saat tidur? Apa lagi, saat itu kelas Abimanyu, dosen yang terkenal

dengan sikapnya yang tegas.

Pembicaraan keduanya terhenti saat mereka melihat objek pembicaraan mereka keluar dari kelas dengan menenteng tasnya menggunakan tangan kiri dan tangan kanannya membawa beberapa buku.

“Fier, dosen lu bener-bener menyeramkan, ya!” ucap Bimo bergidik, padahal Abimanyu hanya berjalan melewati mereka tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Dia juga dosen lo, Bim,” sahut Fiera, tidak memiliki tenaga untuk ikut memaki. Meski kesal, tapi salahnya juga malah tidur. Parahnya, dia

malah mengigau yang tidak-tidak. Meski tidak ingat, tapi ucapan kedua temannya sudah cukup membuat Fiera sangat malu untuk bertemu dengan dosennya itu.

Tiba-tiba ponsel Fiera berdering, dia melihat siapa yang menghubunginya. Nama ‘Ibu Mertua’ tertera di layar ponselnya. Dia terkejut dan langsung meraih tasnya. “Bim, Nis, gue pergi dulu, ya!”

Fiera tidak menunggu jawaban teman sekelasnya itu, dia berlari seraya mengangkat panggilan nomor dari ibu mertuanya. Setelah merasa dirinya berada di tempat yang pas untuk berbicara.  Infiera

berbicara setelah berdehem satu kali. “Assalamualaikum, Bu.”

“Wa’alaikum salam. Nak, bagaimana kabarmu?”

“Baik, Bu. Bagaimana dengan kabar ibu? Kata Bi Ratmi katanya kemarin ibu ke rumah sakit?”

“Ah, ibu baik-baik saja. Itu hanya pemeriksaan rutin. Jangan khawatir.”

“Alhamdulillah.”

“Nak, ibu kirim mpek-mpek buat kamu dan juga suamimu. Ibu lihat di aplikasi paketnya sudah sampai, tapi kata suamimu katanya tidak ada.”

Infiera tertegun, lalu dia terkejut, mengingat paket yang dia terima kemarin. Kemarin dia menerima paket itu saat sedang menyiram tanaman

di depan rumahnya, lalu...

Ah, sial!

Fiera ingat kalau dia meletakkan paketnya di dekat gazebo yang ada di samping rumahnya. Bagaimana kalau suaminya menemukan paket itu di sana? Dia pasti akan sangat marah karena tidak suka dengan sifat teledornya yang seperti mendarah daging.

Apa lagi, itu kiriman dari ibunya.

“Ba-baik, Bu, Fiera akan memeriksanya.”

“Baiklah, Nak, ibu hanya ingin memberitahu hal itu saja.”

Setelah mengucapkan salam penutup, panggilan itu berakhir. Fiera segera membuka aplikasi ojek online di ponselnya.

Fiera bergegas berlari meninggalkan kampus, setelah memesan. Akan memakan waktu lebih dari satu jam jika dia harus naik angkot untuk pulang. Apa lagi sore hari seperti saat ini, kemacetan kota Jakarta semakin menggila.

Begitu sampai di rumah, tubuhnya terasa kaku saat Fiera melihat Hatchback putih milik suaminya sudah terparkir di carport rumahnya.

‘Kenapa dia cepat sekali?’

Fiera berlari masuk halaman rumahnya, dia melangkah menuju gazebo, paket sudah tidak ada di sana. Lagi-lagi dia hanya mengumpat dalam hati, sambil berlari masuk ke dalam rumah.

Fiera melihat suaminya duduk di ruang tengah, dengan tatapan tajam ke arah dirinya. Dia amat gugup dan bersiap menerima semburan amarah dari pria itu.

“Apa kau tidak punya otak? Bagaimana kau bisa meletakkan paket makanan di gazebo?” keluhnya dengan sinis. Pria itu berdiri dan meraih paket yang ada di atas meja, lalu melemparkannya ke lantai. “Buang itu dan minta maaf pada ibu.”

Tentu saja, makanannya sudah tidak layak untuk dimakan karena kehujanan semalaman.

“Baik.” Fiera menjawab dengan menundukkan kepalanya, matanya terasa panas saat mendengar ucapan suaminya yang begitu tajam. Apakah harus sekejam itu dia berbicara?

Abimanyu melangkah melewati Fiera yang masih mematung di tempatnya. “Aku sudah memeriksa tugasmu minggu kemarin, sangat buruk. Perbaiki

malam ini juga!”

“Baik, Pak,” jawab Infiera, mengangguk lemah pada dosen sekaligus suaminya. Hatinya terasa perih saat ini.

Ya, itu dia. Suaminya adalah dosen tampan dan juga galak. Abimanyu Alsaki!

Seorang Penggemar

Pernikahan adalah ikatan sakral antara sepasang kekasih yang saling mencintai. Sebuah ikatan yang bisa mengantarkan sepasang manusia ke Jannah-Nya. Namun, hal itu masih belum berlaku untuk Infiera dan juga Abimanyu.

Pernikahan yang terjalin karena perjodohan. Gunawan dan Ratna, orang tua Infiera tiba-tiba berkata pada gadis itu kalau ada pemuda yang akan melamarnya, dan membiayai Infiera untuk meneruskan kuliahnya yang sempat tertunda karena masalah biaya.

Tentu saja, itu sulit ditolak oleh gadis 21 tahun karena memang sudah mendambakan untuk meneruskan kuliah saat dia sudah memiliki uang.

Selama ini, Fiera mengisi waktu luangnya dengan menulis novel di beberapa aplikasi untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya saja, penghasilannya memang belum cukup untuk meneruskan kuliah.

Sedangkan Abimanyu, seorang dosen jurusan sastra sekaligus penulis terkenal sama sekali tidak bisa menolak ketika kedua orang tuanya mengatakan kalau dia akan dijodohkan dengan seorang gadis yang berasal dari kota Bandung.

Sampai akhirnya, di sinilah mereka berada saat ini. Tinggal di ibu kota, jauh dari orang tua, di sebuah rumah setelah pernikahan mereka. Meski berada di atap yang sama, hubungan Fiera dan juga Abimanyu tidak pernah terlihat seperti suami-istri. Abimanyu yang acuh tak acuh dan juga galak sebagai dosen, selalu membuat dinding yang jelas pada Fiera.

Fiera pernah dengar, kalau Abimanyu saat itu memiliki kekasih, tapi dia tidak pernah mencari tahu dan tidak ingin tahu.

Sedangkan Fiera, dia hanya menjalani hidupnya, sebagai mahasiswa. Seperti mimpinya—meneruskan kuliah—lalu bekerja di bidang yang dicintainya, yakni dunia literasi.

Sejauh ini, Fiera tidak pernah memikirkan bagaimana masa depan pernikahannya dengan Abimanyu. Mungkin saja, mereka akan bercerai setelah dirinya lulus kuliah nanti.

Terserahlah, yang penting dia melanjutkan kuliah, meski selama hampir satu tahun pernikahan mereka seperti orang asing di bawah atap yang sama.

Mereka berdua bahkan tinggal di kamar yang berbeda selama ini. Itu adalah permintaan Abimanyu, pada awal pernikahan mereka, saat keduanya pindah ke rumah itu untuk menjalani kehidupan setelah menikah.

Jegrek!

Terdengar pintu di luar kamar dibuka dan juga ditutup dengan suara sedikit keras.

Fiera yang tengah bekerja di kamarnya, menulis lanjutan novel online-nya karena para pembacanya sudah meneror terus-menerus. Tersadar dan menoleh ke arah pintu.

“Dia baru selesai?” gumam Fiera, merujuk pada Abimanyu yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Dia menggerutu karena ternyata, suaminya keluar lebih larut. Saat ini sudah hampir tengah malam.

Biasanya, Abimanyu akan meninggalkan ruang kerjanya sekitar pukul sembilan malam, dan saat itulah gantian Fiera yang masuk ke dalam ruang kerja suaminya. Di sana, Abimanyu memiliki banyak buku yang bisa Fiera gunakan untuk belajar.

Apa lagi, sekarang dia memiliki hukuman dari Abimanyu untuk membuat resensi buku. Dia membutuhkan beberapa referensi novel, dan di sana Abimanyu sudah menyediakannya.

Fiera terkekeh geli. “Tidak buruk juga.”

Abimanyu tidak pernah marah jika dirinya menggunakan ruang kerjanya untuk tempat belajar, bahkan sepertinya pria itu sengaja menyediakan buku-buku yang dibutuhkannya.

Hal itu tampak jelas saat Fiera membutuhkan beberapa buku dan sulit untuk didapatkan, tidak lama pasti buku itu ada di ruang kerja suaminya.

Dia akhirnya sedikit memberikan toleransi, meski ucapan Abimanyu kadang menyakitkan, tapi dia tetap tanggung jawab untuk membuat Fiera menyelesaikan kuliahnya.

Fiera masuk ke dalam ruang kerja suaminya, dia berjalan menuju rak-rak buku milik Abimanyu dan tersenyum saat melihat tumpukkan novel di sana.

Fiera selalu merasa antusias setiap masuk ke ruangan itu. Melihat buku-buku yang berjajar rapi di sana, membuatnya bersemangat kembali—melupakan kejadian beberapa jam yang lalu saat Abimanyu menyebutnya tidak punya otak saat dia melupakan paket kiriman ibu mertuanya dari Palembang di dekat gazebo samping.

Cukup lama Infiera berada di ruang kerja suaminya, mengerjakan hukuman Abimanyu hari ini karena dia tertidur di kelasnya.

Satu jam, dua jam, tidak terasa Infiera mengerjakan tugasnya hingga pukul tiga pagi. Infiera bahkan tertidur di ruang kerja Abimanyu. Dia terbangun saat matahari menembus ke dalam ruangan itu dari celah-celah jendela.

“Ah, aku tertidur lagi. Jam berapa ini?” Fiera menoleh pada jam dinding yang ada di dekat meja kerja Abimanyu, matanya membulat karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Padahal, dia memiliki kelas hari ini sekitar pukul sepuluh.

Fiera buru-buru bangkit dari duduknya dan berlari keluar ruangan tanpa sempat menyimpan kembali ke tempatnya buku-buku yang semalam dia ambil dari rak milik Abimanyu.

Fiera keluar, dia tidak menemukan keberadaan suaminya di ruang tengah, itu artinya, Abimanyu sudah berangkat bekerja. Fiera tahu jika Abimanyu memiliki pekerjaan lain selain menjadi dosen dan juga penulis, tapi dia tidak pernah mencari tahu profesi lainnya dari sang suami.

Fiera berjalan ke dapur, dia meringis melihat makanan sehat yang dibuat oleh Abimanyu—salad sayur dan juga dua butir telur.

Melihatnya saja, membuat Fiera merasa mual. Dia tidak pernah bisa menyesuaikan diri dengan gaya hidup Abimanyu soal makanan.

Infiera memutuskan untuk memasukkan saladnya ke dalam kantong plastik untuk dibuang dan mengambil telur rebusnya. Dia akan sarapan di kampus, dengan nasi goreng kecap buatan ibu kantin. Setidaknya, telurnya masih bisa dia makan.

***

Sesampainya di kampus, Fiera berlari menuju kelasnya. Dia melihat dosennya sudah berada di kelas. Melalui selai pintu yang sedikit terbuka, dia melambaikan tangannya pada Bimo, temannya yang terlihat jelas dari sana.

Bimo awalnya tidak menyadari keberadaan wanita itu, sampai dia mengangkat kepalanya. Bimo terkejut, ‘Apa lu gila jam segini baru datang?’ Bimo berbicara hanya dengan gerak bibirnya tanpa mengeluarkan suara, dan juga tangannya menunjuk jam.

‘Jangan ceramah dulu.... . Apakah dosennya sudah lama masuk kelas?’ Fiera juga melakukan hal yang sama pada Bimo.

Sebelum Bimo membalas pertanyaan Fiera, tiba-tiba pintu masuk terbuka lebih lebar. Seorang pria berusia 35 tahunan, yang tak lain adalah dosennya berdiri menjulang, lalu melipat kedua tangannya di dada.

“Apakah kau tahu sekarang jam berapa, Fiera?” tanyanya dengan tegas.

Fiera tercengang, lalu meringis. “Ma-maaf, Pak, saya terjebak macet tadi.” Memberi alasan, padahal lalu lintas menuju kampus dari rumah tidak terlalu macet.

“Macet? Di mana kau terjebak macet? Apakah di kamarmu?” Dosen bernama Gerald Keegan itu menatap curiga. Meski tidak tahu di mana tempat tinggal gadis ini, tapi Gerald cukup tahu dengan lalu lintas menuju arah kampus tempatnya bekerja.

Fiera nyengir, seperti sedang mengiyakan ucapan dosennya itu.

Gerald menghela napas. “Karena ini kali pertama kau terlambat di kelasku, masuklah. Tapi, berdiri di belakang sebagai hukumannya.”

Fiera tersenyum dan mengangguk. “Baik, Pak, terima kasih.” Meski dihukum, tapi setidaknya dia masih diizinkan masuk kelas itu.

Untung saja Pak Gerald baik hati, pikir Fiera seraya melangkah masuk. kalau saja itu adalah kelas Abimanyu, mungkin dia sudah dihukum untuk tidak mengikuti kelasnya untuk beberapa pertemuan ke depannya.

‘Bodoh!’ ejek Bimo pada Fiera yang berdiri di belakangnya.

‘Diamlah!’ kesalnya.

“Bimo, apakah kamu juga ingin berdiri di belakang?” Suara Gerald mengintrupsi keduanya. Bimo berbalik, menghadap ke arah depan kembali. “Tidak, Pak.”

Kelas dilanjutkan, Fiera menyimak dan mencatat semua pelajarannya dengan keadaan berdiri.

Seruan terdengar serempak saat Gerald memberikan tugas di akhir kelasnya.

“Fiera, sebagai hukuman tambahan, tolong kumpulkan tugas teman-temanmu yang lain dan bawakan itu ke ruangan saya.”

“Baik, Pak.”

Setelah memberikan perintah, Gerald melangkah ke luar meninggalkan kelas. Sedangkan Fiera, menghela napas lega karena kakinya sudah terasa pegal, terus berdiri sepanjang pelajaran.

“Heh, Fiera, tumben lu terlambat. Apa lagi yang dicuci sekarang?”

“Anturium,” sahutnya seraya mengambil tugas dari tangan Anis temannya. Anturium adalah tanaman hias yang memenuhi halaman samping rumahnya dan juga Abimanyu.

Anis tergelak mendengar sahutan dengan nada kesal dari temannya. Padahal, selama ini jika terlambat Fiera selalu memiliki alasan yang mirip.

Mencuci baju, mencuci piring, mencuci tanamannya. Terkadang Anis selalu menggodanya. “Curiga, lu kerja sampingan sebagai pembantu rumah tangga.”

Padahal, Fiera sama sekali tidak mencari alasan dan tidak bercanda. Dia memang selalu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, termasuk mencuci pakaiannya dan juga Abimanyu.

Fiera mengabaikan godaan teman sekelasnya, melangkah menuju ruang dosennya. Dia mengetuk pintu sebelum masuk dan mendorong pelan pintunya saat mendengar izin untuk masuk.

Fiera melangkah masuk, melewati seorang pria yang tak lain adalah Abimanyu yang duduk di meja kerjanya yang ada di sebelah meja Gerald.

“Pak, ini tugas-tugasnya.”

“Ya, letakkan saja di sana,” sahutnya, lalu mendongak menatap Fiera. “Fiera, apakah kau sudah mempertimbangkan tawaran saya untuk menjadi asisten dosen?”

Fiera terkejut karena ternyata, Gerald menanyakan tawarannya untuk jadi asisten dosen minggu lalu. Padahal dia sudah menolaknya hari itu juga karena merasa tidak akan mampu, sebab dia harus menulis setelah semua tugas kampusnya selesai.

“Pak, saya sudah menolaknya, kan, minggu kemarin?”

Gerald berdecak malas. “Ternyata kau masih ingat jawabanmu. Sudah pergilah.”

Fiera terenyum manis mendengar gerutuan dosennya. Gerald memang terkenal baik dan jenaka, walau sedikit pelit jika berhubungan dengan nilai.

“Baik, Pak, permisi.” Fiera berbalik, dia benar-benar mengabaikan keberadaan Abimanyu yang duduk di mejanya. Dia dapat melihat dengan ekor matanya, kalau pria itu sempat melirik ke arahnya.

“Abi, kau juga mengajar di kelasnya, kan?” tanya Gerald pada Abimanyu setelah kepergian Fiera.

Abimanyu berdehem, mengalihkan pandangannya. Dia sempat melihat senyum manis Fiera sebelum pergi. Padahal, selama ini gadis itu jarang tersenyum jika di hadapannya.

“Hmm!” Abimanyu hanya menjawab dengan gumaman mulutnya.

“Gue minta dia jadi asisten, tapi dia menolak. Hah ... padahal jika dia setuju, gue kan bisa mendekatinya. Siapa tahu kita cocok.”

Abimanyu yang semula berusaha mengabaikan ocehan teman sejawatnya langsung menoleh. “Apa maksudmu?”

Melihat raut wajah Abimanyu yang garang, Gerald menyahut, “Apa? Tidak ada larangan, kan, untuk dosen menikahi mahasiswanya? Lagian, dia juga sudah cocok untuk menikah.” Gerald tersenyum memikirkan ucapannya sendiri.

Entah kenapa, Abimanyu merasa tidak suka dengan ucapan Gerald.

“Apakah kau tidak takut dengan gosip?”

“Kenapa harus takut? Lagian, aku tidak berniat pacaran, aku berniat menikah.” Pria blasteran itu tertawa. “Sayangnya, dia wanita tidak peka. Padahal, gue sempat terang-terangan kalau gue ngajak dia nikah.” Gerald berubah sendu.

Sudut mata Abimanyu berkedut mendengar itu, rahangnya sedikit menegang, tapi dia tetap bersikap tenang. “Lalu, apa jawabannya?”

“Lo ingin tahu?”

Abimanyu diam, menandakan kalau dia ingin mendengar jawabannya.

“Dia tertawa, lalu berkata, ‘Apa bapak salah makan?’ Tentu saja, gue malu banget, kan? Akhirnya saat itu gue ngajak dia buat jadi asisten dosen. Gila, dia malah jawab, ‘Bapak ini ada-ada saja, kalau mau nawarin jadi asisten dosen, kenapa harus berputar pura-pura ngajak nikah.’ Gila, dia ngomong kaya begitu sambil tertawa keras. Ingin sekali gue tenggelam ke dasar kerak bumi.”

Gerald menggerutu, menyadari ketidakpekaan Infiera, mahasiswa. Padahal, saat dia ngajak nikah dengan memasang wajah serius, berharap gadis itu percaya kalau dirinya tulus. Sayangnya, Fiera hanya menganggap kalau itu hanya prank.

“Sayangnya, gue malah makin penasaran sama dia yang seperti itu.” Gerald melanjutkan ceritanya.

Abimanyu hanya diam, mendengarkan ucapan rekan sesama dosen itu sekaligus temannya. Dia menatap pintu keluar, di mana tadi Fiera menghilang dari pandangannya. Ucapan Gerald, berhasil mengusik ketengan Abimanyu.

 

Dosen Baru

Awal pernikahan, Infiera sempat menempatkan dirinya untuk menjadi istri yang baik, karena memang itulah yang harus dia lakukan. Akan tetapi, setelah tiga hari pernikahan dan mereka kembali ke Jakarta. Abimanyu berkata, “Kita sama-sama tahu kalau pernikahan ini benar-benar terpaksa dilakukan. Mungkin, ada baiknya kita tidur di kamar yang berbeda. Ada satu kamar di dekat ruang kerjaku, yang bisa kamu tempati. Sedangkan aku akan tidur di kamar atas.”

Saat itu, Fiera merasakan dunianya runtuh. Meski itu sebuah perjodohan, tapi dia tidak pernah menganggapnya main-main.

Namun, setelah hari-hari berlalu. Infiera merasakan hatinya terasa sesak. Dia berusaha menerima keadaan itu, sampai di tahap dia bisa acuh tak acuh dengan keberadaan Abimanyu, karena pria itu juga mengabaikan keberadaannya di rumah.

Mereka tidak akan pernah saling menyapa jika tidak ada kepentingan. Abimanyu akan bicara benar-benar seperlunya.

Hal itu jugalah yang akhirnya membuat Infiera bertekad menyelesaikan kuliahnya lebih cepat, supaya dia bisa segera bekerja dan tidak lagi tergantung pada Abimanyu. Mungkin, setelah itu mereka akan bercerai. Infiera mulai tidak peduli dengan hal itu. Toh, awalnya dia menempatkan diri sebagai istri, kalau akhirnya diabaikan, kenapa dia harus bertahan?

Seperti siang ini, saat Infiera masuk ke ruangan dosen, dia melihat keberadaan Abimanyu. Infiera bisa melewatinya, seperti pria itu kasat di matanya.

Infiera keluar dari ruangan dosen dengan senyum lebar di wajahnya, merasa lucu dengan ekspresi kesal wajah dosennya, dengan penolakannya untuk menjadi asisten dosen.

“Hei, lu kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet setan ruang dosen, lo?”

Fiera menoleh, Anis, sahabatnya baru keluar dari ruang kelas bersama dengan Bimo.

Fiera menggeleng. “Bukan, Pak Gerald masih saja minta gue buat jadi asistennya. Lo, kan, tahu kalau gue ga bisa.”

Anis mengangguk karena dia sudah tahu alasannya. Dari semua teman-temannya, hanya dia yang tahu jika Fiera adalah penulis novel online selama ini. Bisa dibilang, dirinya juga penggemar berat novelnya. Beruntung memiliki teman penulis, pikirnya, karena bisa meneror untuk segera melanjutkan jalan ceritanya.

“Haha ... memelas banget, itu, dosen jomblo.” Anis terkekeh geli. Dia tahu bagaimana Gerald meminta Fiera untuk jadi asistennya, tapi langsung ditolaknya.

“Hus! Jangan kenceng-kenceng. Entar dia dengar.” Fiera mengingatkan. “Mau, lo, nilai semester ini dipangkas?”

Anis bergidik ngeri. “Dih, nilai dari dia engga pernah bagus, masih mau dipangkas juga.”

“Makanya, tutup mulut lemes lo itu.” Bimo menyahut setelah beberapa saat hanya menyimak.

Mereka bertiga berjalan menuju kantin. Fiera belum makan sejak pagi, gara-gara Abimanyu hanya membuat salad untuk sarapannya. Padahal, biasanya Abimanyu hanya akan membuat sarapan untuk dirinya sendiri, sedangkan Fiera akan makan nasi dan telur dadar atau makan di kantin.

“Non Fiera, mau nasi goreng?” Mang Ujang berteriak dari balik meja yang sudah menyajikan beberapa menu makan siang. Banyak mahasiswa yang makan di sana karena harganya ramah di kantong.

Fiera menjentikkan jarinya senang. “Mang Ujang tahu aja kalau aku mau makan nasi goreng hari ini.”

“Oh, tentu, Mang Ujang tahu, kita, kan, sudah satu sel otak.”

Ucapan mamang kantin itu langsung mengundang tawa para mahasiswa. Mereka sudah terbiasa dengan hal itu. Fiera dan Mang Ujang sudah seperti sahabatan.  

Fiera hanya menanggapinya dengan acungan jempol, lalu melangkah menuju mesin pendingin dan mengambil satu boto air mineral.

“Mang Ujang, aku juga mau, dong, nasi gorengnya.” Bimo berkata dengan meletakkan beberapa kue basah yang diambilnya dari meja-meja itu untuk dibayar.

“Tidak. Nasi goreng khusus Mang Ujang hanya untuk Non Fiera.”

“Dih, Mang Ujang.” Bimo mendengkus, dia tahu kalau jawaban itu yang akan diberikan mamang kantin padanya. Bimo juga hanya bercanda, terlihat dari tangannya yang sudah mengambil piring dan juga menyendok nasi dan sayur ke dalamnya.

Beberapa saat kemudian, beberapa mahasiswa juga mulai mengambil makanan sambil berbicara satu sama lain.

“Aku dengar, katanya kita akan kedatangan dosen baru, ya? Untuk menggantikan Pak Karim yang baru aja dipindah tugaskan.” Salah satu mahasiswa berkata.

“Aku dengar juga begitu. Mudah-mudahan saja dosennya setampan Pak Abi, tapi versi ramahnya.” Yang lainnya juga menyahut.

“Maaf, kalian harus kecewa karena dosennya wanita.”

Bu Gina, petugas perpustakaan menyahut. Dia berjalan untuk mengambil beberapa kue basah di sana. “Dosennya hari ini sudah masuk. Mungkin hari ini apa besok sudah mulai mengajar.”

Beberapa mahasiswa yang tadi sedang membicarakan dosen baru itu seketika berseru kecewa, “Ya, padahal aku ingin ada Pak Abi versi ramahnya. Kenapa, sih, wajahnya selalu mode Doctor Strange?”

Fiera yang sejak tadi menunggu pesanannya selesai dibuat hanya bisa menahan senyum dengan sebutan mahasiswa lain mengenai Abimanyu.

‘Bener, dia mah Doctor Strange mode datang bulan,” gerutu Fiera dalam hati, dia teringat perkataan Abimanyu kemarin sore, itu masih membuatnya sakit hati.

Fiera menerima nasi goreng dari Mang Ujang. Kedua temannya sudah lebih dulu duduk di salah satu meja panjang paling pojok karena meja lainnya sudah terisi.

Baru saja beberapa langkah dia berjalan. Bu Gina yang sebelumnya memberi tahu mengenai kedatangan dosen baru itu berujar, “Wah, panjang umur mereka datang ke sini.”

Benar saja, Fiera melihat tiga orang berjalan ke arah mereka. Abimanyu, Gerald, dan juga seorang wanita berambut sebahu berjalan beriringan.

Sama seperti biasanya, Fiera akan mengabaikan Abimanyu jika mereka tidak sengaja berpapasan. Dia melangkah ke arah yang sama datangnya ketiga dosen muda itu.

“Heh, Fiera, kau benar-benar tidak akan mengubah keputusan, apa?” Gerald tiba-tiba menghalangi langkahnya, membuat wanita itu mengangkat wajahnya. Sekilas, matanya bertatapan dengan Abimanyu, sebelum dia memalingkan pandangan pada Gerald.

“Maaf, Pak, belum ada setting undo soalnya, jadi saya tidak bisa mengubahnya.”

Gerald tercengang dengan jawaban Infiera. “Ck! Kau akan mendapatkan nilai jelek jika menolak tawaranku.”

“Tidak apa-apa, Pak, lagian bapak juga engga pernah ngasih nilai yang bagus, kan?”

Gerald semakin tercengang dengan jawaban gadis itu. Sedangkan Abimanyu hanya memasang wajah datarnya, mendengar percakapan istrinya dengan rekan kerjanya yang terdengar sangat akrab. Padahal, jika bicara dengannya, gadis itu akan bicara begitu formal.

Kenapa dia merasa kesal dengan itu?

“Bi, ayo, biarkan Pak Gerald berbincang. Aku sudah lapar.” Wanita yang berdiri di samping kiri Abimanyu merangkul tangannya tiba-tiba.

Fiera yang awalnya ingin mengabaikan keberadaan pria itu sedikit tertegun. Dia sempat bersitatap sampai akhirnya suara Gerald kembali menarik perhatiannya.

“Ya, benar, kalian pergi saja duluan. Husss!”

Abi masih memasang wajah datar, dia hanya mengangguk. Matanya melirik Fiera sekilas sampai akhirnya, dia melangkah bersama dengan dosen wanita yang ada di sampingnya.

“Fiera, kau ini, kenapa kalau bicara engga pernah pakai remnya.” Gerald kembali berbicara setengah menggerutu, membahas jawaban mahasiswinya yang terlampau jujur.

Fiera tersenyum canggung. Entah kenapa dia sedikit merasa terganggu dengan pemandangan yang ada di hadapannya tadi. Apakah Abimanyu mengenal dosen wanita yang baru itu?

Ah, tentu saja. Dari panggilan dan juga gerak-geriknya saja sudah menunjukkan kalau mereka cukup akrab.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!