*Flash Back*
“Bangsat! Lo pikir cowok di dunia ini cuma Lo doang!!” Maki seorang gadis ke arah seorang cowok berpenampilan urakan.
“Dasar cowok enggak tahu diri! Tukang selingkuh! Lo adalah kesialan terbesar dalam hidup gue!”
Bugh!
Sebuah pukulan mengenai pipi lelaki itu sampai jatuh tersungkur. Rembulan, nama cewek itu, tersenyum mengejek.
“Baru dapat pukulan dari cewek saja sudah tumbang! Dasar banci!”
Cowok itu mendesis sinis, pukulan Rembulan tidak seberapa, dia hanya kaget menerima pukulan itu secara tiba-tiba.
“Cih, makanya jadi cewek itu jangan galak-galak. Lagian mana ada sih cowok yang mau sama Lo? Sudah jelek, jerawatan, gendut lagi. Pikir pakai otak makanya”
Rembulan menatap tajam, “Sialan! Awas saja!, suatu saat Lo bakal mohon-mohon minta balikan sama Gue!”
“Cih, jangan mimpi!”
Kemudian cowok itu pergi dari hadapan Rembulan, meninggalkan Rembulan yang menangis sendirian.
...****************...
Rembulan menatap dingin lelaki di depannya, tidak ada ekspresi apa pun yang mampu di tebak lawan, semuanya terlalu abu-abu. Kaca mata bulat berwarna silver bertengger di hidung mancungnya, wajah putih di sertai tubuh Body Goals membuat Rembulan banyak di kagumi kaum adam. Namun sifat dinginnya membuat semua lelaki memilih menyerah sebelum memulai.
Lelaki di depannya, terperangah tidak percaya. Matanya membulat memancarkan terkejut sekaligus kekaguman.
“Lo Rembulan Agnesia kan? Yang dulu gendut, dekil, jerawatan itu?”
Rembulan menatap lelaki di depannya tanpa ekspresi, tidak menjawab pertanyaan dengan nada menghina itu.
“Gila! Kok Lo bisa cantik banget sih sekarang? Oh ya, Lo masih ingat Gue kan? Mantan terindah Lo, Sabintang Erlangga”
Tidak tahu malu. Itu yang ada di dalam pikiran Rembulan sekarang. Kejadian semasa sekolah menengah atas tidak bisa dia lupakan, pengkhianatan serta penghinaan lelaki itu membuat Rembulan menjadi sedingin es. Untuk menjadi seperti sekarang, bukanlah hal yang mudah, Rembulan harus melalui proses yang panjang.
“Gue menyesal dulu kita putus” Ujar Sabintang dengan senyuman lebar membuat Rembulan muak.
“Gua lebih menyesal pernah kenal sama Lo” Ujar Rembulan di dalam hati. Bertemu dengan Sabintang merupakan kesialan yang tidak pernah bisa Rembulan lupakan.
Sabintang terus menatap wajah Rembulan, membuat gadis itu tidak nyaman. Tanpa kata, Rembulan berbalik meninggalkan Sabintang. Tidak tinggal diam, lelaki itu mengejarnya. Sabintang tidak akan melepaskan Rembulan, apalagi kini gadis itu telah berubah drastis.
“Tunggu, Bulan!”
Langkah Rembulan terhenti saat mendengar panggilan itu, Rembulan mengejek otak serta tubuhnya yang tidak sinkron dengan keinginannya.
“Minta nomor ponsel Lo ya”
Tidak tahu malu. Sekali lagi, ah bukan, berkali-kali Rembulan merutuki Sabintang di dalam hati.
Tanpa menjawab Rembulan kembali melanjutkan langkah, pergi tergesa meninggalkan Sabintang yang menatap nanar punggungnya yang menghilang di balik kerumunan.
Rembulan meletakan tasnya dengan kasar, nafasnya naik turun menahan emosi yang sejak tadi dia tahan. Sabintang adalah masa lalu, Sabintang menjadikannya bahan taruhan, Sabintang selingkuh, Sabintang menghina fisiknya, dan karena Sabintang, Rembulan kehilangan segalanya. Kata-kata itu yang terus dia ucap di dalam hati ketika amarah menyelimuti. Rembulan tidak ingin goyah hanya karena perlakuan baik Sabintang.
“Agnes, Aku kira kamu belum pulang. Maaf datang tanpa izin, tadi aku sedang menghangatkan sup. Mari kita makan bersama” Ujar seorang lelaki yang datang dari arah dapur Apartemen Rembulan.
Rembulan menyembunyikan wajah penuh amarahnya dengan ekspresi datar. Rembulan bagai Aktris Profesional, mampu menyembunyikan segala ekspresi, mampu mengelabui lawan bicara.
“Maaf merepotkan mu, Zico” Ujar Rembulan datar.
Zico tersenyum hangat, “Apa pun tentangmu, tidak pernah merepotkan ku”
Meskipun Rembulan tidak bernafsu untuk makan apa pun, dia menghargai Zico. Cowok blasteran Jerman itu memperlakukannya dengan sangat baik, terkadang bertingkah layaknya seorang Ayah yang melindungi anak gadisnya, terkadang bertingkah seperti seorang Ibu yang memasak untuk anaknya, dan terkadang bertingkah layaknya sahabat ketika Rembukan membutuhkan tempat berkeluh kesah. Rembulan tidak butuh siapa pun lagi, Zico saja sudah cukup.
...****************...
Setelah bertemu dengan Rembulan, Sabintang tidak pernah berhenti tersenyum atau tertawa sendiri, kehilangan Rembulan adalah hal yang paling ia sesali, dan kini kehadiran gadis itu merupakan hal yang sudah sejak lama Sabintang tunggu.
Sabinta, kembaran Sabintang menatap heran melihat tingkah kakak beda lima menitnya terlihat senyum-senyum sendiri. Biasanya Sabintang pulang dengan membanting pintu, melemparkan tas kerja asal, kemudian marah-marah tidak jelas kepada kucing kesayangan Sabinta.
Namun tak dipungkiri, melihat wajah Sabintang sebahagia itu, Sabinta ikut merasa bahagia. Sudah lama Sabinta tidak melihat kebahagiaan di wajah Sabintang.
“Ada apa sih? Tumben senyum-senyum sendiri, sudah mirip orang gila” Ujar Sabinta mengejek.
Bukannya marah seperti biasa, Sabintang malah melebarkan senyumnya. Sabinta sampai ngeri melihatnya, takut kalau Sabintang benar-benar sudah kehilangan kewarasan.
“Gue ketemu Rembulan”
3 kata itu mampu membuat sekujur tubuh Sabinta membeku. Rembulan. Sabinta mengeja nama itu di dalam hati, begitu banyak sesal yang ditujukan kepada Rembulan. Sabinta memang ingin sekali bertemu Rembulan, tapi tidak secepat ini. Dia belum siap, banyak salah yang harus di pinta maaf.
“Lo tahu? Bulan cantik banget, Ta” Ujar Sabintang antusias.
“Lo enggak sadar apa yang Lo lakukan ke Bulan dulu, Sabintang?” Pertanyaan dengan nada datar itu menyadarkan Sabintang akan perlakuannya dulu kepada Rembulan.
“Itu sudah masa lalu, sekarang Gue ingin memperbaiki semuanya” Ujar Sabintang tegas.
“Menurut Lo semua bakal segampang itu? Gue rasa Rembulan bukan gadis bodoh”
Sabintang membanting majalah yang ada di meja, “Lo juga salah, jangan menumpahkan semuanya ke Gue. Lo yang pertama mulai semuanya, Gue Cuma mengikuti kemauan Lo yang kekanak-kanakan itu”
“Maksud Lo apa ngomong seperti itu? Jadi Lo menyalahkan Gue?” Tanya Sabinta tidak percaya.
“Iya, karena rasa cemburu Lo yang kayak anak kecil, dan karena Gue sayang sama Lo, Gue mengikuti keinginan Lo”
“SABINTA, SABINTANG, KENAPA MALAH RIBUT SIH!” teriakan menggelegar itu menyadarkan Sabinta dan Sabintang yang tengah adu mulut.
Telinga Sabinta dan Sabintang di jewer Lia Ibu si kembar.
“Aduh, Ma. Sakit ih” Keluh Sabinta.
“Sudah gede masih saja pada berantem” Gerutu Lia kesal.
“Dia yang mulai Ma” Ujar Sabintang membuat Sabinta melotot tidak terima.
“Enak saja! Lo yang salah”
“Aduh diam deh, kalian bikin kepala Mama pusing saja”
“Kalau pusing ke rumah sakit Ma” Ujar Sabintang santai.
“SABINTANG” Teriak Lia kesal.
“Aduh ampun Ma, bercanda” Keluh Sabintang saat jeweran di telinganya semakin kencang.
Jeweran Ibunya memang tidak pernah main-main, menimbulkan rasa panas di telinga Sabun yang yang memerah. Setelah selesai menghukum anaknya, Lia memilih menonton televisi, menonton sinetron suara hati isteri. Sedangkan Sabintang dan Sabinta memilih pergi ke kamar masing-masing.
Setelah seminggu yang lalu tidak sengaja bertemu dengan Sabintang, Rembulan menjalani rutinitasnya seperti biasa. Mengelola butik dengan desainnya sendiri. Setelah tamat Sekolah Menengah Atas, Rembulan melanjutkan pendidikan di Prancis dengan jurusan Design. Bekerja sambil kuliah tidak membuat Rembulan merasa terbebani, sebaliknya, gadis itu cukup senang karena dengan kesibukannya, dia tidak memiliki waktu untuk memikirkan masa lalu.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Rembulan kembali ke Indonesia dan membangun butik di bantu Zico yang selalu ada menemaninya dari nol. Sekarang, butiknya selalu ramai dan mempunyai 5 cabang besar di kota yang ada di Indonesia.
‘AGNES BOUTIQUE’
“Selamat datang di Butik Agnes” Sapa Pramuniaga.
“Kenapa sih Lo ajak ke butik segala? Pake acara mengancam Gue ke Mama lagi”
“Lo bisa diam enggak sih? Gue cuma minta Lo temani bukan minta di bayari”
Perdebatan dua manusia itu membuat para pengunjung melihat ke arah mereka, termasuk Rembulan.
Untuk beberapa detik, mata Rembulan memancarkan ekspresi kaget, namun dengan lihai gadis itu menetralkan ekspresinya.
“Ehm, Tolong jangan buat keributan!” Ujar Rembulan dingin.
Sontak saja kedua manusia berbeda jenis kelamin itu menoleh dan kaget saat melihat Rembulan.
“Rembulan?” Beo keduanya berbarengan.
“Astaga! Mimpi apa Gue semalam sampai bisa ketemu bidadari” Ujar lelaki itu membuat perempuan di sebelahnya mencubit lengannya.
“Lo ingat kita kan? Gue Raina, dan si kutu kupret ini Jupiteng” Ujar Raina antusias.
Jupiter mendelik kesal, Raina selalu saja mengganti namanya dengan seenaknya.
“Jupiter, bego!”
“Hilih, santuy dong Mamang, meuni nge gass wae” Cibir Raina sambil berkacak pinggang.
Rembulan tersenyum tipis, sangat tipis hingga tidak ada yang menyadari kalau dia sedang tersenyum. Raina dan Jupiter, adalah sepasang sahabat yang sudah bersahabat dari masih di kandungan. Orang tua bersahabat dan rumah bertetangga membuat keduanya sangat dekat. Tiada hari tanpa adu mulut, tapi keduanya tetap saling menyayangi.
“Eh BTW Lo makin cantik saja, Lan” Puji Raina sambil menatap kagum.
“Ya iyalah, enggak kayak Lo, dari dulu sampai sekarang tetap saja burik” Ejek Jupiter membuat Raina kembali mencubit lengan lelaki itu. Raina ini hobi sekali mencubit lengan orang lain, terlebih lengan Jupiter.
“Terserah, sabodo teuing” Ujar Raina kesal.
“Eh Lan, selama ini Lo ke mana saja? Tiba-tiba hilang terus enggak bisa di hubungi” Tanya Raina penasaran.
“Iya Lan, tega banget Lo sama kita. Si Sabintang hampir gila mencari kabar tentang Lo” Ujar Jupiter santai.
Rembulan tertawa di dalam hati, Sabintang mencarinya? Bukannya merasa senang, Rembulan malah semakin muak. Setelah menyakitinya, lelaki itu mencarinya? Untuk apa? Apa lelaki itu tidak puas menyakitinya?
“Gue kuliah di Prancis” Ujar Rembulan datar.
“Widih, keren banget!” Ujar Raina antusias.
Rembulan hanya berdehem menanggapi ucapan Raina.
Tahu kalau ada yang tidak beres dengan sikap Rembulan, Raina memilih bungkam dan akan membicarakannya kepada Jupiter nanti.
“Eh sampai lupa, Gue kesini mau beli baju” Ujar Raina setelah mengingat tujuan awalnya.
“Eh minta nomor Lo yang baru dong” Pinta Raina.
Rembulan mengangguk kemudian menyerahkan nomor ponselnya.
“Jangan dikasih ke siapa pun” Ujar Rembulan datar.
Raina merasa semakin ada yang tidak beres, apa ini ada hubungannya dengan Sabintang? Apa menghilangnya Rembulan dulu karena Sabintang? Tapi kalau begitu, kenapa Sabintang uring-uringan mencari keberadaan Rembulan? Ah memikirkan hubungan orang lain memang bikin pusing.
“Thanks ya Lan. Gue pergi dulu ya, lain kali kita ketemu, gua punya banyak cerita”
Setelah Raina dan Jupiter sedang memilih baju, Rembulan masuk ke dalam ruangan yang berada di lantai atas.
...****************...
*Flash Back On*
“Bintang, Bulan sudah bisa masak loh, Bulan belajar sendiri. Hari ini Bulan masak nasi goreng, kita makan bareng ya”
“Ciee Pagi-pagi sudah di kasih makanan saja, kayak suami Istri” Ejek Wildan membuat wajah Sabintang masam.
“Lo pergi deh Lan, jangan ganggu Gue” Usir Sabintang sambil mengibaskan tangannya.
Senyum Rembulan sirna mendengar ucapan Sabintang, namun 5 detik kemudian Rembulan kembali menerbitkan senyum.
“Bulan bangun pagi-pagi masak buat Bintang”
“Gue enggak peduli, Gue juga enggak minta Lo masak” Ujar Sabintang pedas.
“Hahaha enggak dengar Lo Sabintang ngomong apa? Pergi sana, dasar cewek jelek enggak tahu diri!” Ujar Wildan menghina.
“Tapi Bin-“
Brak!
Kotak nasi yang berada di genggaman Rembulan jatuh saat dengan sengaja Sabintang menyenggolnya, nasi goreng yang susah payah Rembulan buat berserakan di lantai.
“Lo mengerti bahasa manusia enggak sih!” Bentak Sabintang kesal.
Rembulan menatap nanar nasi goreng yang berserakan, tidak terasa air mata mengalir di pipinya. Rembulan jongkok untuk memungut kotak nasinya.
“Kalau Bintang enggak suka, enggak papa, tapi tolong hargai perjuangan Bulan masak buat Bintang” Ujar Rembulan lirih.
Sabintang memandang ke arah lapangan, tidak ingin melihat wajah Rembulan yang penuh air mata.
“Pergi” Ujar Sabintang pelan.
Rembulan meremas kuat kotak bekalnya, “Siang nanti jangan lupa makan ya, Bintang”
Tanpa menunggu jawaban Sabintang, Rembulan berlari kencang menuju toilet.
Wildan menepuk bahu Sabintang, “Yuk cabut, Gue jijik injak lantai bekas cewek jelek itu”
Sabintang menepis tangan Wildan yang masih berada di bahunya, lelaki itu pergi dengan tergesa.
“WOY! SUKA LO SAMA CEWEK JELEK ITU?” teriak Wildan sambil tertawa mengejek.
Tanpa menoleh, Sabintang mengacungkan jari tengahnya, “BACOT”
*flash back off*
“Saat Bulan tiba-tiba menghilang, Lo ada bikin salah sama dia?”
Sabintang menghela nafas, “Hmm. Memangnya kenapa Lo tiba-tiba bertanya soal Bulan, Jup?”
Jupiter memakan baksonya sebelum menjawab pertanyaan Sabintang.
“Kemarin Gue sama Raina ketemu Bulan” Ujar Jupiter santai.
Mata Sabintang membulat sempurna, “Serius Lo? Lo ketemu dia di mana?”
Jupiter mengangguk, “Di Butik yang baru itu loh, yang dekat RS”
“Lo ada nomornya enggak?” Tanya Sabintang antusias.
“Gue sih enggak punya, tapi si Raina kemarin minta” Senyum Sabintang semakin lebar, “Minta dong ke Raina”
“Malas ah, dia lagi marah sama Gue. Lo kan tahu dia kalau marah kayak apa”
Melihat wajah Sabintang kembali lesu, Jupiter menepuk pundak sahabatnya.
“Coba Lo pergi saja ke Butik itu, siapa tahu Bulan ada di sana” Ujar Jupiter memberi saran.
“Bener. Kalau begitu thanks infonya Jup, Gue pergi” Sabintang langsung pergi meninggalkan Jupiter yang melongo heran.
Setelah sampai di Butik yang di maksud Jupiter, Sabintang bergegas masuk.
“Mba, saya mau tanya, Mba kenal dengan Rembulan?”
Si Mba Kasir melongo heran, Rembulan? Siapa itu, dia tidak tahu.
“Maaf Mas, saya tidak kenal dengan orang bernama Rembulan” Si Mba kasir masih menjawab dengan sopan.
“Aduh Mba, kata teman saya dia kemarin ada di sini, Rambutnya warna coklat, wajahnya putih, tinggi, punya lesung pipi di pipi kiri”
“Maaf Mas, Mas bisa mencari ke kantor Polisi dan tolong jika sudah tidak ada urusan Mas bisa pergi”
Sabintang mengacak rambutnya frustrasi, “Masa Mba enggak tahu sih!” Gerutunya kesal.
Si Mba kasir semakin dongkol saja, meskipun lelaki di depannya ganteng, percuma kalau otaknya di taruh di dengkul. Begitu pikirnya.
“Mas mau pergi sendiri apa di temani satpam?”
Akhirnya Sabintang pergi dengan kesal, lihat saja besok dia akan datang lagi.
Rembulan sudah banyak mengalami kehilangan, dari kehilangan itu Rembulan belajar arti keikhlasan dan kesabaran. Tidak mudah saat melewatinya, namun karena keinginannya untuk bangkit, Rembulan bisa menopang tubuhnya sendiri. Babak belur di usia yang belia membuat Rembulan menjadi terbiasa.
Bertemu kembali dengan orang-orang di masa lalunya, sebenarnya Rembulan belum siap. Tapi Rembulan harus kembali, ada sesuatu yang harus ia lakukan. Ya, Rembulan kembali bukan tanpa alasan. Jika bisa memilih, Rembulan memilih tinggal di negeri orang, biarkan sendirian, daripada bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah menyakitinya.
“Agnes, lusa nanti aku akan kembali ke Prancis, ada pekerjaan yang tidak bisa di wakilkan. Maaf harus meninggalkanmu di sini sendiri” Ujar Zico menyesal.
Ya, Zico sudah berjanji akan selalu mengikuti ke mana pun Rembulan pergi. Tapi kini, dengan terpaksa Zico harus melanggar janjinya. Rembulan tidak keberatan kalau Zico kembali ke Prancis, toh dia sudah terbiasa melakukan apa pun sendiri. Namun tetap saja Rembulan akan merasa kehilangan.
“Selesaikan pekerjaanmu, aku bisa sendiri di sini” Ujar Rembulan dengan yakin.
“Kamu tak apa?” Tanya Zico khawatir.
“Tentu, aku bisa menyelesaikannya sendiri. Setelah semuanya selesai, aku akan kembali ke Prancis” Ujar Rembulan, meskipun dia sendiri tidak yakin apakah dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
“Hmm. Aku tunggu di Prancis. Oh ya, Mom kemarin menelepon, katanya dia sangat rindu” Ujar Zico.
Rembulan tersenyum tipis, “Sampaikan salamku pada Mom, aku juga sangat merindukannya”
“Umm baiklah. Hari ini aku akan berkemas”
“Mau aku bantu?” Tawar Rembulan.
Zico menggeleng, “Tidak, lebih baik kamu istirahat. Aku bisa berkemas sendiri. Sampai jumpa besok”
Setelah kepergian Zico, Rembulan duduk di depan balkon apartemennya. Sudah menjadi kebiasaan kalau Rembulan akan duduk merenung di balkon seraya menatap langit malam.
*Flash Back On*
“Dasar anak enggak tahu diri! Cuma dapat rangking 2, kamu enggak belajar lagi? Ayah bayar mahal-mahal sekolah kamu, kamu malah enggak niat belajar!”
“Mau jadi apa kamu ha? Mau kayak Ibumu yang pel*cur itu?”
“Maaf Ayah, Bulan sudah berusaha” Cicitnya pelan.
Bukannya luluh, sang Ayah malah semakin murka.
Prankk!
Gelas yang berada di dekatnya di lempar begitu saja, hampir mengenai Rembulan yang memegang dada karena kaget. Wajahnya sudah pucat pasi dan badannya bergetar karena takut.
“Berusaha apanya! Dasar pemalas! Ayah enggak mau tahu, tahun depan kamu harus rangking 1 dan ikut olimpiade”
Rembulan menunduk takut, tangannya meremas roknya hingga kusut. Nilai adalah hal yang sangat penting di mata Ayahnya, tidak peduli meskipun anaknya sendiri yang menjadi korban. Menjadi yang pertama adalah segalanya.
*Flash Back Off”
“Sial” Maki Rembulan kesal.
Rembulan membuka laci meja rias, meraih botol berisi obat kemudian menelan 2 obat sekaligus tanpa air putih. Setelahnya Rembulan kembali memejamkan mata, berharap tidak ada lagi mimpi yang datang ke dalam tidurnya.
...****************...
Sabintang tidak pernah merasakan cinta sedalam itu ke perempuan lain selain Rembulan. Kehilangan Rembulan merupakan patah hati terparah yang pernah Sabintang alami. Hanya karena gengsi, Sabintang dengan tega menyakiti Rembulan, padahal gadis itu tidak salah apa-apa. Rembulan tidak layak di sakiti, gadis itu terlalu rapuh.
Jika bisa memilih, Sabintang ingin memutar waktu. Kembali ke masa lalu, memperbaiki sikapnya kepada Rembulan. Tapi sayang, Sabintang hanya bisa berandai-andai. Dan sekarang Sabintang takut kehilangan Rembulan untuk yang kedua kalinya.
“Bintang punya banyak salah sama Bulan, Ma” Ujar Sabintang pelan. Lia mengusap rambut putranya dengan lembut. Dari dulu, Sabintang selalu menceritakan apa pun kepada Ibunya, termasuk soal mencintai Rembulan.
“Bintang menyesal sudah menyakiti Bulan?” Tanya Lia lembut.
Sabintang mengangguk, “Bukan Cuma menyesal Ma, rasanya Bintang ingin merasakan babak belur, Bintang ingin merasakan bagaimana sakitnya jadi Rembulan”
Lia tersenyum sendu. Memang, sejak kepergian Rembulan, Sabintang adalah orang yang paling merasa kehilangan, padahal kepergian Rembulan di sebabkan oleh lelaki itu sendiri. Lia yang awalnya sibuk bekerja sebagai Dokter di Rumah Sakit memilih berhenti dan fokus melihat perkembangan anak-anaknya yang beranjak dewasa.
Rembulan memiliki arti tersendiri untuk Lia, menurutnya Rembulan adalah pelengkap hidup anaknya, Sabintang. Meskipun hanya pernah bertemu sekali, Rembulan masih membekas di ingatan Lia. Sayang, Sabintang malah mengedepankan gengsi dan membuat gadis itu pergi.
“Dulu, Mama pikir kalian cocok, saling melengkapi. Sebagai perempuan, Mama sakit hati jika berada di posisi Rembulan” Ujar Lia membuat Sabintang menatap wajah Ibunya.
“Perbuatan kamu, sulit untuk di maafkan. Meskipun begitu, kamu wajib meminta maaf”
“Mama boleh minta 1 permintaan sama kamu?” Tanya Lia membuat Sabintang bingung.
“Mama mau minta apa?” Tanya Sabintang.
“Bintang harus janji sama Mama buat menjauh dari Bulan”
Deg!
Jantung Sabintang berdegup kencang, perasaan sesak menjalar hingga membuat Sabintang rasanya kesulitan bernafas. Lia adalah orang yang sangat tahu bagaimana Sabintang mencintai Rembulan, lantas kenapa sekarang malah menyuruh Sabintang menjauh, padahal sekarang Rembulan sudah ada di depan matanya.
“Maksud Mama apa?” Tanya Sabintang tidak percaya. Karena Lia adalah orang yang paling tahu bagaimana Sabintang sangat mencintai Rembulan.
“Jangan menambah luka baru untuk Rembulan, Sabintang” Ujar Lia untuk terakhir kalinya sebelum pergi dari hadapan Sabintang. Biarkan meninggalkan Sabintang sendiri agar anaknya itu bisa berpikir dua kali untuk mendekati Rembulan.
Sabintang mengacak rambutnya frustrasi, Lia yang Sabintang pikir akan mendukungnya malah berbalik menyerangnya. Sabintang tidak bisa menjauhi Rembulan, tidak akan pernah bisa. Cukup dulu dia melakukan hal bodoh dengan menyakiti Rembulan, kini dia ingin melindungi gadis itu. Sabintang ingin menjadikan Rembulan tempatnya pulang, begitu pun sebaliknya. Sabintang ingin memeluk Rembulan kala gadis itu rapuh, menenangkan Rembulan setiap kali dalam masalah.
Lia menatap sendu ke arah kamar putranya, dia memang harus melakukan ini supaya Sabintang berhenti.
“Bagaimana Ma? Mama sudah bicarakan hal itu sama Sabintang?” Tanya Arga ayah si kembar.
“Sudah Pa, tapi Mama enggak tega lihat Bintang seperti itu. Dia sudah menunggu kedatangan Rembulan sejak lama” Ujar Lia sendu.
“Rembulan berada di titik hitam yang tidak seorang pun boleh melampauinya. Papa enggak mau Sabintang kenapa-kenapa jika terus memaksa mendekati gadis itu”
Lia menghela nafas berat, “Tapi Rembulan tidak salah Pa, kasihan dia”
“Kita enggak bisa membantunya Ma, enggak akan pernah bisa. Tugas kita hanya menjauhkan Sabintang untuk tetap diposisinya, dan kita harus tetap mengawasi Sabintang”
Lia mengangguk pasrah, dia tidak bisa melawan perkataan suaminya. Lia tidak berada di posisi berhak memilih, karena apa pun pilihannya, Sabintang dan Rembulan akan sama-sama menyakiti. Keduanya tidak akan pernah bisa bersama, karena keduanya seperti di takdirkan untuk saling menyakiti satu sama lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!