NovelToon NovelToon

Anak Kos Di Rumah Sebelah, Selingkuhan Suamiku

Tanda Merah Dila

Hari senin seperti biasa, rumahku yang bertetanggaan dengan kos-kosan milik mbak Tami tetangga ku, ikutan ramai ketika beberapa orang anak kost putri bersiap pergi ke sekolah, mereka berdiri di depan rumah Mbak Tami menunggu ojek langganan, atau juga teman mereka yang membawa kendaraan.

Begitu pun aku, setelah menemani Mas Ricko sarapan aku membawa tas Mas Ricko dan mengantarnya ke depan. Suamiku bekerja sebagai pengajar di sebuah SMA Negeri.

"Hati-hati ya Mas." ucapku menyodorkan pipiku kepadanya.

Cup...cup.

Aku mendapat dua ciuman di pipi kiri dan keningku. Hari ini dia akan berangkat ke kabupaten. Statusnya yang baru saja diangkat menjadi PNS membuat suamiku sering kali pergi beberapa hari untuk melengkapi berkas pengangkatannya.

Tak segera masuk, aku menatap punggung suamiku yang pelan akhirnya hilang di tikungan depan. Aku bahagia juga sedih, tentu aku akan sangat merindukannya karena kali ini dia akan pergi selama satu Minggu.

"Lama perginya San?" tanya ibu kos tetanggaku.

"Iya Mbak, satu Minggu." jawabku tersenyum, meski jarang mengobrol, tapi sering bertegur sapa.

Ku lirik seorang siswi yang bersekolah di SMA yang sama dengan suamiku, duduk sambil memainkan ponsel berseragam abu-abu ketat, hingga satu kancing di dadanya seolah ingin melompat. Sepertinya hanya dia yang belum mendapatkan ojek, sedangkan yang lain sudah naik ke ojek langganan mereka. Atau sedang menunggu seseorang, aku tidak tahu tentunya.

Jujur, aku kurang suka dengan anak kos yang satu ini, selain cara berpakaian yang memancing syahwat, matanya juga terlalu pintar pencuri pandang kepada siapa saja yang berjenis kelamin laki-laki. Aku khawatir, toh Mas Ricko juga laki-laki normal, terlebih lagi masih muda.

Bergegas aku masuk ke dalam, menutup pintu dan akan lebih baik aku melanjutkan aktivitas bersih-bersihku.

Ku pikir lagi, di rumah sendirian tak perlu aku terburu-buru mengemas rumah, lagipula Mas Ricko akan pergi selama satu Minggu.

Ku raih ponsel di atas nakas, seraya duduk menyandar di ranjang, berselancar di dunia maya sejenak.

"Ga semangat, ditinggal lama." begitu status singkat Dila, anak kos yang suka berpakaian super ketat dengan dada membusung besar, mungkin dia masih di depan.

"Eh, harusnya aku yang buat status begitu." pikirku.

Aku suka iseng melihat status Facebooknya. Dia salah satu anak kos yang menyita perhatian orang-orang, selain cantik dan seksi gaya hidupnya juga lumayan dibandingkan anak-anak lainnya, padahal orangtuanya hanya petani biasa.

Tidak berkomentar, lantaran mereka adalah anak-anak SMA yang labil, apa-apa harus di posting, termasuk perasaan galau sering melanda tanpa alasan.

Malamnya, aku mencoba menelpon Mas Ricko, sibuk? Susah sekali menghubungi Mas Ricko. Hingga setelah lebih satu jam kemudian, Mas Ricko menelpon balik.

"Lagi apa Mas? Kok aku telepon beberapa kali ga bisa?" kesal ku karena ini sudah menunjukkan pukul 23:00.

"Oh, tadi menghubungi kepala sekolah." jawabnya.

"Malam-malam begini?" tanya ku melanjutkan kekesalanku.

"Ya, karena penting Sayang." jawabnya meyakinkan. "Oh iya, besok tolong titip sama si Dila Absensi anak-anak kemarin ku bawa untuk mengisi tabel ulangan harian."

"Kamu wali kelasnya Dila Mas?" tanyaku, karena aku baru mendengarnya.

"Bukan, tapi mengajar juga di kelasnya Dila."

"Oh, ya sudah." akhirnya aku mengakhiri pembicaraan lewat telepon tersebut, lagipula besok Mas Ricko harus bangun pagi.

Aku menarik selimut, tapi malah sulit memejamkan mata. Satu-satunya yang mudah ku lakukan adalah kembali meraih ponsel dan melihat sosial media.

"Habis telponan sama Ayang. Senengnya." emoj cium dua kali.

Ku lihat waktu yang tertera di bawahnya, sembilan belas menit yang lalu.

Aku melihat jam dinding di kamarku. 23:20.

"Kok waktunya sama?"

***

Satu Minggu sudah, hari ini Mas Ricko pulang dari kabupaten. Sore pukul empat aku sudah bersiap, mandi dan berdandan dengan pakaian yang baik dan wangi.

Itu menjadi kebiasaan ku untuk menyambut Mas Ricko pulang.

Ku buka pintu keluar, aku ingin ketika Mas Ricko pulang aku langsung menyambutnya.

Aku memperhatikan teras yang seharian ini tidak ku sapu juga tidak kotor karena memang tidak ada yang datang.

Eh, si Dila udah cantik aja, bahkan memakai lipstik pink dengan pakaian tanpa lengan, kancing membelah di sepanjang gaun selututnya. "Mengapa aku merasa saingan sama dia ya?"

Tak berapa lama, suara motor Mas Ricko terdengar memasuki teras ketika aku malah ikut ganti baju, merasa pakaian ku kurang bagus untuk menyambut Mas Ricko. Aku segera keluar dengan gaun selutut.

"Mas!" panggilku, kulihat Dila dan Mas Ricko sedang saling menatap penuh isyarat, aku curiga.

"Sayang." Mas Ricko tersenyum lebar, melepas helm dan segera memelukku. Sedikit ku lirik Dila membuang muka. Heran!

Lepas makan malam, aku melihat Mas Ricko meraih jaket di balik pintu kamar.

"Mau kemana Mas?" tanya ku heran, bukankah capek baru saja pulang menempuh perjalan dua jam pakai sepeda motor.

"Aku harus ke rumah kepala sekolah. Ada yang harus di tanda tangani sama dia." jawab mas Ricko.

"Pulang jam berapa?" tanya ku tak ikhlas.

"Belum tahu Sayang, kalau enggak rame aku segera pulang, kalau rame ya ga enak juga, mungkin ngobrol sebentar." ucapnya.

Aku mengikuti Mas Ricko berjalan ke pintu depan.

"Ga bawa motor?" tanya ku heran.

"Biar nanti di depan aku nebeng Andi. Ribet di rumah kepala sekolah parkirnya sempit." jawabnya memang benar begitu.

"Kalau kamu ngantuk tidur duluan saja, Mas bawa kunci rumah kok." jawabnya merogoh kantong jaketnya.

Tak ku jawab, kemudian segera menutup pintu dengan kesal. Entah kenapa semenjak beberapa bulan ini sikap Mas Ricko sedikit berubah.

Yah, tidak mau berprasangka, lagipula dia sibuk mengurus berkas pengangkatan PNS. Mungkin hanya aku yang merasa kurang diperhatikan. Empat bulan yang lalu aku keguguran, itu bukan yang pertama, tapi yang ketiga kalinya setelah hampir dua tahun menikah.

Malam kian larut, selain karena Mas Ricko masih diluar, tentu rasa rinduku ini tak tertahankan ingin menghabiskan malam bersama Mas Ricko. Aku berpikir untuk mengirim pesan.

"Mas, masih lama?" pesan terkirim, centang dua abu-abu.

Lama, hingga hampir lima belas menit kemudian baru ada balasan.

"Sebentar lagi, masih enak ngobrolnya."

Arghh..

Enak ngobrol, bukannya lebih enak di kelonin istri? Aku mendengus kesal, membanting ponsel ku di kasur.

Hingga pukul 23:25. Pintu kamar ku terdengar di buka.

Aku membuka mataku tanpa membalikkan badan. Dari meja rias di depanku aku dapat melihat Mas Ricko masuk melepaskan jaketnya.

Ku pikir dia akan membangunkan aku, meminta jatahnya. Mas Ricko bukan tipe laki-laki yang bisa menahan nafsu hingga berhari-hari. Bisa di bilang dia termasuk hiper ***. Tapi dugaan ku salah, dia malah langsung tidur di sebelahku, tak butuh waktu lama, dengkuran halus terdengar di belakang telingaku.

Aku membuka mata, berbalik pelan dan melihat wajah suamiku.

Dia pulang seperti habis beraktifitas berat, tidurnya sampai ngangap, tubuhnya tak bergerak sama sekali.

***

Pagi-pagi sekali aku segera bangun, meskipun hari minggu ya tetap saja aku harus menyiapkan sarapan.

"Bangun Mas." ucapku seraya menyibak gorden jendela.

Ku lirik Mas Ricko hanya bergerak lalu tidur lagi. Ku lanjutkan membuka gorden jendela samping yang berhadapan dengan rumah Mbak Tami.

Kalau hari kerja, pasti ramai anak-anak kost yang berdiri di samping, bersiap pergi ke sekolah ataupun bekerja. Tapi hari libur biasanya anak-anak pulang ke rumah orang tuanya yang berada di kecamatan sebelah, jarak lumayan jauh membuat mereka harus kos untuk melanjutkan pendidikan di pusat kecamatan. Maklum saja, jalan yang kurang memadai membuat mereka kesulitan mengendarai sepeda motor ketika hujan.

Tapi, ada yang menyita perhatianku.

Dila baru saja selesai mandi dengan handuk melilit di dadanya, dia sengaja keluar untuk menjemur pakaian di halaman belakang, sehingga aku dapat melihat dengan jelas, tanda merah sisa bercinta di leher Dila.

Astaghfirullah, apakah semalam dia menghabiskan malam dengan pacarnya?

Hatiku nyeri sekaligus iri, biasanya Mas Ricko membuat tanda itu pada ku, persis begitu.

Jangan-jangan selingkuh?

Entah mengapa hariku menjadi Kacau, terus mengingat tanda merah di tubuh bagian depan Dila.

Dosa jika aku iri karena Mas Ricko terkesan cuek dan semakin sibuk. Tapi sebagai wanita dewasa yang sudah menikah, tentu hal itu adalah kebutuhan pokok selain makan dan minum.

"Mas."

Malam itu aku memulai pembicaraan setelah makan malam.

"Ada apa?" tanya Mas Ricko.

"Hemm, sejak pulang kamu selalu sibuk. Apa aku sudah tidak cantik lagi sehingga di biarkan saja?" aku memasang wajah merajuk manja, duduk di sampingnya.

"Kamu ngomong apa? Kan Mas lagi sibuk." jawabnya membuatku mendengus kesal.

"Tapi aku kangen Mas." ucapku tak putus asa, karena malam sebelumnya aku mencoba merayu hanya dengan sikap dan pakaian seksi saja dia tak mempan. Aneh!

"Masih ada hari besok." ucapnya, dia beranjak ke dapur membuatkan aku teh hangat.

Sejak beberapa hari ini pula dia rajin bikin minuman untuk ku. Begitulah akhirnya aku melupakan keinginanku hingga lelap sampai pagi menjelang.

Aku bangun untuk menyiapkan sarapan, hanya nasi goreng di pagi ini tentu aku tak butuh waktu lama untuk menyiapkannya.

Aku kembali naik ke lantai dua, membangunkan Mas Ricko, seperti biasa pula aku menyibak gorden agar pencahayaan alami masuk.

Dan untuk ke sekian kali aku kembali melihat gadis dengan dada montok itu menjemur baju di halaman, namun kali ini handuk dan kain berpadu menutupi bagian depannya.

Dan terlihat kesal wajah Dila ketika salah satu baju yang di jemur malah jatuh.

Ia berjongkok mengambilnya, kain yang menutup dada bagian atasnya ikut melorot dan memperlihatkan bagian yang cukup membuatku tercengang.

Lagi-lagi, dada bagian depannya di penuhi tanda merah, pasti laki-laki yang bercinta dengan Dila sangat buas, itu yang aku tahu karena Mas Ricko seperti itu.

Aku memperhatikan hingga gadis itu kembali masuk ke kamarnya. Sungguh, aku penasaran dengan siapa dia pacaran. Kalau anak SMA seusianya? Ku rasa tidak akan sampai begitu mereka bercinta. Kalau bukan anak SMA lalu siapa? Tak pernah aku melihat laki-laki datang ke rumah sebelah, atau sekedar menjemput Dila pergi ke sekolah, dia selalu naik ojek atau terkadang berjalan kaki.

Jiwa kepo ku meronta-ronta karena sering melihat bekas gigitan laki-laki di dada seorang gadis yang masih SMA, apalagi dia anak kos di rumah tetangga.

Jujur saja, khawatir dan curiga mulai mengisi otak kepala. Jangan-jangan?

***

Pukul sembilan pagi, sengaja aku menjemur karpet dan mengibas debu dengan sapu. Selain agar kuman tak bersarang di karpet beludru tersebut, rasa penasaranku juga harus segera di atasi.

"San!" suara Mbak Tami menyapaku, rupanya ibu dua anak itu baru saja selesai nyapu. Mungkin pembantu rumah tangganya belum datang.

"Iya Mbak." aku tersenyum lebar, melepaskan sapu lidi dan berjalan menuju rumah Mbak Tami. Kesempatan untuk mencari tahu!

"Rajin amat?" tanya Mbak Tami seraya mengajak duduk di bangku bawah pohon jambu rumahnya.

"Iseng aja tadi, lihat karpet berdebu." jawab ku asal.

"Sejenak berbasa-basi, aku sudah tidak tahan ingin menanyakan tentang Dila. Dan mendadak aku ingat saat Minggu lalu Mas Ricko baru pulang dari kabupaten, aku memergoki mereka sempat saling menatap.

"Mbak." panggilku ragu-ragu.

"Ya?" Mbak Tami menoleh padaku.

"Saya mau tanya, tentang si Dila." ucapku jelas, sejenak mulut Mbak Tami tak tertutup rapat, entah mungkin heran dengan mendadak aku bertanya tentang Dila.

"Ada apa Dengan Dila?" tanya Mbak Tami membenarkan posisi duduknya.

"Anu Mbak, itu... hampir setiap pagi aku melihat dia habis mandi jemur pakaian di halaman belakang." ucapku menggantung.

"Ya." Mbak Tami mendengarkan serius.

"Itu di dadanya banyak sekali bekas merah-merah, kaya gigitan laki-laki." ucapku meringis, takut salah bicara walaupun benar kenyataannya.

"Hah! Yang bener kamu San?" tanya Mbak Tami terkejut.

"Benar Mbak, aku sudah beberapa kali melihatnya, bahkan pertama kali melihatnya sangat parah, dari leher sampai ke area dadanya. Banyak!"

Mbak Tami tampak berpikir.

"Dia punya pacar Mbak? Siapa?" tanyaku tak sabaran.

"Enggak tahu, tapi perasaan tidak ada San. Anak kost di rumah ini di larang pacaran." jawab Mbak Tami.

"Tapi itu Mbak?" tentu aku ingin Mbak Tami tahu, dan aku sangat ingin tahu.

"Gini, kita lihat CCTV." ucapnya mengajakku masuk, dia meraih ponselnya dan segera membuka rekaman CCTV.

Sayangnya, CCTV rumah Mbak Tami hanya tampak bagian depannya saja. Tentu karena bagian belakang di kelilingi tembok pagar yang tinggi, tak ada tempat masuk ataupun keluar selain lewat depan saja.

"Tidak ada kan?" Tami tersenyum ke padaku.

"Tapi aku benar-benar melihatnya Mbak." aku meyakinkan Mbak Tami.

"Ya, mungkin dia ketemuan di luar. Kita enggak bisa menjaga anak-anak kost kalau di luaran." sahutnya tenang.

Sia-sia, akhirnya aku pulang dengan rasa kesal, malu dan sebagainya. Bisa jadi sekarang Mbak Tami sedang menertawai sikap Kepo ku yang jarang terlihat.

Sudahlah, lagi pula hanya perasaan saja. Tapi tak bisa ku hilangkan juga curiga dan cemburu ini menjadi satu. Bukan tidak mungkin kalau si Dila menyukai Mas Ricko. Dia termasuk guru muda yang tampan di sekolahnya.

Apalagi sikap Dila seperti selalu memancing nafsu ketika duduk di depan rumah Mbak Tami. Tentu laki-laki bisa khilaf jika terus seperti itu.

***

Akhir pekan, ku lihat Dila keluarga pagi-pagi dengan jeans dan kaos ketat. Sepertinya dia akan pergi belanja. Tapi tidak sendiri seperti sebelumnya, dia mengajak teman kostnya yang masih polos, bisa dikatakan anak orang kurang mampu.

Dan entah kenapa pula aku jadi selalu ingin tahu apa saja yang dilakukan Dila, padahal kalau dipikir, terserah dia mau melakukan apa saja. Entahlah.. haruskah aku berhenti memperhatikan anak orang tersebut, kalau curiga sepertinya tak cukup alasan. CCTV itu menunjukkan rekaman dari beberapa hari lalu. Curiga Mas Ricko selingkuh dengan Dila pun tak beralasan. Tentu kedatangan Mas Ricko ke sana akan terekam kamera bukan?

Tak berapa lama kemudian Dila pulang naik ojek, diikuti temannya Cindy.

"Dari mana Cindy?" sapa ku yang sejak tadi sengaja duduk di teras.

"Nemenin Dila belanja Tante." jawabnya halus, dia memang sopan sejak dua tahun lalu ia ngekos di rumah sebelah. Berbeda dengan Dila yang baru kos beberapa bulan yang lalu. Sombong lagi.

"Banyak sekali belanjanya." aku melanjutkan basa-basi sekaligus Kepo.

"Iya Tan, Dila banyak duitnya. Cindy juga di beliin baju tadi." dia mengangkat kantong berisi pakaian.

"Alhamdulillah, rezeki." ucapku kepada Cindy, melirik Dila. Darimana dia dapat duit segitu banyak? Ukuran anak kos itu udah berlebihan mengingat keluarganya terlihat kesusahan mengatur belanja saat datang menginap beberapa waktu lalu. Uang kost pun belum lunas, kata Mbak Tami.

"Mari Tante." ucap Cindy juga Dila tersenyum sedikit padaku.

Baiknya ku akhiri saja curiga ku ini, lagi pula Mas Ricko adalah seorang guru, tentu dia akan menjaga wibawanya. Belum lagi gelar PNS yang baru saja di dapatkan, masak iya Mas Ricko bersedia tersandung kasus perselingkuhan?

Aku menuruni anak tangga di samping rumah yang berbatas pagar sekitar 2 meter. Niat hati ingin meletakkan pot bekas yang sudah rusak, namun sayup ku dengar suara Dila berbicara.

"Dila udah beli baju yang Bapak mau. Asal enggak lupa ganti uang Dila ya!"

"Bapak?" gumamku tak yakin.

Aku merapatkan diri ke tembok pembatas itu memasang telinga lebih tajam. Samar terdengar suara laki-laki dari suara ponselnya. Terakhir malah terdengar kata-kata yang membuat kepo ku bangkit semakin tinggi.

"Nanti malam Dila tunggu!"

Lalu Kemana Uang itu?

Rutinitas Mas Ricko jika hari libur dia akan pergi ke bengkel yang sejak awal Menikah adalah pohon beras untuk kami berdua.

Aku tidak pernah meminta uang dengan Mas Ricko, dia tergolong suami pengertian dalam masalah uang. Setiap bulan dia memberiku uang dua setengah juta untuk belanja. Sedangkan orang tuaku juga terkadang mengirimkan uang ke rekeningku untuk sekedar belanja atau apa saja yang aku mau.

"Ga usah di kasih tahu suamimu." ucap Mama, itu bukan tanpa alasan.

Orang tuaku tidak pernah menyetujui pernikahanku dengan Mas Ricko, pun dengan orang tua Mas Ricko, mereka tidak pernah merestui pernikahan kami.

Sempat terpikir tentang keguguran yang tiga kali ku alami. Atau jangan-jangan karena kedua orang tua kami yang tidak pernah merestui.

Meskipun begitu, Mama tetap sering menelpon, juga ibu Mas Ricko. Beliau sering menelpon tapi tidak pernah mau berbicara dengan aku.

"Mau bicara dengan Susan Bu?" begitu Mas Ricko berusaha membujuk ibu mertuaku.

"Ga usah, yang penting kamu sehat!" ketus terdengar.

Mas Ricko juga berasal dari keluarga lumayan berada, tapi sama saja dengan ku. Mereka enggan memberikan harta mereka karena tidak menyukai diriku.

Terpaksa, Mas Ricko bekerja sebagai guru honorer di pelosok ini karena peluang agar diangkat menjadi ASN lebih besar daripada di kota.

Awal kami menikah, kami cukup kesulitan menjalani hidup berumah tangga. Selain masalah uang yang berubah drastis, kami juga harus bersusah payah memutar otak untuk membuka usaha dengan modal yang sedikit. Hingga jadilah sebuah bengkel yang akhirnya mampu menghidupi kami walaupun pas-pasan.

Mas Ricko sangat mencintaiku, hingga beberapa bulan lalu keguguran ke tiga ku membuatnya berubah. Mas Ricko bilang. "Mungkin rahimmu masih sakit, sebaiknya kita beri waktu untuk pulih baru setelah itu kita rencanakan untuk punya anak lagi."

Awalnya masuk akal, tiga kali keguguran dalam waktu dekat tentu menyakitkan bagi seorang wanita. Tak hanya fisik tapi juga hatinya.

Tapi, makin ke sini malah terkesan aneh. Ini sudah lebih dari waktu penyembuhan tapi dia malah berubah. Seolah terbiasa dengan jarak dan tidak bernafsu kepadaku.

"Apakah aku sudah tidak cantik lagi? Mungkin aku harus ke salon atau belanja, merubah penampilan dan butuh pakaian baru."

Berharap kekhawatiran dan kecurigaan ku terpatahkan jika malam nanti kami menghabiskan malam bersama.

Malamnya, aku berdandan dengan sebagian hatiku gelisah, pikiranku kemana-mana.

Jika benar Dila membeli pakaian bagus hanya untuk melayani suamiku, dari uang suamiku, aku juga bisa membeli baju bagus untuk mempertahankan suamiku. Malam ini ranjang ku harus kembali hangat. Masak kalah sama bocah SMA.

"Sayang." Mas Ricko datang membawa teh hangat untuk ku.

"Makasih Mas." aku tersenyum duduk di dekatnya. Ku lirik dia begitu santai, pakai celana kolor pendek dengan kaos putih.

"Di minum Sayang, mumpung masih hangat." ucapnya mengelus rambutku. Sungguh senang, sepertinya penampilanku berhasil membuat Mas Ricko kembali hangat, terlebih lagi dia berbisik. "Kamu cantik."

"Aku menyandar di dadanya, sambil menonton televisi dan menikmati teh hangat buatan Mas Ricko.

Di pikir-pikir, dia begitu menyayangiku. Lalu apa yang harus ku curigai?

Sungguh wajah tampannya semakin membuat dadaku berdegup, terlebih lagi sudah beberapa bulan tidak menerima sentuhan yang berakhir lelah di ranjang.

"Mas." panggilku manja.

"Ya." jawabnya terdengar begitu mesra. Dia memelukku dan mengecup kening juga pipiku.

"Hoamm..." entah mengapa akhir-akhir ini aku sering cepat mengantuk, aku bahkan tertidur seperti orang mati. Tak mendengar hujan deras di tengah malam, tau-tau teras begitu kotor dan basah esok pagi.

***

Suara ayam berkokok, terdengar di telinga membuat aku menarik nafas dan menggeliat.

Samar terdengar suara mengaji, lalu kemudian semakin jelas ketika azan berkumandang.

Aku melupakan sesuatu!

Aku segera berbalik dari posisi miringku dengan rasa bercampur aduk teringat kata-kata Dila kemarin itu.

"Mas Ricko!" gumamku. Namun akhirnya menghembus nafas lega. laki-laki yang ku curigai tidur di sampingku dengan begitu nyenyak.

***

Kebetulan, Senin ini adalah tanggal merah. Pukul tiga sore aku keluar rumah, iseng menyusul Mas Ricko pergi ke bengkel. Dia sudah lebih dulu pergi ke sana, mungkin karena kami belum juga punya anak, membuat Mas Ricko bosan, atau kesepian.

Tak sesuai dugaan, yang di ceritakan Mas Ricko bengkel sepi dan penghasilannya hanya cukup untuk menggaji dua pegawainya saja itu semua terbantahkan. Dia bilang setelah modal sisa uangnya hanya sedikit, dan seringkali di tambahkan dengan gajinya yang juga sedikit untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. Mungkin yang dimaksud adalah yang 2,5 juta itu. Juga setelah beberapa bulan ini dia sudah menerima gaji ASN, tetap saja uang yang dia berikan sejumlah itu saja, maklum proses yang harus di jalani begitu banyak dan merepotkan. Dan pastinya butuh uang.

"Mbak Susan?" Dani pegawai Mas Ricko menyapaku.

"Iya Dan, Mas Ricko ada?" tanyaku.

"Baru saja keluar, mau pesan barang. Mobilnya Pak Iqbal besok ke kabupaten, belanja sekalian bisa langsung nitip." jawab Dani.

Aku masuk dan duduk di meja kasir. Ku lihat barang di bengkel memang sudah banyak berkurang, dan di depan sana Dani bersama rekannya lanjut berkutat dengan beberapa motor yang sudah mengantri untuk di perbaiki.

Iseng aku membuka pembukuan bengkel, semua data keluar masuk barang ada di situ tentunya.

Mata ku fokus di deretan yang rapi, transaksi penjualan dan jasanya lumayan banyak, bahkan satu dua hari dalam satu Minggu jumlah pelanggan di bengkel ini mencapai ratusan.

"Mbak." Dani mendekat dengan memegang uang seratus ribu.

"Ya."

"Ini ganti oli Mbak, sekalian benerin started." ucapnya sungkan, melirik buku yang sedang ku pegang.

"Sini biar Mbak yang catet." aku menulis di lembar akhir.

"Sembilan puluh lima ribu." sebut Dani lagi. Memberikan uangnya, aku menggantinya dengan uang lima ribu.

"Dan?" panggilku sebelum dia berbalik.

"Ya Mbak?" jawabnya sopan.

"Mas Ricko kalau libur sering ke sini?" tanyaku fokus pada wajah bujangan dua puluh tahun itu.

"Iya Mbak." jawabnya.

"Terus, keuangan bengkel kamu setor semua ke Mas Ricko?" tanyaku lagi.

"Iya Mbak, mana berani aku pegang duit banyak." jawabnya lagi.

"Banyak?" ucapku berpikir semakin jauh, dengan pemandangan wajah Dani yang belepotan oli itu mengangguk.

Benar juga, kalau di hitung dari penjualan barang dan jasa, jika kecilnya saja mengambil keuntungan dua puluh ribu, kali dua puluh motor yang datang untuk diperbaiki perhari itu banyak! Belum modal pokoknya, lalu pemasukan Kecil, atau transaksi besar lainnya, itu di catat terpisah seperti tabel pengelompokan, pembukuan bengkel cukup rapi. Aku sendiri yang membuatnya awal membuka bengkel waktu dulu.

Kalau uangnya banyak, lalu kemana uang itu?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!