Matanya menerawang ke kejauhan. Langit senja mulai menampakkan sinar jingga keunguan yang begitu megah. Namun pikirannya tak terpusat pada keindahan yang
ditatapnya. Isi kepalanya berputar tak karuan seolah angin sore itu membuat kekacauan dan badai dalam kepalanya. Entah sudah berapa lama ia duduk termenung
di teras rumahnya dalam keheningan. Pikirannya mulai memutar ulang berbagai
kenangan yang terjadi dalam hidupnya beberapa tahun belakangan. Ah, dulu
hidupnya terlihat begitu sempurna seperti dalam dongeng yang sering dibacanya
sewaktu ia kecil. Dulu ia merasa hidup ini begitu indah, namun beberapa waktu
belakangan kisah hidupnya seolah diterjang badai. Tak terasa air matanya menetes. Banyak hal tak terduga yang terjadi dalam kehidupannya akhir-akhir ini. Dulu ia tak pernah membayangkan bahwa hidup akan terasa begitu kejam padanya.
Pikirannya melayang pada kenangan 10 tahun silam ketika ia menikah dengan suaminya. Waktu itu ia merasa seolah ia dan suaminya adalah tokoh utama dalam cerita romantis yang akan memiliki akhir bahagia selamnya. Waktu itu ia belum menyadari seperti apa kehidupan yang menanti di depannya. Ia merasa bahwa dirinya adalah wanita paling bahagia di dunia ini seolah mereka berdua
adalah sepasang prince dan princess dalam dongeng kerajaan, namun saat ini ia menyadari bahwa kehidupan pernikahan yang dijalaninya adalah seperti cangkang kosong yang mati. Mungkin saat ini ia merasa kehidupannya begitu hampa. Kalau bukan
karena putra semata wayangnya yang masih berusia 5 tahun, mungkin ia sudah
membulatkan tekad untuk mengakhiri pernikahannya yang sudah bertahun-tahun
dibangunnya. Ah, namun ternyata memutuskan untuk bercerai adalah perkara yang begitu rumit. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, seolah saat ini ia menggenggam mawar berduri yang menusuk daging tangannya dan membuat tangannya meneteskan darah tanpa henti. Pilihan terbaik yang dimilikinya adalah bertahan dengan rasa
sakit demi putranya. Namun di sisi lain batinnya menjerit ingin melepaskan duri yang
menyakitinya. Tapi, apakah ia rela menyembuhkan luka di tangannya sementara
akan ada luka lain yang menggores di hati anaknya tercinta? Apakah ia akan terus mempertahankan mawar dan duri yang menancap itu walau ia tahu bahwa ia akan selamanya terluka?
Suara mobil yang berhenti di depan rumahnya membuyarkan lamunannya. Suaminya sudah
datang. Ia bangkit dari duduknya seraya berjalan cepat menuju ke dapur untuk
menyiapkan kopi dan makan malam suaminya. Ia setiap hari melakukan rutinitas seperti itu dengan perasaan yang hambar. Belakangan ini ia hanya menjalankan
kewajibannya sebagai seorang istri tanpa ada perasaan cinta dalam hatinya. Secepat
itukah cinta itu memudar dalam hatinya? Mungkin ibarat tanaman, ia akan mati
ketika tidak disiram. Begitu pula dengan cinta. Ia akan memudar seiring berjalannya waktu jika tidak dirawat dengan kasih sayang. Kenapa perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan dalam sebuah rumah tangga. Seolah dunia ini tidak adil bagi wanita. Kini ia sudah merasa terjebak dalam dunia yang
baginya terasa tidak adil. Tak ada jalan Kembali. Jalan keluarnya pun juga
terasa buram. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Saat ini yang ia lakukan adalah
rutinitas sehari-hari seperti yang dilakukan ibu rumah tangga pada umumnya. Ia tak
lagi mengejar perhatian dari suaminya. Ia tak lagi mengobrol mesra serta bercanda seperti dulu lagi. Kini suaminya terlihat bagaikan orang asing baginya. Ia juga merasa dirinya seolah berubah menjadi zombie yang hanya
berjalan tanpa memiliki perasaan. Satu-satunya perasaan hangat yang bisa ia
rasakan hanyalah rasa cinta yang membuncah untuk Azriel, anak semata wayangnya.
Aku harus kuat dan bertahan demi Azriel, pikirnya. Pernah suatu ketika ia merasa
ingin mengakhiri hidupnya. Namun ia teringat wajah mungil dan senyum ceria yang
selalu menantinya. Kalau dirinya menyerah pada situasi saat ini, apa yang akan
terjadi pada putranya? Pikiran itu yang terus menghantuinya setiap hari dan memaksanya untuk kuat dan bertahan dalam ikatan pernikahannya yang menyakitkan.
“Azriel sudah tidur?” tanya Davin pada Anya.
“Ya, dia tidur awal.” Anya menjawab singkat seraya mencuci sisa piring kotor bekas makan malam. Sudah lama sekali mereka berdua tidak pernah makan bersama lagi. Biasanya Anya hanya menyiapkan malam suaminya dan membiarkan suaminya makan sendirian di ruang makan sementara Anya menyibukkan dirinya di ruangan lain untuk sekedar menghindari suaminya. Hubungan mereka berdua sudah sampai di titik benar-benar tidak sehat. Ia sudah lupa kapan terakhir kali mereka berdua berbincang hangat. Akhir-akhir ini perbincangan mereka hanya seputar tanya jawab singkat mengenai Azriel. Biasanya Anya akan makan malam
ketika dia sudah sendirian di dapur dan suaminya sudah bersantai di ruang keluarga.
Setelah semua pekerjaan rumah dirasa telah selesai, Anya masuk ke kamar anaknya. Ia mendekati ranjang dan duduk di samping tempat tidur anaknya seraya memandang wajah anaknya yang begitu polos. “Kalau bukan demi dirimu, mungkin mama sudah menyerah.” Ujarnya dalam hati. Ia mengelus rambut anaknya perlahan. Anaknya adalah hal terbaik yang ia miliki dalam hidup. Anya mengorbankan banyak hal dalam hidupnya demi memilih jalan yang kini sedang dilaluinya. Ia rela melepaskan kesempatannya untuk berkarir demi menjaga dan membesarkan anaknya. Bukannya ia tak memiliki pilihan yang lebih baik dari itu, namun ia rela melepaskan mimpinya untuk menjadi wanita karir demi membesarkan putra satu-satunya. Namun kini seolah kehidupan sedang mengujinya dari berbagai arah. Kini, kondisi ekonomi keluarganya sedang begitu terpuruk. Ditambah lagi suaminya kehilangan pekerjaan dan usahanya mengalami kebangkrutan.
Setelah beberapa saat berlalu, ia berjalan keluar dari kamar putranya dan menuju kamarnya sendiri. Di sana, suaminya sedang bermain game sambil bersantai seolah kehidupan mereka sedang baik-baik saja. Anya hanya menatap sekilas suaminya tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia segera naik ke atas tempat tidur. Tiba-tiba kamarnya menjadi gelap. Ia segera mengambil senter yang terbiasa ia letakkan di samping tempat tidurnya. “Mungkin pemadaman listrik.” Bisiknya entah kepada dirinya sendiri atau kepada suaminya. Suaminya masih saja tidak merespon dan masih melanjutkan bermain game di ponselnya. “Dia memang seperti itu, selalu tidak peduli kepada siapa pun dan apapun.” Pikirnya menahan kejengkelan. Anya segera mengintip ke luar jendela dari ruang tamu untuk memastikan apakah terjadi pemadaman atau tidak. Ternyata lampu tetangganya tetap menyala. Hanya rumahnya yang mengalami mati listrik.
“Yah, Cuma rumah kita yang listriknya padam.” Ujarnya pada suaminya.
“Oh,” jawabnya sambil melanjutkan bermain game.
Anya tak kuasa menahan jengkel dan mulai mendekati suaminya. “Coba kamu cek apa yang salah, kasihan Azriel takut gelap.”
“Ya, besok aku cek.” Ujar suaminya malas-malasan.
Anya tak kuat menahan emosi, “Kamu selalu begitu, cobalah untuk peduli!”
“Kamu pikir aku tak pernah memperdulikan dirimu?” bentak Davin dengan emosi yang membara.
“Kalaupun kamu tidak memperdulikan aku, cobalah untuk memperdulikan Azriel.” Bantahnya.
“Kamu pikir selama ini kamu dapat uang dari mana untuk makan kalau bukan aku yang bekerja?” cemooh Davin.
Anya berlalu pergi dari hadapan Davin sambil menahan emosi dan menghindari pertengkaran yang akan menguras energi serta emosinya. Ia segera berlari ke kamar Azriel untuk menyalakan lilin di sana. Ia masuk ke kamar Azriel seraya membawa lilin. Mungkin malam ini ia akan tidur di kamar itu. Lagi pula ia sudah tidak kerasan tinggal sekamar dengan suaminya. Ia termenung selama beberapa saat di dalam kamar yang hanya diterangi cahaya lilin itu. “Kenapa ia berubah begitu drastis?” Pikirnya sambil mengingat kembali kenangan bersama suaminya. Dulu Davin adalah sosok yang begitu hangat dan ceria. Namun sekarang ia berubah menjadi pribadi yang begitu dingin dan cuek dengan lingkungan sekitarnya. Mungkinkah kesulitan ekonomi yang begitu rumit ini telah merenggut sikap manisnya? Lamunannya terburai oleh suara Azriel, “Mama, kenapa gelap sekali?” rengeknya. Azril selalu membenci kegelapan. Itu sebabnya Anya merasa begitu marah ketika ia menyuruh Davin mengecek listrik namun hanya mendapat respon dingin dan sikap acuh tak acuh yang ditampakkan Davin kepadanya seolah membuatnya ingin menonjok muka suaminya yang menyebalkan itu. Ternyata cinta bisa berubah menjadi benci dalam waktu yang singkat.
“Sabar ya sayang, besok listriknya pasti normal lagi.” Ujarnya seraya memeluk Azriel. “Sekarang adek bobok lagi ya, mama jagain adek di sini.” Tambahnya.
“hu’um.” Gumam Azriel sambil bergelung di pelukan mamanya.
Beberapa saat berlalu, Anya mendengar suara dengkuran lirih dari anaknya. “Ia cepat sekali tertidur.” Pikirnya sambil tersenyum menatap wajah putranya dalam keremangan. Pikirannya kembali melayang. “Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki segalanya?” gumamnya dalam hati. Ia ingin bekerja namun tak tega untuk meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan perhatiannya. Namun jika ia tidak bekerja, apa yang akan terjadi pada kehidupannya dan kehidupan anaknya. Ia tidak rela jika harus melihat anaknya hidup dalam kemiskinan. Ia ingin berjuang keras untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya. Ia merasa bertanggungjawab untuk memberikan kebahagiaan untuk anak tercintanya. Walaupun ia adalah seorang tulang rusuk yang kini sedang terombang ambing oleh nasib yang kejam, namun ia harus dipaksa kuat oleh keadaan. Meski nanti ia harus menjadi tulang punggung untuk keluarganya, ia harus rela. Namun seolah bagian kecil dari hatinya menjerit ketika ia teringat bahwa lelaki pilihannya yang dulu ia perjuangkan kini berubah menjadi lelaki yang paling ingin ia hindari dalam hidupnya. Lamunannya terus membawanya kea lam bawah sadar hingga ia terlelap.
Suara kokok ayam yang bersahutan membangunkannya. Semalam ia terlelap di kamar Azriel. Ia menoleh ke sampingnya. Azriel belum bangun. Ia turun dari ranjang dengan sangat perlahan agar Azriel tidak terbangun. Seperti biasa, rutinitas pagi yang membosankan telah menunggunya. Ia bergegas ke kamar mandi. Kemudian ia menyeduh kopi untuk dirinya. Kopi adalah mood booster terbaik baginya. Sambil menunggu kopinya untuk manjadi hangat dan tidak terlalu panas, ia mengecek ruang tamu. Ternyata Davin tertidur di sofa dengan tangan masih menggenggam ponselnya. Ia kembali ke dapur dan melanjutkan pekerjannya. Walaupun ia tak lagi melakukan pekerjaan rumah dengan penuh cinta seperti dulu, setidaknya ia tetap melakukan tugasnya dengan baik. Tidak seperti Davin yang kini malas bekerja dan malah kecanduan game online. “Kenapa baru sekarang aku sadar bahwa aku salah memilih suami?” pikirnya. Namun ia sadar bahwa sekeras apapun ia menyalahkan kebodohannya di masa lalu, itu tidak akan merubah situasi sat ini. Yang harus ia lakukan saat ini adalah berfokus untuk mencari jalan keluar dari masalah yang menghimpitnya saat ini. Ia harus mencari jalan keluar dan harus segera memiliki penghasilan sendiri agar ia mampu menafkahi dirinya dan juga anaknya. “Terserah Davin mau bekerja atau tidak, yang penting aku harus bisa memiliki penghasilan sendiri agar aku bisa memenuhi kebutuhanku dan Azriel.” Pikirnya.
Ia mengingat seperti apa sakitnya dihina oleh mertuanya karena ia bergantung pada suaminya. Ia juga masih merasakan pedihnya dihina suaminya karena dia tidak berpenghasilan. Bukankan seharusnya dirinya memang tanggung jawab suaminya? Namun kenapa kini justru ia selalu disalahkan karena ia tak mampu membantu perekonomian keluarganya? Bukankah dulu Davin ketika menikah dengannya berjanji akan membahagiakannya? Kemanakah janji manis yang dulu terdengar indah di telinganya? Kenapa sekarang semuanya berubah menjadi hinaan dan cemoohan yang dilontarkan padanya karena ia tidak bekerja? Semua pikiran itu mengganggunya hingga ia tidak sengaja menyenggol gelas kopi yang masih belum diminumnya sampai gelas itu jatuh ke lantai dan bersuara keras. Semenit kemudian terdengar suara teriakan dari ruang tamu, “Suara apa itu berisik banget?” Rupanya Davin mendengar suara gelas pecah tadi dan mungkin ia terbangun karena kaget.
“Aku gak sengaja memecahkan gelas.” Anya balas berteriak dari dapur.
“Makanya hati-hati dong. Mengganggu orang tidur aja.” Balas suaminya.
Anya tak lagi menggubris teriakan suaminya. Ia membersihkan pecahan gelas dan melanjutkan memasak untuk sarapan. Biasanya Davin bangun ketika matahari sudah benar-benar tinggi. Dulu Anya selalu rajin membangunkan Davin setiap pagi. Namun belakangan ini ia tak lagi peduli jam berapa Davin bangun. Yang terpenting baginya hanyalah ia melakukan tugas rumah dengan baik. Selain itu ia tak peduli lagi apapun yang dilakukan Davin. Setelah semua pekerjaan dapur selesai, ia mendengar suara Azriel memanggilnya dari dalam kamar. Itu kebiasaan Azriel setiap pagi. Anaknya akan selalu memanggilnya ketika bangun tidur. Anya segera berlari ke kamar Azriel. “Selamat pagi sayang.” Ucapnya sambil tersenyum lalu mencium pipi Azriel.
“Mama…aku mau sarapan ayam.” Rengeknya “Aku kan sudah lama banget gak pernah makan ayam. Hari ini aku mau makan ayam ya ma, pleaseeee…” matanya penuh
permohonan.
“Oke sayang.” Ucap Anya. Namun dalam hatinya ia bingung bagaimana caranya ia membeli ayam sementara saat itu uang di dompetnya tinggal 20 ribu belum lagi urusan listrik ini belum selesai juga. Ia tak punya pilihan lain selain membangunkan Davin.
“Bangun, Azriel minta belikan ayam, uangku tinggal 20 ribu. Kamu ada uang?”
“Lho? Kalo gak ada uang ya udah gak usah beli ayam.” Ujarnya Davin sinis.
“Kamu ini bagaimana sih? Apa kamu rela anak kita nangis hanya karena gak bisa makan apa yang dia inginkan? Kamu seharusnya usaha dong, jangan hanya main game siang malam.” Ujar Anya penuh kejengkelan.
“Kalo kamu gak mau kita hidup miskin kayak gini, kenapa kamu gak berusaha juga buat bekerja? Kamu dari dulu selalu bergantung ke aku. Kamu ini istri yang gak tau terimakasih. Dasar perempuan gak berguna.” Ucap Davin dengan emosi.
Mendengar itu Anya berlalu dengan menahan air mata yang sepertinya tak tahan lagi untuk dibendungnya. Namun ia selalu bertekad agar dirinya tidak menangis di depan Azriel. “Bagaimana ini?” gumamnya dalam hati. Ia berjalan menuju kamar Azriel. Sesampainya di sana ia melihat Azriel sudah berganti pakaian dan tertawa riang melihat mamanya masuk ke dalam kamarnya.
“Ayo ma kita berangkat beli ayamnya yuk.” Ujarnya ceria.
Anya hanya mengangguk sambil tersenyum.
Suara- suara keramaian orang berlalu lalang di jalanan yang menuju ke pasar tak lagi menarik perhatiannya. Satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya adalah kesedihan dan luka hati yang semakin dalam sisa pertengkaran tadi pagi dengan suaminya. Tak terasa air matanya menetes. Ia sebisa mungkin menyembunyikan kesedihannya saat bersama Azriel. Namun saat itu, ia seolah tak kuasa menahan air matanya. Mungkinkah ia sudah terlalu lelah dengan hidupnya? Azriel tiba-tiba menarik tangannya, “Mama kenapa menangis?” ucapnya dengan sorot mata kesedihan. “Mama nggak menangis kok sayang, mama cuma kelilipan aja.” Jawab Anya seraya tersenyum. Mereka berdua melanjutkan perjalan ke pasar. Namun genggaman tangan Azriel yang terasa begitu hangat di tangannya justru membuat hatinya semakin terasa sakit. Kenapa Azriel harus terlahir dari orang tua yang belum bisa membahagiakannya? Anya menyalahkan dirinya sendiri atas takdir buruk yang sedang terjadi dalam hidupnya saat ini. Memiliki Azriel dalam hidupnya adalah sebuah anugrah terbesar dalam hidupnya namun ironisnya adalah ia merasa bahwa dirinya adalah seorang ibu yang tak berguna dan tidak bisa memenuhi kebutuhan anak semata wayangnya. “Mama, bukan kelilipan. Mama sedang menangis lagi.” Rengek Azriel, dan seketika itu juga Azriel menangis memeluk Anya. “Gpp kok sayang, mama gak akan nangis lagi.” Jawab Anya seraya menghapus air matanya dengan cepat.
“Aku nggak jadi beli ayam, pasti mama menangis karena uang mama habis untuk beli ayamku. Aku gak mau beli ayam goreng lagi. Aku nggak mau. Ayo kita pulang ma.” Tangis AZriel sambil menarik Anya dan mengajaknya berbalik arah untuk pulang. “Nggak kok sayang, uang mama masih cukup untuk beli ayam goreng Azriel.” Anya menggendong Azriel dan membujuknya untuk terus melanjutkan perjalanan menuju pasar. Namun Azriel menangis semakin kencang dan mengajaknya pulang. Kenapa Azriel begitu peka dengan perasaanku? Pikir Anya dalam hati.
Azriel terus menangis mengajak pulang. Akhirnya Anya memutuskan untuk membawanya pulang dan tidak jadi melanjutkan perjalanan ke pasar untuk membeli ayam goreng. Dalam perjalanan pulang,ia terus menggendong
Azriel. Sesampainya di rumah, ia masih tetap menemukan pemandangan yang taka sing lagi baginya, suaminya masih rebahan di sofa dengan ponsel di tangannya. Tak salah lagi, suaminya pasti masih belum melakukan apa-apa pagi itu selain bermain game online.
“Mana ayam gorengnya? Ayah boleh minta ayam gorengnya kan?” tanya Davin seraya tersenyum pada Azriel.
“Aku nggak jadi beli ayam goreng.” Anya membalas dengan dingin.
“Lho? Kenapa nggak jadi? Bukannya kalian tadi ke pasar untuk membeli ayam goreng? Uang belanja yang uda aku kasi ke kamu uda kamu habiskan buat apa aja? Kamu itu jadi istri kok boros sekali sih? Kamu gak mikir apa aku susah bekerja buat kalian, kamu malah boros uang belanja.” Omel Davin pada Anya.
“Lho, uang belanja 50 ribu yang kamu kasi kemaren lusa itu kamu pikir cukup untuk kita bertiga selama beberapa hari?” balas Anya sambil mendengus. “Uang belanja dari kau itu nggak cukup bahkan jauh dari kata tidak cukup. Kalo aku terus terusan hidup sama kamu, aku bisa mati kelaparan.” Tambah Anya sama ketusnya.
Plaaaaaakkk … !!!!!!!
Suara hp dibanting terdengar begitu keras di antara mereka bertiga. Azriel seketika menjerit menangis sambil memeluk erat mamanya. Anya mendekap Azriel lebih erat dan menyandarkan kepala anaknya di pundaknya. “Kamu keterlaluan.” Ucap Anya sambil menatap tajam Davin. “Kamu keterlaluan.” Ulangnya. Anya segera membawa Azriel pergi dari ruangan itu dan menuju kamar Azriel. Sesampainya di kamar Azriel, Anya tak tahan lagi untuk membendung tangisnya. Akhirnya ia menangis sesenggukan. Melihat mamanya menangis, tangisan Azriel pun semakin menjadi-jadi. “Azriel jangan menangis ya Nak.” Bisik Anya seraya mengelus rambut anaknya.
“Mama jangan nangis.” Balas Azriel sambil menangis sesenggukan.
Bukannya tidak ingin bercerai dari suaminya, namun setiap kali Anya berniat untuk bercerai dari Davin, Azriel selalu jatuh sakit seolah anaknya mengetahui apa yang dipikirkan Anya. Setiap kali Azriel jatuh sakit, Anya selalu mengurungkan niatnya untuk bercerai dari Davin. Ia rela menjalani kehidupan rumah tangganya yang begitu tak tertahankan hanya demi anaknya. “Mama harus sabar ya.” Rengek Azriel. “Mama harus janji mama nggak boleh bertengkar lagi sama ayah.” Tambah Azriel. Anya hanya diam dan tidak memberikan janji yang ia tahu tak mungkin mampu ia tepati. Anya tahu betul selama ia masih tinggal bersama Davin, ia tak akan pernah mungkin mampu mengindari pertengkaran. Terkadang ia mengalah hanya demi menghindari pertengkaran. Namun seringkali Davin benar-benar di luar batas hingga Anya harus melawan. Apa yang harus ia lakukan? Ia terjebak dalam kehidupan yang dulu ia pilih sendiri. Dulu awalnya orang tua Anya tak merestui hubungan Anya dengan Davin. Namun Anya memaksa orang tuanya dan merayu mereka untuk merestui hubungan mereka. Hingga pada akhirnya tak ada pilihan lain bagi orangtuanya selain merestui hubungan mereka berdua. Itu adalah jalan yang Anya pilih dalam hidupnya, dan pilihannya kini membawanya ke dalam kehidupan yang penuh kepahitan. Ia tak bisa membagi beban itu kepada siapapun. Terlebih lagi kepada orang tuanya. Anya malu jika ia bercerita kepada orangtuanya tentang kondisi rumah tangganya saat ini. Ia takut orangtuanya menertawakan apa yang ia alami sekarang. Ternyata apa yang ditakutkan oleh orang tuaku dulu saat ini benar-benar terjadi, pikirnya dalam hati. Dulu orang tuanya sudah mengingatkan Anya bahwa Davin bukanlah pria yang sesuai dengan kriteria orang tua Anya. Orang tua Anya sudah pernah berkata padanya bahwa Davin bukan tipe laki-laki pekerja keras. Mereka berdua takut jika Anya menikah dengan Davin, nantinya Anya akan hidup dalam kesusahan. Dulu Anya membantah orangtuanya. Namun sekarang ia menyesal tidak mempercayai ucapan orang tuanya. Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terlambat. Kini ia sudah terjerat ke dalam kehidupan susah yang memang ia rancang sendiri.
“Mama jangan berpisah sama ayah ya.” Tangis Azriel semakin pecah.
“Iya Nak.” Jawab Anya lirih.
Iya tahu betul bahwa dirinya kini harus rela berdarah demi buah hatinya tercinta.
Setelah beberapa waktu berlalu dalam keheningan, Anya menyuruh Azriel untuk bermain. Lalu Anya segera bergegas ke ruang tamu tempat Davin berada saat itu. Ia melihat Davin sedang mengecek hp yang tadi
dibantingnya.
“Aku bertahan dalam hubungan ini hanya karena demi Azriel.” Ujar Anya.
Davin tidak menjawabnya. Ia masih mengecek ponselnya. Penyesalan memang selalu datang di akhir pikir Anya. Ia segera meninggalkan ruang tamu dan menuju ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan rumahnya. Ah mana lagi urusan listrik masih belum kelar, pikirnya dalam hati. Ia duduk termenung sendirian di pintu dapur. Ia menangis sejadi-jadinya di pintu dapur sambil mengingat semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Hidup yang dulu ia kira akan menjadi pelabuhan bahagia untuknya dan suaminya kini ternyata menjadi tempat yang mengikatnya seolah ia terjerat dalam pusaran badai. Ia menumpahkan air matanya sampai sesenggukan. Masih adakah cinta untuk suaminya? Mungkin saat ini hatinya sudah mati. Mungkin bagi dia cinta satu-satunya hanyalah anaknya.
Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci muka agar matanya tidak sembab. Ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan orang lain. Ia hanya menangis saat sendirian. Aku tak boleh menjadi wanita lemah seperti ini, pikirnya. Ia segera meraih handuk di gantungan handuk dan segera mengeringkan wajahnya. Ia berjalan ke arah cermin dan mengamati wajahnya di sana. Dalam pantulan cermin, ia mengamati seorang wanita muda yang masih terlihat cantik seperti dulu namun sorot matanya telah memancarkan banyak kesedihan seolah selama ini hidup telah banyak mempermainkannya. Ia berkata dalam hati bahwa ia harus bangkit dan kembali menjadi perempuan yang mampu mengendalikan takdirnya lagi. Dulu ia adalah seorang perempuan cerdas dan mandiri. Namun cintanya yang buta pada Davin telah menumpulkan otaknya. Namun kini ia harus kembali menjadi perempuan yang jauh lebih kuat dari dirinya dulu. Aku harus bangkit dan kembali menjadi jauh lebih kuat dari sebelumya, ucapnya pada wanita di cermin. Ia berbalik dan berjalan menuju ke luar rumah. Ia bergegas menuju salah satu rumah tetangganya di sebelah selatan rumahnya untuk bertanya mengenai siapa kira-kira yang bisa menolongnya untuk memperbaiki listrik di rumahnya.
Ia menghampiri rumah Ibu Ribi dan kebetulan Bu Ribi sedang menyapu di halaman depan rumahnya.
“Permisi Bu Ribi,” Sapa Anya.
“Eh, selamat pagi mba’ Anya. Ayo masuk mba’.” Jawab Bu Ribi dengan ramah. Tetangga Anya yang satu itu memang sosok wanita paruh baya yang hangat dan suka membantu siapapun yang sedang butuh bantuan.
“ngga’ usah Bu, di sini aja.” Balas Anya seraya duduk di teras beliau. “Begini Bu, listrik di rumah saya mati sejak semalam. Mungkin ada kabel listrik yang bermasalah di rumah saya. Seingat saya Bu Ribi dulu pernah mengalami hal yang sama ya Bu, nah mungkin Bu Ribi bisa bantu saya untuk menghubungi teknisi listrik yang dulu pernah memperbaiki listrik di rumah ibu.”
“Oalah, ternyata gitu ya mba’ Anya. Iya nanti biar saya yang menghubungi teknisi listriknya ya, biar nanti dia langsung ke rumah mba’ Anya. Mungkin nanti siang teknisinya datang”
“Makasih banyak ya Bu.” Saya pamit dulu. Anya bangkit dari duduknya dan berpamitan pulang.
Ia kembali ke rumahnya dan menemui suaminya. “Aku sudah menghubungi teknisi listrik agar listrik di sini segera diperbaiki.” Ujarnya kepada suaminya.
“Oh, nanti kamu yang bayar ya.” Balas Davin malas-malasan.
Anya berlalu tanpa menjawab. Ia menuju ke ruangan lain untuk bersih-bersih. Menjadi ibu rumah tangga ternyata tak semudah yang ada dalam pikirannya dulu. Dulu ia mengira bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah
sebuah pekerjaan remeh yang tak berarti. Namun setelah ia menjalani perannya sebagai seorang ibu rumah tangga, ia baru sadar bahwa seorang ibu rumah tangga adalah sosok yang harus serba bisa segala hal. Ia harus menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari untuk menyiapkan segala keperluan anggota keluarganya. Ia juga yang harus tidur terakhir di malam hari untuk memastikan bahwa semua hal di rumah sudah berada pada tempatnya. Ia yang harus menjadi ibu untuk mengurus segala keperluan anaknya dan manjadi istri untuk mengurus segala keperluan suaminya. Tak ada jam libur. Tak ada gaji lembur. Bahkan seringkali keberadaannya dan pengabdiannya yang tanpa batas tak pernah dihargai di mata suaminya justru yang ia dapatkan adalah cemoohan seolah-olah ia adalah beban bagi suaminya. Ia mengerjakan tugas-tugas sehari-harinya sambil menunggu teknisi listrik datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!