"Mas, kapan kita pindah rumah?" tanya Mira pada suaminya, wanita itu baru saja selesai menyuarakan isi hatinya pada suaminya dan diakhiri dengan kalimat yang menanyakan perihal pindah tempat tinggal.
Namun seperti biasa, Arnold, suaminya tidak pernah menggubris setiap keluh kesahnya.
Pria itu hanya menganggap angin lalu segala ucapan istrinya itu.
Almira, dia adalah seorang perempuan berusia dua puluh lima tahun.
Sebenarnya dia seorang wanita yang cantik dengan tinggi seratus enam puluh centimeter dan berat badan lima puluh kilogram, rambutnya berwarna coklat dan panjang sebatas pinggang.
Hanya saja kesibukkan dirinya setelah menikah dengan suaminya dua tahun yang lalu membuat Mira tidak lagi sempat memanjakan dirinya seperti dulu.
Mira juga seorang yatim piatu, kedua orang tuanya meninggal disaat dia berusia lima belas tahun.
Ya, tepat saat dia baru saja menerima kabar kelulusannya dibangku SMP.
Diusianya yang sekarang, tentu saja Mira sudah banyak menelan manis pahitnya kehidupan.
Sementara suaminya adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dua adiknya adalah perempuan, Siska dan Sisil.
Sedangkan ayahnya adalah seorang tenaga kerja di negara tetangga dengan penghasilan yang cukup banyak, sudah tentu Arnold tidak pernah merasakan apa yang dulu Mira rasakan.
Namun sikap mereka sama sekali tidak pernah baik pada Mira sebagai istri dari kakak mereka, yang artinya dia adalah kakak ipar Siska juga Sisil.
"Mas! Kamu itu kebiasaan ya nggak pernah dengerin aku ngomong, sesekali dengerin lah mas kalau aku ini lagi berkeluh kesah."
"Aku ini capek mas!" sentak Mira pada Arnold.
Sontak saja hal itu membuat Arnold mengalihkan pandanganya pada Mira, menatap wanita itu dengan seksama sebelum berkata,
"Kamu capek? Capek ngapain?"
"Seharusnya aku yang bilang begitu, aku yang bekerja dari pagi sampai malam begini di luar sana."
"Harusnya aku yang bilang kalau aku capek Mira, bukan kamu!"
"Kamu itu sehari-hari cuma diam di rumah, nggak perlu panas-panasan nyari duit di luar rumah. Jadi nggak pantas kalau kamu mengeluh capek!" ucap Arnold.
Ya, seperti itulah Arnold jika Mira mengeluh.
Dia tidak paham jika capek yang dimaksud oleh istrinya adalah capek dengan sikap ibu dan kedua adiknya!
Padahal Arnold sendiri tahu persis bagaimana sifat ibunya itu, tapi dia masih saja menutup mata dan telinga dari setiap keluh kesah Mira.
"Mas-"
"Sudahlah, jangan dibahas terus. Aku capek dan ingin istirahat!"
'Sekarang aku masih bisa sabar menghadapi kamu dan keluargamu mas, tapi jangan salahkan aku jika suatu saat nanti daging-daging keluargamu akan tersaji di atas meja makan!' batin Rumi setelah Arnold menyela ucapannya begitu saja.
Arnold belum tahu siapa sebenarnya Mira, yang dia tahu Mira hanyalah gadis yatim piatu dan miskin yang dia nikahi.
Dia tidak pernah mencari tahu terlebih dahulu semua tentang Mira, Arnold langsung mempercayai apapun yang Mira katakan dahulu saat mereka pertama kali bertemu.
Tanpa memperdulikan keberadaan Mira di sampingnya, Arnold membaringkan tubuhnya dan segera terlelap menuju alam mimpi.
Membiarkan Mira sendiri bersama semua isi hatinya.
Melihat sang suami sudah terlelap dalam tidurnya, Mira menatap f laki-laki yang dulu pernah berjanji untuk memberikannya sebuah kebahagiaan dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.
Laki-laki yang dulu berjanji tidak akan menyakitinya.
Nyatanya sekarang sikapnya berbanding terbalik dengan ucapannya dulu.
Tak ingin terlalu larut dengan lamunannya, Mira beranjak dari tempatnya dan ikut merebahkan dirinya di samping suaminya.
Tak lama kemudian wanita itu terlelap dalam mimpinya menyusul Arnold yang telah lebih dulu terlelap.
Tepat pukul empat pagi, Mira sudah terbangun dari tidurnya.
Dia bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah dan juga menyiapkan makanan untuk sarapan seluruh penghuni rumah.
Semuanya Mira lakukan dengan cepat agar pukul enam pagi nanti semua sudah selesai sebab rencananya Mira akan pergi ke suatu tempat, jadi dia bergegas menyelesaikan semua pekerjaan rumah sebelum dirinya pergi nanti.
Sesuai perkiraan, tepat pada pukul enam pagi semua pekerjaan rumah ini sudah selesai.
Mira bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya untuk kemudian bersiap-siap pergi seperti rencananya.
Beruntung saat itu suaminya dan seluruh penghuni rumah belum terbangun dari tidurnya sehingga dia dapat dengan mudah melakukan aktivitasnya tanpa ada gangguan.
Selesai dengan aktifitasnya, Mira beranjak menuju kamarnya dan membangunkan suaminya.
"Tumben kamu udah rapi Mir?" tanya Arnold yang merasa heran dengan perbedaan Mira pagi ini.
"Iya mas, aku mau pergi sebentar. Boleh kan?"
"Pergi kemana?"
"Ke makam ayah dan ibu."
Arnold hanya menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban Mira, tanda jika dia mengizinkan istrinya itu pergi.
"Tapi jangan lama-lama, ada sesuatu yang mau aku bicarakan sama kamu."
"Loh, memangnya mas nggak berangkat kerja?"
"Enggak, mas libur hari ini."
Arnold melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi setelah menyelesaikan ucapannya.
Meninggalkan Mira yang terdiam dan menebak-nebak apa yang akan dikatakan oleh suaminya sampai membuatnya libur bekerja.
'Ah, sudahlah. Lebih baik aku segera pergi agar bisa cepat kembali!' batin Mira.
Gegas Mira mengambil tas selempang miliknya, memakai flatshoes dan berjalan berlalu meninggalkan kamarnya.
Terlihat ibu mertua beserta dua anak perempuannya sedang menyantap sarapan di atas meja makan saat Mira keluar dari kamar.
Mereka bahkan tidak menyisakan sedikitpun makanan itu untuk Mira dan hanya menyisakannya untuk Arnold, padahal Mira lah yang memasak semua makanan itu.
"Hey, mau kemana kamu?" tanya Ning, ibu mertua Mira.
"Mau keluar sebentar bu ke makam ayah dan ibu aku." jawab Mira singkat.
"Oh, oke."
"Tapi jangan lama-lama, rumah berantakan nanti kalau kamu kelamaan pergi!" seru Ning.
Sebenarnya perempuan itu ingin melarang Mira pergi lantaran pasti rumah akan sangat berantakan setelah menantunya itu pergi.
Hanya saja dia merasa tidak enak jika mengatakan dengan terus terang, sebab Mira itu akan pergi ke kuburan.
Rasanya sedikit keterlaluan jika dia melarang Mira untuk pergi kesana.
Mira segera melangkahkan kakinya setelah mengiyakan ucapan ibu mertuanya.
Padahal dalam hatinya berkata,
'Tidak apa lah aku pergi sedikit lama, toh jarang-jarang sekali aku keluar rumah!'
Setelah jarak Mira dengan rumah mertuanya sudah cukup jauh, perempuan itu masuk ke dalam sebuah mobil yang berwarna hitam metalik yang sudah menunggunya sejak tadi.
"Jalan!" perintah Mira pada seorang pria yang duduk di bangku kemudi dengan nada dingin.
Si sopir yang bernama Hendra itu tidak menjawab perkataan bosnya dan hanya menganggukkan kepala lalu menjalankan mobil seperti apa yang diucapkan oleh majikannya.
Kendaraan roda empat yang membawa Mira itu melaju membelah jalanan ibukota yang sudah cukup ramai hingga lima belas menit kemudian mobil berhenti di halaman sebuah rumah yang cukup besar dengan polesan cat berwarna putih.
Gegas Mira turun dari dalam mobil dan berjalan memasuki rumah itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun pada sopirnya, meskipun hanya sekedar ucapan terimakasih.
Melihat bosnya sudah berjalan memasuki rumah, Hendra pun ikut memarkirkan mobil yang dikendarainya di dalam garasi.
Pria itu kemudian duduk dengan santai menunggu perintah majikannya kembali.
Ya, pekerjaan Hendra memang semudah itu.
Dia hanya perlu standby di rumah itu dan selalu siap saat bosnya menghubungi lalu memberinya perintah yang bahkan sangat jarang dilakukan, semua perintah majikannya itu dapat dihitung dengan jari dalam sebulan.
Terkadang Hendra bahkan merasa dia memakan gaji buta dengan bekerja di tempat ini.
Beberapa saat kemudian, Mira terlihat kembali keluar dari rumah dengan penampilan yang berbeda.
Perempuan itu menggunakan kaos hitam ketat, celana jeans, dan juga jaket kulit berwarna senada, bahkan kaki jenjangnya juga dilapisi dengan sepatu boot berhak tiga centimeter berwarna hitam.
Sedangkan rambut panjangnya dia kuncir kuda.
Dia berjalan dengan angkuh menuju motor sport miliknya yang sudah terparkir di halaman rumah.
Perempuan itu lalu menggunakan helm full face nya dan lalu mulai mengendarai motornya membelah jalanan menuju suatu tempat.
Ya, alasannya mengunjungi makam orang tuanya hanyalah alasan semata agar dia diperbolehkan untuk pergi dari rumah itu.
Beberapa menit berkendara dengan kecepatan maksimal, Mira memarkirkan motornya diparkiran sebuah gedung yang cukup besar berlantai delapan namun terlihat sangat sepi dan tidak terawat.
Tentu saja karena bangunan itu adalah sebuah gedung tua yang telah lama terbengkalai.
Perempuan itu terlihat berjalan memasuki bangunan itu tanpa melepas helm full face yang dikenakannya, membuat wajahnya tertutupi dan hanya menampilkan kedua mata yang terus menatap tajam apapun yang ada di hadapannya.
Tak lama setelahnya, Mira tiba di sebuah ruangan paling atas bangunan itu.
Orang-orang biasa menyebutnya dengan sebutan rooftop.
Baru saja kaki Mira memasuki ruangan itu, terlihat seseorang yang sedang duduk di kursi yang sengaja dibuat membelakangi pintu.
Prok
Prok
Prok
"Selamat datang di tempat yang akan menjadi saksi kematian mu Lady Rose!"
Seseorang di kursi itu membalikkan kursi yang didudukinya hingga menghadap pintu, tepatnya menghadap Mira yang saat itu sedang berdiri sambil bersedekap dada.
"Wah, seperti biasa. Kamu selalu saja menutupi wajahmu saat berhadapan dengan musuhmu, kelihatannya kamu terlalu pengecut untuk menunjukan wajah aslimu Rose?" ucap David.
Dia adalah salah satu penjahat yang berurusan dengan pihak polisi, tepatnya dia adalah salah satu bandar narkoba yang sangat sulit untuk di tangkap.
David juga seseorang yang selalu mengganggu bisnis-bisnis dalam dunia hitam milik Mira.
Itulah alasan kenapa Mira memutuskan untuk menemuinya saat ini, dia ingin memberi David sebuah pelajaran, atau jika perlu sebuah kematian!
"Bolehkah aku melihat wajahmu?"
"Kudengar dirimu begitu cantik!"
"Siapa tahu aku tertarik untuk menghabiskan malam denganmu dan menyelematkanmu dari kematian."
Almira tersenyum sinis dibalik helm yang dikenakannya, setelah itu dia berkata,
"Anda punya nyawa berapa sampai ingin melihat wajah saya?"
Sontak saja ucapan Mira membuat David tertawa senang, pria itu tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari seorang perempuan yang dia anggap lemah.
"Aku suka dengan seseorang wanita yang sok jual mahal, itu menandakan kualitas dirinya tidak main-main."
"Tentu saja, karena saya adalah wanita mahal dan berkelas. Tidak seperti ******-****** sewaan anda tuan David!"
Mira mulai mengambil langkah mendekati David dengan tatapan mata yang dia buat seolah dia sedang menjadi wanita genit.
Perempuan itu tahu jika laki-laki seperti David adalah tipe pria yang sangat mendambakan ************, dan Mira sangat tahu tidak susah untuk melumpuhkan pria yang hanya memikirkan nafsu.
Sontak saja apa yang dilakukan oleh Mira ini membuat David sangat senang, dia mengira jika perempuan dihadapannya ini sama saja dengan perempuan-perempuan yang lainnya.
"Sudah kuduga jika kamu memang tidak jauh berbeda dengan mereka!"
"Kamu pasti ingin tetap hidup dan juga semua bisnismu itu aman kan?"
"Tenang saja, aku bisa mengabulkan semuanya asal kamu mau melayaniku malam ini!" seru David dengan begitu angkuh.
Sama seperti tadi, di dalam helm yang dikenakannya, Mira tersenyum sinis kembali usai mendengarkan apa yang dikatakan David.
'Masuk juga ke dalam perangkapku, dasar otak segitiga!' pikir Mira.
"Ayolah, buka dulu helm mu. Aku ingin melihat wajah cantikmu ini Rose."
Kali ini Mira mengikuti ucapan David untuk membuka helm yang dikenakan, dia juga melepas ikatan rambut di kepalanya hingga akhirnya rambut panjang Mira tergerai begitu saja.
Membuat Mira semakin terlihat cantik Dimata David.
Wanita itu lalu mendekati David dan membuatnya kembali duduk di kursi, setelah itu Mira berjalan memutar sambil menyentuh dada David dengan sedikit menggoda dan berdiri tepat dibelakang tubuh David.
Mira mulai melakukan rencana yang telah dia susun secara dadakan di kepalanya.
Pertama-tama dia merusak sebuah alat yang terpasang di bawah kursi, sepertinya alat itu adalah alat yang digunakan untuk meminta bantuan ketika David berada dalam keadaan terdesak.
Saat pertama kali Mira memasuki bangunan itu, dia sangat awas memperhatikan sekitar.
Dia juga tahu jika David benar-benar menepati ucapannya untuk datang sendiri ke tempat ini, hanya saja pria itu tetap berlaku curang dengan menempelkan alat untuk meminta bantuan di bawah kursi yang dia duduki.
Namun Mira tidak sebodoh itu, perempuan itu bisa tahu ada sesuatu yang tidak beres hanya dengan sekali melihatnya.
Satu tangan digunakan untuk merusak, sedangkan satu tangan yang lainnya digunakan untuk terus menggoda David dengan bibir yang tidak berhenti mengumbar senyum manis.
Meskipun dalam hatinya terus berkata,
"Awas saja, aku tidak akan melepaskan kamu keparat!"
Sebab selama ini tidak ada yang pernah melihat wajah asli seorang Rosella!
Tapi hari ini David bahkan melihat wajah itu, jadi dapat dipastikan jika laki-laki itu tidak akan pernah menghirup udara di hari esok.
Mira perlahan mulai mendekatkan kepalanya pada kepala David hingga membuat rambut panjangnya yang tergerai itu menyentuh dan menyapu pelan pundak dan dada David.
"Kau suka dengan ini David?" ucap Mira di samping telinga David.
"Ah, tentu saja Rose. Tindakanmu ini membuatku semakin bernafsu padamu!"
Mira kembali mengangkat sudut bibirnya tanpa David lihat.
Pria itu sedang merasa sangat senang sekarang karena telah berhasil mendapatkan Mira.
Namun dia tidak tahu jika di belakang tubuhnya, Mira sedang menggunakan satu tangannya untuk mengambil sebuah pisau lipat yang dia simpan di bagian bawah celana panjangnya.
Sampai kemudian dengan gerakan cepat Mira menggenggam tangan David dan menempelkan pisau lipat yang terlihat sangat tajam itu di atas leher David lalu berkata,
"Bagaimana dengan ini?"
David yang mendapat perlakuan mengejutkan seperti itu pun seketika terkejut.
Dia tidak menyangka jika Mira yang dia kenal sebagai Lady Rose itu berani menekannya dengan pisau lipat, bahkan pisau itu menempel di lehernya.
Sesekali benda tajam itu bahkan menggores kulitnya dan membuat cairan berwarna merah pekat mengalir di sana.
Tangan David juga tidak tinggal diam, dia berusaha meraih sesuatu yang berada di bawah kursinya.
Namun hal itu justru membuat Mira tertawa, tawa yang terdengar menyeramkan di telinga David.
"Kamu mencari apa David?" tutur Mira mengejek, mendengar apa yang diucapkan oleh perempuan disampingnya itu membuat David mengerti jika alat yang dia pasang di tempat tersembunyi untuk meminta bantuan itu sudah dirusak oleh Mira.
"Kurang ajar!" sentak David mengumpat.
Bagi Mira, David itu sangat bodoh dan ceroboh.
Bisa-bisanya dia datang ke tempat ini seorang diri dan tanpa persiapan apapun.
Kesalahan terbesar David adalah menganggap remeh Mira dan menilainya sama seperti perempuan di luar sana.
Terlebih David adalah pria yang sangat menyukai ****, tentu akan sangat mudah melakukan pria seperti itu!
"Ada kata-kata terakhir yang ingin kamu sampaikan David?"
seru Mira sambil menekan pisau lipat yang menempel di leher David.
"Kamu tidak bisa membunuhku Rose! Aku punya banyak anak buah yang siap mencari dan menghancurkan mu jika kamu sampai membunuhku!" seru David.
"Kamu benar, tapi aku juga sama-sama punya banyak anak buah sepertimu."
"Dan yang terpenting, kamu sudah melihat wajahku!"
"Kamu harus tahu David tidak ada yang akan menghirup udara esok hari setelah melihat wajah seorang Rose!"
David semakin gemetar dalam duduknya, apalagi pisau di lehernya juga semakin dalam menggores dan melukai lehernya.
"Ayo, katakan apa yang ingin kamu katakan! Anggap saja itu adalah kalimat terakhirmu sebelum menghembuskan nafas terakhir!" ucap Mira lagi.
"Ja-"
Srek!
Belum selesai David mengatakan kalimatnya, Mira telah lebih dulu menyayat leher David hingga nyaris patah.
Perbuatannya itu membuat David tidak lagi bisa bernafas dan akhirnya meninggal dunia.
Setelah membunuh David di atas kursinya, Mira segera bangkit dan melepas jaketnya yang telah berlumur darah.
Ya, darah milik David!
Perempuan itu lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.
Tampak terlihat dia mengotak Atik benda itu beberapa saat dan kemudian menempelkannya di telinga.
"Urus mayat di jalan xxx, gedung terbengkalai!" titah Mira dalam panggilan telepon itu.
Tidak menunggu lawan bicaranya menjawab, Mira segera mematikan panggilan telepon lalu berjalan keluar ruangan.
Meninggalkan jazad David di dalam dan tengah memandang indahnya perkotaan seorang diri.
Sesampainya di lantai paling bawah, tidak sengaja mata Mira melihat sebuah ruangan kecil dengan tulisan 'WC' di atasnya.
Gegas wanita itu melangkah memasuki kamar kecil itu dan membasuh tangannya, begitu juga dengan rambut panjangnya yang sedikit terkena noda darah hingga bersih.
Beruntung air di tempat itu masih menyala sehingga dapat dia manfaatkan.
Ya, setidaknya warna merah bekas darahnya telah hilang meskipun bau amisnya masih tercium walau samar.
Selesai dengan aktifitasnya, Mira segera keluar dari gedung dan menghampiri tong sampah yang ada di sana, membuang jaketnya dan lalu membakarnya hingga habis tak bersisa.
Kemudian dia kembali menaiki motornya dan melajukan kendaraan itu kembali ke rumahnya.
Sampai di rumah, Mira segera melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
Membersihkan tubuhnya lalu kembali memakai pakaian yang sama dengan saat dia datang tadi, kemudian kembali meminta Hendra untuk mengantarnya pulang ke rumah mertuanya.
'Huft, saatnya kembali menjadi Almira si wanita lemah!'
"Bagus ya, kelayapan sampai jam segini!"
"Cepat masak sana, kita sudah kelaparan ini!" sembur Ning saat Mira baru saja melangkahkan kakinya memasuki rumah.
'Lapar ya tinggal masak, apa susahnya! Masak buat perut sendiri saja berat amat.' gerutu Mira dalam hatinya.
Namun meski demikian, perempuan itu tetap menampilkan raut wajah biasa saja di hadapan mertua dan dua adik iparnya.
Bersikap seolah-olah dia merasa bersalah karena pulang saat jam sudah memasuki waktu makan siang, padahal jauh dalam hatinya sama sekali tidak pernah merasa bersalah.
"Iya bu."
"Maaf, tadi Mira ketemu teman lama jadinya pulang kesiangan karena keasyikan ngobrol." ucap Mira.
Tampak Sisil menggerakkan bibirnya menirukan ucapan Mira saat dia berbicara.
Hal itu tentu saja tidak luput dari penglihatan Mira, hanya saja dia berpura-pura tidak melihatnya dan membiarkan gadis itu berbuat apapun yang dia suka.
Namun dalam hatinya berkata,
"Berbuatlah sesuka hatimu sekarang Sisil, sebelum aku akan menjahit kedua bibirmu dengan tanganku sendiri!"
"Ya sudah sana cepat masak, ngapain berdiri saja di situ!" sentak Ning yang membuat Mira seketika melangkahkan kakinya menuju dapur dengan cepat setelah sebelumnya dia menaruh tasnya di dalam kamar.
"Loh Mir, kamu sudah pulang?" tanya Arnold saat melihat istrinya memasuki kamar.
"Sudah mas."
"Sini duduk dulu sebentar, ada yang mau mas omongin!"
"Duh nanti aja ya mas ngomongnya, aku lagi buru-buru soalnya!" sahut Mira dengan cepat, dia tidak lagi ingin mengulur-ulur waktu untuk memasak seperti perintah Ning agar tidak ada keributan lagi.
Jujur saja Mira merasa lelah setelah menghabisi David tadi, dia sudah sangat ingin beristirahat!
Hanya saja dia tidak bisa berharap untuk istirahat dengan nyaman selama masih berada di rumah ini.
Ya, tentu saja keluarga suaminya itu akan mengganggunya saat melihatnya tiduran di atas kasur.
Tanpa mereka tahu betapa lelahnya tubuh Mira yang selalu mereka suruh-suruh itu.
Jika saja Mira tidak ingat mereka adalah keluarga Arnold suaminya, mungkin sekarang mereka semua sudah berada di dalam penjara bawah tanah miliknya.
Saat tengah asyik memasak makan siang, perut Mira berbunyi, wanita itu baru ingat jika pagi tadi dirinya memang tidak sempat sarapan sebab terburu-buru.
Lagi pula semua menu sarapan yang dia buat sudah habis tak bersisa, tapi dia malah melupakannya dan baru teringat saat sedang masak untuk makan siang seperti ini.
Tiba-tiba saja otaknya terpikirkan jika memakan sesuatu yang pedas sepertinya enak saat hari panas terik begini.
Mira akhirnya memutuskan membuat sesuatu yang pedas dengan bahan dasar mie instan, kebetulan ada stok mie instan di dapur.
Itu bisa dia pakai untuk membuat makan siangnya sendiri, toh mengharapkan Ning dan yang lainnya membagi makanan dengan dia itu juga tidak mungkin.
Empat puluh menit berkutat dengan alat-alat dan bumbu dapur, akhirnya masakan sederhana untuk keluarga suaminya sudah siap.
Para penghuni rumah ini seketika berbondong-bondong datang untuk menyantap makan siang mereka, begitu pula dengan Mira yang berlalu ke dalam kamar membawa sebuah kotak bekal yang telah dia isi dengan menu makan siangnya sendiri.
Bau harum dari mie yang dibawanya itu seketika langsung membuat Arnold mendekatinya, melihat istrinya sedang menyantap mie dengan tambahan sayuran, sosis, telur dan juga beberapa bakso seketika membuat Arnold meneguk liurnya dengan susah payah.
Setiap helai mie dengan kuah berwarna merah itu masuk ke dalam mulut Mira sungguh membuat Arnold sangat tergoda untuk menikmatinya juga, sampai kemudian pria itu memberanikan diri berkata,
"Mira, bolehkah mas minta mie mu?"
Sontak Mira menghentikan aktifitasnya setelah mendengar ucapan Arnold, wanita itu menolehkan pandangannya pada sang suami yang sedang duduk disampingnya dengan mata memandang penuh nafsu pada mie yang berada di tangannya.
"Bukankah kamu sudah makan bersama ibu dan adikmu?" jawab Mira dengan ketus.
"Ayolah sayang, bagi mas sedikit saja."
Mira mencebikkan bibirnya saat mendengar Arnold memanggilnya dengan sebutan 'sayang.'
'Iya, sayang. Sayang kalau ada maunya doang!' batin Mira sinis.
Mau tidak mau Mira membagi mienya dengan Arnold, walaupun dalam hatinya tidak rela.
Tapi mau bagaimana?
Jika tidak dituruti biasanya Arnold akan berkata macam-macam yang menyakiti hatinya.
Tidak, bukannya Mira merasa takut dengan suaminya itu.
Dia hanya merasa takut tidak bisa menahan emosi pada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu.
Dia takut kalap dan membuatnya bernasib sama seperti David!
"Terimakasih sayangku!" ucap Arnold dengan begitu manis dan lagi-lagi membuat Mira mencebikkan bibirnya.
"Oh iya, mas bilang mau ngomong sesuatu sama aku tadi pagi."
"Mau ngomong apa?" Mira mencoba menanyakan perihal apa yang akan diucapkan oleh suaminya pagi tadi.
Terlihat pria itu sedikit terdiam di tempatnya seperti sedang memikirkan sesuatu sebelum dia berkata,
"Eum, tapi kamu jangan tersinggung dulu ya."
"Iya mas, memangnya kenapa si?"
"Jadi gini, mas ada rencana mau mengadopsi anak biar kamu juga bisa cepat hamil."
"Ya, semacam pancingan lah Mir." lanjut Arnold menjelaskan keinginannya dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan istrinya.
Walaupun dilebih banyak kesempatan dia lebih sering tidak peduli pada perasaan Mira.
Sejenak Mira termenung saat mendengar perkataan suaminya.
Dia bukan mandul seperti yang sering dituduhkan oleh Ning dan dua anaknya melainkan sengaja memasang alat kontrasepsi di tubuhnya untuk mencegah kehamilan.
Bukannya Mira tidak ingin memiliki anak dengan suaminya, dia hanya mencoba memikirkan semua kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi kedepannya.
Apalagi setelah mengetahui bagaimana tingkah laku keluarga suaminya.
'Apa Arnold sudah mulai terpengaruh dengan ucapan ibunya yang selalu mengatakan jika aku ini mandul?' batin Mira bertanya-tanya.
Awalnya Mira berandai-andai memiliki keluarga yang bahagia bersama Arnold.
Memiliki anak dan bersama-sama mendidiknya di rumahnya sendiri, membina keluarga kecil mereka tanpa campur tangan orang lain.
Namun ternyata dia salah, rupanya Arnold tidak secinta itu pada dirinya sampai mau meninggalkan rumah ibunya dan mendirikan rumahnya sendiri bersama Mira.
Dia lebih memilih membawa istrinya untuk tinggal bersama ibunya dan menjadi pembantu untuk ibunya.
"Mir?" panggil Arnold menyadarkan Mira dari lamunannya.
"Ah, iya mas. Terserah kamu saja, aku akan mendukung apa saja yang kamu mau."
Tidak ada gunanya juga dia menolak ataupun membantah kemauan suaminya, toh pada akhirnya laki-laki itu akan tetap dengan keinginannya sendiri tanpa mendengarkan pendapat Mira.
"Tapi mas mau mengadopsi anak yang masih bayi Mir, biar jiwa keibuan kamu benar-benar muncul dan kamu akan cepat hamil."
"Loh, kenapa kamu nggak ambil yang sudah besar saja sih mas? Masih bayi itu repot banget loh ngurusnya."
Mendengar perkataan Arnold, Mira tidak lagi bisa menahan diri untuk menjawabnya.
Dia merasa keberatan dengan keputusan Arnold yang ingin mengadopsi anak bayi untuk mereka.
"Apa kamu keberatan mengurus anak bayi?" tanya Arnold dengan tatapan mata tajamnya yang membuat Mira seketika menghembuskan nafas panjang.
Bukannya dia merasa keberatan mengurus bayi seperti apa yang diucapkan oleh Arnold.
Hanya saja dia tahu persis bagaimana sifat keluarga suaminya itu, mereka tentu akan sangat merasa keberatan jika saat sedang lelap-lelapnya tidur harus terbangun dengan tangisan bayi.
"Tidak, aku tidak keberatan sama sekali mas."
"Tapi apa kamu yakin keluargamu akan menerima dan tidak keberatan saat harus terganggu tidurnya dengan tangisan bayi?" ucap Mira mencoba menyuarakan pendapatnya.
"Halah, alasan saja kamu ini!"
"Bilang saja kalau kamu tidak mau merawat bayi karena tidak mau repot!" sentak Arnold dengan cepat lalu pergi meninggalkan kamar mereka.
Tak lama kemudian terdengar suara deru kendaraan beroda empat milik Arnold yang menjauh dari rumah.
'Huh, selalu saja begitu. Jika bukan karena masih ada sedikit rasa sayangku padamu, sudah aku buat kamu jadi santapan anjing-anjingku Arnold!'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!