NovelToon NovelToon

The Sibling'S Problem

Satu

Disudut kamar apartement sepinya inilah, Alyna mampu menempelkan belasan foto polaroid berukuran sedang miliknya. Kali ini pukul delapan pagi, selepas membuat secangkir teh hangat dengan sedikit gula dan roti bakar selai coklat, Alyna langsung terburu-buru menggantungkan koleksinya di sudut kamar apartementnya yang nyaman ini.

“Selesai…” gumamnya lirih.

Tangannya berkacak pinggang. Dia tersenyum senang dan puas. Sambil menghela nafas, dia memberesi kardus kecil berisi kumpulan foto itu, lalu melangkah ke arah jendela.

Semilir angin pagi yang sejuk membuatnya memejamkan mata. Kepalanya lalu menengok ke bawah. Terasa ngeri andaikan dia terpeleset dan jatuh ke bawah sana. Alyna duduk di tepian jendela yang tertutup itu. Sudah tiga tahun setelah kelulusannya dari bangku kuliah, dia memutuskan untuk berkelana menjadi seorang photographer yang cukup meyakinkan. Bahkan bagi Alyna, setiap kejadian di dunia ini pantas untuk diabadikan. Dirinya juga sedikit terkejut lantaran setelah dinyatakan lulus dari universitas, dia direkrut oleh salah satu perusahaan yang membutuhkan jasanya. Berita bagus baginya, karena setelah itu Alyna memutuskan untuk hengkang dari rumahnya.

Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Sedikit enggan untuk beranjak, Alyna meraih ponsel itu dari atas meja makannya.

Don.

Nama dari seseorang yang satu perusahaan dengannya. Sebenarnya, Alyna bisa saja menghormatinya lebih dari sekedar teman biasa, karena Don adalah anak dari orang yang memiliki perusahaan tempat dia bekerja. Tapi Don menunjukkan sikap yang lain. Dia rendah hati, bahkan Alyna awalnya tidak menyangka bila Don adalah anak dari bosnya sendiri. Don tidak ingin semua orang tunduk padanya. Baginya pula, dunia photografi adalah panggilan jiwanya. Ini adalah pilihannya. Menjadi anak buah dari perusahaan ayahnya sendiri.

“Alyna, aku tidak menyangka kau akan mengangkat telfonku secepat ini.” cibir Don, bahkan terdengar suara kekehannya.

Alyna mendengus kesal.

“Kau tahu, aku hampir saja tak ingin mengangkat telfonmu, karena aku malas beranjak dari tempatku tadi.” Jawab Alyna, sambil kembali ke tepian jendelanya yang nyaman.

“Dengar sayangku, hari ini memungkinkan bagi kita untuk berburu foto. Ini cerah sekali. Bagaimana menurutmu?”

Alyna mengoreksi langit. Dia menyipitkan matanya lantaran silau terkena cahaya matahari,

“Hm…aku baru saja menggantung koleksiku kemarin, Don. Aku rasa aku sudah cukup puas dengan…”

“Ayolah, Lyna, kau tidak akan mungkin menyia-nyiakan kilauan cahaya yang memantul dari ombak pantai bukan?”

Alyna menghela nafas, “Bagaimana jika aku hanya menemanimu saja, dan aku tidak akan membawa kameraku. Aku sedang tidak ingin berburu foto.”

“Kalau begitu kau akan menjadi modelku.”

“Dan jika demikian, tolong bilang kepada ayahmu bahwa dia harus memberiku gaji ekstra, okey?”

Don tertawa, “Bisa diatur. Bahkan aku langsung yang akan menggajimu dari separuh gajiku, jangan khawatir. Baiklah, aku akan menjemputmu setengah jam lagi. Bye.”

“Bye.”

Alyna masih menggenggam ponselnya, membuka galeri. Jemarinya tak henti mengganti slide demi slide fotonya dengan Samudera dulu. Sudut bibirnya terangkat. Matanya sayu. Apa kabar laki-laki itu sekarang? Alyna sangat ingin tahu mengapa Sam dengan begitu saja melupakannya, tidak mengabarinya, bahkan Alyna kehilangan nomor kontaknya yang dapat dihubungi. Tapi, tidak mungkin Sam melakukan ini tanpa alasan yang tidak jelas. Dia kenal betul sahabatnya itu. Sam selalu menepati janjinya. Tidak mungkin Sam melupakannya begitu saja.

“Sam…apa kabar?” gumamnya pasrah. Alyna semakin menundukkan kepalanya sedih.

~

Dua

Tiga langkah kecil lagi, kaki gadis itu akan menyentuh segarnya air pantai pagi hari disini. Tapi, Alyna sengaja membiarkan ombak yang mengejarnya bukan dia yang mengejar ombak. Dia membiarkan Don berjalan kesana-kemari sendirian untuk berburu objek yang sekiranya pantas untuk dijadikan salah satu proyek foto barunya. Alyna duduk di bibir pantai, tak menghiraukan kemeja putihnya yang barangkali bisa saja kotor karena terkena pasir. Kilau cahaya matahari pagi membuat kedua mata Alyna sesekali menyipit.

“Don, bisa kita cari minum? Semakin panas juga ditempat ini.” teriak Alyna.

Don menghentikan kegiatannya. Laki-laki itu melangkah menghampirinya. Alyna mendongakkan kepalanya saat Don telah berdiri di sampingnya.

“Haus?”

Wajah Alyna kian cemberut dengan pertanyaan itu, “Menurutmu?” tukasnya ketus bak anak kecil yang merajuk.

Don tertawa renyah. “Bercanda, honey. Kita bisa mendapatkan es kelapa muda disekitar sini. Lihatlah, ada banyak penjaja es di sana.”

Don menunjuk ke arah dimana stand-stand itu berdiri. Stand-stand yang menjajakan banyak pilihan makanan yang sulit untuk dipilah mana yang paling enak.

Alyna mengernyitkan dahinya. Memilih salah satu stand yang cukup meyakinkan dan menarik baginya.

“Kesana.” ujarnya, lalu menarik tangan Don hingga langkah kaki laki-laki itu terseret-seret tak karuan.

“Wow, aku baru tahu kalau haus ternyata mampu membuatmu bersikap agresif seperti ini.” ledek Don, dan Alyna memutar bola matanya. Dia tidak peduli apa yang dikatakam sahabat laki-lakinya itu. Alyna hanya ingin minum.

“Kamu boleh menghujatku seperti apa pun itu, asal aku bisa membasahi tenggorokkanku. Aku haus sekali, Don.” tegasnya lagi. Don lantas merangkul bahu temannya perempuannya itu.

“Baiklah, apa pun jenis es yang kamu minta hari ini, aku yang akan membayarnya.”

Alyna tersenyum girang, “Memang harus begitu semestinya.” ucapnya senang.

~

Don mengamati jam tangannya, risau. Lantas berpaling pada Alyna yang masih sibuk melahap es dalam mangkuk es miliknya.

“Apa aku bisa melanjutkan tugasku lagi? Kita sudah agak lama disini, Alyna.”

“Tunggu sampai yang satu ini habis.” jawabnya, sambil mengunyah potongan-potongan daging alpukat dan kelapa muda yang bersatu dalam kuah santan susu yang nikmat. Don mendengus kesal.

“Kamu hampir menghabiskan tiga mangkuk.” komentar Don.

“Don, ini rasa es terbaik yang pernah kucoba. Menurutmu juga demikian bukan?”

“Aku rasa kamu lapar honey, bukan haus.”

“Kalau begitu, pergilah lanjutkan hunting fotomu sendirian. Aku tidak ingin selera kulinerku rusak karenamu.”

Don terkekeh, “Kau lupa? Kau akan menjadi modelku.”

Sesaat Alyna diam. “Baiklah, tapi, apa kau bisa mengambil fotoku berlatar belakang samudera yang bagus?”

“Ternyata selera pose-mu sama seperti yang kubayangkan. Kemeja putih itu akan cocok berbaur dengan birunya warna laut.”

Alyna tersenyum senang. Dia membersihkan mulutnya, lalu merapikan rambutnya yang sedari tadi diterpa angin.

“Aku tidak mungkin mengisi proyekmu dengan wajah senatural ini.”

“Tapi itu justru terlihat bagus. Kau cukup cantik, honey.”

“Ya, ya. Kau hanya merayuku sebab kau malas mencari model-model berkaki jenjang.”

“Ayolah, buat apa mencari model lain, jika temanku sendiri pantas menggantikan posisi mereka.”

Alyna tertawa geli, “Cukup dengan ocehanmu, Don. Kamu terlalu mengada-ada.”

“Aku berkata apa adanya.”

“Okey, aku sudah siap kalau begitu. Mana topiku?”

Don memasangkannya dikepala Alyna.

“Sempurna.” gumamnya.

“Ayo,” Don meraih tangan Alyna, dan membawa menuju ke bibir pantai kembali.

~

Tiga

“Kita bisa memulainya dengan langkah yang lebih pelan-pelan.”

Mata Alyna terbelalak saat berkali-kali ada beberapa ombak cukup besar datang ke arahnya. Dia takut ombak itu akan menyeretnya ke laut, atau takut akan bayangan jika ada makhluk aneh yang muncul bersamaan datangnya ombak.

“Bukankah kau tidak takut?”

“Don, aku tidak takut pada ombaknya. Hanya takut untuk pulang basah kuyup diterpa angin sepanjang perjalanan nanti. Aku bisa masuk angin.”

Don tertawa lagi. Cukup keras.

“Jika kau berani berpose masuk ke dalam air, aku akan memberi seluruh gajiku untukmu, honey.”

“Aku bilang aku tidak ingin basah kuyup disepanjang perjalanan. Baju yang kukenakan tipis. Orang-orang bisa melihat warna pakaian dalamku.” teriak Alyna, dengan wajah yang cemberut dan merah.

“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kemarikan tanganmu.” Don mengulurkan tangannya, menyuruh Alyna agar meraihnya dan membantu gadis itu beranjak dari dalam area air pantai.

“Apa gambar yang kau dapat bagus?”

“Sebagian jadi rusak karena wajahmu yang ketakutan.” cibir Don. Alyna mendengus kesal. Ingin rasanya dia menjitak kening Don karena laki-laki itu hampir tidak tahu betapa takutnya Alyna membayang hal yang aneh-aneh tadi.

“Tapi tak masalah. Malah menjadi begitu natural tanpa diada-ada.” lanjutnya. Alyna membersihkan kakinya dari pasir-pasir pantai yang basah.

“Hampir saja kakiku kram tadi.” komentarnya pada diri sendiri.

Don mengamati setiap gerak-gerik Alyna. Diam-diam memfokuskan kameranya pada sosok yang masih sibuk sendiri. Beberapa jepretan diam-diamnya sukses dia abadikan. Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik ke atas. Sebuah objek yang cantik.

“Apa kita bisa pulang sekarang?”

Don terkesiap. Mencoba dengan cepat menyembunyikan kameranya, “Eh, mungkin kau ingin menemui seseorang dulu.”

Alyna mengernyitkan alisnya, “Siapa?” tanyanya kemudian, sambil membenarkan lengan kemeja putihnya.

“Kita diminta untuk memotret customer baru kita.”

“Sekarang?”

“Tidak, honey, mereka datang untuk berbincang-bincang mengenai konsep yang diinginkan, dan supaya kita bisa memahami pelanggan baru kita.”

“Oh, bagian itu membosankan. Kau tahu, mereka akan berbicara panjang lebar seolah kita tidak mengerti berbagai jenis konsep fotografi sebelumnya.”

“Ayolah, bukankah mendengarkan juga merupakan bagian dari pekerjaan kita?”

Alyna menimbang-nimbang kalimat itu.

“Ya. Kau benar.”

Kemudian gadis itu terdiam.

“Hey, apa ada yang salah?” tanya Don.

Sesaat wajah Alyna menjadi datar.

“Entahlah, aku ingin kembali ke apartemenku. Aku…sedang rindu rumah.”

Don diam. Jika sudah begini, maka biasanya Alyna sulit untuk dibujuk. Dan lagi, dia tidak ingin memaksa Alyna saat suasana hatinya sedang buruk. Dia sangat tahu Alyna-nya.

“Aku bisa mengerjakan bagian yang membosankan ini untukmu.”

Alyna tersenyum gembira. Merasa bersyukur kepada Tuhan karena telah memberi sahabat sekaligus rekan kerja sebaik Don untuknya.

“Terimakasih Don.”

“Asal jangan membiarkanku turun lapangan sendirian.”

Alyna tertawa lepas. “Baiklah, tidak akan. Mengapa memang?”

Don mengedikkan bahu, “Entahlah. Biasanya ide kreatifku lancar jika kau ada disampingku.”

“Aku rasa kau mulai kecanduan aku.” Goda Alyna diselingi tawa.

“Mungkin kau benar.” jawab Don serius. Alyna diam.

“Hey, ayolah putra bosku. Banyak wanita lain yang akan membuatmu kecanduan tanpa bisa direhabilitasi.”

Sesaat Don membuang pandangannya.

“Ayo,” lalu ia meraih tangan Alyna seperti biasa, mengajak gadis itu melangkah disampingnya. Berusaha membuat gadis itu merasa nyaman disisinya bak rumahnya sendiri, andaikan dia mampu.

Andaikan Alyna merasa seperti itu.

~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!