NovelToon NovelToon

Kara Ina

1. Mini market

"Mau kemana?"

Kara yang hendak memakai sandal itu menoleh ke sumber suara. Dimana seorang wanita berumur 40 tahunan bersandar di kusen pintu, menatap Kara penuh tanda tanya.

"Mini market, sebentar."

Refleks Wanita itu menghela napas, mengamati perilaku putrinya yang suka sekali keluar malam. Sudah jam sembilan baru ingat keluar, padahal dari habis magrib kerjaan anak gadisnya itu hanya rebahan sambil bermain ponsel. "Kenapa enggak tadi siang aja, sih Kar?"

"Kaya nggak tau aja Bu Ana ini, kalo siang rame banget. Panas lagi," ucap Kara sambil menuntun sepeda keluar pagar. Sesaat, Kara menatap Ibunya sambil meringis.

"Pergi dulu, bu. Assalamu'alaikum," pamitnya kemudian mengayuh sepeda menuju mini market terdekat.

Wanita yang tak lain adalah Ana, ibu dari Kara menutup pintu rumah setelah mengamati kepergian putrinya. Sedangkan Kara, dengan santai mengayuh sepeda, sambil menikmati semilir angin malam yang menembus hoodie hitam kemudian bergesekan dengan kulitnya yang sensitif.

Beberapa kali Kara merasakan badannya merinding, namun gadis itu tetap menikmati. Apalagi ditambah suasana malam yang semakin sepi. Waktu-waktu seperti ini adalah masa terbaik menurut Kara. Jika diperbolehkan keluar lebih lama, tentu gadis itu akan berhenti di taman. Mencari tempat paling cocok untuk merebahkan badan sambil menikmati pemandangan cerah langit penuh bintang diakhir bulan Mei.

Perjalanan menyenangkan itu berakhir saat Kara menarik standar sepeda, memarkirkannya di depan mini market bercat dominan merah putih kuning. Sambil memasuki area gondola, gadis itu menarik kupluk hoodie. Entahlah, gadis itu merasa dengan memakai penutup kepala kepercayaan dirinya meningkat 50 persen. Semakin wajahnya tidak terlihat, semakin baik untuk kesehatan mentalnya. Kara juga masih memakai masker walau wabah penyakit sudah berhenti menyerang dari berbulan-bulan yang lalu. Kendati demikian, Kara memang sudah sering mengenakan masker bahkan sebelum wabah menyerang.

Sedang asik memilih minuman dingin di depan showcase panjang, punggungnya mendapat benturan keras. Tubuh Kara reflek maju hampir menabrak Showcase, bersamaan dengan suara gaduh yang timbul akibat sekeranjang penuh belanjaan jatuh ke lantai.

Kedua tangan Kara bertumpu pada kaca showcase guna menahan beban tubuhnya. lantas menoleh ke belakang dan mendapati cowok seusianya tengah menatapnya dengan wajah kaget. Cowok itu meringis mendapati keterdiaman Kara karena masih terkejut.

"Eh, maaf," ucap si cowok pada akhirnya.

Kara hanya mengangguk, gadis itu tidak kuasa hanya untuk sekedar berkata 'iya.'

"Sekali lagi minta maaf, ya. Mata gue ngeblur." Dengan alasan alakadarnya, cowok itu kembali meminta maaf setelah mengambil lagi keranjang belanjanya. Dan lagi-lagi Kara mengangguk.

Seakan sadar dengan tujuannya, Kara dengan cepat menuju meja kasir. Gadis itu hanya membawa 3 bungkus mie instan dan 1 pack nori untuk dibayar. Keinginan membeli minuman dingin hilang seketika sebab kejadian barusan.

Sedangkan cowok yang tadi menabrak punggung Kara, menatap kepergian gadis itu dengan aneh.

"Mungkin bisu," ucapnya dalam hati.

......................

"Ada yang ingin ditambahkan?"

Kara menggeleng saat Kasir menanyakan barang belanjanya ingin ditambah atau tidak. Mendapat respon Kara seperti itu, Kasir wanita tersenyum maklum. Sang kasir ternyata sudah hapal dengan karakter konsumen setianya itu.

Walaupun terkesan dingin dan menyebalkan, Kasir wanita itu harus tetap profesional. Lagi pula, terkadang apa yang kita pikirkan tidak sesuai dengan kenyataan sebernarnya. Mungkin Kara tidak semenyebalkan yang kasir itu kira. Si Kasir hanya belum melihat sisi baiknya saja. Positive thinking.

"Totalnya 20 ribu."

Kara mengambil dompet kecil dan mengeluarkan uang pas. Setelah menerima struk belanja dan mengambil barang belanjaan, Kara bergegas keluar dari mini market. Diam-diam gadis itu bersyukur, entah untuk apa. Hanya lega saja dapat keluar dari mini market cepat-cepat.

Kara menaruh barang belanja di keranjang sepeda. Saat gadis itu akan berputar balik bersama sepedanya, suara notifikasi Whatsapp terdengar. Kara mengambil ponselnya yang menyala otomatis, membaca sekilas notifikasi layang dari teman dekatnya.

Tidak langsung membalas, Kara memilih mengayuh sepeda menjauhi mini market. Gadis itu berhenti setelah menempuh jarak 100 meter, tepatnya di pinggir trotoar dekat halte.

Kara kembali mengeluarkan ponselnya.

Luna :

Udah dapet loker belum?

Lagi-lagi masalah pekerjaan. Bila boleh memilih, sebenarnya Kara ingin menjadi pengangguran sukses saja, tapi masalahnya hal itu sepertinya mustahil. Keluarganya bukan keluarga sultan.

To Luna :

Kamu tanya sama orang yang salah.

Bagaimana mungkin Kara mendapat info lowongan pekerjaan? Kontak Whatsapp-nya tak lebih dari 20 orang. Ditambah gadis itu jarang ngintip akun-akun lowongan pekerjaan di sosial media. Sudah lebih dari 2 tahun Kara belum juga memulai aksi. Gadis itu masih nyaman rebahan di kasur empuknya dan menikmati kasih sayang keluarganya.

Abangnya yang sudah menikah bahkan masih sering mengisi rekening Kara dengan nominal yang lumayan. Istri Abangnya tidak pernah marah atau cemburu, hubungan keduanya malah sangat baik. Kara sering diajak istri abangnya ke supermarket, menemani belanja kebutuhan rumah dan berakhir ditraktir.

Luna :

Selesai kontrak aku mau magang di Korea, hehe.

"Hah?!" Seru Kara, gadis itu melongo sambil menatap layar ponsel. Tidak percaya dengan keputusan temannya itu. Dengan cepat Kara mengirim balasan untuk Luna.

To Luna :

Demi apa?

Luna :

Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.

To Luna :

Serius Lunaaa

Luna :

Sejak kapan ayat alquran buat becandaan?

Kara mendengus membaca Chat Luna yang selalu membuatnya kesal. Kesabaran Kara setipis tisu dibagi dua.

To Luna :

Aish, kok bisa kepikiran mau ke Korea?

Fokus Kara buyar saat mendengar suara motor mendekat seperti akan berhenti disampinya, gadis itu dengan cepat menyimpan ponselnya dan mengayuh sepeda. Kara bahkan tidak berani menoleh ke belakang ataupun ke samping. Jantungnya berdetak dengan cepat, takut sekaligus gemetar.

Pikiran Kara bercabang kemana-mana, mungkin culik. Ah, atau bisa jadi orang tua mesum yang ingin meledek perempuan, atau melakukan pelecehan? Aish, Kara tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya itu. Tapi, bisa saja hanya orang yang ingin bertanya alamat? malam-malam seperti ini? Ah rasanya tidak mungkin. Mungkin pembunuh berdarah dingin?

Kara menggelengkan kepala berulang kali bahkan sampai keseimbangan dirinya sempat oleng. Untung tidak sampai terjatuh. Membayangkan pembunuh membawa pisau atau benda tajam lainnya kemudian menggorok leher Kara, membuat gadis itu merinding seketika. "Astaga, kenapa mikirin itu sih?" batin Kara.

Di belakang Kara, pengemudi motor yang ternyata cowok mini market yang menabrak punggung Kara, berhenti sambil menatapnya bingung. Di netra cowok itu, kelakukan Kara benar-benar aneh. Padahal si cowok hendak bertanya kenapa Kara berhenti di pinggir jalan seperti itu, sedangkan hari sudah semakin malam dan sepi. Mungkin Kara sedang mengalami sesuatu, dan dirinya bisa membatu.

Begitu didekati malah menjauh, cowok itu hanya geleng-geleng kepala. Netranya masih terus mengamati Kara yang semakin menjauh, hilang saat gadis itu mengayuh sepedanya memasuki gang.

"Bener-bener aneh." cowok itu kembali membatin.

...----------------...

Ini first time aku, tinggalkan jejak kalo kalian suka. Arigatou gozaimasu...

Typ, penulis amatir yang sedang menunggu pembaca datang.

2. Tetangga Baru

Kicau burung mewarnai pagi, menyambut matahari yang dengan indahnya menampakkan diri. Membawa semburat sinar kuning kemilau, memantulkannya pada gumpalan awan yang terlihat selembut permen kapas.

Indah, netra Ibu Ana memandang langit penuh kekaguman. Ditambah sinar hangat menembus pori-pori kulit. Pagi ini adalah salah satu pagi terbaik yang Tuhan kirim untuk dunia. Bagaimana bisa? Seseorang melewati masa-masa indah seperti ini dan malah bergelung tenang di kasur empuknya?

Ibu Ana mendengus, kemudian berteriak sambil mendongak, menatap balkon kamar putrinya. "Kara. Jam berapa ini Naaak?"

Dari halaman rumah, Ibu Ana yang sedang melakukan pemanasan pagi berseru pada anak bungsunya. Yang ia yakini masih tertidur pulas. Merasa tidak mendapat respon, Ibu Ana kembali berulah, kali ini dengan melempar sandal berbahan karet ke balkon kamar Kara.

"Anak ini, apa ku nikahkan saja dia. Biar mampus." Ibu Ana menggerutu. "Biar tau rasanya bangun pagi kemudian mengurus rumah dan suami. Aish, benar-benar anak itu," imbuhnya kemudian.

Sedangkan di kamar, tepatnya dilantai dua, Kara menggeliat. Meregangkan otot serta menarik-narik tangan dan tubuh. Gadis itu kembali mencari posisi nyaman dengan netra menyipit. Mengamati apapun yang ada di depannya saat ini.

Korden polos berwarna putih tulang terlihat begitu tenang, secarik cahaya menembus lurus 45 derajat. Mengenai tanaman artificial di pojok ruangan samping standing mirror. Suara kipas angin dan jam dinding bersahutan membentuk irama menenangkan.

Perlahan, Kara membuka lebar netranya. Merasakan hembusan napas serta detak jantung yang berpacu seirama. "Jam berapa ini?" batinnya bertanya.

"Karaaaaaaaa!"

Gadis itu terlonjak, mengambil posisi duduk dengan cepat. Suara Ibu Ana yang menggelegar dari luar membuat degup jantungnya meningkat. Orang tua itu selalu saja mengagetkan Kara.

"Yaaaaa." Kara menyahut. Kemudian turun dari ranjang. Sebelum membuka pintu balkon, Kara menyibakkan korden. Membiarkan cahaya menerangi kamarnya yang suram. Gadis itu juga membuka jendela dan pintu lebar-lebar untuk mengganti sirkulasi udara.

Kara berdiri pagar pembatas, memandang ibunya dari atas. "Ibu enggak bisa kah? Suaranya lebih kalem sedikit?"

Dari bawah, Ibu ada yang sedang berkacak pinggang itu melotot. "Pelan-pelan malah tidurmu makin pulas, anak gadis kok bangun siang terus?"

"Kesempatan bu, sebulan sekali."

Ibu Ana tentu mengerti maksud dari kalimat anaknya itu. Tidak mengapa jika sedang datang bulan lantas malas-malasan, mood juga berpengaruh. Tapi masalahnya hampir setiap hari Kara bangun terlalu siang. Sehabis solat subuh, lanjut tidur lagi. Tidak sedikitpun gadis itu melakukan pekerjaan rumah. Bahkan yang lebih parahnya, Kara bisa bangun jam 11 siang.

Anak gadis macam apa itu, entah keturunan dari siapa. Padahal Ibu Ana dan suaminya tergolong rajin dan tipe morning people. Tapi anaknya yang satu itu malah...

"Alah, banyak alasan kamu ini. Cepat mandi, Istri abangmu itu minta ditemani ke pasar." Ibu Ana kembali mendumel.

"Ini masih pagi bu, memang sudah buka?" tanya Kara refleks.

"Pasar Kara, bukan supermarket!"

"Hemm."

Masih malas beraktivitas, Kara memilih berdiam diri di balkon. Membiarkan sinar hangat matahari menerpa tubuhnya, sembari menunggu nyawanya terkumpul sempurna. Pandangan Kara menyapu lingkungan sekitar rumahnya, sudah lama sekali gadis itu melewati waktu pagi seperti ini. Menikmati pemandangan indah pagi hari di lingkungan yang lumayan sepi.

Bagaimana tidak? tetangga sebelah kanan rumahnya ikut program transmigrasi dan mengajak pindah keluarga kecilnya di Kalimantan. Rumah mereka kosong dan dirawat saudara jauh yang datang ke sana seminggu sekali.

Sedangkan tetangga kiri rumahnya hanya ada seorang kakek-kakek yang ditinggal merantau anaknya di Papua, pekerja tambang mungkin. Kara sudah lupa. Yang pasti anak kakek itu jarang pulang.

Yang bersebrangan dengan rumah Kara adalah lahan kosong yang kini berubah menjadi tempat bermain. Di sampingnya pas, berhadapan dengan rumah Kara, rumah tidak berpenghuni. Pemilik asli rumah itu pindah ke ibukota dan menjual rumah lamanya, namun sampai saat ini belum ada yang mengambil alih. Dalam hati Kara berpikir mungkin rumah itu akan menjadi takdirnya kelak, karena sampai saat ini belum ada yang membeli. Mungkin saja, kan?

Impian menempati rumah yang ada di depan netranya hilang seketika saat sebuah bayangan berjalan tertangkap jelas oleh pandangan Kara. Jantung Kara memompa begitu cepat, merinding datang tak bisa dicegah.

Netranya masih berfungsi dengan normal. Bayangan samar dibalik jendela dengan Korden coklat muda itu jelas nyata. Bagaimana mungkin setan berkeliaran di pagi hari? Atau, apa itu jin yang menempati rumah tersebut? Jika benar, pasti Jin itu memiliki aura yang sangat kuat. Buktinya sampai bisa menampakkan diri?

Dalam waktu yang berdekatan, bayangan itu kembali muncul. Kara refleks berteriak sambil berlari ke ranjang, gadis itu meringkuk dibalik selimut sambil mengucap istighfar berulang kali.

Seumur-umur dirinya hidup, baru kali ini Kara melihat penampakan. Entah itu benar-benar penampakan atau bukan, tetap saja terlihat mengerikan. Ingin menangis tapi tidak bisa, menggerakkan tubuh apalagi. Rasanya jika sedikit saja badan bergerak, bayangan itu akan langsung menyergap. Membayangkan berbagai rupa mengerikan yang pernah dilihatnya di Internet membuat Kara menutup matanya rapat-rapat.

Suara panggilan dari Ibu Ana yang Suaminya pun sampai tidak terdengar. Rasanya telinga Kara sudah malfungsi. Padahal kedua orang tua itu khawatir saat mendengar teriakan Kara.

Ibu Ana dengan sigap membuka pintu kamar Kara, diikuti Hendra--suami Ibu Ana. "Nakk, heyy! Ada apa ini?" suara Ibu Ana terdengar khawatir.

"Karaaa! ibumu bertanya." Bapak Hendra menimpali sembari mengguncang tubuh Kara yang tertutup selimut itu.

Tidak sabar dengan perilaku putrinya yang keras kepala, Hendra menarik paksa selimut Kara, membuat gadis itu menyipitkan mata. Mengintip siapa yang ada disekelilingnya. Siapa tau hantu atau jin.

"Nakkk! Karaaa, kamu ini kenapa?" Ibu Ana kembali bertanya.

Kara menegakkan tubuh, duduk di atas ranjang sambil menetralkan tubuhnya. Netranya bersibobrok dengan netra Ibu Ana dan Hendra.

"Kenapa?" Ibu Ana mengulang.

"Masa aku liat penampakan." Kalimat datar itu terucap dengan lancar. Ada nada keraguan didalamnya, antara percaya dan tidak percaya.

Hendra mengerutkan alis, tidak percaya dengan penuturan putrinya itu. Hantu apa yang terang seperti ini menggangu manusia? Apa waktu malam belum cukup untuknya melakukan tugas menggoda manusia? Lagi pula sudah puluhan tahun Hendra tinggal rumah ini dan belum pernah sekalipun dirinya melihat penampakan. Lingkungan tempatnya tinggal juga tergolong aman, tidak ada tempat yang diyakini anker.

"Masa sih?" Ibu Ana ragu-ragu, suami istri itu saling berpandangan untuk sesaat.

Sedetik kemudian Ibu Ana meletakan punggung tangannya di dahi Kara, memastikan putrinya demam atau tidak. Barangkali karena itu Kara jadi berhalusinasi.

"Ibu ih, aku enggak bohong."

"Dimana kamu liat itu, Nak?" Kali ini giliran Hendra yang bertanya. Lantas Kara menunjuk ke arah balkon, tepatnya pada rumah kosong yang berhadapan dengan rumahnya.

Paham dengan maksud Kara, Hendra merasa lega. Pria parubaya berbalik badan, meninggalkan kamar anaknya dengan perasaan yang baik. Pagi-pagi sudah melawak. "Rumah depan itu sudah dibeli, tadi subuh Bapak ngobrol dengan pemiliknya di masjid," jelas Hendra sebelum menghilang dibalik pintu.

"Kara-kara, bikin orang tua panik saja," sambungnya sambil geleng-geleng kepala.

Sedangkan di dalam kamar, Kara masih menatap ke arah pintu dengan wajah cengo. Gadis itu tidak habis pikir, sekaligus lega. Untung bukan penampakan asli.

"Lain kali lebih teliti kalo liat apa-apa, jadi parnoan gini kan?" Ibu Ana memberi nasehat. Kara menatap Ibunya sedikit malu.

"Ngomong-ngomong Ibu baru tau kalo rumah depan udah ada yang beli. Seperti apa ya kira-kira orangnya? Semoga bukan tetangga yang nyebelin Ya, Kar." Ibu Ana mengganti topik pembicaraan. wanita itu tiba-tiba penasaran dengan pemilik baru rumah. Pasalnya beberapa hari ini Ibu Ana sama sekali tidak melihat ada orang yang berkunjung ke rumah itu.

"Aamiin."

"Nanti ibu bikinin kue buat tetangga baru. Sekalian kepo."

"Buu..." Kara menegur, biasanya kan penghuni baru yang mengirim makanan ke para tetangga. Kenapa Ibu Ana ini semangat sekali sih. Apalagi pengakuan terakhirnya itu. Kepo? yang benar saja. Kara tidak bisa membayangkan bagaimana tingkah ibunya nanti saat bertamu.

"Udah sana, kamu mandi. Takut istri Abangmu badmood."

...----------------...

Salam Typ

penulis amatir yang suka Typo.

3. wanita di pinggir jalan

Setelah kepergian Ibu Ana, Kara bergegas ke kamar mandi. Gadis itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkan tubuhnya. Pagi hari bukan jadwalnya memakai lulur dan membersihkan daki. Malam hari tubuhnya tidak banyak mengeluarkan keringat. Jadi, tidak perlu terlalu bersih.

Soal outif, gadis itu tidak pernah pusing memadun padankan warna. Isi lemarinya simpel, hitam, putih, abu, dan coklat. Warna kalem lainnya amat sangat sedikit.

Pagi ini, setelah mengeringkan badan. Kara memakai manset hitam dengan bawahan Baggypants, gadis itu juga menambahkan hoodie hitam untuk menutupi tubuh kurusnya. Sedih sekali.

Setelah memastikan semuanya perfect. Kara mengambil dompet kecil dan ponsel. Dengan lincah, gadis itu menuruni tangga.

Di anak tangga terakhir, bertepatan dengan Hendra yang hendak berangkat kerja, juga Ibu Ani di belakangnya membawa bekal untuk suami. Kara menggoda keduanya dengan semangat.

"Genre apa ini? kenapa romantis sekali," ucap Kara, gadis itu mendekat untuk bersalaman dengan Hendra. Alibi saja, sebenarnya hanya ingin meminta uang jajan.

"Perasaan kita enggak miara hewan ya Pak, kok ada burung gagak disini?" Ibu Ani membalas kalimat Kara.

Yang diajak bicara tidak menyahut, Hendra sibuk membuka dompet, memilih lembaran uang untuk putri kesayangannya. Berbeda dengan Kara yang langsung melotot. Bagaimana mungkin Ibu Ani tega mengatai anaknya sendiri dengan sebutan gagak.

"Siapa yang gagak juga?" Tanya Kara, tidak terima dengan julukan gagak itu.

Ibu Ani menunjuk pakaian Kara dengan netranya. "Itu, bajunya hitam-hitam. Udah kaya gagak," jelasnya sambil terkekeh.

"Aku pake celana coklat kok. Lagian warna hitam itu netral, biar enggak pusing-pusing mix-mac warna." Kara beralasan.

Ibu Ani hanya tertawa mendengar alasan Kara.

"Eh eh eh, Apa ini." Tiba-tiba Kara bertingkah seolah dirinya terhina saat Hendra menyodorkan 2 lembar uang seratus ribuan. Namun tangannya tetap mengambil uang tersebut. "Kurang ini mah," sambungnya dengan lirih.

"Tidak tahu terimakasih kamu ini yaa." Saat Hendra hendak menarik kembali uang itu, Kara dengan cepat memasukkannya ke dalam kantung Hoodie.

"Apapun yang sudah diberi dan diterima, tidak bisa dikembalikan," ucap Kara.

Hendra mengerutkan bibir, memasang stigma face. "Jadi begituuu."

"Yapp!" Seru Kara. "Eh, emm dimana Kak Liana?" tanya Kara kepada Ibu Ani.

Liana adalah nama Istri dari Kakaknya Kara, sedangkan kakak Kara sendiri bernama Budi. Mereka menikah tiga tahun yang lalu dan saat ini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama David.

"Di teras, barusan sampai. Cepat sana," jawab Ibu Ani.

Kara mengangguk paham, gadis itu bergegas meminta salam kedua orang tuanya. "Terimakasih Pak," ucapnya pada Hendra. "Senang berbisnis dengan anda," sambung Kara. Kemudian berlari meninggalkan keduanya.

"Halah, bisnis apa?" Hendra menggerutu.

Di Luar, Linda sudah stay di motornya sambil bermain ponsel. Wanita itu langsung menyalakan starter begitu melihat Kara keluar dari rumah. Tanpa basa-basi keduanya langsung melaju menuju pasar.

Kara duduk di belakang dengan tenang. Sepanjang jalan hanya mengamati ruko-ruko dan jalanan yang masih sepi. Beberapa penjual gorengan terlihat tengah sibuk menata barang dagangannya. warna warni jajanan pasar itu menarik perhatian Kara. Ingatnya, sehabis dari pasar gadis itu mungkin akan mampir sebentar membeli jajanan kesukaannya.

Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di pasar dengan sepeda motor. Begitu sampai, Linda memilih parkiran terdekat agar tidak terlalu jauh menenteng-nenteng barang belanjaan nantinya. Keduanya berjalan depan belakang memasuki area pasar tradisional yang untungnya sudah mengalami perbaikan. Kara bersyukur dalam hati, walaupun ramai, setidaknya aman dari genangan air mematikan yang dapat membuatnya bergidik jijik.

Kara terus membuntuti Linda ke sana kemari membeli kebutuhan beberapa sayur juga bumbu dapur. Hewan laut segar dan daging ayam tidak ketinggalan. Bau-bauan pasar yang bervariasi membuat Kara mulai pusing, gadis itu memang tidak tahan dengan bau yang terlalu menyengat dan campur aduk. Perutnya terasa mual, ingin muntah tapi tidak bisa. Rasanya seperti ingin jatuh saja, tapi sebisa mungkin ditahan.

Astaga, baru beberapa menit berjalan Kara merasa tubuhnya sudah serapuh ini. Tidak ingin mengambil resiko, Kara pamit pada Linda untuk menunggu di luar. Duduk di pelataran ruko sambil membawa barang yang sudah dibeli.

"Bisa-bisanya baru sedetik duduk, tubuhku sudah kembali segar. Memang paling pas tinggal di hutan ini. Udara segar dan sejuk, cocok untuk tubuhku yang masih steril." Batin Kara.

Gadis itu mengamati suasana jalan raya yang mulai ramai. Mengamati tukang parkir yang sibuk menata kendaraan, penjual jamu yang sedang meracik minuman untuk tukang becak dan ibu-ibu, dan masih banyak kegiatan disekitar pasar yang menarik untuk dinikmati.

Lalu lintas yang kebanyakan diisi para pelajar juga menarik perhatian Kara, gadis itu seakan kembali ke masa sekolah 2 tahun yang lalu. Berboncengan dengan Luna teman terdekatnya. Ngebut dijalan sepi, menjaga jarak dengan gerombolan motor pelajar laki-laki, dan merekam sunrise di jalan pesawahan. Indah sekali saat moment itu dibayangkan. Masa-masa dimana dirinya tidak begitu pusing memikirkan masa depan. Belajar dan bermain. Memang dari dulu Kara tidak banyak bergaul, tapi semenjak lulus sekolah gadis itu lebih-lebih tidak pernah bergaul. Tiba-tiba saja menjadi super introvert bahkan terkesan anti-sosial. Kemampuan berkomunikasi Kara juga menurun, pun dengan kecakapan merangkai kalimat.

Sedang Asik membayangkan masa lalu, Kara di buat penasaran dengan tingkah wanita parubaya, mungkin seusia Ibu Ani. Entah hanya Kara yang sadar atau lingkungan yang terlalu cuek. Wanita yang sedang berdiri di pinggir jalan itu terlihat aneh. Di bilang sedang menunggu angkutan umum, tapi sudah ada beberapa angkot yang lewat selalu diacuhkan.

Wanita itu sibuk bermain ponsel seperti ingin menghubungi seseorang tapi tidak bisa. Pandangannya juga kadang menyapu sekitar, seperti mengharap kehadiran seseorang. Sedetik kemudian kembali fokus pada ponselnya.

Hati kecil Kara tergugah, otaknya mengirim perintah untuk mendekati wanita itu dan menanyakan keadaanya.

"Em, bu. Itu, ada yang bisa saya bantu?" Suara Kara sedikit gemetar, gadis itu merutuk dalam hati kenapa begitu lancang. Bagaimana bisa langsung menawarkan bantuan tanpa basa-basi?

"Bodoh." Batin Kara mengumpat. Kara bahkan meninggalkan belanjaan Linda di depan ruko tanpa pikir panjang. Bagaimana jika ada orang jahil yang mengambil barang belanjaan itu? Sedetik kemudian berbagai macam penyesalan menghinggapi relung hati Kara.

Tapi syukurlah gadis itu tidak akan malu, niat baiknya menawarkan bantuan ternyata tepat sasaran. Wanita itu terlihat antusias dengan tawaran Kara.

"Eh, Nak, ini ponsel Ibu sepertinya habis kuota. Ibu mau menelpon putra ibu, nyuruh dia jemput tapi nggak bisa." Wanita itu mulai bercerita.

Kara mengangguk paham. "Pake ponsel saya aja, Bu," tawar gadis itu. Dan lagi-lagi gadis itu salah bicara.

Wanita di pinggir jalan bersyukur, "alhamdulillah. ya udah kamu catat nomornya ya... "

Baru saja ingin menolak, wanita itu sudah membacakan nomor ponsel putranya. Padahal maksud Kara ingin membuka hotspot supaya tidak perlu menyalin nomor, kontaknya pun tidak akan tersebar. Namun Kara kebingungan mencari kalimat yang cocok. Akhirnya dengan terpaksa, gadis itu menyalin nomor putra si wanita. Tanpa meminta nama, Kara menyimpan nomor itu dengan nama 'melon.'

"Fitur hotspot di ponselku sepertinya menangis, merasa tidak berguna."

...-----Typ, penulis amatir yang sedang menunggu tukang paket datang*....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!