NovelToon NovelToon

The Brightest Of Aquila

Prolog

Aquila merupakan salah satu rasi bintang dari 88 lainnya. Kau dapat melihatnya dari bumi. Rasi Aquila berada di langit gelap dekat dengan sabuk bima sakti. Aquila digambarkan sebagai elang, dan seekor elang biasanya terbang bebas di angkasa. Burung yang besar, kuat, bebas, dan berani. Dalam mitologi Yunani sendiri Aquila membawa Ganymede terbang ke gunung Olympus. Tak sampai disitu. Elang Aquila juga membawa mengangkut petir Zeus. Sungguh menakjubkan.

Rasi Aquila memiliki Altair sebagai bintang yang paling cerah, dan juga bintang Altair terletak paling dekat dengan bumi. Tanpa Altair, Aquila tidak akan indah, aku sangat yakin itu. Bagaimana jika Aquila tidak memiliki Altair-nya? Entahlah. Aku tidak pernah menemukan Aquila tanpa Altair.

Aku mengenal seorang gadis bernama Aquila. Dia sangat cantik. Benar-benar secantik itu. Aku bahkan tak mampu menemukan cela pada wajahnya. Wajahnya perpaduan barat, dan asia. Benih matanya coklat. Rambutnya pirang keabuan sedikit ikal di bawahnya. Tubuhnya mungil tak sampai 170 sentimeter namun ideal. Sangat sempurna.

Aku ingin menceritakan tentang gadis ini. Kisahnya bukan sebagai Cinderella yang menemukan pangerannya. Bukan juga Belle yang bertemu Si Buruk Rupa. Kisah gadis ini unik. Aku sendiri sampai tak mengerti mengapa gadis ini masih mampu bercahaya di kegelapan malam. Cahaya miliknya seakan tak pernah redup. Gadis itu selalu di sana. Bercahaya di gelapnya malam. Menciptakan takdirnya sendiri.

Hidup sebagai tahanan di rumah sendiri, dibesarkan oleh pelayan-pelayan membuatnya menciptakan dunia sendiri. Dunia dimana tak seorangpun diizinkan ikut masuk. Aquila berusaha tuk terus bercahaya di dunianya. Menjadi terang di gelapnya kehidupan. Menjadi pusat perhatian dalam dunianya.

Hingga musim panas ke tujuh belas dalam hidup gadis itu. Seakan takdir melempar Altair yang dicarinya selama ini. Setelah sekian banyak pengawal yang dipekerjakan untuknya. Sekian banyak juga pengawal yang memilih untuk berhenti menjaganya, lelah dengan setiap tekanan darinya. Untuk pertama kali dalam hidup Aquila, dirinya ingin dijaga. Aquila mulai membuka dunianya untuk pria ini. Tak banyak yang bisa diharapkan sang pria mengingat gadis yang dijaganya adalah atasannya.

Robert Prayanto. Bukan hal mudah menjaga putri dari seorang petinggi di Inggris. Banyak musuh yang mengincar nyawa putri terakhir dari tuannya. Satu tahun. Hanya satu tahun dirinya harus bertahan. Bukan hanya bertahan untuk menjaga gadis itu tapi juga bertahan untuk tak jatuh cinta pada Aquila. Gadis dengan sejuta pesona yang tak pernah terlihat itu mampu mengalihkan pandangannya hingga membuat dirinya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Setengah dirinya menyesali kesalahan itu tapi setengah dari dirinya sama sekali tidak menyesalinya.

Lari dari satu hutan ke hutan lainnya, menghindari kartel-kartel yang mengincar nyawanya, hingga terjebak badai salju di ketinggian. Apa benar dirinya melakukan ini karena janji kerja di atas hitam dan putih? Aquila yang mulai menemukan Altairnya, seorang penjaga yang memutuskan untuk berhenti.

Robert yang memutuskan untuk berhenti, dan kembali kepada kehidupan normal. Kembali pada hari-hari dimana dirinya mengerjakan berkas-berkas. Hari dimana dirinya hidup kesepian sebatang kara. Hari-hari dimana Robert bukanlah Altair dari Aquila.

Malam itu. Pertemuannya dengan seorang penyanyi, Arsenio Callahan seakan menggesernya dari takdir yang seharusnya. Kecakapannya selama menjadi pengawal pribadi memudahkannya selama mendampingi Arsen sebagai penyanyi. Bertahun-tahun dirinya melarikan diri dari takdirnya sebagai Altair. Robert tak ingin kembali pada masa lalu itu.

Pasal I : Kontrak

Aku harap diriku di masa depan tidak menyesali ini. Aku menekan bagian atas pena yang kugenggam kemudian membubuhkan tanda tangan pada kertas di depanku. Atasanku tersenyum padaku lalu menjabat tanganku. Aku menarik sedikit bibirku menghormatinya. Yang baru saja ku tanda tangani adalah kontrak kerja. Ini adalah kontrak pertama setelah dua tahun pelatihan. Aku akan bekerja sebagai pengawal pribadi di kediaman Thomson Walsh. Aku akan mengalami masa percobaan tiga bulan barulah setelah tiga bulan mereka akan memutuskan untuk memperpanjang kontrak menjadi satu tahun atau tidak. Keluarga Walsh sering berganti pengawal. Satu tahun belakangan keluarga Walsh terus berganti pengawal. Tidak seluruhnya, hanya satu. Aku tak tahu apa yang terjadi karena tutup mulut adalah salah satu isi kontrak itu.

Aku kembali ke kamar asrama yang kutempati selama ini. Aku membereskan barang-barangku. Aku mengamati rak buku di dinding kamarku. Aku sangat suka membaca buku tentang cerita fantasi terutama. Aku tak mungkin membawa buku-buku ini ke tempat baru nanti. Aku mulai memasukan buku-buku itu ke kardus termasuk album foto. Satu-satunya album foto yang aku punya. Sekarang bukan waktunya menjadi melankolis.

Setelah membereskan barang-barang aku di kamar duduk di atas kasur. Matahari masuk jendela yang terbuka. Aku berharap keputusanku untuk masuk ke tempat ini tidak akan kusesali. Saat ini aku akan bekerja. Mengerjakan hal yang kusukai, melindungi orang lain.

Kembali aku berkelana ke dua tahun yang lalu. Dua hari setelah aku wisuda di Akademi Seni Korea. Semuanya lenyap. Villa yang ditempati keluargaku beserta isinya. Api berkobar di depan mataku sendiri melahap nyawa kedua orang tua yang sudah membesarkanku. Aku tak ingin lagi menjadi aktor setelahnya. Aku meninggalkan kehidupan yang sudah kutata baik-baik. Dengan semua yang tersisa aku memutuskan untuk terbang ke Inggris dan masuk ke sekolah pengawal. Jadi disinilah aku.

Pagi ini aku dijemput dengan sedan hitam. Dari mereknya saja aku tahu bahwa ini bukan mobil murah. Ada seorang supir, dan seorang lainnya saat aku masuk ke mobil. Keduanya menggunakan setelan jas hitam. Dari wajahnya aku dapat menebak mereka memiliki keturunan asia. Seingatku kediaman Walsh memang kebanyakan menerima orang asia. Jika pelamar dapat menggunakan Bahasa Indonesia akan lebih diutamakan. Aku beruntung lahir, dan besar di Indonesia. Tak ada percakapan apapun di dalam mobil membuat perjalanan yang memakan waktu lama menjadi membosankan.

Kini aku berdiri di dermaga kayu di pinggir Liverpool. Matahari belum sampai di atas kepala. Udara bertiup malu-malu menerbangkan rambutku. Sebuah speed boat yang cukup mewah mendekat. Dua orang bersamaku tadi naik lebih dulu. Aku tak tahu kemana mereka membawaku. Dari informasi yang kudapat sejauh ini, kediaman Thomson Walsh berada di London. Pasti ini kediaman yang lainnya. Orang penting seperti keluarga Walsh tak mungkin diam di rumah yang dipublikasikan.

Sebuah dermaga kecil perlahan terlihat. Dari kejauhan aku dapat melihat beberapa pria dewasa berdiri di dermaga itu. Aku yakin pria yang berdiri paling depan adalah Thomson Walsh. Pria itu memiliki wajah asia. Tubuhnya masih bugar di usia yang tidak lagi muda. Dibandingkan pria lain disana Thomson sedikit lebih pendek namun tidak menutupi auranya. Thomson menghampiriku saat aku turun dari speedboat. Bibirnya tersenyum tipis kemudian menjabat tanganku.

“Kamu pasti Robert.” kata Thomson menggunakan bahasa Indonesia masih menjabat tanganku. Dari logatnya orang akan mempercayai bahwa Thomson adalah orang Indonesia. Thomson bukan orang asli Indonesia. Seingatku mendiang istrinya adalah orang Indonesia maka dari itu Thomson bisa fasih berbahasa Indonesia.

“Senang bertemu dengan Anda, Pak!” sapaku ramah. Setelahnya langkahku dituntun ke sebuah ruangan. Ini perpustakaan pribadi sepertinya, dapat kulihat dari dinding yang dipenuhi buku. Ruangan ini sangat sejuk membuat siapa saja akan betah. Jendela-jendela besar menambah keindahan ruangan ini.

“Duduklah!” perintah Thomson saat kami di ruangan itu. Aku duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Ada sebuah map hitam di atas meja yang tepat berada di depanku.

“Baca itu!” perintah Thomson sambil menunjuk map hitam itu. Aku membukanya kemudian membaca kertas yang ada di dalamnya perlahan.

“Kau akan terikat kontrak disini selama tiga bulan, setelahnya aku akan mengevaluasi kerjamu, jika aku menyukainya kau akan melanjutkan selama sembilan bulan.” kata Thomson selagi aku membaca kontrak itu. Seharusnya aku bisa menjalani isi kontrak ini dengan mudah.

“Kau juga akan punya partner kerja.” kata Thomson lagi. Aku mendongak menatapnya.

“Tugasmu adalah melindungi Aquila, dan partner-mu, partner-mu bertugas untuk mendampingi Aquila, Kau mengerti?” lanjut Thomson. Raut wajahnya berubah serius. Aku mengangguk masih dengan memegang map hitam. Aku meletakkan map yang kupegang ke atas meja lalu menandatanganinya dengan pulpen yang sudah ada di atas meja sedari tadi. Thomson tersenyum puas melihatku.

“Baiklah, kau boleh keluar. Harry akan menunjukan ruanganmu.” usir Thomson halus. Aku bangkit dari sofa kemudian mengangguk sopan pada Thomson lalu berjalan ke pintu.

Saat aku keluar, pria yang bersamaku tadi sudah berada di depan pintu dengan seorang perempuan seumuranku. Keduanya menggunakan setelan jas hitam. Tanpa berkata keduanya berjalan menyusuri lorong. Rumah ini sangat luas. Aku berjalan menuju gedung lainnya. Rumah yang mengusung tema minimalis namun sangat besar. Beberapa dinding terbuat dari kaca. Kini aku ada di sayap kanan rumah.

Aku diberikan kunci sendiri untuk kamarku. Saat masuk barang-barangku sudah disana. Ruangan ini tiga kali lebih besar dari kamar di asrama. Semua fasilitas yang diberikan lebih dari cukup. Tidak mungkin pengawal sebelumnya keluar karena kurangnya fasilitas, aku jadi bertanya-tanya seperti apa Aquila hingga membuat banyak pengawal menyerah.

“Ini ruangan Anda, dan ini adalah partner kerja Anda. Semua akan dijelaskan oleh Nona McKenzie, saya permisi.” kata laki-laki yang sepertinya bernama Harry kemudian keluar kamar. Perempuan yang tersisa kemudian menghempaskan diri ke sofa yang ada di kamar. Perempuan itu kemudian membuka map biru yang ada di tangannya.

“Robert Prayanto, 24 tahun, kelahiran Indonesia….” ucap perempuan itu datar.

“Siapa namamu?” potongku.

“Chris, Christina McKenzie.” jawab perempuan itu lebih datar.

“Apa itu?” tanyaku mempertanyakan map yang dipegangnya.

“Pekerjaanmu.” katanya lalu menyodorkan map biru itu. Aku mengambilnya lalu meletakkannya di atas kasur.

“Siapa panggilanmu?” tanya perempuan itu lebih datar lagi.

“Robert.” jawabku.

“Terlalu panjang.” ucap perempuan itu lagi. Perempuan itu berpikir sejenak lalu kembali berkata, “Lebih baik R (dibaca : ar).” aku menatapnya.

“Aku Chris (dibaca : kris).” katanya sambil mengulurkan tangan. Aku menjabat tangan perempuan itu, Chris. Chris lalu beranjak dari sofa.

“Pelajari isi map itu!” perintahnya sebelum keluar kamar.

Aku memperhatikan sekitar. Kubongkar semua barangku. Aku tak menyangka dapat menyimpan buku-buku di tempat kerja. Aku merapikan semua barangku. Bahkan tempat ini lebih dari kata nyaman untuk seorang pengawal. Pintu kamarku diketuk. Aku membukanya. Itu Chris.

“Kau harus bertemu dengan Nona Aquila sekarang, pakai jas kerjamu, ada di lemari.” kata Chris. Aku kembali masuk ke kamar kemudian membuka lemari. Ada sepuluh setelan jas. Aku memegangnya takjub. Dari bahannya saja ini bukan murahan. Aku segera berganti baju kemudian keluar.

Setelah menyusuri lorong yang menghubungkan rumah utama, dan sayap kanan, sampailah aku di sebuah pintu. Sebuah pintu putih dibuka di depanku. Seorang gadis duduk di ujung meja. Dia sangat menawan, siapapun akan terpesona saat pertama melihatnya termasuk aku. Aku mempertahan wajah tegasku. Aku, dan Chris masuk ke dalam ruangan. Gadis itu masih sibuk dengan buku di tangannya.

“Nona.” sapa Chris sopan. Gadis itu mendongak lalu menatap diriku lembut sesaat kemudian berubah menjadi datar, lebih datar daripada Chris.

“Ini pengawal baru itu?” tanya gadis itu angkuh dengan buku di salah satu tangannya. Alisnya dinaikkan satu seakan menantang. Mungkin itu penyebab tidak satupun pengawal mampu bertahan. Aku tidak menyangka jika gadis itu sendiri penyebabnya.

SURAT PERJANJIAN KERJA

No. 1/PA/004

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama      : Robert A.A. Prayanto

Alamat    : 21, Walmer St. Hereford

Pada hari Senin, 1 Juni 2009, dengan memilih, dan mengambil Aquila Mansion sebagai tempat kerja. Nama yang tercantum di atas setuju untuk mengikat diri dalam Perjanjian Kerja dengan syarat, dan ketentuan sebagai berikut.

Pasal I

Lama Perjanjian

Pekerja bersedia bekerja selama 3 (tiga) bulan sebagai masa percobaan kerja. Kelanjutan masa kerja akan ditangguhkan kembali setelah masa percobaan kerja habis.

Jika pekerja mengundurkan diri sebelum masa percobaan kerja habis, pekerja akan ditanggungkan denda sebesar Rp. 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal II

Tempat Tinggal dan Jam Pekerja

Selama terikat dalam Perjanjian Kerja, pekerja akan tinggal di Aquila Mansion yang bertempat ini  Walsh Private Island 04, Irish Sea.

Pekerja tidak boleh meninggalkan Aquila Mansion tanpa seijin Thomson Walsh, atau Harry Tomblor kecuali dalam menjalankan tugas.

Pekerja akan bekerja selama dua puluh empat jam dalam tujuh hari.

Pekerja dapat beristirahat saat Nona Aquila di dalam kamarnya atau diijinkan.

Pekerja harus bekerja saat sewaktu-waktu diperlukan.

Pasal III

Deskripsi Kerja

Selama terikat Perjanjian Kerja, pekerja diharuskan menyelesaikan pekerjaan yang sudah dibebankan (lampiran).

Pasal IV

Larangan

Dalam menjalankan tugas pekerja dilarang untuk sebagai berikut.

Melakukan kontak fisik tanpa ijin dari yang Nona Aquila Walsh.

Pergi dari lokasi tanpa seijin Thomson Walsh, atau Harry Tomblor.

Menggunakan bahasa selain Indonesia, dan Inggris.

Membuat keputusan diluar ijin Thomson Walsh.

Larangan yang dibuat di luar Surat Perjanjian Kerja dapat diberlakukan jika diperlukan

 

Pasal V

Hak Pekerja

Selama melakukan tugasnya, pekerja dapat dengan bebas menggunakan fasilitas yang disediakan kecuali fasilitas pada rumah utama.

Penambahan fasilitas dapat diberlakukan jika diperlukan

Pasal-pasal di atas dapat ditambah atau dikurangi sewaktu-waktu jika diperlukan.

Walsh Private Island 04, 1 Juni 2009

Yang bersangkutan

 

 

 

Robert A.A. Prayanto

 

 

Aku bertanya-tanya mengapa orang membuat kontrak jika sewaktu-waktu mereka dapat merubahnya. Setelah sekian lama berpikir, aku mengerti. Itu karena mereka orang berada yang ingin semua berjalan sesuai keinginannya.

Menurutku membuat kontrak hanya membuatmu terlihat pengecut. Mengapa? Karena kau takut menghadapi kemungkinan yang tidak pasti. Kau terlalu takut menjadi kalah. Kau terlalu takut apa yang kau percayai selama ini ternyata salah. Bukankah hidup seperti itu? Tidak ada yang pasti. Kau harus maju, dan menghadapi apapun yang ada di depan. Bukan membuat sesuatu untuk memastikan bahwa ada kambing hitam yang bisa kau salahkan.

Pasal II : Welcome to Hell

“Ini pengawal baru itu?”

“Iya, Nona. Kau dapat memanggilnya….”

“R! Panggil aku R.” aku memotong ucapan Chris.

“Baiklah, R!” kata gadis itu dengan menekan namaku. Diletakkan buku itu ke atas meja. Gadis itu turun dari meja makan kemudian berjalan mendekat padaku. Gadis itu berjalan angkuh dengan melipat kedua tangannya di depan dada.

“Aku Aquila.” kata gadis di depanku dengan angkuh namun anggun. Pupil coklat besar itu seakan berusaha untuk membuatku takut.

“Aku yakin pekerjaanmu adalah mengikuti kemana saja aku pergi. Hari ini aku ingin bertamasya ke hutan. Kau dapat mengikutiku dari jauh. Jangan suruh aku pulang.” kata gadis itu lalu berjalan melewatiku, dan Chris.

“Welcome to hell!” kata Chris pelan, dan rendah. Aku melirik Chris, perempuan itu mengeluarkan seringai jahat. Chris mennyusul Aquila keluar ruangan.

Kini aku berjalan mengikuti gadis itu dari jauh. Chris berjalan berdampingan dengan Aquila di depanku. Hutan ini terletak tepat di belakang rumah. Bukan hutan lebat nan membahayakan. Hanya hutan kecil di pinggiran laut. Aku memikirkan ucapan Chris yang terakhir di ruang makan utama tadi. Jadi mereka berdua akan menjadi neraka bagiku. Wajah Aquila tak cocok memerankan karakter itu begitu juga Chris. Aku harus mengakui keduanya memiliki wajah yang manis tapi mengapa mereka lebih memilih untuk memasang wajah angkuh nan garang. Aquila, dan Chris terlihat akrab. Mereka berjalan berdua di depanku seakan sudah saling mengenal lama. Apa mungkin keduanya tidak ingin ada pengawal tambahan?

Aku terus memikirkan kemungkinan yang terjadi saat kedua gadis itu memilih untuk berdiam di pinggiran pulau sambil bermain pasir putih. Jas hitam Chris di lepas lalu dibiarkan disampirkan pada salah satu pohon. Aku duduk di bawah pohon yang agak jauh dari kedua perempuan itu.

Dari kejauhan aku melihat seorang pelayan paruh baya berjalan mendekat. Seingatku namanya Arum. Wanita itu memberikan keranjang kayu padaku. Aku melirik keranjang kayu yang dikirim pelayan dari rumah. Aku membuka wadah itu. Ini makanan Indonesia, opor ayam. Aku mengambil sendok dari dalam keranjang kemudian memakan opor ayam ini perlahan sambil tetap memperhatikan kedua perempuan itu dari jauh.

Angin sore perlahan bertiup. Bau air laut semakin terasa. Matahari bersiap untuk tenggelam di barat sana. Dari jauh aku melihat Aquila tertidur sambil bersandar pada pohon di tepi pantai. Kedua perempuan itu tidak menunjukan tanda-tanda akan pulang cepat. Saat matahari sudah nyaris menghilang, Chris berjalan menghampiri aku.

“Kau harus menggendongnya masuk.” kata Chris sambil membawa jas di salah satu tangannya. Aku bangkit lalu menghampiri Aquila. Tunggu, ada yang salah. Chris tidak sinis, dan angkuh seperti tadi. Pasti ada yang salah. Aku mengamati Aquila beberapa saat. Gadis ini benar-benar tertidur. Aku mencoba berpikir, mencari hal yang salah. Ah! Mereka mencoba menjebakku. Mereka berusaha membuatku melanggar kontrak. Aku berbalik kembali ke Chris. Aku memasukkan tanganku ke kantong celana.

“Kembalilah ke rumah, ambilkan selimut, dan bantal! Aku tidak bisa menggendongnya tanpa izin.” perintahku pada Chris. Perempuan ini mengerutkan dahi menatapku tak percaya. Benar! Mereka mencoba menjebakku. Chris kemudian mengangguk, dan pergi.

Aku mengamati Aquila yang masih terlelap. Kurasa mereka sudah memiliki pola untuk mengusir pengawal yang ditugaskan ayahnya. Kontrak itu tidak murni dari Thomson semua, pasti ada campur tangan Aquila. Mengapa mereka berusaha mengusir pengawal yang diberikan?

Chris datang membawa bantal, dan selimut. Aku menyuruh Chris menyelimuti Aquila. Aku tetap di tempat ini sedangkan Chris kembali ke rumah. Sebentar lagi jam makan malam, seharusnya gadis ini sudah berada di meja makan untuk jamuan bersama keluarganya. Aku membuat api unggun di dekat Aquila untuk menjaga diri tetap hangat.

Aquila mulai terusik dari tidurnya. Beberapa kali tubuhnya bergerak membuat selimutnya tersingkir. Gadis itu mulai membuka mata. Beberapa kali matanya berkedip mengumpulkan nyawa. Gadis itu menggerakkan lehernya seakan berusaha menyingkirkan sesuatu.

“Kenapa kita masih disini?” tanya gadis itu dengan suara parau. Tidak ada Aquila yang angkuh atau sinis.

“Karena kau tertidur, dan tidak mau diganggu.” jawabku enteng. Gadis itu masih mengerjapkan mata lagi kemudian perlahan bangun. Aquila berjalan menuju rumah dengan beberapa kali mendengus sebal. Aku membereskan selimut, dan bantal yang digunakan tadi lalu mengikuti Aquila pulang. .

Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Sekarang pukul sepuluh. Aku melepas jas yang kugunakan lalu melemparnya ke sofa kecil di sebelah jendela. Aku mengambil map biru yang diberikan Chris padaku tadi pagi. Aku belum sempat membacanya. Aku duduk di atas kasur lalu membacanya perlahan. Kertas pertama berisi biodataku, kertas kedua merupakan resume yang kukirim saat melamar disini, dan kertas ketiga berisi tugas-tugas yang harus kupenuhi.

...

Tugas Pengawal Utama VIP

Melaksanakan Surat Perjanjian Kerja yang sudah ditandatangani.

Mengikuti kemanapun VIP kecuali kamar pribadi, kamar kecil, dan saat bersama keluarga inti Walsh.

Menjaga jarak saat VIP menginginkannya.

Mengutamakan keselamatan VIP diatas keselamatan diri sendiri.

Membuat laporan harian yang kemudian dikirim kepada Harry sebelum pukul 23.59, pengecualian bila ada kerja lembur.

...

Hanya lima tugas. Empat praktek, dan satu tertulis. Aku harus menulis laporan sekarang sebelum batas waktu. Aku menatap komputer yang ada di ruangan ini. Segera aku menyalakan komputer itu lalu mengetikkan semua kegiatan Aquila hari ini.

...

Ini keesokan harinya. Sekarang aku di perpustakaan lagi. Kali ini aku tidak menemui Thomson ataupun Harry. Aku menemui Augaria Walsh. Dia adalah anak pertama. Umurnya dengan Aquila berjarak sepuluh tahun. Aku baru mengetahui itu kini.

“Aku hanya ingin menyapa pengawal baru adikku.” kata Augaria membuka percakapan sambil meletakkan map biru ke atas meja. Sepertinya itu laporan yang kubuat tadi malam. Augaria berbeda dengan Aquila. Wajah pria ini memang terkesan dingin jadi aku tak terlalu aneh dengan sikap angkuhnya.

“Biasanya pengawal Aquila akan melakukan kesalahan pada hari pertama mereka.” kata Augaria sambil memainkan gelas anggurnya. Logat Augaria jauh dari kata baik. Pria ini memiliki logat asli Inggris sehingga terlihat aneh mendengarnya berbicara bahasa Indonesia.

“Saya berusaha melakukan yang terbaik.” kataku lalu tersenyum canggung. Augaria menyeringai sinis lalu menyesap anggur nya sedikit.

“Mereka memiliki banyak cara untuk membuatmu mundur sebelum tiga bulan.” kata Augaria sambil menatap gelasnya. Aku mengangguk canggung.

“Sebentar lagi Ellie akan berangkat, kau sebaiknya keluar sekarang.” kata pria di depanku ini sambil menatap mataku dalam.

“Baik, saya pamit.” kataku kemudian bangkit dari sofa. Aku berjalan ke pintu.

“Oh ya, R. Panggilkan Christina untukku.” tambah Augaria saat aku memegang gagang pintu. Aku mengangguk lalu keluar ruangan. Chris ada di depan pintu saat aku keluar.

“Kau dipanggil.” kataku. Wajah Chris berubah tegang. Pupilnya membesar beberapa saat. Aku mengerutkan dahi heran. Mengapa Chris begitu kaget? Chris berusaha menetralkan kembali wajahnya. Perempuan itu mengangguk kemudian masuk ke perpustakaan sedangkan aku berjalan ke lantai dua rumah utama untuk menemui Aquila. Aku mengetuk pintu kamar Aquila beberapa kali.

“Masuk!” suara dari dalam sana mengijinkan. Aku membuka pintu di depanku. Yang pertama kulihat adalah sofa. Ini lebih mirip ruang tamu ketimbang kamar. Aquila muncul dari balik tembok masing menggunakan kimono coklat berbahan satin. Aku mengerti. Kasur, dan ruang duduknya dipisahkan oleh tembok.

“Kita berangkat sekarang, Nona?” tanyaku sesopan mungkin.

“Tunggu aku di bawah.” jawab Aquila sinis. Aku segera keluar dari kamar Aquila lalu turun ke bawah. Speed boat sudah menunggu, bukan yang kupakai kemarin. Ini berbeda, ukurannya lebih besar. Aku penasaran mengapa mereka lebih memilih tinggal di pulau pribadi seperti ini yang merepotkan jika ingin berpergian.

Aquila keluar dari rumah bersama Chris. Aquila menggunakan gaun biru tua sedikit di atas lutut dengan luaran mantel sewarna. Kacamata hitam menambah kesan elegan padanya. Topi hitam, dan tas jinjing abu yang digunakannya menambah kesan berkelas kerajaan Inggris. Penampilan Aquila sangat sempurna. Chris mengenakan jas kerjanya, seperti biasa.

Perjalanan menuju pulau utama Inggris memerlukan waktu setidaknya dua puluh menit. Aquila berdiri di dek belakang sendirian. Chris berada di ruang kendali bersama kapten kapal. Aku mengamati gadis itu mencegah hal tidak diinginkan terjadi seperti percobaan bunuh diri, mungkin.

Sebuah mobil sedan sudah menunggu saat tiba di dermaga. Aquila turun dari speed boat lalu melepas kacamatanya. Gadis itu berjalan di belakang Chris ke arah mobil. Chris membukakan pintu untuk Aquila. Aku duduk di depan menemani supir sedangkan Aquila, dan Chris di belakang. Aku belum terlalu mengenal Liverpool, dan ini adalah hari keduaku bekerja. Mungkin aku yang akan mengendarai mobil jika sudah bekerja beberapa minggu.

Mobil berhenti di sebuah pertokoan. Mobil berhenti tepat di depan toko dengan papan nama AB. sepertinya ini sebuah butik. Aquila, dan Chris turun. Aku ikut turun dan mengikuti kedua perempuan ini masuk ke butik. Seorang pegawai menghampiri Aquila sambil menyerahkan berkas. Aku menyimpulkan ini adalah butik milik Aquila. Chris terus mengikuti Aquila naik ke lantai dua.

Aku melihat-lihat sekeliling. Butik ini didominasi warna biru tua, hitam, dan putih. Sebuah patung menarik perhatianku. Patung itu mengenakan gaun yang sama seperti yang digunakan Aquila hari ini. Gaun ini memiliki detail yang indah. Ada kantong di bagian kanan gaun ini. Kantong ini dibuat tak terlihat jadi siapapun tak akan menyadari bahwa ada kantong disini. Mungkin untuk menyimpan barang berharga. Aku tak menyangka gadis 17 tahun mampu mendesain pakaian sebagus ini. Aquila, dan Chris turun dari lantai dua. Keduanya kemudian berjalan keluar. Chris membukakan pintu tapi Aquila tak segera masuk. Gadis itu kemudian berbalik menatapku.

“Ambilkan kacamataku di lantai atas, sepertinya tertinggal.” kata Aquila padaku angkuh. Aku berpikir sejenak. Seingatku Aquila melepasnya sejak di dermaga jadi tidak mungkin tertinggal di atas.

“Kau yakin?” tanyaku sesopan mungkin namun gagal.

“Lalu dimana menurutmu? Di tasku tak ada!” balas Aquila menaikkan nada bicaranya.

“Kantong gaunmu?” balasku menantang. Wajahnya seketika berubah kesal. Aquila lalu tak lagi berkata. Gadis itu masuk ke dalam mobil.

Aku memikirkan maksud Aquila menyuruhku mengambil kacamata yang jelas-jelas dirinya tahu berada di kantong gaunnya. Ada kemungkinan mereka akan meninggalkanku di butik sehingga kedua perempuan itu bebas tapi mengapa? Apa yang membuat mereka tak ingin ada pengawal lain?

Aku berusaha menyambungkan apa yang terjadi di sekitarku. Aquila, dan Chris berusaha untuk menciptakan neraka untukku agar aku tak betah, dan akhirnya mengundurkan diri. Sayangnya sejauh ini aku mampu memadamkan neraka mereka tapi entah neraka di hari-hari mendatang. Aku akan berusaha semampuku memadamkan api mereka. Satu hal yang aku yakini mereka memiliki alasan di balik api yang mereka ciptakan. Walaupun aku berhasil bertahan, aku takut jika mereka sendiri yang pada akhirnya terbakar api ciptaannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!