"Rin, tolong ambilin stok lily di ruang penyimpanan."
"Uda abis Ma. Tadi dibawa semua ke kantornya Pak Mail," jawab Arin dengan tangan yang sibuk merangkai buket.
Hari ini florist milik keluarganya amat ramai pembeli. Apalagi jika bukan karena acara wisuda di kampus yang tak jauh dari sini. Tak hanya semua macam jenis lily, tapi mawar merah pun sudah habis terjual sejak pagi tadi.
Untung saja salah satu karyawan langsung gerak cepat untuk mengambil mawar ke produsen karena pihak sana juga mengalami overload.
"Loh kamu gimana sih? Mama kan uda bilang sisain buat pesenan Jeng Nafisa. Terus gimana ini? Mana jam 10 mau diambil," Sulis menaikkkan nada suaranya pertanda kesal.
"Tante Nafisa kan pesen buat hari Senin, Ma. Ini masih Minggu," ucap Arin mengingatkan.
"Ya ampuun, kenapa ngga bilang dari tadi? Mama uda panik tau ngga."
Arin hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia sudah khatam dengan sifat Mama yang seringkali heboh jika florist sedang kebanjiran pelanggan.
"Rin, ada paket tuh. Uangnya uda Mama siapin di laci belakang paling atas," teriak Sulis.
Ia mengangguk lemah. Meminta maaf pada pelanggan yang berdiri tepat di hadapannya karena pekerjaannya harus diundur untuk menerima paket. Arin jadi heran, padahal disini ada banyak karyawan, tapi kenapa selalu dirinya yang disuruh-suruh?
"Paketnya aku taruh di meja belakang ya," tuturnya ramah. Meskipun Arin memendam kekesalan, tapi ia harus tetap sopan.
"Kamu ngga baca isi paketnya? Itu flower wrap. Ngga liat tuh uda mulai menipis?" Mama menunjuk rak di pojok depan dengan wajah sinis.
"Tapi aku lagi layanin pelanggan Ma," jawabnya lembut. Menatap pelanggannya yang masih menunggu di depan etalase.
Sulis menatap sang anak datar. "Biar dilayanin sama yang lain. Kamu urus itu dulu."
Tak ingin membuat Mama kesal, Arin bergegas menata wrap sesuai dengan jenisnya. Kegiatannya terpaksa terhenti saat seorang pria berpakaian santai terlihat bingung di depan deretan bunga segar.
"Permisi mas, butuh bantuan?" Tanya Arin dengan suara lembut.
Arin hampir berteriak saat menyadari bahwa pria itu memiliki ketampanan yang tak manusiawi. Baru kali ini ia melihat pria dengan wajah yang begitu simetris dan terlihat sempurna.
Ok tenang, ia harus professional.
"Saya butuh buket bunga mawar merah," ujar pria itu dengan mata yang meneliti semua bunga.
"Maaf Mas, tapi mawar merahnya masih dalam perjalanan. Kira-kira sampai sa..."
"Untuk malam ini. Ada jasa antar kan?" Tanya pria itu memotong ucapannya.
"Hah? Gimana? Oooh ada mas. Mari silahkan masuk."
Pria itu mengekorinya masuk ke florist. Tentu saja Arin langsung menuju meja khusus pemesanan, mencatat pesanan tersebut. Pikirannya sedikit tergoncang karena bau harum yang begitu maskulin.
Astaga, jika tidak sedang bekerja, pasti Arin sudah dibuat mabuk kepayang. Ditambah lagi dengan dada manusia itu yang amat lebar. Rasanya ia tengah dipanggil-panggil untuk bersandar disana.
Arin berdiri di balik etalase. Memberikan daftar harga pada pria itu. "Kami ada beberapa ukuran buket Mas. Mulai dari yang kecil, medium, dan besar. Untuk bunganya, mau dikombinasi dengan bunga lain atau..."
"Yang medium. Baby breath, cukup buat pemanis aja. Jam 7 malam uda harus diantarkan ke Hotel Happy atas nama Fahreyza."
Ia mengangguk paham. Memasukkan pesanan tersebut ke tablet agar pembayarannya bisa segera diproses oleh karyawan yang bertugas sebagai kasir.
"Baik Mas. Silahkan lakukan pembayaran di kasir."
Setelah selesai melayani pria itu, Arin bergegas menghampiri truk yang berhenti tepat di depan florist. Banyaknya jenis bunga yang berdatangan, membuat senyumnya melebar.
Sebagian besar bunga ini akan dijadikan buket untuk dikirim ke kantor Pak Mail. Ia juga tidak tau ada acara apa di perusahaan tersebut, yang pasti pesanan buket beliau amatlah banyak.
"Mbak, uda dikasih tau kan kalo anggrek bulannya cuma ada 5?" Tanya salah satu pria setelah menurunkan semua bunga pesanannya.
"Uda kok Mas. Makasih ya."
Arin menyerahkan tugas untuk menata bunga pada 2 karyawan. Ia sendiri kembali berkutat untuk menata wrap. Karena tidak hati-hati, ia tidak sengaja menyenggol bahu salah satu pelanggan dan...
"AAAAHHH!"
Ia yang tadinya menutup mata, sontak melek saat tidak merasakan sakit di bagian tubuhnya. Sosok pria yang memeluk pinggangnya erat, membuat nafasnya tertahan.
Oh god, apa-apaan ini? Bagaimana bisa manusia setengah dewa tadi berada sedekat ini? Tubuhnya tidak bau kan? Mata Arin langsung melotot saat merasakan pegangan tangan di pinggangnya melonggar.
BRAK
"Aaaaawwww, kok dilepasin sih? Sakit tauuuu!!!" Teriak Arin kencang. Ia sampai mengusap pantat yang mencium lantai terlebih dahulu.
Bukannya meminta maaf, pria itu malah menatapnya datar dan langsung pergi begitu saja. Kurang ajar. Ia pikir, dia adalah pangeran. Tapi ternyata sosok manusia kejam dan tak berperikemanusiaan.
Memang benar kata pepatah, don't judge a book by the cover.
*****
Arin memarkirkan sepeda ontelnya di depan sebuah hotel mewah. Ia sempat takjub karena ternyata tempat ini lebih indah jika dilihat dari dekat. Lokasinya memang lumayan dekat dengan florist. Meskipun begitu, ia sekalipun tidak pernah menginap disini.
Jangankan menginap, masuk saja tidak pernah.
Ia masuk ke Hotel Happy dengan mantap. Menatap manusia di sekitar yang wara-wiri entah ada urusan apa. Arin sedikit deg-degan, takut diseret karena dikira penyusup.
"Permisi mbak, saya mau anter pesanan bunga buat Pak Fahreyza," Arin meletakkan buket di meja resepsionis. Tangannya lumayan lelah karena sejak tadi bekerja tanpa henti.
"Tadi Pak Fahreyza uda pesen sama saya, katanya mbak disuruh anter langsung ke kamarnya," ucap salah satu resepsionis.
"Hah? Serius mbak? Duuh, ngga bisa mbak aja ya? Saya uda capek banget ini mbak, sumpah," mohonnya sambil menyatukan jari. Punggung Arin sudah sangat merindukan kasur.
"Aduh ngga bisa mbak. Saya ngga mau kena sembur sama beliau. Kamarnya nomor 1909 ya mbak."
"Kena sembur? Dih emangnya dia siapa? Pemilik hotel ini apa gimana?" Tanyanya pada diri sendiri.
Arin mengangguk pasrah. Dengan berat hati, ia mengambil buket itu dan melangkah menuju lift. Awas saja jika Mama tidak menaikkan gajinya. Ia akan protes.
"Kalo bukan karena karyawan florist pada sibuk, ogah banget gue ngirim bunga ini buat si tampan nyebelin itu," gumamnya kesal.
Padahal tadinya Arin ingin langsung pulang dan rebahan. Tapi Mama memaksanya untuk mengirimkan pesanan bunga milik pria bernama Fahreyza ke Hotel Happy.
Sebenarnya Arin senang sih karena bisa melihat wajah rupawan itu lagi. Tapi mengingat kejadian tadi, membuatnya sedikit dongkol. Menolong kok setengah-setengah, dasar tidak ikhlas.
"1909? Nah ketemu. Duh, nyari kamar uda kayak nyari jodoh."
Tok tok tok
Arin mengetuk pintu tiga kali. Namun ia sama sekali tidak mendengar sahutan dari dalam sana. Oh god, kemana sih dia? Dia tidak tau apa kalau kakinya ini sudah amat lemas.
Ia yang hendak mengetuk lagi, sontak mundur saat pintu tiba-tiba terbuka. Terlihat sosok pria dengan pakaian yang sudah acak-acakan.
Rambutnya berantakan, mata sembab dengan wajah yang memerah. Arin mencium bau alkohol yang begitu menyengat, bahkan mengalahkan wangi parfum maskulin.
Bibirnya terasa kelu saat pria bernama Fahreyza itu menariknya cepat untuk masuk ke kamar. Arin yang masih terkejut, hanya bisa diam. Menatap matanya yang entah, seperti penuh dengan kesedihan.
"Malam ini aja. Gue mohon. Gue butuh seseorang disini," ucap pria itu. Suara parau yang begitu dalam, membuat tubuh Arin merinding.
"Ma-maaf Mas, saya kesini cuma mau nganter pesanan bunga. Jadi, bisa lepasin tangan Mas di lengan saya?" pinta Arin dengan suara gemetar.
"Gue bakal bayar berapapun asal..."
"LO PIKIR GUE ******? HAH?" teriak Arin penuh emosi.
PLAK
Tanpa pikir panjang, Arin menampar pria itu kencang. Mendorong dia hingga terjatuh di lantai dan meletakkan bunga di laci dengan tak santai.
Ia yang hampir menyentuh pintu, terpaksa mundur karena tubuhnya yang tiba-tiba ditarik ke belakang. Pria itu membantingnya ke kasur, menindihnya dengan raut wajah datar.
Tentu saja hal itu membuat Arin menangis. Ia berteriak kencang, memanggil semua keluarga dan temannya untuk meminta bantuan. Tapi nihil, itu semua sia-sia dan ia tidak akan selamat.
"Gue bakal buktiin, kalo gue ngga sepolos itu. Dan lo, jadi saksi atas keganasan gue," pria itu tersenyum smirk sambil mendekatkan wajahnya.
"To-tolong lepasin gu... Hmmmpptt..."
Bibir kenyal dan lembab yang berhasil menyentuh bibirnya, membuat tangis Arin semakin histeris. Tubuhnya yang ringkih dan lemah karena lelah, tidak kuat untuk menyingkirkan si bangsat ini.
Satu yang pasti, mulai besok kehidupan Arin akan berubah 180 derajat.
*****
Arin keluar kamar dengan tubuh lemas. Seminggu sudah ia habiskan mengurung diri di kegelapan. Menangis dan meratapi nasib yang begitu sial.
Tujuh hari bukan waktu yang sebentar, tapi rasa sakit dan nyeri di bagian bawahnya masih terasa seperti baru. Arin berusaha memaksakan diri agar bisa berjalan dengan normal. Pasti akan menjadi bencana jika Mama sampai curiga.
Sejak kejadian dirinya dilecehkan secara biadab oleh manusia bernama Fahreyza, Arin sama sekali tidak bicara. Bahkan ia meminta izin pada Mama untuk bolos kerja.
Tentu saja hal itu tidak disetujui oleh beliau. Gajinya akan dipotong karena libur sembarangan tanpa alasan yang jelas. See? Mama memperlakukan dirinya sebagai karyawan, bukan anak.
Bahkan beliau sama sekali tidak menanyakan keadaannya. Arin merasa sendirian di dunia yang kejam ini.
"Baguuus, seminggu ngga keluar kamar eh tiba-tiba muncul di meja makan. Jangan harap bisa makan sebelum bersih-bersih dapur. Sana!!" Teriak Mama tak santai.
Tak ingin mendebat, Arin kembali bangkit. Mendesah keras karena melihat cucian piring dan alat masak yang bejibun. Bukan pemandangan biasa karena memang Mama, kakak, dan adiknya amat benci untuk cuci piring.
Arin mencoba menyemangati diri sendiri. Ia menggulung bajunya hingga siku dan mulai menyalakan keran. Rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang, membuatnya meringis tipis.
Ok tahan, jangan sampai ia membuat gerak-gerik aneh.
"Nih, cuciin sekalian," perintah Vina yang seenak jidat meletakkan piringnya diatas tumpukan piring kotor.
"Harus banget gue yang nyuci?" Arin melirik Kak Vina sekilas dan kembali melanjutkan kegiatannya.
"Lo ngga liat kuku gue uda cantik? Lagian abis ini gue mau nge-date. Kan ngga lucu kalo tangan gue bau makanan basi," Vina tak terima. Ia menghabiskan banyak uang untuk mempercantik kukunya.
"Dan makanan basi ini bekas makanan lo. Jadi, mending lo cuci sendiri. Gue bukan babu yang bisa seenaknya lo suruh-suruh," jawab Arin tegas.
Jika kalian pikir ia adalah wanita lemah yang gampang ditindas, maka itu salah besar. Ia menuruti ucapan Mama sebagai wujud hormat dan berbakti.
Tapi berbeda lagi dengan kakak dan adiknya. Ia akan memperlakukan mereka seperti apa yang mereka lakukan padanya.
"Lo mau gue aduhin Mama?" Ancam Vina, kedua tangannya bertumpu pada pinggang.
"Silahkan. Gue juga bisa ngaduh ke Mama kalo lo yang nyuri uang florist bulan lalu," jawab Arin skakmat.
"LO..."
"Apa? Gue bener kan? Denger ya kak, sekali lagi lo semena-mena, gue bakal kasih rekaman cctv itu ke Mama," Arin memotong ucapan sang Kakak. Tidak sopan memang, tapi ia sudah lelah karena selalu diremehkan.
Vina melotot, mendorong tubuh Arin agar menjauh. "Ck, minggir lo."
Karena kesal, Arin memilih untuk mengalah dan kembali masuk ke kamar. Niatnya yang ingin makan, malah digantikan dengan rasa mual yang begitu menyakitkan.
Apa ini gara-gara telat makan selama seminggu kemarin?
"Mau kemana kak? Mama nyuruh lo buat nyuci baju gue," Nasya memegang tangan Kak Arin, menghalanginya untuk masuk ke kamar.
"Ngga bisa nyuci sendiri? Tinggal masukin ke mesin cuci Sya," ucap Arin datar. Sebenarnya adiknya tidak terlalu menyebalkan, tapi karena Mama yang selalu membelanya, membuat Arin sedikit cemburu.
"Bisa sih. Tapi..."
"Gue lagi ngga mood. Jadi please, jangan bikin gue marah."
Arin melepas genggaman tangan Nasya, menatapnya sekilas dan kembali masuk ke kamar. Ia mengambil hp yang sudah mati total entah sejak kapan.
Mengisi dayanya untuk mengecek apakah ada manusia yang sadar jika dirinya sedang tidak baik-baik saja. Tepat setelah hp menyala, muncul beberapa spam dari Disa, sahabatnya.
Jika begini, Arin merasa sedikit tenang. Setidaknya masih ada orang yang peduli padanya.
Senyumnya semakin lebar saat melihat nama Disa di layar. Tentu saja ia langsung mengangkat panggilan itu. Rindu juga karena seminggu tidak bertukar kabar dengannya.
"Alhamdulillah, akhirnya diangkat juga. Lo kemana sih Rin? Lupa ya kalo punya sahabat? Gue khawatir tau ngga," tutur manusia di seberang sana.
"Sorry Dis, gue..."
Arin menutup mulutnya. Membanting hp ke kasur dan berlari menuju kamar mandi. Ia memuntahkan semua isi perutnya yang masih kosong. Memegang wastafel dengan erat karena kakinya yang mulai lemas.
Dirasa perutnya sudah mulai baikan, Arin kembali ke kasur. Mengambil hpnya karena panggilan yang masih tersambung dengan Disa. Ia sampai tersenyum tipis mendengar gadis itu yang berteriak beberapa kali memanggil namanya.
"Rin, Arin. Halo? Ada orang ngga sih? Duh, nih anak kemana coba."
"Halo Dis, sorry ya gue abis dari ka... Huweeek."
Lagi-lagi Arin berlari ke kamar mandi. Perutnya terasa semakin sakit, rasanya seperti ada yang menusuk dari dalam. Belum lagi kepalanya yang terasa amat pusing.
Oh god, ada apa dengan tubuhnya? Apa jangan-jangan... Tidak, tidak mungkin. Ia baru kali ini melakukannya, jadi tidak mungkin setokcer itu kan?
Pasti ini karena Arin telat makan. Tapi kenapa firasatnya berkata lain?
Arin mendekatkan hp ke telinga. Terdiam karena mulutnya yang terasa kelu. Tangannya sampai bergetar, bingung harus berkata apa pada sang sahabat.
"Rin, lo ngga apa-apa kan? Mau gue beliin bubur? Atau kita ke rumah sakit aja? Siap-siap, gue jemput sekarang," tanya Disa. Terdengar jelas suara dia yang begitu panik.
"Gue boleh nitip sesuatu?" Suara Arin bergetar. Ia bimbang harus bagaimana mengatakan hal itu pada Disa.
"Apa? Geprek? Ngga ya. Sebelum lo sembuh, jangan harap bi..."
"Testpack," gumamnya pelan. Meskipun ia ada di kamar, tapi Arin takut ada yang mendengar ucapannya.
"Ok. Nanti gu... APA? TESTPACK?" Teriak Disa di seberang sana.
Arin mengangguk pelan meskipun Disa tidak bisa melihatnya. "Gue bakal ceritain semuanya ke lo. Tapi please, jangan sampe ketahuan Mama kalo lo beliin itu buat gue."
"Tunggu disana. Gue bakal ngebut."
Arin mengangguk pasrah. Begitu panggilan terputus, ia mengirim pesan pada Disa agar nanti langsung masuk ke kamarnya. Ia ingin istirahat sebentar karena tubuhnya yang melemah.
Semoga saja, hipotesanya tadi tidak terbukti benar. Jika iya, Arin tidak tau lagi sehancur apa masa depannya nanti.
*****
Arin terjatuh di lantai kamar mandi. Menatap testpack ditangannya yang menampilkan dua garis biru. Tidak, tidak mungkin. Pasti alat ini rusak, iya kan?
Dengan sekuat tenaga, ia memaksakan kakinya untuk menghampiri Disa. Gadis itu terlihat gelisah, menatapnya dengan wajah pucat.
"Rin..." panggil Disa lembut.
"Beliin testpack lagi, Dis. Pasti ini rusak. Ngga mungkin garis dua. Kita cuma ngelakuin sekali Dis. Tolong kasih tau gue kalo..."
Disa menarik Arin ke dalam pelukannya. Memenangkan gadis itu yang menangis hebat. Badannya sampai bergetar dengan suhu tubuh yang mulai naik.
Tidak mungkin alat yang ia beli sebanyak 10 buah itu rusak. Semua testpack menunjukkan garis dua. Dan itu tandanya, sahabat satu-satunya ini hamil.
Oh god, Disa tidak tau apa yang terjadi pada dia seminggu ini. Ia merasa sangat bersalah karena tidak ada di sisinya.
"Dis, ini gi-gimana? Gue ha-harus apa? Kalo Mama tau, gue pasti diusir da-dari sini. Gue ngga mau Dis, gue..." Arin tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia terlalu syok.
"Dengerin gue, gue bakal bantu lo. Kita besarin anak itu bareng-bareng. Mau kan?" Disa melepaskan pelukan, memegang wajah sang sahabat untuk memberi kekuatan.
"Tapi..."
BRAK
Suara bantingan pintu yang tiba-tiba, membuat Arin refleks bersembunyi di balik punggung Disa. Air matanya turun semakin deras saat menyadari bahwa pelakunya adalah Mama. Ya Tuhan, bagaimana ini?
"KALIAN BILANG APA TADI? ANAK? SIAPA DIANTARA KALIAN YANG HAMIL? JAWAB!!!!" Teriak Sulis penuh emosi.
Disa meneguk ludahnya dengan susah payah saat Tante Sulis mendekat ke arahnya. Ia semakin panik karena beliau mengambil beberapa testpack yang tercecer di lantai.
Disa yang panik pun langsung buka suara. "Tan, ini salah paham. Tadi kita..."
"Ini punya kamu kan Rin? Ayo jawab!" Sulis memotong ucapan Disa. Ubun-ubunnya terasa terbakar karena terlalu emosi.
"Ma, aku..."
"Vina bilang ke Mama, seminggu lalu kamu keluar dari Hotel Happy dini hari. Kamu kesana untuk nganter pesenan bunga atau cosplay jadi ******? JAWAB!!" Sulis kembali berteriak. Wajahnya sampai memerah dan panas.
"Aku bisa jelasin Ma. Ini semua ngga seperti yang ada di pikiran Mama."
Dengan sesenggukan, Arin mendekati Mama, memohon pada beliau untuk mendengar penjelasannya. Ini bukan salahnya, ia adalah korban.
PLAK
Sulis menampar pipi Arin kencang. "Dasar anak ngga guna. Mama besarin kamu biar ngangkat derajat kita. Tapi apa sekarang? Kamu malah jadi aib keluarga. Sekarang juga, beresin barang-barang kamu dan pergi dari sini. CEPETAN!!"
"Ma, jangan usir aku Ma. Aku mohon," Arin terduduk di lantai. Memeluk kaki Mama agar memikirkan ulang ucapannya.
"Mama kasih waktu sampai malam ini. Tolong pergi jauh dan jangan nampakin wajah lagi. Mama malu punya anak ****** kayak kamu," ucap Sulis.
Tangis Arin semakin menggema saat Mama menendangnya hingga tersungkur. Beliau sama sekali tidak melihatnya dan langsung keluar kamar.
"Dis, gue ha-harus gimana? Gue..."
Disa kembali membawa Arin ke pelukannya. "Lo tenang aja ya. Gue ngga bakal ninggalin lo. Mending sekarang kita beres-beres. Lebih baik kita pergi dari sini.
Gue uda ngga kuat liat lo selalu disakitin sama Tante Sulis. Tolong kali ini aja percaya sama gue, kita bakal baik-baik aja tanpa keluarga lo."
Arin mengangguk lemah. Memeluk sahabatnya dengan erat. Jika tidak ada Disa disini, mungkin ia akan melakukan hal gila yang membahayakan nyawanya.
Masa depannya sudah benar-benar hancur sekarang. Entah apa yang terjadi nanti, Arin akan mencoba melewatinya dengan lapang dada.
*****
"Sementara kita tinggal disini dulu ya. Gue uda ngurus surat pengunduran diri. Setelah disetujui, kita langsung pindah ke luar kota," tutur Disa. Ia membawa semangkok bubur ayam untuk Arin.
Setelah adegan pengusiran kemarin, Disa membawa Arin ke kontrakannya. Awalnya, ia ingin mereka tinggal disini saja. Tapi Vina yang merupakan kakak Arin, memintanya untuk hengkang dari kota ini karena takut berita kehamilan sang sahabat tersebar luas.
Ia jadi heran, kenapa mereka tidak ada yang peduli? Padahal kan Arin hanya korban. Bukan mau dia mengalami hal memalukan seperti ini.
"Maaf ya Dis. Gara-gara gue, lo jadi resign. Padahal kan ini pekerjaan impian lo," ucap Arin merasa bersalah.
"Rin, dengerin gue. Pekerjaan bisa dicari. Tapi sahabat layaknya keluarga kayak lo tuh langka. Lagian gue juga uda ngga betah kerja disana. Manager gue galaknya ngalahin singa bunting."
Arin sampai tersenyum mendengar lawakan itu. Sejak awal diterima kerja di perusahaan, Disa memang seringkali curhat tentang managernya. Ia jadi penasaran, bagaimana dunia perkantoran.
Ok cukup. Ini bukan waktunya memikirkan impiannya yang tak sampai.
"Gue uda dapet kontrakan. Jadi malam ini kita langsung packing. Biar barang-barangnya bisa dipindahin dulu," Disa memang sudah meminta bantuan pada sang pacar untuk mencarikan tempat tinggal.
Arin menelan bubur ayam di mulutnya. Mengernyitkan dahi karena bingung dengan ucapan sang sahabat. "Katanya nunggu surat resign lo disetujui. Terus barang-barang kita disana gimana?"
"Tenang, nanti diurus sama Dani kok," ucap Disa menenangkan.
"Dani?"
Ia tau bahwa Dani adalah pacar Disa. Tapi apa hubungannya mereka pindah dengan pria itu? Dia kan bekerja di luar kota. Apa mungkin...
"Iya. Berkat lo, gue bisa sekota sama dia. Capek tau ldr mulu. Jadi, lo jangan merasa bersalah lagi ya. Gue sama Dani uda bertekad buat bantu besarin anak lo," jawab Disa dengan bibir tersungging.
Melihat Arin yang berkaca-kaca, membuat Disa tertawa geli. Ia membawa gadis itu ke pelukan. Mengelus lembut punggungnya untuk menyalurkan semangat.
"Oh iya," Disa melepas pelukannya, menatap Arin dengan lekat. "Lo uda siap cerita kenapa lo bisa hamil?" Tanyanya hati-hati. Ia takut Arin menangis lagi karena mengingat tragedi itu.
Sebenarnya Arin sedikit trauma. Ingatan yang masih segar di otaknya itu bagai bencana yang melenyapkan hidupnya dalam sekejap. Rasanya Arin masih belum ikhlas. Bahkan ia tak henti-hentinya menyalahkan takdir.
"Kok lo malah nangis sih? Kalo ngga mau cerita ngga apa-apa kok. Gue ngga bakal maksa," Disa sampai kalang kabut. Dasar mulut ember. Harusnya ia membiarkan Arin tenang terlebih dahulu selama beberapa hari.
Arin menelan ludahnya dengan susah payah. "Gue ngga tau lo percaya sama gue atau ngga, yang pasti gue..."
"Gue pasti percaya sama lo. Meskipun semua orang di dunia ini nyalahin lo, gue tetep ada di pihak lo."
"Makasih Dis. Gue ngga tau harus apa buat balas kebaikan lo," Arin memegang kedua tangan Disa. Meremasnya pelan sambil tersenyum tipis.
"Jadi, uda siap cerita?"
Arin mengangguk pelan. Ia mulai buka suara. Menceritakan semua yang ia pendam selama seminggu terakhir. Semoga saja setelah ini bebannya sedikit berkurang.
Pikirannya melambung pada kejadian malam itu. Ia masih ingat betul karena sadar 100 persen. Tak hanya wajah pria itu, tapi parfumnya pun melekat di hidungnya.
Ia memejamkan mata sekejap. Memori itu berputar dengan cepat. Mulai dari pria itu membantingnya di ranjang, mengambil ciuman pertamanya secara paksa, dan dengan biadabnya dia merenggut...
Jika waktu bisa diputar, Arin akan menolak mentah-mentah perintah sang Mama untuk mengantarkan buket pesanan dia. Ia tarik semua pujiannya untuk pria itu saat pertemuan pertama.
"Brengsek banget tuh cowok. Sumpah, gue sampe ngga tau harus ngomong apa," ucap Disa sambil menutup mulut. Matanya bahkan melotot karena saking kesalnya.
Bibirnya memang kelu, tapi batinnya mengucapkan semua umpatan dari banyak bahasa untuk pria itu. Andai Disa tau dari awal, pasti ia akan mencabik-cabik dia hingga sekarat.
"Tapi ini ngga semua salah dia Dis. Harusnya gue bisa kabur. Gue yang kehabisan tenaga karena kecapekan kerja," tambah Arin. Kalau saja saat itu ia bisa lebih kuat untuk menyingkirkan dia dari atas tubuhnya, pasti semua ini tidak akan terjadi.
Disa mendesah keras. "Rin, please deh. Kenapa lo malah belain cowok biadab itu sih? Inget, dia uda merkosa lo sampe hamil. Mana sampe sekarang dia ngga nyari lo. Gue jamin, pasti cowok itu ngga merasa bersalah sama sekali."
"Gue ngga belain. Tapi waktu itu dia lagi mabuk. Cowok itu keliatan kacau banget, bahkan ada bekas air ma..."
"Bisa ngga sih lo mikirin diri sendiri? Mau dia mabuk atau ngga, yang pasti disini lo korban. Gue bingung, lo tuh polos atau bego? Duuuh, emosi gue," potong Disa cepat.
Disa memijit kepalanya pelan. Bingung kenapa Arin malah berpikiran seperti itu. Lihat saja, ia akan mencari pria itu sampai ketemu. Dia harus diberi pelajaran karena sudah menghancurkan masa depan sahabatnya.
"Dengerin gue, sekacau apapun cowok, dia ngga berhak buat semena-mena sama cewek. Apalagi sampe ngelakuin hal ngga senonoh kayak gitu.
Sekarang kasih tau gue, siapa dia? Gue ngga bisa diem aja ngeliat dia hidup tenang padahal uda ngerusak lo," Disa memegang bahu Arin, menatap matanya dalam.
"Gue cuma tau namanya. Fahreyza," jawab Arin mantap.
"Uda? Gitu doang? Waktu di kamarnya, lo ngga liat nama lengkap dia? Atau sesuatu yang khas gitu? Misalnya berkas penting atau kartu nama?"
Arin terdiam. Malam itu, ia sempat melihat sebuah kotak berwarna biru navy saat meletakkan buket di laci dekat pintu. Diatasnya terdapat sebuah surat yang tertulis jelas sebuah nama.
Siapa ya? Aaah, ia ingat sekarang.
"Fahreyza Attaki. Iya bener. Gue inget karena tulisan di surat itu gede banget," Arin menatap Disa lekat. Memberi kepastian bahwa ia benar-benar ingat.
"Attaki? Kok kayak ngga asing ya? Ok, gue bakal catet baik-baik. Terus-terus, ada lagi ngga? Ngga mungkin gue bisa nemuin dia cuma dari namanya yang pasaran," pinta Disa heboh.
"Kayaknya ya, dia kerja kantoran karena gue ngeliat beberapa berkas yang kececeran di lantai dan ranjangnya. Tapi ada satu yang bikin gue ngerasa aneh," ucap Arin sok misterius.
"Apa?" Tanya Disa antusias.
"Gue ngeliat banyak gambar bumi."
Hah? Gambar bumi? Maksudnya? Disa sampai mengernyitkan dahi bingung. Kenapa harus bumi?
"Lo liat dimana? Dinding kamar? Mungkin itu tema kamarnya. Tapi masa semewah Hotel Happy, dekornya kayak gitu?" Disa jadi bingung sendiri.
"Ngga, gue liat di jas cowok itu ada pin gambar bumi. Terus di tas laptopnya pun ada gambar bumi yang di bordir. Dan ini," Arin mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam tasnya dan memberikan pada Disa.
Di salah satu sudut sapu tangan, terdapat bordiran bumi yang terlihat mewah. Setelah pria bernama Fahreyza itu merenggut kesuciannya, dia memberikan benda tersebut dan kemudian pergi begitu saja.
Arin tidak tau apa maksudnya. Saat itu ia langsung kabur meskipun dengan rasa sakit yang menggila di bawah sana.
"Apa mungkin dia punya perusahaan yang namanya Bumi? Bentar, gue cari dulu," Disa mengambil hp di nakas meja. Mencari nama pria itu beserta perusahaan Bumi. Tapi nihil, tidak ada satupun informasi tentang dia.
Kalau begini, bagaimana bisa ia mencari manusia biadab itu? Lama-lama, Disa bisa gila.
"Gimana? Ketemu?" Tanya Arin, berharap Disa mendapat sedikit titik terang.
"Ngga ada. Gue cuma nemu perusahaan yang namanya Attaki Group. Pemilik dan CEOnya pun namanya Hasan. Gue uda minta bantuan Dani buat bantu nyari."
Arin mengangguk pelan. Tidak, ia tidak kecewa. Ia hanya penasaran saja, siapa sebenarnya Ayah dari anak yang ada di kandungannya.
Kalau pun dia ingin bertanggung jawab, ia akan menolak mentah-mentah. Bagaimana bisa Arin hidup dengan pria yang sudah melecehkannya?
Seumur hidup itu terlalu lama untuk dihabiskan bersama pria brengsek macam Fahreyza.
"Dis, gue jadi kepikiran nama anak gue," tutur Arin memecah keheningan.
"Ya ampuun, bisa-bisanya lo uda kepikiran nama. Seseneng itu ya lo hamil anak cowok brengsek?" Sumpah, Disa tidak paham dengan jalan pikiran sahabatnya. Disaat genting begini, dia malah kepikiran nama anak.
"Ish ngga gitu. Kan uda terlanjur terjadi. Ya uda mending dijalanin aja. Emangnya lo mau gue gugurin dia?" Tanya Arin dengan nada mengancam.
"Jangan lah. Gila lo?" Balas Disa ngegas. Sepertinya Arin memang sudah tidak waras.
Arin tersenyum tipis. Ia tidak mau lama-lama meratapi kesedihan. Menyesal pun tiada guna. Sekarang, tugasnya hanya menjaga kesehatan agar sang bayi bisa tumbuh sehat.
"Nabil Bumi Attaki. Panggilannya Bumi. Bagus ngga?" Arin menatap Disa. Menunggu respon sang sahabat.
"Terus pas aqiqahan nanti ada tulisannya, anak dari Putri Arina Nabila dan Fahreyza Attaki. Gitu mau lo?"
Melihat Arin yang mengangguk semangat, membuat Disa memijit kepalanya pelan. See? Semudah itu sang sahabat melupakan masalahnya.
Disa mengalihkan pandangan ke arah hp saat merasakan ada getaran. Membaca pesan balasan dari Dani mengenai pria bernama Fahreyza Attaki.
Ia sampai melotot, tidak menyangka bahwa pria biadab itu ternyata...
"Ada apa Dis? Kok lo kayak kaget gitu sih?" Tanya Arin khawatir. Apa dia mendapat kabar buruk ya? Atau jangan-jangan, surat pengunduran dirinya tidak disetujui?
"Rin, gue dapet info dari Dani. Kata dia, Fahreyza Attaki itu anaknya Pak Hasan, pemilik sekaligus CEO perusahaan Attaki Group," ucap Disa datar seolah tidak percaya dengan apa yang barusan ia baca.
"SUMPAH?" teriak Arin terkejut.
"Lebih parahnya, besok dia nikah sama anak dari rekan kerja Papanya." tambah Disa.
"APA?"
Jadi, Arin disini adalah pelakor? Oh god, kenapa hidupnya bisa sesial ini?
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!