Motor tambang yang membawa penumpang dengan pelan mengarungi selat Rengit menuju kota Kabupaten. Motor tambang adalah istilah yang digunakan oleh orang-orang suku Melayu Riau yang berarti kapal yang mengangkut penumpang.
Sudah dua jam Mumu berpanasan dan berhimpitan dalam motor tambang ini. Tapi hal tersebut tidaklah membuat ia merasa capek. Malah diwajahnya senantiasa terukir senyum karena sebentar lagi ia akan menginjakkan kakinya di kota Selatpanjang.
Selatpanjang adalah salah satu kota Kabupaten yang berada di Provinsi Riau.
...Betapa megahnya itu!...
Kata orang bekerja di kota itu enak, kerja santai setiap bulan nerima duit. Oleh karena itu dengan berbekal ijazah SMA-nya dan dengan berbagai pertimbangan yang matang akhirnya Mumu nekad untuk bekerja di kota Kabupaten.
Setengah jam kemudian Motor tambang merapat di pelabuhan. Dengan penuh kagum, Mumu mengikuti arus penumpang yang tergesa-gesa meniti jembatan memasuki lorong toko dan akhirnya muncul di depan toko milik orang cina tersebut.
Mumu menghirup nafas. Ah, inilah aroma kota. Ini adalah pasar Juling. Sejauh mata memandang, toko-toko berderet-deret sepanjang pantai. Pejalan kaki, sepeda motor dan becak hilir mudik memenuhi jalan menambah kebisingan kota ini.
"Becak, Dik?"
"Ngojek, Dik?" beberapa orang menawarkan jasanya.
"Kalau ke jalan Dorak dekat kantor Bupati berapa ongkosnya, Pak?" Sebelumnya Mumu sudah mendapat informasi area perkantoran kota Kabupaten ini berada di jalan Dorak.
"Tiga puluh ribu, Dik."
"Tak bisa kurang, Pak?" Mumu mencoba nawar. Setelah terjadi tawar menawar akhirnya disepakati ongkosnya menjadi dua puluh ribu rupiah.
Memang benar kata Bapaknya, di kota itu kita harus berani menawar.
Uang Mumu tidak banyak. Mengingat sebentar lagi ia akan mendapatkan pekerjaan, maka apa salahnya sedikit boros pikir Mumu.
Gedung kantor Bupati sangat megah. Mumu sangat takjub melihatnya. Jika saja Mumu tahu bahwa kantor Bupati ini tergolong sederhana jika dibandingkan dengan Kabupaten lain, mungkin Mumu akan pingsan.
Setelah agak ragu sejenak, Mumu memberanikan diri menuju pos jaga di samping pintu gerbang kantor Bupati.
"Mohon izin, Pak, apakah ada lowongan kerja di sini, Pak?" tanya Mumu sesopan mungkin.
Ada tiga orang yang jaga di pos ini. Menggunakan seragam dan berbadan tegap ditambah dengan kumis dan brewok membuat tampang ketiga penjaga itu sangat macho. Tapi ketiga pandangan Mumu agak ke bawah, melihat baju mereka yang super sempit di bagian perutnya yang menonjol, kesan macho tiba-tiba hilang dari pikiran Mumu.
"Tak ada lowongan kerja di sini." kata salah seorang penjaga yang sedang main game dihandponenya. "Pulang sana!"
Mumu heran, kan cuma bertanya kenapa harus emosi. "Kerja apa saja boleh, Pak. Kebetulan saya punya ijazah SMA." Kali ini pandangan Mumu menoleh ke arah pria paruh baya yang sedang menghisab rokoknya.
"Kamu ada rekom?" Pria paruh baya itu menjawab pertanyaan Mumu dengan balik bertanya.
"Rekom apa ya, Pak?" Mumu garuk-garuk kepala.
Pria paruh baya itu memandang Mumu dengan tatapan kasihan.
"Apakah kamu punya saudara yang kerja di sini?" tanyanya kemudian.
Mumu tambah heran. Apa memang seperti ini tata cara mencari kerja di kota.
Tapi belum sempat Mumu menjawab, tiba-tiba penjaga yang sedang main game tadi menghentakkan tangannya di meja. Wajahnya merah menahan marah.
"Kan sudah dibilang tak ada lowongan kerja di sini. Pergi sana!" hardiknya.
Cepat pergi! Sebelum aku tendang kamu keluar!"
Dengan terpaksa Mumu pun berbalik melangkah pergi.
Penjaga tadi masih marah-marah. Ketika melihat Mumu masih belum keluar dari pintu gerbang, emosinya kembali naik. Penjaga itu berdiri langsung menendang Mumu tepat dipunggungnya. Tak ayal Mumu langsung terlungkup mencium aspal.
"Kan sudah aku bilang tadi, cepat pergi dari sini. Berjalan seperti siput." Bentaknya.
"Sudah lah, Har!" Pria paruh baya menegur penjaga itu.
"Kamu tak apa-apa, Dik?" Dia menarik Mumu supaya berdiri. "Cepatlah kamu pergi dari sini. Kalau tidak kamu bakalan dipukul olehnya."
"Terima kasih banyak atas pertolongannya, Pak." Mumu membersihkan debu dan sedikit darah diwajahnya. Dengan hati yang sakit ia mulai melangkah menjauhi gerbang itu. Wajah yang tergores aspal masih bisa ditahan, penghinaan tanpa sebab yang jelas sungguh membuat hati terasa perih.
"Makanya kalau mau cari kerja tu jangan asal nyosor, Bung! Dasar orang kampung!" Tiba-tiba sebuah suara telah mengejutkan Mumu. Ia segera berpaling. Di pintu gerbang berdiri seorang pemuda yang berkacak pinggang sambil tertawa sinis. Entah sejak kapan dia berada di sana. Disampingnya ada seorang wanita cantik dengan rambut panjang sebahu.
"Maaf, bang. Abang ini siapa? Datang-datang langsung ngatain orang. Memangnya ada persoalan apa abang sama saya. Kenal saja tidak." Heran Mumu. Apa memang seperti ini sikap orang kota.
Suka cari masalah dengan orang lain.
"Hm. Terserah aku lah, apa yang mau aku katakan. Mulut, mulut aku. Lidah, Lidah aku. Kamu sebagai orang kampung seharusnya sadar diri. Kamu tak layak berada di sini."
Mumu hanya menatap wajah pemuda yang bernama Roni itu. Malas ia membalas. Belum selesai masalah dengan penjaga tadi sekarang timbul pula masalah baru dengan pemuda sombong yang suka cari perkara.
"Ha ha bang Hardi lama tak jumpa." Melihat Mumu tak membalas ucapannya Roni langsung menyapa petugas jaga sambil berjalan ke arah mereka. Sedangkan gadis tadi tetap diam sambil mengekor ke mana Roni pergi.
Karena sudah tak ada kepentingan di sini, Mumu langsung pergi dari sana.
Tapi lamat-lamat masih didengarnya obrolan Roni dan petugas yang bernama Hardi itu. Si Roni nampaknya sengaja mengeraskan suaranya supaya Mumu mendengar keperluannya.
Ternyata dia datang ingin mengantar gadis yang mengikutinya tadi untuk bekerja di bagian Kabag Hukum.
Mumu tak lagi ambil peduli. Paling tidak ia sudah mulai memahami arti lowongan kerja di sini. Kalau ada kenalan orang dalam, maka akan akan bisa kerja.
Tapi Mumu tak percaya semua kantor seperti itu.
Oleh sebab itu dengan sisa asa yang ada di dada, Mumu melanjutkan langkah kakinya menuju area perkantoran yang lain.
Walau pun semangatnya masih terpatri di dada, tapi tidaklah sekuat waktu ia masih di kampung.
Ternyata tidak mudah untuk mencari kerja di kota.
Ijazah SMA yang awalnya sangat ia banggakan ternyata susah laku di sini.
...****************...
"Kenapa kamu berlaku kasar terhadap pemuda tadi, Har?" Tanya pak Somad sambil menghirup kopi.
Hardi yang sedang main game tanpa sadar menghentikan permainannya. Ada sedikit rasa segan dihatinya terhadap pak Somad.
"Anak itu sangat menyebalkan. Kan sudah dibilang tak ada lowongan tapi masih saja ngeyel."
"Kenapa harus emosi sampai main fisik segala? Apa memang karena sebal terhadap anak itu atau karena kamu kalah main game?"
Hardi terdiam. Karena apa yang dikatakan oleh pak Somad memang benar. Dia kalah main game. Jadi anak tadi itu hanya pelampiasan emosinya saja.
Siapa juga suruh datang di saat yang salah pikir Hardi.
'Awas kamu jika ketemu lagi akan aku pukul hingga masuk rumah sakit. Gara-gara kamu, aku ditegur oleh pak Somad.' Gumam Hardi dalam hati.
Malam yang kelam. Angin bertiup kencang. Tak lama kemudian hujan rintik-rintik mulai turun. Dingin!
Mumu meringkuk di sudut beranda masjid. Perutnya perih. Lapar ditambah cuaca dingin rasanya sangat menyiksa.
Sudah seminggu Mumu berada di kota Selatpanjang. Uangnya sudah habis tak tersisa.
Dari kemaren Mumu hanya bisa mengisi perutnya dengan air kran masjid.
Ternyata untuk bisa kerja kantoran dengan berbekal ijazah SMA hanya angan-angan kosong belaka.
Semua kantor di sepanjang area perkantoran sudah Mumu datangi. Tak ada satu pun yang menerimanya.
Sikap mereka bermacam-macam. Walaupun ditolak tapi tak semua sikap mereka kasar.
Walaupun sikap mereka tetap dingin karena ia orang kampung yang tak punya relasi, tapi paling tidak ia tidak diusir dengan cara kasar.
Mumu sudah menyerah untuk melamar kerja di kantor.
Besok rencananya ia akan melamar kerja di Toko-toko atau di kedai kopi.
Mau pulang kampung, malu!
Sebenarnya Mumu sudah mencoba juga melamar kerja di tempat-tempat foto kopy dan swalayan. Memang ada lowongan, tapi mereka mencari orang yang sudah berpengalaman. Sedangkan Mumu tidak ada pengalaman sama sekali.
Memang nasib belum menyebelahinya.
...****************...
Di sebuah kost yang termasuk dalam kawasan elit daerah Panam, Pekanbaru. Seorang gadis sedang sesunggukan sambil memeluk bantal. Jika dilihat tisu yang berserakan di kasur, nyata benar bahwa gadis tersebut sudah lama sekali menangis.
Tapi air matanya tak kunjung reda. Berat sungguh masalah yang diderita.
Gadis itu bernama Mirna Safitri, mahasiswi kedokteran semester satu.
Mirna gadis yang manis. Kulitnya putih. Wajahnya ayu. Siapapun yang memandangnya pasti akan merasa nyaman.
Mirna gadis yang cerdas. Oleh sebab itulah orang tuanya menguliahkannya mengambil ilmu kedokteran. Jika sudah selesai akan langsung mengambil spesialis.
Tapi harapan tinggal harapan. Rencana tidak sesuai kenyataan.
Orang yang cerdas selalu penasaran!
Orang yang cerdas ingin menaklukkan tantangan!
Orang yang cerdas ingin membuktikan kecerdasannya agar diakui.
Memang tak salah ungkapan tersebut.
Hal ini bermula dengan tantangan teman-teman seangkatannya, bahwa barang siapa yang bisa menjinakkan sang play boy kampus, maka dia akan didaulat sebagai orang tercerdas seangkatannya.
Tantangan yang konyol sebenarnya!
Tapi itulah sifat manusia, ingin membuktikan kediriannya. Ingin diakui.
Andika pemuda yang tampan. Kaya. Badannya atletis seperti binaragawan.
Karena ketampanan dan kekayaannya sudah banyak anak-anak gadis yang takluk dengannya. Jika sudah bosan, Andika tak segan-segan membuangnya dan berganti dengan yang baru.
Pada awalnya sudah nampak keberhasilan Mirna. Semenjak dekat dengan Mirna, Andika mendadak jadi pemuda yang baik. Penurut. Hal ini membuat Mirna menjadi jumawa.
Akhirnya kebanggaan akan kesuksesan kecil itu telah menutupi otaknya yang biasanya cerdas.
Ini ibaratkan bermain catur, Mirna menggunakan strategi untuk memang. Ternyata Andika juga menggunakan strategi mengalah dan penurut untuk mengelabui Mirna.
Akhirnya Andika memang strategi dan Mirna akhirnya menderita. Terpaksa menelan pil pahit atas kegagalannya. Hingga kini dia hamil tiga bulan.
...****************...
Setelah sarapan dengan minum air kran masjid, Mumu menyeret langkahnya menyusuri sepanjang jalan Banglas ke arah utara.
Jam 07.30 wib.
Kendaraan berseliweran sepanjang jalan. Ini adalah waktu orang-orang berangkat ke kantor.
Dengan menggunakan seragam, wajahnya masih segar, alangkah nyamannya hidup mereka fikir Mumu.
Mumu terus berjalan hingga perempatan Banglas-Kartini, Mumu kepingin belok ke kanan memasuki jalan Pembangunan.
Sebelah kiri jalan ternyata orang berjualan kue.
Mumu menelan air liur melihat kue yang beraneka ragam. Perutnya kembali meronta.
Mumu mencoba bertahan sambil melanjutkan langkahnya. Belum jauh ia melangkah, Mumu melihat hotel yang ada papan plang dengan tulisan 'Dijual'.
Di sampingnya ada kantor. Mumu bergegas ke kantor tersebut yang ternyata adalah kantor Perpustakaan dan Arsip.
Tak ada penjaga di pintu masuk, sehingga Mumu memberanikan diri langsung masuk ke ruangan.
"Mau minjam buku, Dik?" Sapa seorang wanita yang duduk di depan meja.
"Tidak, Buk! Saya hanya ingin bertanya, apakah di sini ada lowongan pekerjaan?" Ucap Mumu dengan penuh harap.
"Maaf, Dik, di sini sedang tidak menerima karyawan baru." Jawab wanita itu.
"Baiklah, Buk. Terima kasih atas informasinya. Saya mohon diri dulu." Mumu melangkah pergi dengan perasaan kecewa.
Belum jauh ia melangkah, tiba-tiba, "Dik, tunggu sebentar!" Wanita tadi keluar sambil memanggil Mumu.
"Ayo masuk! Pak Kadis ingin bertemu."
Mumu bengong. Kok pak Kadis ingin bertemu dengannya? Ada apa?
"Malah bengong. Ayo!"
"I.iya, Buk." Mumu pun segera mengikuti wanita itu dengan terburu-buru.
Setelah mengantar Mumu sampai di depan pintu pak Kadis, wanita yang bernama Zulaikha itu kembali duduk ditempatnya tadi.
"Kak, tumben pak Kadis memanggil orang yang tak jelas ke ruangannya?" Bisik Rani, gadis remaja 19 tahun yang juga bekerja di sini.
"Mana Kakak tahu! Kakak pun merasa aneh juga." Jawab Zulaikha dengan suara pelan.
Mereka pun mulai ngerumpi dengan suara pelan.
Memang aneh!
Pak Wahab, kadis Perpustakaan ini dikenal sebagai orang yang agak sombong. Mana mau dia menolong orang kalau tidak ada keuntungan baginya.
Tapi hari ini Pak Wahab tiba-tiba memperhatikan Mumu, anak muda yang datang dari kampung. Apakah Pak Wahab ingin mempekerjakan Mumu di sini? Apa motifnya?
Tak lama kemudian pintu ruangan pak Kadis terbuka, Zulaikha dan Rani segera menghentikan obrolan mereka dan menatap pak Kadis.
"Mulai hari ini Mumu bekerja di sini untuk bantu-bantu sebagai cleaning Service. Nanti tunjukkan gudang yang di belakang, atur sebagai tempat tinggalnya!" Perintah pak Kadis.
"Siap, Pak!" Jawab mereka serempak.
"Kamu ikuti instruksi mereka!" Pandangan pak Kadis mengarah ke Mumu.
"Ya, Pak. Terima kasih banyak, Pak." Mumu menganggukkan kepalanya.
Ia sangat bersyukur akhirnya ia bisa bekerja dan mempunyai tempat tinggal tanpa harus membayar.
Mengenai persyaratan yang pak Kadis minta, sepanjang tak merugikan orang lain, Mumu tak keberatan. Ia siap menanggung resikonya.
Mulai hari ini Mumu bekerja di sini. Memang tak enak kerja disuruh-suruh.
Suruh ngerjakan ini, suruh ngerjakan itu. Belum selesai kerja ini sudah harus mengerjakan itu.
Tapi Mumu tak mengeluh. Hidup penuh perjuangan.
"Mumu, pindahkan kotak buku di sana, nanti langsung atur menurut jenis buku di rak baca!" Perintah Rani. Semenjak Mumu bekerja di sini Rani paling suka menyuruh-nyuruh.
Tugas berat yang biasanya menjadi tugasnya sekarang semua dikerjakan oleh Mumu.
Dia hanya duduk-duduk manis sambil ngerumpi atau sambil berselancar di dunia maya.
Itu lah dunia kerja. Walau pun zaman sekarang sudah maju, tapi tetap hukum rimba yang berlaku.
Yang lemah tetap ditindas sedangkan yang kuat, yang punya relasi disanjung-sanjung.
Walaupun dalam hati sedikit tak senang tapi Mumu tetap melaksanakan perintahnya juga.
Karena sesuai instruksi pak Kadis, ia harus ikut perintah seniornya di sini.
Gudang yang menjadi tempat tinggal Mumu berukuran 3x4 meter. Perlu waktu setengah hari untuk membersihkan sehingga layak untuk dijadikan tempat tinggal.
Untuk makan, Mumu sudah tidak risau lagi. Tak jauh dari ruangan ini ada dapur umum bagi staf yang ingin membuat kopi saat bekerja atau sekedar masak mie instan.
Semua lengkap di sana. Kompor gas, air galon, piring, gelas semua ada. Bahkan kulkas juga ada. Memang enak orang kerja kantoran ini.
Tapi melihat dari kondisinya, dapur umum ini jarang digunakan.
Untuk membeli beras dan lauk pauk dan kebutuhan sehari-hari, Mumu sudah mendapat pinjaman uang dari pak Kadis.
Setelah selesai bersih-bersih, Mumu langsung mandi. Karena sesuai perjanjian hari ini orang suruhan pak Kadis akan menjemput Mumu untuk datang ke rumahnya.
Lima belas menit kemudian Mumu dijemput oleh pria 40an tahun. Tampangnya sangar. Mirip tukang pukul.
Zidan namanya. Karena orangnya pendiam jadi Mumu segan mau banyak tanya.
Mereka langsung meluncur. Rupanya rumah Pak Kadis berada di jalan Lintas Timur.
Rumahnya besar tapi kelihatan sepi.
Mumu dibawa ke ruang tamu. Setelah itu bang Zidan langsung pergi.
Ada rasa bedebar dihati Mumu. Selama ini belum pernah ia memasuki rumah orang kota. Ternyata hidup di kota itu enak. Tentu saja asalkan punya fulus.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki menuju ruang tamu.
Pak Kadis dan disampingnya wanita yang Mumu duga adalah istri pak Kadis.
Di belakang dengan kepala menunduk berjalan seorang gadis yang cantik. Ini pasti anaknya yang diceritakan oleh pak Kadis desis Mumu.
"Seperti yang kita bahas kemaren, mulai sekarang kamu dianggap sebagai suami putri saya hingga dia melahirkan." Kata pak Kadis langsung tanpa basi basi. Ini seperti perintah atasan terhadap bawahan. Mumu sama sekali tidak dianggap.
Jika bukan karena 'kecelakaan' yang dialami anak semata wayang mereka, dan karena tak ada orang yang bisa mereka perdayai, maka Mumu sama sekali tidak layak duduk dan bicara bersama mereka.
Mumu juga menyadarinya sehingga ia hanya mengangguk. Tidak banyak cincong.
"Ini saya pinjamkan handphone, juga sepeda motor. Kamu harus siap dipanggil setiap saat jika kami memerlukan kamu." Pak meletakkan handphone android dan kunci motor. "Sekarang kamu boleh pergi!"
Hanya itu. Tak ada pembicaraan yang tak perlu. Tak ada negosiasi. Yang ada hanya perintah yang harus dilaksanakan.
"Baik, Pak. Terima kasih."
Mumu langsung pergi setelah mengambil handphone dan kunci motor.
Pada awalnya Mumu berempati dengan masalah keluarga pak Wahab, tapi setelah melihat sikap mereka tadi, Mumu tidak lagi peduli. Ia sudah mulai mati rasa dengan sikap orang kaya yang berpangkat di kota ini.
Awalnya ada rasa rikuh dengan pertolongan pak Wahab, tapi sekarang tidak lagi.
Ini bukanlah tolong menolong.
Ini bisnis!
Dalam bisnis yang ada hanya saling menguntungkan.
Walaupun masih berumur 19 tahun, tapi sikap Mumu tidak lagi kekanak-kanakan seperti halnya remaja kebanyakan.
Karena keadaan sikap Mumu terlihat lebih dewasa.
Setelah menuntun sepeda motor Bead keluar pagar, Mumu langsung menstarter. Karena ini adalah pertama kalinya Mumu mengendarai motor sehingga belum pas mengatur tarikan gasnya maka tak ayal Mumu langsung nyungsep di tepi jalan.
Lutut Mumu gemetaran. Untung jatuhnya di pinggir jalan sehingga ia tidak terluka.
Dengan hati yang berdebar-debar dan lutut yang masih gemetaran, Mumu langsung menegakkan motornya takut ketahuan orang-orang.
Belajar dari pengalaman tadi, Mumu menarik pedal gas dengan perlahan-lahan.
Walau pun masih agak oleh tapi motor tersebut mulai merayap meninggalkan rumah pak Wahab.
Angin menampar-nampar wajah Mumu dengan perlahan sehingga keringat dinginnya mulai kering.
Sungguh pengalaman yang mendebarkan dan untung tidak ketahuan.
Selama ini Mumu hanya tahu cara mengemudikan sepeda motor secara teori saja. Baru kali ini ia memberanikan diri praktek langsung.
Kan tak mungkin juga ia mengatakan tak bisa mengendarai motor di hadapan pak Wahab dan keluarganya.
Dalam pada itu, pak Wahab dan anak istrinya masih duduk di ruang tamu.
Tak ada yang bicara.
Pak Wahab menyalakan rokoknya. Setelah tiga kali menghisap dan menghembuskan asap rokok ke udara dia berkata, "Identitas kamu tidak lagi menjadi masalah. Setelah melahirkan, kamu langsung pindah kuliah di Fakultas kedokteran di Jogja. Semuanya sudah papa urus."
"Jadi anak kita tetap harus melahirkan jabang bayi ini, Pa? Mengapa tidak kita gugurkan saja? Mama tak mau cucu yang tak jelas asal usulnya ini." Sengit buk Fatimah.
Pak Wahab mengela nafasnya, "Kalau itu terserah mama sama Mirna. Papa tak ikut campur." Ujarnya.
Pak Wahab bukanlah orang baik. Karena tuntutan pekerjaan dan demi langgengnya jabatan, orang baik bisa menjadi jahat, apa lagi orang seperti pak Wahab. Tapi seburuk-buruknya prilaku pak Wahab, dia tak berani jika harus membunuh jabang bayi yang tidak berdosa.
"Bagaimana menurutmu, Nak?" Buk Fatimah menoleh ke arah Mirna yang sedari tadi hanya diam saja.
"Kita ikut saran papa saja, Ma. Setelah melahirkan nanti bayinya kita serahkan ke panti asuhan saja." Jawab Mirna dengan terpaksa.
Walau pun dia malu dan hatinya sakit serta dendam kepada Andika, tapi dia juga bersalah. Untuk mengurangi rasa bersalah sehingga dia rela menanggung beban mengandung hingga melahirkan.
...****************...
Hari masih pagi. Matahari baru naik sepenggalah. Mumu baru selesai menyapu dan mengepel ruangan perpustakaan. Tubuhnya keringatan. Oleh karena itu ia kembali ke kamarnya untuk istirahat sebentar sampai keringatnya kering. Mumpung kantor masih sepi karena staf perpustakaan belum ada yang datang.
Karena pustaka adalah tempatnya buku sehingga Mumu menumbuhkan hobi yang baru yaitu membaca.
Buku apa saja pasti ia baca jika ada waktu luang. Walaupun ingatannya agak payah dalam mengingat sesuatu tapi hal itu tidaklah menyurutkan semangatnya untuk membaca.
Buku adalah jendelanya ilmu!
Seperti saat ini sambil menunggu keringatnya kering, Mumu membaca buku tentang hikayat melayu zaman dahulu.
"Bam!" Pintu kamarnya terbanting dengan suara keras. Mumu sangat terkejut.
"Ooo ini kerja kamu ya! Bermalas-malasan di kamar saat jam kerja!" Seraut wajah yang penuh amarah berdiri di depan kamar sambil berkacak pinggang. Sedangkan telunjuk kanannya menuding ke arah Mumu.
Mumu langsung berdiri, "Kakak yang sopan, Kak! Apa maksud kakak nuduh-nuduh sambil banting pintu?" Mumu jadi tersulut amarahnya.
Semenjak kerja di sini ia memang tak kerasan dengan Rani si wanita yang sok ini.
Biasanya Mumu memilih diam dan nurut walau pun sering diomeli dan disuruh-suruh oleh Rani.
Tapi kali ini Sikap Rani sudah melewat batas menurutnya.
Datang-datang marah dan menuduh hal yang tak jelas. Mumu yakin kerjanya sudah beres dari pagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!