Senyuman Stella memudar seiring dengan suara-suara aneh yang masuk ke indra pendengarannya. Dahi gadis itu berkerut samar, berusaha mencari tahu dari mana sumber suara tersebut. Stella menoleh ke kanan dan ke kiri, berpikir jika mungkin suara ******* dan lenguhan tersebut berasal dari tetangga apartemen kekasihnya, Garry. Akan tetapi, semakin dia mendekat ke arah apartemen Garry, suara tersebut terdengar semakin kencang.
“Tidak mungkin kalau suara itu berasal dari apartemen Garry, ‘kan?” tanya Stella pada dirinya sendiri.
Meskipun ia dapat mendengar dengan jelas jika suara itu berasal dari sana, dia masih tak mau berpikiran negatif mengenai kekasihnya.
Selama ini, Garry adalah kekasih yang baik dan perhatian. Garry juga sangat mencintai Stella. Jadi, mana mungkin suara ******* seorang gadis terdengar dari apartemen Garry? Pasti Stella hanya berhalusinasi saja.
Tepat saat Stella membuka pintu apartemen Garry, mata gadis itu membulat sempurna. Di sana, dia melihat Garry tengah bercinta dengan seorang gadis yang tak lain adalah sahabatnya, Feby.
“Garry! Feby!” Stella berteriak, membuat dua sejoli yang tengah bercinta di sofa ruang tamu melepaskan penyatuan mereka dan menoleh.
“Stella,” ucap Garry dan Feby hampir dalam satu waktu.
“Apa yang sedang kalian lakukan? Apakah ini yang selalu kalian lakukan di belakangku?” tanya Stella dengan tubuh bergetar.
Stella lemas saat melihat pengkhianatan yang terjadi di depan matanya. Kalau saja dia tidak sedang berpegangan pada gagang pintu, mungkin dia sekarang sudah jatuh karena saking lemasnya.
Hati perempuan mana yang tidak terluka jika dia harus melihat kekasihnya, orang yang dia cintai, justru tengah bercinta dengan sahabatnya sendiri? Hati Stella seolah terkoyak. Sakit sekali rasanya.
“Ini bukan urusanmu!” ujar Garry lalu kembali melanjutkan percintaannya dengan Feby yang sempat tertunda karena kedatangan Stella.
“Pergilah, Stella! Garry tidak menginginkanmu lagi karena kau tidak bisa memberikan apa yang Garry inginkan seperti aku!” teriak Feby, membuat Stella memundurkan langkahnya sambil menggelengkan kepalanya.
“Tidak ... Tidak ... Garry tidak mungkin selingkuh dariku!”
Suara gelak tawa Garry dan Feby bagaikan bilah pisau yang menghunus dada Stella. Stella lantas meninggalkan tempat itu dan berlari, berharap ia bisa bersembunyi dari kenyataan yang menyakitkan tersebut.
“TIDAK!!!!!”
Stella membuka matanya lebar-lebar dengan napas yang memburu. Tubuh gadis itu diselimuti oleh keringat dingin. Napasnya terengah-engah bersamaan dengan teriakan yang keluar dari bibirnya.
Stella menatap ke sekelilingnya, lalu menghembuskan napas panjang. Kini, ia dapat bernapas lega setelah menyadari jika apa yang dialaminya tadi hanyalah sebuah mimpi. Ia menoleh ke arah jam dinding kamar kosnya, sekarang sudah pukul dua belas malam.
“Untung saja semua itu hanya mimpi,” gumam Stella.
Sebab sekarang masih tengah malam, Stella berniat untuk kembali tidur. Akan tetapi, hatinya entah kenapa terasa tak tenang. Ia gelisah memikirkan tentang mimpinya tadi. Ada ketakutan yang tiba-tiba saja menyisip masuk ke dalam jiwanya.
‘Itu semua hanya mimpi, Stella,’ ucap Stella dalam hati.
Ia berusaha tidur dengan berbagai posisi. Mulai dari menghadap ke kanan, ke kiri, terlentang, bahkan hingga tengkurap. Namun, tetap saja hatinya tak tenang dan dia tidak bisa tidur sama sekali.
Stella memandang ke arah langit-langit kamarnya. “Apakah aku lebih baik memeriksa ke apartemen Garry?” tanya Stella, namun sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya. “Ah, tidak. Nanti Garry bisa berpikir kalau aku tidak percaya kepadanya.”
Stella kembali memejamkan matanya, berusaha untuk bisa terlelap. Tapi, lagi-lagi dia gagal. Dia sama sekali tak bisa tertidur meskipun dia terus mencobanya.
“Argh!”
Gadis itu mendengus keras, lalu bangkit berguling ke tepi kasur dan berdiri. “Aku tidak akan bisa tenang kalau aku belum memastikannya dengan mata kepalaku sendiri kalau ini semua memang hanya mimpi,” ucap Stella, lalu berjalan ke arah lemari untuk berganti pakaian.
“Masa bodoh kalau Garry akan mengira aku gadis gila. Dari pada aku mati penasaran lebih baik aku pergi ke sana sekarang,” gumamnya lagi kemudian pergi ke apartemen Garry.
Tiga puluh menit kemudian, Stella sudah berdiri di dalam lift apartemen Garry. Ia berdiri tak tenang sambil terus meremas ujung blus yang ia kenakan. Jantungnya berdetak kencang seiring dengan rasa takut yang terus menghantuinya.
Seharusnya, Stella tidak sekhawatir ini. Seharusnya, Stella bisa lebih percaya kepada Garry. Namun, entah kenapa, setelah bermimpi melihat Garry berselingkuh dengan sahabatnya, Stella jadi tak tenang. Ia seolah mendapatkan pertanda buruk dari mimpinya.
Ting!
Stella menelan salivanya, kemudian melangkah keluar dari lift. Langkahnya terasa begitu berat mendekati pintu apartemen Garry. Tidak seperti di dalam mimpinya, kali ini Stella tidak mendengar suara aneh atau ******* dari luar apartemen. Tapi, hal itu tak membuat Stella tenang sama sekali.
Stella memandang pintu apartemen Garry kemudian mengetikkan sandi pintu apartemen tersebut yang tak lain adalah tanggal hari jadi mereka. Begitu pintu apartemen terbuka, jantung Stella nyaris berhenti berdetak.
Ia mendengar suara dari arah kamar Gerry. Ia pun dengan langkah mengendap-endap berjalan menuju ke sana untuk memastikan. Perlahan, ia membuka pintu kamar Garry, berharap jika semua ini hanyalah ketakutannya saja.
Mimpi buruk Stella menjadi nyata. Gadis itu menutup mulutnya dengan sebelah tangan supaya teriakan tak lolos dari bibirnya. Matanya memanas, hatinya terkoyak. Ia benar-benar tidak menyangka jika apa yang terjadi di dalam mimpinya akan terjadi di dunia nyata.
Di dalam kamar itu, Garry tengah berhubungan dengan sahabat Stella, Feby. Dua orang itu tampak sibuk memuaskan satu sama lain sampai-sampai tidak sadar dengan kehadiran Stella.
Hati Stella hancur. Tiga tahun ia membangun hubungan dengan Garry rupanya sia-sia. Tidak ada satu pengorbanan pun yang berarti di mata Garry karena nyatanya ... Garry justru memilih untuk mencari cinta dari perempuan lain.
‘Kenapa ... Kenapa kau melakukan ini kepadaku, Garry?’ tanya Stella dalam hati.
Air mata Stella mengalir deras di pipi, tapi dia berusaha sekeras mungkin supaya isak tangisnya tak keluar sebab dia tidak mau dua orang pengkhianat itu mendengar suaranya dan menyadari keberadaannya.
Melihat apa yang terjadi di depan matanya, Stella tak tinggal diam. Gadis itu pun mengambil ponsel dari tas, lalu merekam kejadian tersebut sambil menahan tangisnya. Stella mungkin memang sangat mencintai Garry, tapi Stella bukanlah gadis bodoh yang akan memaafkan kesalahan Garry. Dia akan menjadikan rekaman tersebut sebagai bukti pengkhianatan yang dilakukan Garry dan Feby.
‘Kalian benar-benar tega sudah menyakitiku,’ batin Stella.
Stella cukup lama berdiri di sana sambil merekam perbuatan dua orang yang paling dia percaya hingga akhirnya dia muak untuk melihat itu semua. Gadis itu pun memutuskan untuk pergi sebelum Garry dan Feby menyadari kedatangannya.
“Garry, stop!” ucap Feby, lalu menahan tubuh Garry supaya tidak bergerak lagi. Gadis itu menahan Garry yang berada di atas tubuhnya, kemudian melirik ke arah belakang Garry. Ia mengerutkan dahinya, bingung.
“Ada apa, Feb? Kenapa kau memintaku untuk berhenti?” tanya Garry, lalu menoleh ke belakang sebab dia melihat Feby memandang ke arah pintu kamarnya. “Apa yang kau lihat?”
Feby menggeleng. “Aku tadi seperti mendengar suara pintu dibuka,” jawab Feby lirih. “Apakah mungkin Stella datang?”
Garry terkekeh. “Kau ini bicara apa? Mana mungkin Stella datang ke apartemenku tengah malam begini. Pergi ke toilet sendirian di malam hari saja dia takut, apalagi malam-malam begini,” balas Garry acuh tak acuh.
“Gar, tapi aku tadi benar-benar mendengar suara pintu dibuka. Aku akan memeriksanya,” ucap Feby.
Garry menahan tubuh Feby yang hendak beranjak dari tempat tidur, lalu menyambar bibir gadis itu hingga Feby kembali terbuai dengan sentuhannya. “Shh, kau hanya takut saja. Tenanglah, tidak ada siapa-siapa di apartemen ini selain kita berdua. Lebih baik, sekarang kita selesaikan permainan kita tadi,” ujarnya untuk menenangkan Feby.
Tapi, lagi-lagi Feby menghentikan gerakan tubuh Gary. “Aku harus memastikan kalau Stella benar-benar tidak datang,” ucapnya.
Garry memutar bola matanya, lalu mendengus. “Baiklah, aku akan memeriksanya,” ucapnya, lalu turun dari tempat tidur.
Dengan malas pria itu membuka pintu kamarnya lebar-lebar supaya Feby bisa melihat jika tidak ada siapa-siapa di apartemen Garry selain mereka berdua.
“Kau lihat? Tidak ada siapa-siapa, bukan?” tanya Garry.
Feby terkekeh. “Maaf, Garry. Aku hanya khawatir saja,” ucapnya. Feby lantas merentangkan tangannya, seolah ingin memeluk Garry. “Kemarilah!” Ia berseru.
Dengan seringai nakalnya, Garry menutup pintu dan kembali ke atas tempat tidur. Tanpa basa-basi lagi pria itu pun kembali menyerbu tubuh Feby karena ia sudah tidak sabar untuk kembali menikmati tubuh elok gadis itu.
Melihat Feby yang sudah kembali terbuai dengan sentuhan mautnya, Garry tersenyum miring, kemudian kembali menjamah tubuh indah gadis itu. Suara ******* dan lenguhan kembali memenuhi kamar Garry. Garry dan Feby saling menyentuh, menjamah, dan menuntut kepuasan. Mereka tidak peduli jika ada seseorang yang akan terluka akibat perbuatan mereka, karena saat ini mereka hanya memikirkan tentang kepuasan yang mereka dapatkan dari satu sama lain.
Di saat yang sama di tempat yang berbeda ....
Tangis Stella pecah ketika gadis itu mencapai basemen apartemen Garry. Ia berjalan cepat menuju ke mobilnya, lalu masuk ke sana. Di belakang kemudi, Stella menangis sejadi-jadinya. Ia meluapkan segala luka dan amarah yang meradang di hatinya.
Stella Winarta adalah seorang gadis cantik bermata hitam legam yang bertahun-tahun telah melabuhkan cintanya kepada Garry. Selama tiga tahun menjalin hubungan dengan Garry, tak pernah sedetik pun Stella merasa bosan untuk mencintai pria tersebut. Sebaliknya, Stella justru merasa kalau perasaannya untuk Garry kian bertambah seiring berjalannya waktu.
Tapi malam ini, perasaan Stella yang seluas samudera tiba-tiba saja kering seperti gurun Sahara. Hanya butuh satu kejadian untuk menghancurkan perasaan yang bertahun-tahun dimiliki Stella terhadap Garry. Dan malam ini ... Garry telah berhasil untuk menghancurkan segalanya.
Tak hanya perasaan Stella. Garry juga telah menghancurkan hubungan yang sudah mereka jalin selama tiga tahun lamanya. Rupanya, waktu tiga tahun tak cukup untuk membuat Stella mengenal siapa pria yang selama ini dia cintai. Selama ini, Stella pikir Garry adalah pria yang setia. Tapi, malam ini Garry sudah berhasil membuktikan kalau dirinya jauh dari kata setia. Pria itu adalah pengkhianat keji bagi Stella.
Dengan air mata yang bercucuran, Stella mengendarai mobilnya menuju ke kostnya. Gadis itu tak bisa terus berada di sana. Feby dan Garry tidak boleh tahu kalau dia berada di apartemen pria itu.
“Aku tidak mengerti apa salahku dan kenapa mereka tega melakukan ini kepadaku,” gumam Stella sambil meremas kemudi kencang-kencang.
“Selama ini aku tidak pernah menyakiti mereka sekali pun. Tapi, kenapa mereka tega kepadaku?” tanyanya.
Sesampainya di kamar kos, Stella mengambil figura fotonya dengan Garry, lalu membantingnya ke lantai hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
Ia lantas melirik pada foto polaroid dirinya dan Feby yang ia gantung di dinding, lalu mengambilnya dan merobek foto itu hingga menjadi kepingan-kepingan kecil.
Tak hanya Garry yang membuat Stella terluka, tapi Feby juga. Stella dan Feby telah berteman baik sangat lama. Feby adalah orang yang paling dia percaya. Stella selalu bercerita mengenai masalah hidupnya dan bahkan masalah percintaannya kepada Feby. Namun, siapa sangka jika Feby yang kerap memeluknya justru akan menusuknya dari belakang?
“Dasar pengkhianat!!!”
Stella berteriak tertahan. Ia tidak mungkin berteriak kencang dan mengganggu tidur penghuni kos yang lain. Meskipun sejujurnya, saat ini Stella sedang ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan amarah yang menggerogoti hatinya.
Gadis itu terduduk lemas di lantai kamarnya yang dingin. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan, lalu kembali menangis dalam diam.
Tak pernah sekali pun Stella melihat hal-hal yang mencurigakan dari Garry dan Feby. Dua orang itu bahkan bersikap normal di hadapan Stella. Atau mungkin ... Stella lah yang buta sampai-sampai dia tidak bisa melihat kedekatan Garry dan Feby.
Selama ini, Stella selalu bercerita tentang masalah percintaan atau bahkan kencan romantisnya dengan Garry kepada Feby. Bukankah jika Feby menyukai Garry dari lama, Feby akan cemburu dan bersikap ketus setiap kali Stella bercerita? Tapi, selama ini Feby tidak pernah bersikap demikian.
Stella tersenyum kecut. Tak menyangka jika Garry dan Feby telah menutupi segalanya dengan sangat pintar sampai-sampai Stella tidak curiga sedikit pun terhadap mereka berdua.
Yang membuat Stella kesal adalah ... Kenapa Feby? Kenapa Garry harus memilih untuk berselingkuh dengan Feby yang jelas-jelas adalah sahabat dekat Stella? Sekarang, Stella harus bercerita kepada siapa mengenai pengkhianatan Garry?
“Kalian jahat!” desis Stella di tengah-tengah isak tangisnya. Hatinya hancur berkeping-keping, pikirannya pun kacau bukan main. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Garry dan Feby adalah pengkhianatan terbesar yang pernah terjadi di hidup Stella.
Stella menangis semalaman, menangisi pengkhianatan yang dilakukan oleh Garry dan Feby. Di satu sisi, ia ingin berpisah dengan Garry. Tapi, di sisi lain dia ingin Garry dan Feby merasakan rasa sakit yang dia rasakan.
Dengan cepat Stella menghapus air matanya, kemudian menarik napas dalam-dalam.
“Aku tidak boleh lemah. Aku harus menunjukkan kalau mereka sudah salah karena telah bermain api di belakangku,” ucap Stella. Dengan penuh keyakinan, Stella melanjutkan kalimatnya. “Lihat saja, aku akan membalas perbuatan kalian. Aku akan membuat kalian merasakan rasa sakit yang aku rasakan sekarang ini.”
Gadis itu tersenyum penuh keyakinan. Dia telah membulatkan tekad untuk membalas perbuatan Garry dan Feby.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!