"Berapa umurmu?" Reyn menatap wajah Rose yang tengah berdiri dihadapannya.
Sementara Rina dan Norsa yang berdiri dibelakang Rose saling sikut menyikut, keduanya menggigit ibu jarinya masing-masing dengan perasaan was-was, menatap satu titik pada belakang rok abu-abu sahabat mereka itu.
"18 tahun, memang kenapa Pak? Pagi-pagi tanya umur?" Rose terlihat tidak suka bila pertanyaan seputar usia, namun ia tetap menjawabnya.
Wajib baginya menjawab pertanyaan gurunya, sebagai bentuk penghormatan, penghargaan, dan didikan etika yang selalu digaung-gaungkan oleh kedua orang tuanya.
"Heum, seusia itu masih saja ceroboh," balas Reyn masih memandangi wajah Rose yang seketika memerah mendengar cercaannya.
"Maksud pak Reyn apa?" Rose tidak terima dikatakan ceroboh.
Ia memang sering mendengar dari siswa-siswi lainnya, bila sang guru Biologi-nya ini tipikal manusia yang suka nyeleneh dan menyebalkan kalau berbicara. Dan hari ini, sepertinya giliran dirinya yang harus menghadapi sikap menyebalkan gurunya itu.
"Kalau sedang datang b*lan, jangan lupa pakai p*m-ba-lut," ungkap Reyn tanpa disaring.
"A-apa?!" pekik Rose kaget, ia lantas memutar kepalanya kebelakang sembari menarik rok abu-abunya.
"Oh My God!!" Rose kembali memekik kaget, ia malu luar biasa.
"Jangan ceroboh lagi kalau sudah berumur 18 tahun, ingat!" setelah berkata demikian, Reyn meninggalkan koridor sekolah menuju ruang guru.
"Pyiuhh!! Kenapa harus guru menyebalkan itu sih yang melihat ini?" sesal Rose hampir menangis dan berusaha menyembunyikan noda d*rah di rok abu-abunya yang terlihat sangat terang.
"Kalian! Kenapa gak bilang-bilang sih, kalau ha*dku itu tembus kaya gini!" omel Rose pada dua sahabatnya itu.
"Y-yah ma-af! Kami juga gak ngeliat tadi, kita 'kan jalannya barengan saat masuk gerbang sekolah. Sekali tahu saat pak Reyn memanggilmu." sahut Rina membela diri.
"Iya bener," Norsa ikut membenarkan, takut dipersalahkan juga.
"Kami baru melihatnya ketika kamu berbalik badan saat pak Reyn memanggilmu tadi," imbuhnya lagi.
"Kamu juga Rose, kenapa bisa sampai tembus sepagi ini? Apa kamu lupa pake pem*alut?" berondong Rina, tidak habis fikir.
"Aku bukannya lupa Rina, ini PMI sepertinya baru datang pagi ini, di rumah tadi belum ada kok. Pantes aja ada rasa basah-basah dibawah sana, aku fikir air hujan." ucap Rose masih bingung sambil menunjukan cengirannya seperti biasa.
Rina dan Norsa sama-sama menepuk jidatnya masing-masing. "Beda Rose!" ucap keduanya.
"Pantes aja kamu dibilang ceroboh sama pak Reyn, masa gak bisa beda'in sih basah air hujan sama basah yang begituan," timpal Norsa.
"Lagian, kamu tadi pake mantel waktu dibonceng sama kak Bram, ujung rokmu aja gak ada yang basah." imbuhnya lagi.
" Cih... bela'in aja terooos pak guru Biologi yang nyebelin itu. Kamu memang suka kan sama tampangnya yang sok kegantengan itu?" cerocos Rose sebel.
"Udahlah. Buruan pake ini!" Rina mengakhiri perdebatan dua sepupu yang menjadi teman sekelasnya itu. Ia menarik tas punggung Rose dengan paksa dan menyampirnya pada punggungnya, lalu memberikan tas selempangnya yang lebar untuk menutupi noda pada rok belakang Rose.
"Ayo, cepetan ke kelas. Bentar lagi lonceng masuk berdering, jangan sampai terlambat masuk kelas, bisa-bisa dihukum lagi didepan kelas seperti kemarin, ogah pokoknya!" Rina buru-buru menarik pergelangan tangan dua temannya itu untuk mengikuti langkah cepatnya.
"Iya, tapi gimana dong urusan rokku ini?" celoteh Rose masih pusing memikirkan nasib apesnya pagi itu. Ketiganya berjalan setengah berlari menuju kelas.
"Kirim pesan ke Ibumu saja Rose, supaya dikirim lewat ojek online. Bereskan?" ucap Rina memberi ide.
"Heum, kamu benar juga." Rose yang sempat pusing memikirkan nasib rok seragamnya yang terkena noda langsung tersenyum lega.
Sebenarnya bisa saja ia ijin pulang dengan alasan sakit, namun sedari TK, ia sudah terdidik tidak boleh ijin sekolah sesukanya oleh kedua orang tuannya kecuali kalau memang bener-bener sakit.
Tepat disaat ketiga sahabat itu duduk dikursinya masing-masing, bel berdering tanda pelajaran akan dimulai.
Tidak seperti sekolah lainnya, SMU negeri Tangga Arang hanya mewajibkan para siswa-siswinya berbaris di depan kelas sebelum pelajaran dimulai hanya dihari senin dan sabtu saja, selain hari tersebut, semua siswa harus sudah bersiap di mejanya masing-masing untuk menerima pelajaran.
Tap! Tap! Tap!
Suara sepatu pantofel memasuki ruangan kelas, tepat disaat bel tanda kegiatan belajar mengajar akan dimulai berhenti berdering.
Semua siswa-siswi melongo melihat siapa yang masuk ke ruang kelas mereka, termasuk Rendy, sang ketua kelas.
"Maaf Pak, sepertinya Bapak salah kelas. Pagi ini jam mata pelajaran Bahasa Indonesia, ibu Mira." ucap Rendy memberanikan diri.
"Kau benar Rendy. Ibu Mira bertukar jadwal dengan saya karena ada keperluan mendadak. Jadi setelah jam istirahat pertama nanti, beliau baru masuk dimata pelajaran saya," terang Reyn Hamdani, guru mata pelajaran Biologi.
Setelah mendengar penjelasan singkat sang guru Biologi, Rendy segera melakukan tugasnya selaku ketua kelas 11 A1.
"Bersiap! Sebelum pelajaran dimulai, marilah kita berdoa menurut kepercayaan agama kita masing-masing! Berdoa dimulai!" Suasana nampak hening beberapa saat setelah mendengar aba-aba dari Rendy.
"Berdoa selesai!" ucap Rendy lagi mengakhiri doa bersama.
"Rendy, bagikan kertas ulangan ini," panggil Reyn, lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas ulangan sesuai jumlah siswa-siswi dikelas itu.
Suara berisik mulai terdengar disana-sini saat Rendy mulai membagikan lembaran soal ulangan pada semua siswa-siswi. Kebisingan didalam kelas itu tercipta setelah mendengar bahwa pagi itu dilakukan ulangan Biologi secara mendadak.
"Kenapa? Tidak siap? Kalian itu pelajar! Kenapa bisa tidak siap?" tegur Reyn lantang, mendengar kebisingan yang mengganggu indera pendengarannya.
Suasana seketika sepi, tidak ada satupun dari para siswa itu yang berani menyela, karena tidak ada yang sanggup mendapat ceramah yang tidak mengenakan dari mulut sang guru Biologi.
"Apa aku bilang, pak Reyn itu memang guru paling nyebelin disekolah kita ini." bisik Rose pelan didekat telinga Norsa sambil melirik dengan ekor matanya kearah guru Biologi yang tengah fokus dengan buku dihadapannya.
"Pak Reyn memang kadang nyebelin sih, suka kasih ulangan harian mendadak kaya gini. Tapi dia ganteeeng ampun-ampun," sahut Norsa sambil nyengir.
"Yeeee... bukan ganteng ampun-ampun, tapi amit-amit jabang bayi punya laki kaya dia," cibir Rose, rasa kesalnya pada guru Biologinya saat mereka di koridor masih belum sirna.
"Kalian berdua!"
Norsa dan Rose tersentak kaget, buru-buru menoleh kearah Reyn yang duduk dimeja guru, tengah menatap tajam pada mereka.
Untuk lebih meyakinkan, Rose dan Norsa mulai tolah-toleh ke kiri dan kanan, muka dan belakang, kali saja bukan mereka yang dimaksud. Sedangkan seiisi kelas melihat kerah mereka berdua.
"Tidak perlu tolah-toleh lagi. Apa yang kalian berdua percakapkan, sementara teman-teman kalian yang lain sudah mulai mengerjakan soal ulangannya masing-masing," ucap Reyn lagi dengan sorot mata tajamnya.
"M-maafkan kami Pak," ucap keduanya hampir bersamaan, dengan detak jantung yang jedak jeduk, takut dihukum seperti Rina kemarin.
"Heum! Kali ini saja, tidak untuk berikutnya!" tegas Reyn menatap Rose dan Norsa.
"Waktu mengerjakan soal hanya 40 menit dari sekarang," imbuhnya, lalu kembali menunduk, membaca buku yang masih terbuka diatas mejanya, sementara para siswa-siswinya juga kembali fokus pada kertas ulangannya masing-masing.
"Heuh! Mana soal essay semua lagi," sungut Rose didalam hati, ia bener-benar tidak belajar semalam karena sibuk menonton drama-drama televisi yang menjadi hobbynya itu.
Bersambung...✍️
Steven melambatkan laju motornya dan berhenti tepat didepan pagar rumah bercat serba putih. Selang beberapa detik, Rose turun dari boncengan belakangnya.
Setelah menyerahkan helm, Rose sedikit merapihkan rambut panjang sepunggungnya, sementara Steven memperhatikanya dari atas motornya.
Rose menatap steven yang juga tengah menatapnya dengan ulasan senyum manisnya, membuat pipi gadis remaja itu menghangat, terlihat semburat merah samar dipipi chubby-nya.
"Udah, masuk sana," ujar Steven, masih dengan ulasan senyum manisnya. Steven Jhon, pria berkulit khas asia itu adalah kakak kelas Rose, siswa kelas 12 yang dua bulan lagi akan lulus dari SMU Negeri Tangga Arang, tempat mereka bersekolah.
"Apa kak Steven gak mau masuk dulu gitu?" tanya Rose sedikit basa-basi.
Belum sempat Steven menjawab, Rose sudah lebih dulu bersuara. "Nggak usah aja ya Kak?" sambar gadis itu cepat.
Steven menatap Rose penuh tanya dengan perasaan bingung, lalu mendengus. "Ngapain coba, musti nawarin kalau gak boleh masuk juga?"
"Basa-basi Kak, 'kan gak enak Rose udah dianterin pulang malah ngusir," sahut Rose jujur plus polosnya keluar.
"Basa-basimu itu terlalu basi Rose, tau gak." keduanya lalu terkekeh bersama.
Bersamaan dengan itu, satu unit motor sport berhenti tepat disamping keduanya, Rose dan Steven menoleh bersamaan.
Steven memperhatikan laki-laki yang mengenakan jaket kulit cokelat, berusaha mengingat dan mengenali pria yang tidak asing baginya dengan tidak melepaskan tatapannya.
Laki-laki berjaket kulit cokelat itu melepas helmnya lalu menoleh kearah Steven.
"Kenapa melihatku seperti itu? Naksir? Sorry ya, aku masih waras." lalu menyugar rambutnya kebelakang, untuk menambah point ketampanannya.
Steven menatap jijik laki-laki dihadapannya itu lalu berdecih. "Apa yang dia bilang tadi? Naksir? Cih! Emang aku homo apa? Mana dia lebih tua lagi?" batinnya gregetan.
"Udah ya Rose, Kakak pulang dulu," Steven berpamitan pada Rose tanpa menggubris laki-laki sontoloyo yang tidak mampu ia ingat itu, walau ia sudah menyisir ingatannya hingga kusut.
"Oke Kak Steven, hati-hati ya, bye!" Rose melambaikan tangannya, menghantarkan kepergian Steven yang melarikan motornya dengan kecepatan sedang.
"Kok nggak langsung masuk sih Kak?" Rose mengalihkan asistensinya pada kakak kandungnya, Bram Sulistyo, laki-laki yang mengenakan jaket kulit cokelat yang tidak dikenal oleh Steven.
"Nggak, Kakak mau liat anak monyet lagi pdkt tadi," ujarnya acuh, lalu menjalankan motornya masuk ke halaman luas rumah mereka, dan menyimpan motornya di garasi.
Rose menatap kakaknya bingung, apa mungkin dirinya disamakan dengan anak monyet oleh kakaknya itu. Ia tetap melenggang masuk dan menutup pagar rumah lalu mengunci dengan kaitan besi.
...⚘️⚘️⚘️...
Rose baru saja selesai mandi, setelah mengganti seragam sekolahnya, ia keluar dari kamarnya, turun ke lantai bawah menuju dapur, perutnya sudah keroncongan menahan lapar.
Ia mendengus begitu melihat tidak ada makanan sama sekali diatas meja.
"Kenapa? Lapar?" Bram yang juga baru turun dari lantai atas mendekati adiknya.
"Ya iyalah Kak. Bibi mana sih, kok nggak siapin makanan?" rengut Rose yang tidak bisa lagi menahan laparnya.
"Bibi tidak sempat masak untuk makan siang, anaknya sakit, ia terpaksa ijin tadi setelah mengirim rok, CD, dan pemba*utmu tadi pagi," pungkas Bram.
"Kalau lapar, ya masak dong." ucap Bram sambil membuka kulkas, melihat bahan-bahan makanan apa saja yang disimpan bibi disana.
"Kakak ngeledek ya? Udah tau Rose belum bisa masak," sungut gadis itu lagi sembari mencebikan bibirnya.
"Belum bisa masak tapi udah berani pacaran. Mau dikasih makan apa suami dan anakmu nanti Rose?" Bram mengeluarkan seikat sayuran dan ikan yang sudah di bumbui dari dalam kulkas dan meletakannya diatas meja konter dapur.
"Widih kak Bram, Rose 'kan pacarannya masih maen-maen, nggak mikir punya suami, apalagi punya anak," ucap Rose polos, lalu bergidik ngeri membayangkan ujung dari pacaran yang ia anggap main-main memang akan berakhir ke arah sana, seperti yang barusan kakaknya bicarakan.
"Ingat ya Rose, dari awal yang main-main itu, akan berujung bahaya, apalagi seusia dirimu, belum pantes pacaran. Sekolah dulu yang bener, lulus, terus kuliah, terus kerja, lalu boleh pacaran dan nikah," ulas Bram menasehati adik perempuan semata wayangnya itu.
Ya, mereka hanya dua bersaudara. Bram Sulistyo, pria berperawakan tinggi 180 sentimeter itu kuliah di Universitas semester empat sambil berkerja paruh waktu disalah satu percetakan didekat kampusnya. Sementara Rose adiknya baru kelas 11 di SMU Negeri Tangga Arang, dan kurang lebih tiga bulan lagi akan naik ke kelas 12.
Kedua orang tua mereka, Martin dan Marlina sama-aama bekerja sebagai PNS di instansi Pemerintah kota Tangga Arang. Martin juga dipercaya oleh para warga dikomplek tempat tinggalnya sebagai seorang ketua RT.
"Sini, bantuin Kakak biar cepat rampung." Rose mendekati kakaknya dengan rasa malas dan nampak lemas tidak bertenaga akibat lapar.
"Potong sayuran ini begini," Bram memberi contoh memotong kacang buncis diatas talenan. Begitu selesai seruas, ia lalu memasukan potongan kacang buncis yang terlihat rapi itu kedalam mangkuk berukuran sedang.
"Nah sayur sawi ini potongnya seperti ini," Bram kembali memberi contoh, dari seikat sawi yang telah ia bersihkan di air mengalir.
"Ngerti kan Rose?" tanya Bram menatap adiknya.
"Iya, Rose ngerti Kak," sahut Rose bernada malas, rasa lapar membuatnya mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur siang.
"Kakak mau masak apa sih?"" Rose balik bertanya sambil mengambil alih pisau dari tangan kakaknya.
"Kakak mau masak capcay goreng dan ikan goreng," Bram memasukan ikan kedalam penggorengan yang sudah ia panaskan sebelumnya hingga terdengarr suara, " Srenggg!" beberapa detik kemudian aroma bumbu ikan goreng mulai tercium oleh indera penciuman membuat perut keduanya semakin merasa lapar.
Sembari menunggu ikan goreng bumbunya matang, Bram membersihkan kembang kol dan menyiapkan bumbu tumisannya. Tidak membuang waktu lama, Bram yang sudah terbiasa mengolah bahan-bahan itu dalam waktu singkat sudah menyelesaikannya.
Ia buru-buru memanaskan minyak dalam wajan lalu mulai memasukan bawang dan bumbu tumisan lainnya, setelah bau bumbu sudah tercium,.ia mengecilkan api untuk memasukan sayur-sayurannya.
"Rose, berikan sayuran yang sudah kau potong pada Kakak," panggilnya. Rose lalu buru-buru memberikan sayuran yang baru saja selesai dirajamnya.
"Astaga Rose! Ini potongan sayur apaan?!" kaget Bram melihat kacang buncis panjang pendek tidak beraturan, belum lagi daun sawi yang dirajam sangat halus bagai bubuk tanpa bisa dikenali lagi bentuknya.
Rose hanya cengengesan mendengar pekikan sang kakak tanpa merasa bersalah. "Siapa suruh Kakak minta bantuan Rose, ya begitu deh jadinya, terima aja apa adanya," cengirnya.
"Kan udah Kakak beri contoh Rose.." Bram merasa gemes pada adik lucnut-nya itu.
Bersambung...👉
"Rose, Kakak berangkat kerja dulu ya," pamit Bram. Ia melirik adiknya yang tengah tertidur pulas kekenyangan didepan televisi diruang keluarga.
Bram tertawa sendiri, mengingat Rose yang tetap lahap memakan masakannya. Cita rasanya memang enak, tapi tampilan capcay gorengnya terlihat begitu menjijikan akibat ulah Rose yang mencincang sayuran itu sesuka jidatnya.
Tidak mau mengganggu tidur siang adiknya, Bram lebih memilih mengunci pintu rumah dari luar, karena kedua orang tuanya juga telah membawa duplikat anak kuncinya masing-masing.
Ia buru-buru menaiki motor sportnya, dan melajukannya meninggalkan rumah, karena tinggal 10 menit lagi, jam kerjanya akan dimulai. Bram memang sengaja mengambil kerja paruh waktu setelah selesai kuliah dipagi hari. Ia berkerja pada percetakan yang berada didekat kampusnya, dari jam 3 sore sampai jam 10 malam.
Sementara itu dirumah, Rose mengeliat-geliat sambil memeluk boneka pandanya yang berukuran besar sebagai pengganti guling.
Samar-samar ia mencium bau masakan dari dapur, juga suara obrolan yang tidak terlalu jelas dari ruang tamu. Matanya masih sangat mengantuk, padahal jam dinding diruang keluarga sudah menunjukan pukul 5 sore.
"Hiks, hiks, hiks," tangis seorang ibu dalam pelukan suaminya. "Padahal kami sudah mengontrol putri kami, tapi tetap saja, tetap saja kami kecolongan pak RT." keluh wanita itu disela-sela tangisnya.
"Kami bingung pak RT, Riani baru saja berusia 15 tahun, dan pacarnya yang menghamilinya itu juga baru saja berusia 19 tahun. Mengingat usia keduanya yang masih terlalu muda dan sama-sama pelajar, orang tua dari Rusdi tidak mengijinkan anak mereka yang masih sekolah itu menikah. Mereka beralasan bila anak laki-laki mereka belum mengerti bagaimana caranya berumah tangga." terang pak Wikasa, yang sore itu tengah bertamu bersama isterinya di rumah Martin, ayah Rose.
Ia masih memeluk isterinya, ibu Yuni yang masih saja terus menangis. Sebagai orang tua, terang saja mereka sangat kebingungan memikirkan nasib malang putri tunggal mereka yang menjadi harapan keluarga.
Sebagai ketua RT di komplek perumahan warga, Martin, ayah Rose memang cukup dipusingkan dengan laporan warganya akhir-akhir ini. Ini sudah kali yang keempat dirinya menerima laporan kehamilan diluar nikah beberapa anak gadis dibawah umur dalam satu tahun terakhir.
Ia menatap sepasang suami-isteri itu, berusaha memberi solusi yang terbaik yang mampu ia berikan, walau sebenarnya ia juga merasa bingung apa yang harus ia utarakan karena masalah serius itu menimpa anak gadis warganya yang masih dibawah umur.
"Begini saja pak Wikasa dan ibu Yuni, kita coba saja menempuh jalur kekeluargaan dulu. Saya akan menemani Bapak dan Ibu kerumah keluarga Rusdi, anak laki-laki yang menghamili Riani, semoga saja ada jalan keluarnya ketika kita menemui kedua orang tuannya lagi," papar Martin.
"Tapi bila masih menemui jalan buntu, dengan terpaksa, kita harus menempuh jalur hukum. Karena sesuai dengan undang-undang terbaru tentang perkawinan dinegara kita, bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun."
"Tidak seperti jaman kita dulu ya pak Wikasa, bu Yuni, undang-undang perkawinan tahun 1974, menyatakan bahwa perkawinan boleh dilakukan oleh pria berusia minimal 19 tahun dan wanita minimal 16 tahun." terang Martin lagi.
"Bagaimana kalau malam besok pak RT? Saya tidak akan merasa tenang bila persoalan ini belum menemukan jalan keluarnya," ide pak Wikasa.
"Saya setuju saja pak Wikasa." sahut Martin menyetujui.
"Baiklah, kalau begitu saya dan isteri pamit dulu, hari juga sudah gelap, kasian Riani sendirian dirumah." ujar pak Wikasa berpamitan.
Martin mengantar kedua tamunya hingga didepan pintu rumah. Ia segera beranjak begitu kedua tamunya itu keluar dari pagar rumahnya, berjalan kaki pulang menuju rumah mereka yang hanya berjarak 5 rumah saja dari rumahnya.
"Rose! Rose! Ayo kita makan malam Rose!" panggil Marlina, ibu Rose yang berdiri diambang pintu antara ruang keluarga dan dapur.
"Rose masih kenyang Bu. Ibu sama Ayah saja yang makan!" sahut Rose masih betah didepan televisi, menonton drama kesayangannya, percintaan gadis remaja.
Martin yang baru saja datang dari ruang tamu melirik layar televisi yang ditonton putrinya lalu mendengus. "Rose, ini waktunya makan malam, besok malam kau kan masih bisa menontonya lagi." ucap Martin berhenti disamping putrinya yang memeluk boneka pandanya dengan santai dan pandangan masih fokus pada layar televisi.
"Besok malam lain lagi cerita episodenya Yah. Sayang 'kan kalau kelewat, Rose udah mengikuti tayangannya dari awal," sahut Rose masih bergeming pada posisinya. Walau matanya pokus pada layar televisi, tapi telinganya masih bisa mendengar suara ayah maupun ibunya dengan baik.
Marlina baru saja akan membuka mulutnya, berencana memberi 1001 ayat pada putri manjanya yang tidak kehabisan kata menjawab perkataan suaminya.
Tok! Tok! Tok!
Rose dan kedua orang tuanya saling berpandangan sesaat, ketika mendengar ketukan kencang dan tidak beraturan berasal dari pintu ruang tamu.
Rose dan ibunya buru-buru ikut lari ke ruang tamu menyusul ayahnya. Tidak biasanya ada tamu yang mengetok dengan cara yang demikian rusuh, belum lagi suara derai tangisan semakin jelas terdengar ketika mereka semakin mendekati pintu.
"Nina? Shasa?" Martin nampak kaget melihat adik perempuan dan keponakannya yang berderai air mata didepan pintu rumahnya.
"Mas," Nina segera menghambur kepelukan Martin kakaknya yang masih kebingungan melihat dirinya dan juga putrinya yang masih menangis.
"Shasa Mas, Shasa hamil!" ucapnya disela-sela tangisannya.
"Apa? H-hamil?!" kaget Martin sembari mendorong pelan tubuh adiknya itu dari dalam pelukannya, menatapnya tidak percaya, lalu mengalihkan pandangannya pada Shasa yang menunduk dan masih menangis sesenggukan.
"Iya Mas! Shasa hamil!" ulangnya dengan suara keras hingga beberapa tetangga melongokan kepala mereka dari rumahnya masing-masing melihat kearah mereka karena kebisingan mereka yang sangat mengganggu dipetang yang baru menjelang.
"Ibu sudah bilang berkali-kali Shasa! Jauhi laki-laki baji*gan itu! Jangan pacaran dulu kalau masih sekolah! Kalau sudah begini, mau taroh dimana wajah ibumu ini Shasa?!" Nina memekik dan tangannya ikut menjambak rambut putrinya, sebagai luapan kemarahannya yang tidak terbendung lagi begitu mengetahui anak gadis satu-satunya itu telah hamil diluar nikah.
"Ampun Bu! Ampuni Shasa Bu!" mohon gadis muda itu sembari memegang rambutnya yang ditarik sang ibu, menahan rasa sakit pada kulit kepalanya.
"Nina cukup!" Martin melerai. Berusaha melepaskan jambakan tangan adiknya itu dari rambut keponakannya yang hampir saja jatuh terjungkang dilantai teras.
"Ayo kita bicarakan ini didalam saja. Tidak enak didengar tetangga," Martin melirik keluar pagar, benar saja, beberapa ibu-ibu tengah memperhatikan mereka dengan cara menguntit dari balik pagar rumah mereka yang rata-rata hanya setinggi 120 sentimeter saja dari tanah.
Marlina segera menggandeng pundak adik iparnya itu, membawanya masuk kedalam rumah. Sementara Martin membawa keponakannya Shasa. Rose yang masuk paling akhir lalu menutup pintu rumah dan menguncinya karena langit diluar sudah gelap.
Setelah melihat pintu tertutup rapat, beberapa tetangga yang menyaksikan kejadian itu turut merapat satu sama lain dan mulai bergosip ria dengan asumsinya masing-masing.
Bersambung...👉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!