Sewaktu ayah mereka pulang membawa guci misterius ke kediaman keluarga Liu, Liu Shen Zhu berusaha untuk tidak terlihat takut. Ia tahu kakak perempuannya, Liu Xie Ma, pasti akan mengejeknya kalau tahu bagaimana sebenarnya perasaannya.
"Kelihatannya seperti guci abu kremasi yang disegel. Isinya pasti arwah penasaran dari zaman kegelapan," tutur Xie Ma dengan gaya dramatis. "Kau takut, Adik?" ejeknya.
Hanya karena umurnya sudah tiga belas tahun sementara adiknya baru berumur sepuluh tahun, ditambah wajah adiknya yang seperti perempuan, menurut Xie Ma, adiknya sejenis kucing penakut. Ia selalu mengageti Shen Zhu dan mencoba menakut-nakutinya.
Hanya itu pekerjaan Xie Ma. Menggoda dan mengatai Shen Zhu penakut.
Atau pengacau!
Ayah mereka adalah seorang pemburu harta karun dan ahli pusaka misterius. Pekerjaannya adalah mencari dan mengumpulkan barang-barang pusaka dari tempat-tempat paling misterius. Tidak termasuk mengumpulkan guci abu kremasi, sebenarnya.
Ini adalah pertama kalinya ayah mereka membawa pulang guci misterius yang sepintas memang terlihat seperti guci abu kremasi. Bentuknya seperti labu dan sudah retak di sana-sini. Seluruh bagian guci itu dipenuhi tulisan kuno, mungkin mantra segel—setidaknya itulah yang diyakini Shen Zhu.
Ayah mereka menyimpan guci itu di ruang bawah tanah dan mengingatkan supaya mereka tidak dekat-dekat dengan benda itu.
Tapi setelah ayah mereka pergi, Shen Zhu dan Xie Ma tetap berdiri di puncak tangga, memandang ke ruang bawah tanah.
"Aku tahu sesuatu tentang guci abu kremasi yang disegel," kata Xie Ma sambil memicingkan matanya. "Arwah mereka bisa keluar dan berkeliaran mencari mangsa."
"Aku tidak percaya!" sergah Shen Zhu.
"Tunggu sampai jiwamu direnggut, kau baru akan percaya," tukas Xie Ma bersikeras. "Abu kremasi yang disegel di dalam guci biasanya berisi arwah penasaran yang tidak puas atas kematiannya. Kalau sampai segelnya rusak, arwah di dalamnya akan keluar untuk mencuri jiwa orang-orang. Apa kau tidak takut?"
"Tidak," bantah Shen Zhu.
"Lalu kenapa kau tidak turun dan memeriksanya?" tantang Xie Ma.
"Apa kau tak dengar apa yang dikatakan Ayah? Jangan dekati benda itu!" bantah Shen Zhu.
"Ayah melarang kita dekat-dekat karena dia tahu kau seorang pengacau," sanggah Xie Ma.
"Aku bukan pengacau!" sergah Shen Zhu.
"Kalau begitu cobalah turun ke sana dan sentuh guci itu, sekali saja," tantang Xie Ma sekali lagi. "Aku berani taruhan kau akan menjatuhkan barang karena terlalu gugup."
"Baik!" Shen Zhu merasa tertantang. "Aku turun," katanya. Dan sebelum kata-kata itu selesai diucapkan, ia sudah menyesal.
Di bawah ternyata gelap gulita, sampai-sampai udaranya berbau gelap, seperti bau lumpur.
Guci itu di taruh di dalam peti harta karun di tengah ruangan bersama barang-barang temuan lainnya. Barang-barang lainnya sudah berdebu karena terlalu lama tersimpan di dalam peti, tutup petinya selalu terbuka dari waktu ke waktu. Hanya guci itu yang masih terlihat licin, begitu mengkilat hingga seperti bercahaya di dalam gelap.
Shen Zhu menuruni anak tangga perlahan-lahan. Selangkah demi selangkah didekatinya benda itu.
Satu-satunya yang dapat didengar oleh anak lelaki itu hanyalah detak jantungnya yang berdegup kencang.
Udara di sekitarnya terasa dingin dan lembap.
Shen Zhu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang dingin satu sama lain, berusaha membangkitkan keberaniannya.
Kau bisa melakukannya, katanya pada diri sendiri. Tak ada yang perlu ditakuti.
Disentuhnya guci mengkilat itu—tanpa sengaja menjatuhkannya. Guci itu terguling di dalam peti. Tak sampai pecah, tapi tutupnya terlepas.
Sesaat jantung Shen Zhu berhenti berdetak. Sekarang Ayah benar-benar akan membunuhku, batinnya ngeri. Lalu berbalik dan lari terbirit-birit ke atas tanpa menengok ke belakang.
Kegelapan pekat tiba-tiba menyergap ruangan itu.
Pintu ruangan bawah tanah itu ternyata tertutup. Xie Ma telah menutupnya.
Shen Zhu terjebak!
Shen Zhu tak tahan lagi, jadi ia mulai berteriak. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Udara bercampur debu terhisap ke dalam mulutnya dan tertelan, membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk. Dadanya terasa sesak hingga membuatnya lemas.
Ia jatuh berlutut di depan pintu itu sambil memukul-mukul pintu dengan kepalan tangannya. Kepalanya mulai merayang sementara kesadarannya timbul tenggelam. Kegelapan yang pekat itu terasa seperti keabadian. Seperti perhentian waktu yang membuatnya terjebak dalam ilusi yang membingungkan.
Shen Zhu tak yakin berapa lama kegelapan itu menguasainya, tapi ketika cahaya datang, ia mendapati dirinya tertelungkup di tempat terbuka di antara puing dan reruntuhan.
Dan satu-satunya cahaya yang meneranginya berasal dari kaki langit. Semburat jingga cahaya matahari pagi.
Apa yang terjadi? Shen Zhu tersentak dan menarik bangkit tubuhnya. Kenapa aku bisa berada di luar? Tatapannya yang panik menyapu sekeliling.
Tidak ada apa-apa di sana!
Tidak ada dinding.
Tidak ada pintu.
Tidak ada ruang bawah tanah yang gelap gulita.
Tidak ada rumah.
Hanya ada lapangan terbuka dengan puing-puing dan reruntuhan.
Di mana ini? Shen Zhu bertanya-tanya dalam hatinya.
Seluruh tempat di sekelilingnya porak-poranda.
Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini.
Shen Zhu memekik tertahan, tanpa sadar menahan napas.
Ayah dan ibunya terkapar tak jauh dari tempatnya. Sudah tak bernyawa.
"Ayah! Ibu!" Shen Zhu berteriak dan menghambur ke arah mereka, lalu jatuh berlutut dan menangis sejadi-jadinya.
Sejurus kemudian, suara berdebam dan berdebuk ribut sepatu tentara, menyeruak ke arah Shen Zhu, disusul suara teriakan seseorang. "Di sini ada yang masih hidup!"
Lalu semakin banyak suara-suara berdebam sepatu tentara yang mendekat.
"Iblis! Iblis!" Tiba-tiba seorang anak perempuan menjerit ketakutan. Suara itu berasal dari balik reruntuhan di belakang Shen Zhu.
Shen Zhu tersentak, ia mengenali suara itu. Serta-merta ia berbalik dan menghadap ke belakang. "Kakak!" pekiknya terkejut.
Sekelompok ksatria tahu-tahu sudah mengerumuni mereka.
Xie Ma meronta-ronta ketika seorang ksatria mencoba mendekatinya.
"Tidak apa-apa," bujuk ksatria itu dengan suara lembut. "Kau sudah aman sekarang."
Shen Zhu menghambur ke arah kakaknya, tapi kakaknya kembali menjerit-jerit seraya melejit menjauhinya. "Iblis!" jeritnya makin histeris. "Iblis!"
Salah satu ksatria menarik Shen Zhu menjauh dari kakaknya ketika ksatria lainnya membopong paksa tubuh Xie Ma untuk dievakuasi.
"Ayo," ajak ksatria lainnya. "Ikut kami."
Shen Zhu mengikuti mereka dengan patuh sementara jiwanya masih terguncang dan tidak berdaya. Matanya yang berkaca-kaca menatap nanar semua orang yang dikenalnya terkapar tanpa nyawa di antara reruntuhan rumah mereka masing-masing.
Sebagian dari dirinya ingin tetap tinggal untuk mengurus pemakaman orang tuanya. Tapi sebagian dirinya yang lain ingin lari atau sembunyi dan melupakan semuanya.
Pemandangan itu terlalu mengerikan untuk seorang anak sepuluh tahun. Tragedi itu tidak tertanggung oleh jiwanya. Menjadikan semuanya terasa seperti bukan dalam kenyataan. Membuat Shen Zhu hanya bergeming dengan ekspresi linglung.
Para ksatria itu membawa mereka ke Markas Besar Aliansi Ksatria Pemburu Iblis dan menghadapkannya pada para tetua dan ketua mereka.
Sejumlah pejabat dan para pemilik perguruan seni beladiri yang tergabung di bawah naungan aliansi itu dipanggil untuk membicarakan masalah ini.
Para ksatria itu membimbing Shen Zhu dan kakak perempuannya ke tengah ruangan di depan tangga singgasana ketua.
"Hanya mereka yang masih hidup," salah satu ksatria melaporkan sambil berlutut di depan tangga itu.
Para ksatria lainnya serentak ikut berlutut.
Shen Zhu akhirnya ikut berlutut, mencoba memeluk Xie Ma, tapi lagi-lagi gadis itu menjerit dan meronta-ronta tanpa seorang pun bisa menenangkannya.
Ketua aliansi akhirnya memanggil para ahli pengobatan dan memerintahkan supaya Xie Ma dibawa untuk dirawat.
"Kakak!" Shen Zhu mencoba merenggut kakaknya dari tangan semua orang.
"Tenanglah!" seorang ksatria memeluk Shen Zhu dari belakang dan menahannya. "Kami hanya ingin merawatnya. Kami berjanji kalian akan bersama lagi setelah ini. Ketua ingin bicara denganmu dulu," bisiknya dalam bujukan tegas yang membuat Shen Zhu langsung terdiam.
Ketua aliansi berdeham dan melipat kedua tangannya di belakang tubuhnya, lalu menatap ke arah Shen Zhu. "Gadis Kecil," katanya dengan suara lembut yang menenangkan. "Bisakah kau katakan apa yang terjadi pada desamu?"
"Aku bukan gadis kecil," sahut Shen Zhu dalam gumaman tercekat, tidak berani mengangkat wajah.
Seisi ruangan terkekeh menanggapinya.
"Aku laki-laki!" Shen Zhu akhirnya mengangkat wajah dan mengedar pandang, memasang wajah serius untuk meyakinkan semua orang.
"Siapa namamu?" Sang ketua bertanya lagi.
"Liu Shen Zhu," Shen Zhu kembali tertunduk. Tidak berdaya menatap wajah ketua.
"Bagaimana kau bisa selamat?" tanya ketua lagi.
Shen Zhu tercenung dalam waktu yang lama. Dahinya berkerut-kerut, mencoba mengingat-ingat. Tapi lalu menggeleng dan tertunduk murung dengan ekspresi putus asa. "Aku tak tahu," desisnya bernada pasrah.
Para pejabat dan para tetua bertukar pandang satu sama lain.
Sang ketua mendesah pendek dengan raut wajah tak berdaya. "Satu desa diserang dan dihancurkan dalam semalam, dan kita… Aliansi Ksatria Pemburu Iblis hanya mampu menyelamatkan dua orang anak kecil dengan jiwa terguncang?" gumamnya bernada kecewa.
Para ksatria serentak tertunduk dalam.
Para pejabat kehormatan, para tetua dan para pemilik perguruan seni beladiri bergerak gelisah di tempatnya masing-masing.
"Harus ada yang merawat mereka!" Sang ketua mengedar pandang ke arah barisan para pemilik perguruan, dan seketika para pemilik perguruan itu membeku dengan ekspresi tegang. "Dan karena mereka kakak-beradik, mereka harus diambil bersama. Memisahkan mereka hanya akan memperburuk kejiwaan mereka."
Para pemilik perguruan mengerang dalam hatinya masing-masing.
Seorang anak laki-laki lemah dan seorang anak perempuan gila!
Siapa yang menginginkannya?
"Sejujurnya…" salah satu pemilik perguruan angkat bicara. "Asrama kami sudah penuh, sudah tidak memungkinkan untuk menambah seorang murid lagi. Semua orang tahu, perguruan kami adalah yang paling banyak menerima murid di tahun ajaran baru."
Pemilik perguruan lainnya mendengus seraya mendelik. "Perguruanmu menerima murid paling banyak karena perguruanmu memang yang paling besar," tukasnya bernada sinis.
"Perguruan kami beraliran sihir!" pemilik perguruan lainnya lagi beralasan. "Kekuatan spiritual adalah modal utama. Sepintas saja sudah bisa dilihat kekuatan spiritual anak ini sangat lemah, dikhawatirkan tidak bisa berkembang di perguruan kami."
Sang ketua mengusap dagunya dan mengerutkan dahi, mencoba berpikir keras.
"Keberatan, Ketua!" Pemilik perguruan yang lain-lainnya lagi menginterupsi. "Kekuatan spiritual bisa dilatih dalam berbagai cara dan dimurnikan dengan pembaptisan. Selain itu, masih ada ritual pembangkitan kekuatan spiritual bawaan seperti pembangkitan ilahi."
"Kalau begitu kau saja yang mengadopsi mereka!" sergah pemilik perguruan sihir. "Kau sudah tahu cara mengatasi keterbatasan mereka, kan?"
"Sayangnya bukan kami yang menentukan apakah seseorang layak menjadi murid perguruan kami," tukas pemilik perguruan yang mengajukan keberatan tadi. "Pemilihan murid ditentukan oleh ujian laut elemen. Jika tidak satu pun elemen yang mengakuinya, selamanya orang tersebut tak bisa menjadi murid perguruan kami."
"Kalau begitu kenapa tidak diuji saja di laut elemen?" pemilik perguruan sihir bersikeras.
"Baik!" tantang pemilik perguruan yang menjunjung tinggi bakat elemen tadi. "Tapi kalau tidak satu pun elemen yang mengakuinya, kau harus mengaku kalah dan mengadopsi mereka."
"Kau—" pemilik perguruan sihir menggertakkan giginya seraya melontarkan tatapan tajam ke arah pemilik perguruan elemen tadi.
Ketua aliansi mengangkat sebelah tangannya untuk menyela mereka, dan seketika seisi ruangan berubah hening. "Setiap aliran memiliki cara uji yang berbeda-beda," tuturnya bijaksana. "Di aliran Zen, pemilihan murid ditentukan berdasarkan elemen yang memilihnya. Di aliran sihir, ada tes tingkat kekuatan spiritual. Di aliran seni beladiri, pusaka yang akan memilih murid. Di aliran senjata, senjata yang memilih murid. Di aliran Tao, kitab keramat yang menentukan."
Seisi ruangan menyimak dengan curiga.
Pemilik perguruan alkemis menegang. Satu-satunya perguruan yang tidak memiliki cara tes spiritual yang ditentukan barang-barang pusaka adalah perguruan mereka.
"Begini saja," sang ketua memutuskan. "Anak ini akan mengikuti semua tes spiritual setiap perguruan. Jika anak ini tak lulus semua tes spiritual, hak asuh anak ini akan jatuh ke tangan pemilik perguruan alkemis atau majus."
"Apa?" Para pemilik perguruan memekik bersamaan.
Sang ketua tidak menggubris mereka. Ia mengedar pandang ke barisan tetua aliansi, mengisyaratkan mereka untuk menyiapkan kebutuhan tes dan memerintahkan para ksatria untuk mengosongkan lantai aula.
Para ksatria menarik Shen Zhu menyisi.
Pemilik perguruan alkemis mengerang dalam hatinya.
Para tetua melayang turun dari tempatnya masing-masing dan mendarat di lantai aula. Kemudian membentuk formasi gerbang teleportasi dengan gabungan kekuatan spiritual mereka.
Formasi gerbang teleportasi itu berupa lingkaran cahaya berbentuk cakram berwarna ungu transparan bercorak simbol-simbol astrologi
Dua buah bola kristal tercipta dari gabungan kekuatan spiritual tetua aliran sihir. Satu bola kristal tenggelam ke dalam gerbang teleportasi, sementara bola kristal lainnya merekah seperti kuncup bunga teratai yang sedang mekar, lalu satu per satu kelopak bunga teratai itu berguguran dan melayang ke atas, kemudian bergabung membentuk layar kaca transparan persegi panjang dan muncullah gambar laut elemen di kaca transparan itu.
Shen Zhu terpukau melihat pemandangan itu.
"Ehem!" Sang ketua berdeham dan bersedekap, lalu menoleh ke arah pemilik perguruan beraliran Zen yang menjunjung tinggi bakat elemen. "Guru Fang," panggilnya dengan sopan.
Pemilik perguruan itu mengerjap dan tergagap sesaat sebelum akhirnya melayang turun ke lantai aula, mendarat di depan Shen Zhu, kemudian membungkuk ke arah anak laki-laki itu. "Gadis Kecil," tegurnya sambil mengulurkan sebelah tangannya.
"Aku bukan gadis kecil," erang Shen Zhu.
"Ikutlah denganku!" pungkas Guru Fang sambil merenggut pergelangan Shen Zhu dan menariknya ke arah formasi portal teleportasi dengan wajah cemberut.
Sejurus kemudian, pemilik perguruan aliran zen itu sudah melayang di permukaan air di atas lautan luas berair gelap yang disebut-sebut sebagai laut elemen sambil menuntun Shen Zhu dengan hanya bertumpu pada lingkaran sihir dari kekuatan spiritualnya.
Lingkaran sihir itu sepintas terlihat seperti lantai transparan, sama dengan lingkaran sihir formasi gerbang spiritual. Tapi lingkaran cahayanya berwarna biru keputihan dengan pola simbol-simbol khusus Taoisme.
Di atas lingkaran sihir itu, empat buah kaca transparan berbentuk wajik mengambang mengelilingi Shen Zhu dan Guru Fang.
Kaca transparan itu merupakan kaca sihir yang tercipta dari gabungan kekuatan para tetua yang semula berbentuk bola kristal yang tenggelam ke dalam portal teleportasi. Kaca sihir itulah yang akan memantau seluruh progres selama ujian itu berlangsung, berfungsi sebagai alat perekam seperti kamera di zaman modern. Lalu mengirimkan gambar ke aula singgasana ketua aliansi melalui kaca sihir satunya yang berbentuk layar transparan di tengah aula itu.
Shen Zhu mengedar pandang dengan terpukau, lalu terbelalak ketakutan menyadari dirinya sudah berpindah tempat dalam sekejap ke tengah lautan luas.
"Mari kita lihat elemen apa yang mengakuimu!" kata Guru Fang.
Shen Zhu mendongak menatap pemilik perguruan seni beladiri beraliran Zen itu dengan alis bertautan. Tidak mengerti apa yang harus dilakukan. "Bagaimana caranya melihat elemen mana yang mengakuiku?" tanyanya polos.
Haish! Guru Fang mengerang dalam hatinya. Begini saja tidak tahu?
"Biar kubantu," katanya tak sabar, kemudian mendorong bahu anak laki-laki itu dengan kasar dan menceburkannya ke laut.
BRUUUUUSSSHHH!
Shen Zhu memekik terkejut dan gelagapan, lalu meronta-ronta di dalam air. Tangannya mengais-ngais dengan gusar, kakinya menendang-nendang dengan kalang kabut. Kegelapan menyergapnya, mengingatkannya pada malam di mana ia terkurung di ruang bawah tanah. Membuat ia semakin gusar.
Tidak! ia berusaha berteriak, tapi hanya menghasilkan geluguk air dari mulutnya.
Sesuatu yang panas menerjang tubuhnya dari berbagai arah. Rasanya seperti bola api. Tapi ini di dalam air, pikirnya.
Mula-mula segumpal cahaya berwarna biru berbentuk seperti komet melesat entah dari mana, kemudian menerjang ke arah Shen Zhu dan meninju perutnya. Rasa dingin membeku menusuk-nusuk sekujur tubuhnya.
Menyusul lagi segumpal cahaya berwarna merah menerjang punggungnya. Sekujur tubuhnya sekarang serasa terbakar dan menyala seperti api.
Lalu gumpalan cahaya lainnya dengan warna berbeda-beda, meninju dada, pinggang, hingga puncak kepalanya. Totalnya ada tujuh macam warna: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Semuanya menerjang dari arah yang berlainan. Setiap warna menciptakan sensasi yang berbeda-beda.
Tak lama kemudian, ketujuh warna cahaya itu berpendar keluar dari tubuhnya melalui pori-pori kulitnya, lalu berputar-putar mengelilinginya membentuk pusaran berwarna-warni seperti pelangi, kemudian melemparkannya keluar dari air, seperti memuntahkannya.
BRUUUUUUUSSSHHH!
Tubuh Shen Zhu terlempar keluar dan mendarat kembali di atas lingkaran sihir milik Guru Fang, jatuh tersungkur sambil terbatuk-batuk. Tubuhnya yang basah mengeluarkan asap tipis berwarna gelap. Seperti bara api yang disiram air.
Guru Fang diam-diam tersenyum miring.
Sudah kuduga tidak satu pun elemen akan mengakuinya, batin Guru Fang merasa menang. Lalu membungkuk, menghela Shen Zhu berdiri dan memeganginya lagi. Lingkaran sihir di bawah kakinya melesat cepat ke langit tinggi, kemudian menghilang di balik pusaran awan.
Sejurus kemudian, mereka sudah kembali berada di aula singgasana ketua aliansi.
Para pemilik perguruan lain menatap kecewa ke arah mereka.
"Selanjutnya!" instruksi ketua aliansi.
Para tetua dalam formasi menggerak-gerakkan jemari dan telapak tangan mereka di depan dada, membentuk jurus-jurus khas seni beladiri spiritual. Lalu gambar di permukaan kaca transparan berubah perlahan-lahan, memunculkan sebuah tulou. Tulisan di atas pintu gerbangnya berbunyi: Perguruan Sastra Suci.
Perguruan Sastra Suci adalah perguruan beladiri spiritual aliran Tao.
Pemilik perguruan itu melangkah dengan tenang dan berwibawa. Sebagai guru besar perguruan beladiri spiritual yang menempuh kedamaian batin, ia tidak terusik oleh kecemasan seperti yang lain. Meski hati kecilnya sama keberatannya.
Pria paruh baya berkepala botak itu menuntun Shen Zhu kembali ke dalam lingkaran formasi gerbang teleportasi, dan sejurus kemudian mereka sudah mendarat di dalam sebuah ruangan yang menjadi tempat penyimpanan kitab keramat perguruan mereka.
Pria itu berhenti di tengah-tengah ruangan di depan tangga sebuah altar.
"Dengar, Nak!" Pria itu menginstruksikan. "Kau hanya perlu berdiri di tengah-tengah altar itu dan menunggu reaksi. Tidak perlu melakukan apa pun."
Shen Zhu melangkah naik ke lantai atas yang mirip dengan altar singgasana namun hanya dikelilingi rak buku. Di tengah-tengah altar itu ada gambar lingkaran cahaya putih berbentuk cakram seperti formasi sihir.
Dan ketika ia berhenti di tengah-tengah lingkaran itu, lingkaran cahaya itu berputar dan memancarkan cahaya ke seluruh ruangan.
Seluruh ruangan bergetar dan berkeretak. Jilid-jilid buku di sekelilingnya menyembul keluar dari tempatnya masing-masing.
Tapi tidak satu pun melesat keluar dan melayang ke arahnya seperti seharusnya.
Setiap tulisan pada jilid buku di sekeliling ruangan itu bersinar berwarna keemasan dan menyinari Shen Zhu. Huruf demi huruf melayang keluar dari semua kitab dan menerjang ke arah Shen Zhu.
Sekali lagi, anak laki-laki itu merasakan tubuhnya seperti terbakar. Semua huruf itu meresap ke dalam tubuhnya kata demi kata hingga miliaran kata. Lalu meledak dalam tubuhnya hingga tubuhnya menyala seperti bara api. Kemudian menguap meninggalkan asap tipis berwarna gelap di permukaan kulitnya seperti sisa pembakaran.
Semua buku kembali melesak ke tempatnya masing-masing tanpa satu pun menghampirinya.
Pemilik perguruan itu menggeleng dan membawa Shen Zhu kembali ke aula singgasana ketua melalui portal teleportasi.
Sampai sejauh ini, Shen Zhu masih belum mengerti apa yang dilakukan para pemilik perguruan itu. Tapi ia mengikuti setiap instruksi dengan patuh.
Semua tes dilaluinya tanpa satu pun benda pusaka yang memilihnya.
Bahkan benda pusaka tak menginginkannya? pikir semua orang.
Sisa perguruan sekte pedang, perguruan alkemis dan perguruan majus—peramal.
Para pemilik akademi itu mulai menegang, kecuali pemilik perguruan majus.
Sekarang giliran pemilik perguruan sekte pedang yang harus mengujinya.
Lingkaran sihir teleportasi mengendap turun di ruang bawah tanah perguruan itu.
Seluruh ruangan dipenuhi pedang. Sebagian ditata di tempat terbaik, sebagian bertumpuk-tumpuk di dalam peti. Sebagian lagi bergeletakan begitu saja sebagai barang rongsokan yang sudah rusak dan berkarat.
Pedang-pedang itu bergetar ketika mereka mendarat di lantai ruangan.
Beberapa pedang di tempat terbaik menyala dan melayang dari tempatnya masing-masing. Tapi lagi-lagi tidak satu pun mendekat pada Shen Zhu.
Pemilik perguruan sekte pedang itu tersenyum puas.
Tiba-tiba sebuah peti meledak hingga isinya berhamburan ke seluruh ruangan.
Pemilik perguruan itu membeku dengan ngeri.
Dasar peti itu menyala terang berwarna merah. Lalu sebilah pedang melayang keluar. Batu permata pada tangkainya menyala merah dan menyinari wajah Shen Zhu.
Pemilik perguruan itu mengerang dalam hatinya.
Pedang itu sudah berkarat dan patah di bagian ujungnya. Usianya mungkin sudah lebih dari ratusan tahun. Bisa jadi sudah ratusan ribu tahun.
Tapi pedang itu memilihnya.
Pedang itu melayang ke arah Shen Zhu dan mengendap turun di hadapannya.
"Dari sekian banyak pusaka, hanya pedang rusak yang memilihmu?" dengus pemilik perguruan sekte pedang itu bernada mencela. Dan aku sungguh sial, katanya dalam hati.
Shen Zhu membeku menatap permata merah darah yang menyala di penahanan batang bagian tengah pedang itu tanpa berkedip. Permata itu terlihat seperti iris mata berwarna merah.
Lalu tiba-tiba cahaya itu meledak di depan matanya dan membutakannya. Seluruh tempat di sekelilingnya hanya terlihat putih. Lalu mulai memburam perlahan-lahan.
Ketika penglihatannya pulih, Shen Zhu mendapati dirinya sudah berada di tempat lain lagi.
Di mana ini? pikirnya panik. Lalu mengedar pandang.
Pemilik perguruan yang mendampinginya menghilang di belakangnya. Begitu juga dengan koleksi pedang di seluruh ruangan.
Ruangan itu sekarang kosong dan gelap seperti gua.
Satu-satunya cahaya yang meneranginya berasal dari pedang yang menyala dengan lidah-lidah api berwarna merah yang tertancap di atas sebongkah batu di tengah-tengah kolam yang juga berwarna merah.
Shen Zhu berdiri di depan pedang itu di atas batu tadi.
Asap tipis berwarna gelap mengalir keluar dari celah batu di mana ujung pedang itu menancap, kemudian membumbung tinggi membentuk pusaran di atas pedang itu dan menciptakan sosok ilusi seorang pria misterius berjubah gelap dengan tudung kepala.
Sosok itu hanya terlihat hitam seperti bayangan, tapi bentuknya sangat spesifik. Kecuali wajahnya, semuanya terlihat jelas.
"Anak Muda…" sosok itu berbisik dengan suara yang bergemuruh. "Ambillah pedang ini dan akhiri ujianmu. Kau tak perlu diuji lagi. Mereka tak akan melihatnya."
Shen Zhu mendongak dan memicingkan matanya, menatap bagian yang seharusnya menjadi wajah namun hanya terlihat gelap.
"Aku akan memberkati takdirmu memimpin umat manusia menuju era baru," bisik sosok misterius itu lagi serupa bisikan angin. "Namun sebagaimana berkat selalu datang bersama kutukan, kau akan mengalami cobaan yang sangat panjang dan berliku-liku, menghadapi banyak tantangan dan melewati banyak rintangan. Apa kau takut?"
Shen Zhu menelan ludah dan tertunduk. Perkataan kakaknya terngiang dalam benaknya.
"Apa kau takut, Adik?"
Pertanyaan itu hampir selalu didengarnya setiap waktu hingga terasa seperti kutukan.
Tapi bagaimanapun kakaknya mencoba memancingnya, ia akan mati-matian berusaha menyembunyikan perasaannya.
Shen Zhu mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah sosok itu dengan berani. Lalu menggeleng untuk menjawab pertanyaan sosok misterius itu.
"Baguslah!" sosok itu terkekeh. Suara tawanya terdengar kering dan jahat.
Tapi untuk pertama kalinya seumur hidup, Shen Zhu tidak merasa takut.
"Tak peduli apa yang akan menimpamu, kau harus menghadapinya dengan berani. Memiliki semangat ksatria dan tak pernah takut, bahkan mempersembahkan nyawamu. Apa kau takut?" Sosok itu mengulang pertanyaan yang sama.
Shen Zhu mengetatkan rahangnya penuh tekad dan menggeleng sekali lagi.
"Kau sudah memenangkan kepercayaanku," kata sosok itu lagi. Lalu kembali terkekeh dengan suara yang mendirikan bulu kuduk. "Pada akhirnya… yang ingin kuberitahukan adalah…" ia menggantung kalimatnya dan membiarkannya menguap begitu saja.
Lalu tiba-tiba seluruh tempat berguncang dan bergemuruh. Permukaan batu di mana pedang itu menancap seketika meledak menyemburkan asap gelap bercampur api dan serpihan bebatuan.
DUAAAAARRRR!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!