NovelToon NovelToon

Love Story

Tingkah ABG

"Huftt, pegel juga," keluh seorang gadis belia yang sedang duduk di kursi belajar.

Adinda Putri, seorang pelajar yang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di SMU NEGERI Jakarta.

"Adinda, pagi-pagi kamu sudah sibuk dengan kertas-kertas itu," ucap Ibu Lia, "harusnya kamu itu santai-santai dulu, bukannya hari ini kamu bekerja seharian?"

"Ya sih Bu, tapi ini juga penting," jawab Adinda lalu meraih segelas teh hangat yang diberikan Ibunya.

"Aku harus tetap mengasah kemampuanku Bu, agar hasil sketsa rancangan ku lebih berkualitas dan terlihat orisinil." Adinda melanjutkan ucapannya yang terjeda karena menyeruput teh hangat buatan Ibunya.

"Ya, itu bagus tapi kamu juga harus menjaga kesehatan karena kurang istirahat," sahut Ibu Lia.

Memang, Ibu Lia sering melihat putri semata wayangnya duduk berhadapan dengan kertas-kertas hasil sketsa rancangan nya semalaman. Bahkan hingga larut malam Adinda masih belum juga tidur.

Dan, paginya ia harus bekerja di sebuah warung nasi 'Tiga Pesona' hingga sore. Adinda bekerja di sana sudah lama, sejak ia duduk di kelas satu di sekolah SMU NEGERI Jakarta. Gajinya ia gunakan untuk membayar biaya sekolahnya, karena kedua orang tuanya tergolong tidak mampu.

Sebenarnya Adinda ingin sekali kuliah, ia ingin mengambil jurusan Akademi Modeling. Namun, Adinda tidak bisa terlalu berharap keinginannya akan menjadi nyata, karena ia hanya mengandalkan adanya beasiswa jika dapat.

Segala cara telah dilakukan oleh Adinda termasuk mengikuti tes Beasiswa Bidik Misi. Jika dapat maka Adinda akan mendapatkan beasiswa hingga lulus.

"Makasih ya Bu," ucap Adinda kemudian lalu mengemaskan berkas-berkasnya.

Kemudian Adinda mulai mempersiapkan diri untuk berangkat ke tempat kerjanya.

Tak lama kemudian terdengar suara seorang pemuda mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam," jawab Ibu Lia seraya membuka pintu.

"Eh, Nak Galvin. Mari masuk."

Seorang pemuda tampan dengan rambut yang sedikit bergelombang tersenyum manis kepada Ibu Lia, kemudian melangkah memasuki rumah kecil itu setelah bersalaman dengan pemilik rumah yaitu, Ibu Lia.

"Ini ada oleh-oleh untuk Ibu," ucap Galvin seraya menyodorkan sebuah kantong plastik berisi buah-buahan.

"Wah, terimakasih Nak Galvin, lain kali kalau kesini jangan repot-repot."

"Tidak kok Bu, kebetulan ada rejeki."

"Nak, Galvin mau minum teh atau kopi?" tanya Ibu Lia setelah pemuda itu duduk di kursi.

"Tidak usah Bu, aku hanya menunggu Adinda sekalian nanti kami berangkat bareng," tolak Galvin dengan sopan.

Memang, Galvin sengaja hari itu pergi menjemput Adinda kerumahnya, karena ia sedang berusaha mendekati orang tua kekasih nya agar hubungan mereka mendapatkan restu. Karena orang tua Galvin memberikan kebebasan kepada putranya untuk memilih calon pendamping hidup yang sesuai dengan kriteria nya.

Lima menit kemudian, Adinda yang telah berdandan rapi siap untuk berangkat bersama Galvin, kebetulan jalan yang akan mereka lalu memang searah. Setelah berpamitan kepada Ibu Lia kedua sejoli itu pun berjalan menuju ke arah mobil yang di parkir di tapi jalan.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Di kantin sekolah SMU Bintang Harapan tampak tiga orang gadis cantik sedang duduk sambil bercakap-cakap, mereka adalah Cinta, Amelia dan Bunga.

Sejak Bunga dan Cinta menemukan sebuah foto Amelia berdua dengan Jefri, mereka terus meledeknya tanpa ampun. Terlebih lagi jika mereka bertemu di kantin sekolah, salah seorang dari mereka pasti berteriak agar penghuni meja sebelah bisa mendengarnya dengan jelas.

"Amelia, gimana kabarnya si Jefri?" pertanyaan itu sering dilontarkan oleh bunga maupun Cinta.

Lengkap sudah, cinta monyet Amelia dan Jefri menjadi berita hangat di SMU Bintang Harapan.

'Dasar gosip murahan!' batin Amelia, Padahal ia hanya sekali saja berkenan dengan Jefri, tetapi Cinta dan Bunga terus saja memojokkan dirinya.

Begitu halnya dengan siang ini, saat mereka sedang berada di Santa Swalayan Jakarta. Kembali, untuk kesekian kalinya Bunga dan Cinta menggoda Amelia. Sehingga membuat Amelia menjadi keki setengah mati.

"Aku nggak mencintai Jefri, aku hanya bertemu beberapa kali saja dan itu cuma kebetulan!" pekik Amelia seraya mengibaskan rambutnya yang panjang sebahu sambil melotot kepada kedua sahabatnya.

Mendengar teriakan Amelia yang mendengus kesal membuat Cinta maupun Bunga tertawa semakin menjadi-jadi.

"Sudahlah, Amelia!" Bunga mengamati kuku-kukunya yang baru saja selesai di kikir, "jangan pura-pura deh,"

"Iya, betul." Cinta menyetujui, mendukung Bunga.

"Kami kan sudah lihat foto kalian yang sedang berpandangan mesra, romantis banget," lanjutnya seraya mengedip-ngedipkan mata.

"Ayolah, ngaku aja deh, kalian memang sedang kasmaran kan?" suara Bunga seakan mengisi seluruh pelosok Santa Swalayan.

Cinta menyeringai seperti kucing, tawa mereka kembali meledak seketika. Amelia tidak mempedulikan ledekan sahabatnya, ia duduk di sebuah kursi panjang yang diikuti oleh kedua sahabatnya.

Wajah Amelia merah padam, dengan perasaan meledak-ledak Amelia menjilat yoghurt nya perlahan-lahan tanpa menghiraukan bunga dan Cinta, tapi percuma, karena mereka terus saja tertawa.

"Sudahlah," kata Amelia akhirnya, dengan menghela nafas panjang.

"Apa nggak ada bahan omongan lain?" Kedua mata Amelia menyipit, "misalnya kisah kehidupan cinta kalian sendiri?"

Sontak tawa Cinta dan Bunga terhenti, mereka mendadak asyik menikmati yoghurtnya masing-masing.

'Satu poin, untukku,' pikir Amelia merasa menang, akhirnya ia mampu membungkam mulut kedua manusia julid yang selalu meresahkan nya.

Pasalnya baik Bunga maupun Cinta sampai saat ini belum ada salah satu diantara keduanya yang memiliki kekasih, mungkin belum laku.

Memang, Amelia akui Jefri merupakan bahan obrolan yang menarik, karena ia merupakan jenis langka di antara kebanyakan cowok SMU Bintang harapan.

Wajahnya Memperlihatkan garis-garis kejantanan kuat, pendiam dan pemberani. Tetapi kelembutan dan kebijakannya nyaris membuat Amelia terbengong-bengong.

Jefri tampak lebih dewasa dari usianya yang baru menginjak tujuh belas tahun, mungkin karena ia telah terbiasa hidup mandiri. Terlepas dari sikapnya yang serba bodoh, kesian gantengnya sangat menonjol.

Ketika membayangkan ketampanan Jefri, membuat Amelia merasa sangat menyesal karena mereka tidak mungkin bisa menjalin hubungan.

Amelia adalah penghuni Permata Mutiara Estate, kawasan elit di Jakarta dan termasuk anak baru terpopuler di SMU Bintang Harapan. Hidupnya bergelimang kemewahan semenjak Ayahnya menjabat sebagai gubernur di Jakarta.

Pakaian Amelia bermerek, sekolahnya bergengsi dan teman-teman kencan nya termasuk anak orang terpandang.

Sedangkan Jefri? Dia hidup di perkampungan kumuh, bergaul dengan gerombolan pemuda berjaket kulit hitam lusuh yang merupakan anak-anak geng motor.

Jefri masuk di sekolah SMU Negeri Bintang Harapan, karena mengikuti kursus montir dan sejenisnya. Dengan kata lain, Jefri berasal dari kalangan rendah. Tetapi, ia keren, pintar dan tergila-gila pada Amelia.

Meskipun mereka memiliki begitu banyak perbedaan. Namun, tidak dapat disangkal Amelia pun menyukai Jefri. Meskipun begitu, ia tidak sudi jika Bunga dan Cinta sampai mengetahui akan hal itu, dan Jangan sampai terjadi. Karena kalau sampai mereka berdua tahu, maka tercorenglah reputasi hebat yang selama ini disandang untuk selamanya.

Tetapi, rupanya mereka berdua belum jera memojokkan Amelia.

"Nggak apa-apa," ucap Bunga, "kami mengerti kok, kamu memang menyukai cowok yang kuku nya kotor penuh oli,"

Mendengar ucapan Bunga, membuat Amelia menggigit lidahnya agar sumpah serapah tidak keluar dari dalam mulutnya. Ia berusaha menjaga agar jangan sampai mereka mengamuk. Walau bagaimanapun Amelia hanya murid pindahan dari SMU Surya Bangsa Jakarta ke Bintang Harapan.

Sedangkan mereka, termasuk cewek-cewek populer yang bersedia berteman dengannya. Karena berteman dengan mereka, Amelia jadi ikut populer. Ia takut, kalau mereka sampai berang, maka popularitasnya ikut lenyap.

Amelia memeras otak untuk mengganti topik pembicaraan, tetapi gagal.

"Kalian mau nambah yogurt lagi?" tanya Amelia.

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan, jawab iya atau tidak!" celetuk Cinta tanpa menjawab pertanyaan Amelia.

Amelia pun diam, enggan sekali untuk menjawabnya. 'Huh, dasar nenek lampir,' batin Amelia.

"Hei!" seru Bunga tiba-tiba, seraya menegakkan posisi duduknya. Ia memandang salah satu sisi Santa Swalayan.

"Lihat, cowok-cowok itu!" serunya lagi seraya memberikan isyarat dengan ayunan kepala.

Amelia dan Cinta langsung menoleh ke Plaza, benar! Ada tiga pemuda tampan yang keluar dari Kriasta Pasta. Jaket dongker mereka ber gambar burung rajawali berukuran besar di punggung.

"Mahasiswa," gumam Cinta menahan napas dengan kedua mata yang berbinar penuh minat.

"Aku pilih yang sebelah kanan," ucap Bunga, "ganteng sih,"

Tampak pemuda itu lebih tampan diantara kedua temannya, dengan rambut ikal yang ujungnya sedikit menjuntai di keningnya.

"Keren banget," timpal Amelia, "yang lain juga lumayan,"

"Wah, bisa dapat satu-satu nih." komentar mereka serempak, kompak sekali.

"Kayaknya mereka pendatang, bukan anak sini, aku belum pernah melihat mereka sebelumnya," ujar Cinta yang seperti mengenal seluruh penghuni kota Jakarta, macam petugas sensus penduduk saja.

"Menginap dirumah siapa ya, mereka?" tanya nya kemudian.

"Sayangnya bukan dirumahku," sambung Bunga.

"Minggu ini aku dapat tamu mahasiswa," goda Amelia, dibuang nya gelas yogurt kosong ke tempat sampai di dekatnya.

"Mahasiswa tingkat dua," lanjut nya.

Sontak alis Cinta naik, lalu melirik ke arah Amelia yang berhasil mengalihkan pandangan kedua sahabatnya, "Oh," gumam Cinta.

"Tapi sayang, dia itu kakak perempuanku," ucap Amelia sembari cekikikan, "dia pulang untuk berakhir pekan,"

"Lucu, aku suka lupa terus kalau kamu punya kakak," sahut Cinta yang merasa tertipu karena telah menggubris kelakar Amelia.

Cinta dan Bunga belum pernah bertemu dengan Kharisma, karena ia lulusan SMU Surya Bangsa. Sebenarnya Kharisma bisa saja pindah ke SMU Bintang Harapan begitu Ayahnya sukses menjabat sebagai gubernur di kota itu. Tetapi, Kharisma tidak berminat, ia ingin menyelesaikan study bersama dengan teman-teman sekelasnya.

Amelia tidak begitu mengerti alasannya dan terlalu rumit untuk menjelaskan kepada kedua sahabatnya. Mengapa Kharisma begitu betah di sekolah negeri? Itu sebabnya Amelia enggan menyinggung tentang Kharisma.

Membayangkan perpisahan

"Kakakmu sudah punya pacar, Amelia?" tanya Bunga penasaran seraya mengunyah contong kue yogurt sambil melirik para mahasiswa tadi dengan ekor matanya yang genit.

Amelia dan Cinta ikut melirik sekilas.

"Katanya kak Kharisma sibuk belajar, dia nggak punya waktu untuk soal begituan. Gila!"

Cinta dan Bunga tertawa cekikikan mendengar jawaban Amelia yang memandang mereka dengan kesal. Walaupun tidak mengerti akan sikap kakaknya, tetapi Amelia sangat mengaguminya dan merasa kurang senang jika ada orang lain yang menertawakan nya.

Kharisma adalah seseorang yang pekerjaan keras, cerdas dan penyayang. Di atas segalanya, dia benar-benar cantik mewarisi tulang pipi yang tinggi serta bulu mata lentik milik ibunya.

Dulu, sewaktu kecil, Amelia sering melakukan dirinya bisa secantik Kharisma. Syukurlah keinginannya terkabul dan ia tidak perlu cemas lagi.

"Coba kalau aku punya kakak, bisa kenalan sama mahasiswa itu," kata Bunga melihat para pemuda itu berjalan dengan santai menyusuri plaza kemudian berhenti melihat-lihat jendela pajang sebuah toko Electronic.

"Aku juga," sahut Cinta, "mereka keren, ya?" ditatap nya ketiga pemuda itu dengan penuh minat.

"Benar-benar canggih, ciptaan Tuhan," timpal Bunga seraya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.

"Dewasa lagi…." Cinta.

"Ah, sudahlah jangan kebanyakan berkhayal," ucap Amelia, "kita sudah terjerat dengan cowok-cowok Bintang Harapan, mendingan kita ke Fabella,"

Akhirnya ketiga remaja putri itu pergi melangkahkan kaki mereka menuju ke arah salah satu toko pakaian di Santa Swalayan. Mereka ingin belanja kecil-kecilan di butik termahal di kota itu, dan itu memang bagus untuk mencapai kepuasan jiwa.

Lagi pula, Amelia ingin membeli pakaian baru yang berkenan mewah dan menarik, ia tidak ingin kalah dengan kakaknya. Setelah melirik sekali lagi ke arah pemuda tadi untuk memuaskan indra penglihatan, mereka pada akhirnya masuk ke dalam Toko Fabella.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Di sebuah bioskop.

Adinda mencari Sofiana di tengah keramaian orang yang sedang bergerombol di depan bioskop.

'Kasihan, Sofiana,' batin Adinda seraya menahan tawa dengan menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya.

Kenapa Cocosile memberi seragam sekonyol itu untuk karyawannya? Tapi waktu melirik seragamnya sendiri yang berwarna orange bercelemek kuning menyala, ternyata tiga pesona pun sama konyolnya.

Lebih-lebih ia harus memakai topi jaring berwarna hitam di atas rambutnya selama jam kerja. Oh, ini memang resiko pekerjaan.

"Hei, Adinda ada apa?" wajah Sofiana berseri-seri ketika menghampiri Adinda.

"Tania nggak bisa kesini, masih sibuk bersit-up dia," lanjut Sofiana kemudian.

Ya, sahabat mereka Tania, bekerja sebagai instruktur aerobik di 'Bugar Gym'. Mereka berjanji akan berkumpul di plaza utama ketika jam istirahat. Memang, waktu sepuluh tidak cukup untuk mengobrol. Namun, daripada tidak sama sekali, yang terpenting persahabatan mereka tetap berjalan dengan hangat.

"Nggak apa-apa," jawab Adinda, "minggu ini pekerjaan menumpuk,"

"Tania, memang super sibuk dia," lanjut Adinda seraya membuka celemek yang di pakainya.

"Enak, jadi Tania," sambung Sofiana.

"Eh, gimana ya kira-kira tanggapan Pak Martin terhadap rancanganmu tempo hari?" tiba-tiba saja Sofiana mengalihkan pembicaraan.

Seorang dosen terkenal dari Akademi Modeling itu adalah juri kontes kecantikan Miss Universitas Negeri Jakarta. Kontes yang dimenangkan oleh Adinda dan Sofiana, mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk memamerkan hasil karya nya pada Pak Martin.

Adinda memang memiliki hobi merancang pakaian, dan akhir-akhir ini ia mulai sadar bahwa bidang ini bisa menjadi karier baginya.

Adinda dan Sofiana mulai berjalan menyusuri mall seraya mengobrol, mereka berdua berjalan agak menepi menghindari keramaian pengunjung.

"Pertama Pak Martin bilang kalau banyak ide original dalam rancanganku, lalu katanya Akademi Modeling adalah jurusan yang cocok untukku," jawab Adinda dengan santai.

"Wah, asyik!" seru Sofiana dengan kedua matanya yang berbinar.

"Tegang juga sih," ucap Adinda, "hampir satu jam Pak Martin bicara membahas sekolah busana jurusan-jurusan yang bisa aku ikuti,"

"Jadi, kamu mau belajar di Akademi Modeling atau bagaimana?" tanya Sofiana merasa penasaran dengan keputusan sahabatnya.

Adinda mengangkat bahu, kemudian berkata, "Pak Martin nggak menjanjikan apa-apa, tapi paling tidak aku mendapatkan kesempatan emas, ia juga memberi pandangan tentang beberapa Akademi dan Universitas lain, soalnya bidang rancang-merancang ada banyak jurusan, bukan cuma busana saja,"

"Misalnya?" Sofiana Mengernyitkan dahi, pertanda ia tidak mengerti.

Adinda tersenyum melihat tingkah sahabatnya.

"Penata niaga, penata cahaya, atau pendekor ruang, menarik lho Sofiana, aku sudah nggak sabar ingin kuliah," jelas Adinda.

Sofiana menyentuh lengan Adinda, lalu bertanya, "Pak Martin menyinggung soal beasiswa nggak?"

"Tapi yang jelas bukan soal penjualan tacos loh!" canda Sofiana kemudian.

Adinda hanya tertawa mendengar selorohan sahabatnya.

"Katanya, aku punya kesempatan untuk itu dan aku di beri formulirnya." Adinda menarik selembar kertas yang terlipat dari kantong celemek nya yang ia jinjing di tangannya.

"Voila!" seru Adinda seraya memperlihatkan kertas formulir itu pada Sofiana.

"Aduh, senangnya Adinda!" pekik Sofiana kegirangan, ia nyengir memperlihatkan dua gigi kelincinya.

"Sedihnya aku akan berpisah sama Galvin," gumam Adinda dengan wajahnya yang terlihat sayu.

"Aku sudah punya pacar setia, tapi aku tinggalkan begitu saja." lanjutnya.

Dengan tersenyum Sofiana menyentuh pundak sahabatnya, kemudian ia berkata, "Jangan takut, kan cuma satu setengah tahun." Sofiana memberi isyarat tangan.

"Memang konyol, tapi kalau memang terjadi seperti itu, aku pasti bakalan kangen setengah mati."

Pikiran itu membuat Adinda menggigil, baru membayangkan nya saja sudah membuatnya ingin menyerbu toko milik Ayahnya Galvin. Sebuah toko elektronik yang terdapat seorang manusia tampan di dalamnya. Ingin sekali rasanya ia segera berlari kesana dan memeluk Galvin erat-erat.

Setiap kali Galvin memeluk Adinda dengan tangannya yang kuat dan berotot, Adinda harus mencubit dirinya agar yakin bahwa ia tidak sedang bermimpi.

Galvin Syahputra adalah pemuda terbaik, terganteng dan terlembut di seluruh dunia telah memilih dirinya diantara banyaknya gadis cantik di kota jakarta.

Adinda Putri, seorang gadis manis dan lembut serta apa adanya telah berhasil menaklukkan hati sang pujangga yang selama ini menjadi rebutan para gadis di kota itu.

Selama bersama dengannya, Adinda merasa bahagia tiada tara. Bagaimana jadinya kalau mereka harus berpisah? Adinda menghela nafas panjang.

Sebagai seorang sahabat, Sofiana hanya bisa memandangnya dengan penuh simpati.

"Hei, nanti mampir ke rumahku yuk! Kamu ada kencan sama Galvin nggak?" tanya Sofiana.

"Nggak," jawab Adinda seraya merapikan seragamnya dan memakai celemek nya kembali, ia siap untuk bekerja lagi.

"Kamu pasti terkejut, aku akan main ke rumah Amelia," ucapnya kemudian.

Mendengar ucapan sahabatnya, membuat Sofiana Mengernyitkan dahi dan memandangnya dengan intens, seolah Adinda telah kehilangan akal sehatnya.

"Sepupumu, si sombong itu?" tanya Sofiana, "ada acara apa? Tumben, tuan putri Amelia mengundangmu ke istananya? Kirain cuma para bangsawan saja yang boleh datang kesana,"

Adinda hanya tersenyum mendengarkan omelan sahabatnya.

Geng Super Centil

Sebenarnya, Amelia tidak sesombong yang disangka oleh Sofiana, tetapi memang tidak bisa di salahkan. Amelia dan geng nya yang di juluki 'Geng Super Centil' bisa dikatakan bahwa mereka tidak pernah bersikap manis kepada Sofiana, apalagi dulu disaat Sofiana masih gendut, ia selalu saja menjadi bahan olok-olokkan geng super centil tersebut. Dan hal itu membuat Sofiana tidak menyukai Amelia.

"Memang, bukan Amelia yang mengundangku," sangkal Adinda.

"Sudah aku duga, mana mungkin cewek sombong kayak dia mau mengundangmu ," celetuk Sofiana merasa senang karena dugaan nya benar.

"Ibunya, mengundang seluruh keluarga besar, sepupuku Kharisma pulang dari universitas Negeri Jakarta, jadi budeku menggelar acara ramah tamah," Adinda menjelaskan.

"Masa? Aku nggak kenal Kharisma tapi pernah melihatnya dia lebih cantik dari Amelia," ucap Sofiana kurang percaya, "Sayang, kalau kelakuannya persis Amelia,"

Adinda hanya tertawa.

"Yang mirip hanya wajahnya saja, sifatnya seperti langit dan bumi, kamu pasti suka sama Kharisma."

"Mungkin," sahut Sofiana, "eh, aku pergi dulu ya, jangan sampai telat. Senang-senang ya nanti malam, kalau bisa jangan sampaikan salamku buat si Amelia." Sofiana melambai lalu berbaur dengan para pengunjung mall.

Ketika memasuki tempat kerjanya, Adinda memutuskan akan menyimpan komentar Sofiana. Ia sayang pada Amelia, meski sepupunya itu sulit untuk didekati walaupun tidak sedang marah. Adinda tidak ingin menyiramkan minyak ke api yang sedang berkobar.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Seraya membelokkan mobil Jazz merahnya di sebuah bundaran, Amelia berharap kalau Kharisma telah sampai terlebih dahulu, Sehingga dengan begitu ia tidak perlu menghadapi Ibunya sendirian.

Akan tetapi setelah mengedarkan pandangannya, ia melihat mobil satu-satu nya yang berada di tempat parkir itu hanyalah sebuah mobil Van Dewi Catering, mobil yang bertugas mengantarkan pesanan makanan dari sebuah Catering.

Memang, Ibunya tidak suka memasak, tetapi suka sekali membuat jamuan makan malam dengan memesan menu makanan lewat Catering.

Catering Premier membuatnya seolah-olah koki yang sempurna, jika ada seorang tamu yang menanyakan resepnya, Bu Kristina hanya tersenyum manis dan mengatakan kalau itu adalah 'Rahasia perusahaan'.

Amelia memarkirkan mobilnya lalu melangkah turun dari mobil itu.

'Mungkin Kak Kharisma naik kereta api,' gumamnya dalam hati.

Sebenarnya Amelia tidak ingin mengakui bahwa semenjak kakaknya pindah ke Tanah abang, ia merasa sangat kesepian. Ibunya tidak pernah mengajaknya bertukar pikiran, yang dibicarakan hanyalah tentang arisan dan perkumpulan dharma wanita serta pergaulannya dengan orang-orang sederajat.

Ayahnya, Pak Widodo tidak ambil pusing dengan kelakuan istrinya. Baginya tetap berusaha dengan baik sebagai seorang gubernur itu lebih penting. Pak Widodo bekerja seratus jam dalam seminggu demi agar tidak bisa mendengar protes dan celoteh istrinya yang menanyakan kapan waktunya untuk keluarga?.

Walaupun Ayahnya sedang berada di rumah, yang ada hanyalah pertengkaran di antara keduanya. Sejak kecil dan selama bertahun-tahun Amelia dan Karisma sering mencuri dengar bersama-sama, tetapi semenjak kakaknya pergi ia hanya menghadapinya sendirian.

Tap

Tap

Tap

Suara langkah kaki Amelia memasuki ruang tamu dan ia melihat Kharisma sedang santai mengobrol dengan Ibunya, dan ini adalah penampilan tersantai Bu Kristina.

Bahkan, walaupun hanya di rumah, ia memakai setelan sutera lengkap. Bu Kristina menuangkan teh ke dalam cangkir perekonomian antik untuk mereka berdua.

Kharisma terlihat cantik sekali, walaupun hanya memakai jeans belel dipadu kaos butut.

"Hei, Kak Kharisma!" pekik Amelia seraya menghampiri kakaknya.

"Amelia!" teriak Kharisma, kemudian ia melompat dari sofa dan memeluk adiknya erat-erat.

"Bagaimana kabarmu? Kamu cantik deh!"

"Ibu heran, kenapa dia hobby memakai baju jumpsuit, kurang pantas untuk anak SMA," ucap Ibunya berkomentar dengan datar.

'Siapa yang ditanya?' pikir Amelia seraya mengerutkan hidungnya.

Namun, hanya secara diam-diam saat menghampiri sofa dan duduk bersama Kharisma.

Bu Kristina mengulurkan secangkir teh kepada Kharisma.

"Gulanya disini, sayang, Amelia kakakmu cantik ya?" tanya Bu Kristina kepada putri keduanya.

"Memang," jawab Amelia singkat.

Dengan rambut yang kemerahan dan kedua matanya yang menawan Kharisma bisa menjadi gadis cover majalah model manapun.

"Keren, lagi," ujar Ibunya, "mungkin karena pengaruh dunia kampus,"

"Kharisma, bagaimana, sudah punya pacar?" tanya Bu Kristina kepada putri pertamanya, ia merasa dengan wajah cantik dan postur tubuh ideal tentu saja putrinya itu tidak akan kesulitan mendapatkan seorang kekasih. Dan itu selalu ditanyakan saat mereka kembali berkumpul seperti saat ini.

"Ah, Ibu," keluh Kharisma.

Kini pandangannya mulai beralih kepada Amelia, seakan berkata, 'Mulai lagi deh!'

"Hm," desah Bu Kristina, "jangan biarkan masa remajamu berakhir begitu saja,"

"Umurku masih sembilan belas tahun, masih ada banyak waktu untuk mencari pacar," protes Kharisma yang mulai kesal dengan perkataan Ibunya.

Amelia sangat menyayangi Kharisma, tetapi ada rasa senang ketika melihat kakak dan Ibunya sedang berdebat. Jujur, ia sendiri pun merasa bosan dengan Ibunya yang selalu mengatakan.

"Kharisma itu pelajar teladan, dia penuh tanggung Jawab, mobilnya di rawat sendiri dan semua yang di kerjaannya selalu rapi,"

Amelia sadar kakaknya memang lebih pandai dan luwes bergaul, tapi siapa yang tidak akan kesal jika selalu di pojokkan.

"Kamu sudah bawa perlengkapan menginap untuk beberapa hari?" tanya Bu Kristina kepada Kharisma.

"Besok aku pulang kok Bu, aku menumpang kepada teman yang pulang berakhir pekanbaru juga," jawab Kharisma, "kebetulan dia lewat jalan yang searah denganku,"

"Siapa, pacar?" Bu Kristina tersenyum menggoda.

"Cuma teman, Bu. Kami satu tim penelitian di kelas psikologi, dia mau mampir kesini, tapi sekarang sedang mengisi bensin. Kalau boleh aku ingin mengajaknya makan malam sebelum dia meneruskan perjalanan."

'Mengundang mahasiswa makan malam, wah! Asyik banget!' gumam Amelia dalam hati, 'ayo dong Bu, bilang boleh,'

Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Bu Kristina malah hanya menggigit bibir lalu mengernyit .

"Entahlah sayang, Ibu cuma pesan makanan tujuh porsi. Lagi pula kalau cuma sekedar teman…."

"Terserah Ibu, saja." Kristina berbalik kepada Amelia.

Terlihat sebuah kekesalan pada wajah Kharisma, Ibunya memang kolot, Amelia v tersenyum melihat mimik wajahnya yang jengkel.

'Enak rasanya bisa berbagi duka lagi,' batin Amelia.

"Bagaimana kabarnya Bintang Harapan?" tanya Kharisma kemudian, ia sengaja mengalihkan topik pembicaraan agar tidak selalu disinggung tentang pacar oleh Ibunya.

"Lumayan, tapi sayang cowok-cowoknya nggak ada yang menarik," jawab Amelia, belum habis ternyata keluhannya.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi bel pintu.

"Mungkin itu cowok yang tadi aku bicarakan," kata Karisma yang kemudian beranjak dari duduknya melangkah menuju pintu depan.

'Ah, ini dia,' batin Amelia.

Amelia merasa ini adalah kesempatannya untuk memamerkan kepada Bunga dan Cinta. Kalau teman kakaknya tidak kalah keren dan tampan sama seperti cowok-cowok tadi siang yang ia lihat di mall.

'Pasti Bunga dan Cinta iri setengah mati, semoga bukan jenis kutu buku,' batin Amelia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!