NovelToon NovelToon

I Love You, Uncle

Bab 1

Februari 2010

Suara riang seorang anak perempuan berusia sembilan tahun mengiringi perjalanan yang ditempuh sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Anak kecil tersebut terus saja menyanyi sambil memandang ke arah jalanan yang mereka lalui. Suaranya yang khas membuat orang tuanya ikut tersenyum bahagia saat mendengar nyanyiannya.

“Clara, kamu tidak lelah dari tadi menyanyi?” tanya Nia, ibu gadis tersebut.

Anak perempuan bernama Clara Antonio tersebut menggelengkan kepalanya. “Tidak, Mama. Aku suka sekali menyanyi saat melakukan perjalanan karena jika tidak menyanyi, aku jadi bosan,” jawab Clara.

Anton, ayah Clara, terkekeh. “Sebentar lagi kita akan sampai, Clara. Kamu tidak perlu khawatir akan merasa bosan lagi,” timpal pria tersebut.

Malam itu, mereka sedang dalam perjalanan pulang dari liburan ketika gerimis mengguyur jalanan berkelok tersebut. Anton yang mengemudikan mobilnya harus ekstra hati-hati sebab jalanan menjadi sangat licin sekali akibat gerimis. Sebenarnya, mereka bisa saja menunda kepulangan mereka. Namun, mengingat jika besok Clara harus berangkat sekolah, mereka pun mau tak mau harus menerjang hujan demi bisa segera sampai di rumah.

Keluarga bahagia tersebut menikmati perjalanan sambil bersenda gurau dan menyanyi, tanpa menyadari jika saat ini bahaya tengah mengintai mereka.

Dari arah berlawanan, sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi. Sopir truk tersebut dari tadi berusaha untuk mengendalikan truknya namun sayang sekali rem truk itu blong.

“Papa, awas!!!!”

Suara teriakan anak kecil terdengar menggelegar. Anton berusaha untuk menghindari truk yang melaju dengan kencang ke arah mereka. Namun, naas, pria itu terlambat untuk menghindar. Mobil yang ia tumpangi tergelincir. Sisi kanan mobil tersebut tertabrak truk dan membuat mobilnya terpelanting hingga beberapa meter jauhnya.

“Aaaaaaah!”

Seluruh orang yang terlibat kecelakaan tersebut tak sadarkan diri setelah mengalami benturan yang teramat sangat kencang. Bahkan si kecil Clara yang sedari tadi tidak berhenti menyanyi pun tak terdengar lagi suaranya.

Tiga puluh menit kemudian, ambulans dan paramedis datang ke lokasi kecelakaan setelah para polisi lebih dulu tiba. Di sana mereka menemukan jika Anton telah meninggal di tempat sementara Nia dan Clara pingsan. Mereka pun membawa Nia dan Clara ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan pertama.

Di sisi lain, Ansel baru saja hendak mematikan lampu kamarnya ketika dia mendapatkan telepon dari sebuah nomor yang tidak dia kenal. Awalnya, Ansel memilih untuk mengabaikan panggilan tersebut karena dia pikir itu hanyalah panggilan salah sambung. Namun, karena nomor yang sama terus menghubunginya selama berkali-kali, Ansel pun akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, siapa di sana?” tanya Ansel bingung.

“Halo, Pak Ansel. Saya ingin mengabarkan jika saudara Anda mengalami kecelakaan karena bertabrakan dengan sebuah truk sekitar tiga puluh menit yang lalu.”

Jantung Ansel rasanya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Pria itu dalam hati menggumamkan sebuah kalimat yaitu, ‘Jangan bilang mereka tidak selamat’ secara berulang-ulang.

“Lalu, bagaimana keadaan mereka? Mereka selamat, ‘kan?” tanya Ansel sambil berjalan mondar-mandir di kamarnya.

“Dua korban perempuan, yaitu seorang wanita dan anak kecil saat ini sedang dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, seorang korban laki-laki, maaf sekali, telah tiada saat ditemukan.”

“Apa?!” pekik Ansel.

“Maaf, Pak. Saudara laki-laki Anda tidak selamat.”

Ansel kalut. Laki-laki berusia tujuh belas tahun tersebut sampai ambruk di lantai saat mendengar berita tersebut. Tapi, dia tetap mencoba untuk tetap tenang. Tadi orang yang meneleponnya berkata kalau dua korban perempuan sedang dilarikan ke rumah sakit, bukan? Ansel berharap jika mereka berdua akan selamat.

“Ke rumah sakit mana korban yang lain dilarikan? Aku akan segera ke sana.”

Setelah orang yang menelepon Ansel memberikan alamat rumah sakit tersebut, Ansel pun bergegas menyambar kunci mobilnya lalu pergi menuju ke rumah sakit tersebut.

Sesampainya di rumah sakit, Ansel langsung berlari menuju ke ruang UGD untuk mencari tahu bagaimana keadaan kakaknya. Pria itu menutup mulutnya dengan sebelah tangan saat melihat bagaimana mengenakannya nasib kakaknya.

“Kak Nia, apakah kakak baik-baik saja?”

Pertanyaan bodoh. Orang buta pun juga bisa melihat kalau saat ini Nia sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak sekali luka di tubuhnya. Apalagi, tadi saat Ansel datang dokter telah menjelaskan jika mereka sedang menunggu hasil CT Scan Nia dan Clara. Mereka takut jika ada luka dalam yang juga dialami oleh Nia dan Clara.

“Ansel, bisakah aku meminta sesuatu padamu?” tanya Nia dengan suara yang teramat lemah.

“Apa pun yang kamu inginkan pasti akan aku penuhi, Kak,” jawab Ansel.

“Kalau begitu, aku ingin kamu menjaga Clara dan merawatnya seperti keponakan kandungmu sendiri.”

Laki-laki bernama Ansel Lazuardy tersebut bingung bukan main. Kenapa kakaknya menyuruhnya untuk menjaga Clara? Ansel ketakutan. Enam bulan lalu mereka baru saja kehilangan orang tua mereka, dia tidak mau kehilangan kakaknya juga.

“Berjanjilah padaku kalau kamu akan menjaga Clara,” pinta Nia.

Clara bukanlah putri kandung Nia dan Antonio. Mereka berdua mengadopsi anak itu dari ia masih bayi sehingga ia sangat menyayangi Clara. Dia tidak mau kalau nasib Clara tidak jelas karena tidak ada yang mau menjaga Clara lagi setelah ini.

“Aku berjanji, Kak.”

Begitu mendengar jawaban Ansel, Nia pun memejamkan matanya. Ansel dengan panik segera memanggil dokter dan dokter menyatakan kalau Nia telah tiada. Clara yang baru siuman dan mendengar kalau orang tuanya telah meninggal pun berteriak dan menangis dengan histeris.

*****

April 2018

Clara terbangun dari tidurnya ketika seseorang menggoyang-goyangkan tubuhnya. Mata gadis itu langsung membelalak lebar dengan jantung yang berdebar-debar. Menyadari jika saat ini dia berada di dalam kamarnya, Clara pun menoleh dan sontak saja memeluk Ansel yang tadi membangunkannya.

Tadi, Clara memimpikan orang tuanya. Kejadian delapan tahun silam benar-benar membuat gadis itu trauma sampai-sampai dia sering sekali menangis dalam tidurnya. Tak jarang bahkan gadis itu sampai berteriak kencang dan menangis histeris karenanya.

“Clara, kamu kenapa? Apakah kamu mimpi buruk lagi?” tanya Ansel.

Setelah orang tua angkat Clara meninggal, Ansel sebagai paman angkatnya lah yang merawat gadis itu sampai kini dia sudah berusia tujuh belas tahun. Ansel yang seharusnya melanjutkan pendidikannya pun mau tak mau harus mengubur mimpinya dan beralih untuk mengurus perusahaan perkebunan milik keluarganya.

“Aku merindukan Mama dan Papa, Om,” jawab Clara sambil sesenggukan.

“Stttt, tenanglah. Tidak apa-apa. Kalau kamu merindukan orang tuamu, kamu harus berdoa untuk mereka supaya mereka bahagia di surga. Apakah kamu mau orang tua kamu bersedih kalau melihat kamu seperti ini?”

Clara menggeleng.

“Tidak, Om.”

“Kalau begitu, kamu tidak boleh menangis lagi. Kamu mau, ‘kan, berjanji untuk tidak menangis lagi?”

Clara mengangguk. “Aku berjanji, Om.”

Clara tersenyum lembut kepada Ansel. Ansel selalu bisa menjadi penyejuk hati Clara. Hingga perlahan, Clara menyadari jika ada sesuatu yang salah dengan hatinya.

Bab 2

“Apakah kamu gugup, Clara?” tanya Ansel tatkala dia melihat keponakannya yang tidak bisa berhenti meremas ujung rok sekolahnya.

Gadis berambut panjang bergelombang itu menoleh ke arah paman angkatnya, kemudian mengangguk. “Aku takut kalau aku tidak bisa mengerjakan soal-soal dengan baik,” balas Clara lalu menghela napas panjang.

Hari ini adalah hari pertama ujian kelulusan Clara. Ilmu yang telah Clara cari selama tiga tahun terakhir akan terlihat hasilnya setelah dia berhasil menjalani ujian kelulusan. Gadis itu merasa sangat gugup bukan karena dia tidak yakin dengan kemampuannya, hanya saja dia takut kalau tiba-tiba dia lupa dengan materi-materi yang telah dia pelajari semalam suntuk.

“Tidak perlu khawatir, Clara. Aku yakin kalau kamu pasti bisa mengerjakan semuanya dengan baik. Bukankah selama ini kamu selalu menjadi juara di kelas?” tanya Ansel.

“Aku tahu, Om. Tapi ....”

“Tapi apa?”

“Murid-murid lain juga pasti belajar lebih keras lagi untuk ujian ini,” ucap Clara. “Rasanya sangat menakutkan saja karena aku merasa kalau kali ini sainganku jadi semakin berat.”

Lagi-lagi Ansel terkekeh geli. “Tidak perlu takut, Clara. Meskipun teman-temanmu juga belajar dengan keras, aku yakin sekali kalau kamu akan berhasil.” Melihat sang keponakan yang tampak masih sangat gugup, Ansel lantas mengoreksi ucapannya, “Begini saja, kalau kamu gugup, kamu jangan berpikir siapa yang akan menjadi juara satu. Cukup pikirkan bagaimana caranya kamu harus menyelesaikan ujian dengan baik.”

Clara mengangguk-anggukkan kepalanya, setuju dengan ucapan Ansel. Namun, ketika dia mencoba melakukan seperti apa yang diinstruksikan oleh Ansel, dia malah semakin pusing.

“Aku malah jadi semakin gugup, Om,” ucap Clara.

“Hm ....” Ansel mengusap-usap dagunya, memikirkan cara supaya Clara tidak gugup lagi. “Om punya ide. Bagaimana kalau kamu memejamkan matamu sambil menarik napas dalam-dalam. Pikirkan saja kalau yang ada di ruang ujian hanya dirimu dan pengawas. Kamu tidak perlu takut memiliki saingan atau tidak bisa mengerjakan soal. Kamu harus berpikir kalau kamu adalah satu-satunya yang terbaik.”

Clara pun memejamkan matanya, membayangkan seperti apa yang dikatakan oleh Ansel. Ia tak lupa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Perlahan namun pasti, rasa gugup yang dia rasakan berangsur menghilang, digantikan oleh rasa percaya diri yang memenuhi pikirannya.

“Kita sudah sampai,” ucap Ansel, membuyarkan lamunan Clara. “Apakah kamu masih gugup?”

Gadis itu membuka matanya kemudian tersenyum. “Tidak, aku baik-baik saja. Terima kasih, Om!” ujar Clara kemudian mengecup pipi Ansel seperti apa yang biasa dia lakukan sebelum dia keluar dari mobil.

Ansel melambaikan tangannya kemudian memberikan isyarat kepada Clara supaya gadis itu bersemangat. Setelahnya, barulah Ansel melajukan mobilnya menuju ke kantornya.

Pria itu bekerja di sebuah perusahaan perkebunan. Dia saat ini menjabat sebagai direktur utama menggantikan posisi Anton. Saat pertama kali Ansel mengambil alih perusahaan, banyak sekali orang yang meragukan kemampuannya sebab dia baru saja lulus SMA. Namun, delapan tahun kemudian terbukti kalau Ansel bisa memimpin sebuah perusahaan dan bahkan membuat perusahaan perkebunan tersebut berkembang semakin pesat.

Kalau saja orang tua Ansel masih hidup sampai detik ini, pastilah mereka akan bangga karena Ansel tidak hanya berhasil menjalankan roda bisnis perusahaan keluarga, namun Ansel juga berhasil membesarkan keponakan angkatnya sampai ia tumbuh menjadi gadis yang sangat pandai dan mandiri.

Memang betul kata orang kalau di balik sebuah bencana, pasti akan ada hal baik yang bisa dipetik. Dan Ansel menyadari jika banyak hal yang telah ia rasakan hikmahnya setelah kecelakaan maut yang merenggut nyawa Nia dan Anton delapan tahun lalu. Karena jika bukan karena kejadian itu, mungkin Ansel tidak akan menjadi pribadi yang kuat seperti saat ini.

Setibanya di ruang kerjanya, Ansel dikejutkan dengan kehadiran Ridwan yang sudah lebih dulu sampai. Ansel memicingkan matanya, kemudian menyapa sahabatnya itu.

“Tumben kamu pagi-pagi sekali sudah ada di ruang kerjaku,” ujar Ansel.

Ridwan menoleh. “Akhirnya kamu datang juga. Aku sampai jamuran gara-gara menunggumu, Ansel!” gerutu Ridwan.

Ansel berdecap. “Memangnya sudah berapa abad kamu duduk di sini? Kalau kamu tidak sabar ingin bertemu denganku, seharusnya kamu jemput aku di rumah,” cibir Ansel. “Dengan begitu, kan, aku tidak perlu repot-repot menyetir mobil.”

“Sialan!” umpat Ridwan kemudian tertawa renyah. “Kala aku tidak ingin memberitahu kamu tentang sebuah berita, aku pasti tidak akan datang ke ruang kerjamu pagi-pagi seperti ini.”

Ansel mengerutkan dahinya, bingung dengan maksud ucapan Ridwan.

“Memangnya berita apa yang ingin kamu ceritakan?” tanya Ansel kemudian duduk di kursi kebesarannya. Pria itu mulai menyalakan komputer dan memeriksa beberapa e-mail yang masuk.

“Kemarin ada laki-laki yang menembak Clara di sekolah. Kata Mira, sih, dengan cara yang sangat romantis,” ucap Ridwan. Dia mendengar berita tersebut dari Mira, adik iparnya yang tak lain adalah sahabat Clara di sekolah.

Bab 3

Ansel menghentikan aktivitasnya, kemudian memicingkan matanya ke arah Ridwan. “Clara tidak bercerita apa-apa tentang hal itu,” ucapnya lirih.

“Memangnya untuk apa dia bercerita tentang hal itu kepadamu? Kalau Clara menerima laki-laki itu, dia tidak perlu bercerita tapi dia akan langsung mengenalkan laki-laki itu kepada kamu!” celoteh Ridwan.

“Apa maksudmu?”

“Clara menolak cinta laki-laki itu,” terang Ridwan. Pria itu lalu berdecap pelan. “Yang begini saja kamu tidak paham. Bagaimana bisa kamu memahami perasaan perempuan? Pantas saja kalau selama ini kamu jomblo!”

Wajah Ansel seketika berubah masam. Suasana hati pria itu yang awalnya sangat bagus tiba-tiba saja berubah menjadi berantakan setelah mendengar cerita Ridwan. Di satu sisi dia kesal karena ada laki-laki yang lancang telah menyukai keponakannya. Namun, di sisi lain dia juga bertanya-tanya kenapa Clara menolak cinta laki-laki itu? Apa alasannya?

Melihat wajah Ansel yang tampak begitu kesal, Ridwan lantas tertawa terbahak-bahak. Pria itu tak bisa lagi menahan tawanya yang sudah ingin menyembur dari tadi. Dia sudah bisa memprediksi kalau Ansel akan sangat kesal setelah mendengar ceritanya. Dan hal tersebut terbukti benar-benar terjadi.

“Sudahlah, Ansel. Kamu mengaku saja kalau kamu menyukai keponakan angkatmu itu, ‘kan? Tidak usah mengelak lagi!” ujar Ridwan, berusaha untuk mendesak Ansel.

“Mana ada perasaan seperti itu. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa kepada Clara,” balas Ansel, lalu pura-pura sibuk memeriksa dokumen di komputer.

“Memangnya apa salahnya kalau kamu menyukai Clara? Dia bukan keponakan kandungmu. Kalian tidak punya ikatan darah apa pun. Jadi, rasanya sah-sah saja kalau kamu menyukai dia. Aku yakin kalau kamu tidak akan bisa mengabaikan perasaanmu lebih lama lagi.”

Ansel menghela napasnya. Kesal dengan apa yang diucapkan oleh Ridwan.

“Perasaanku untuk Clara hanyalah rasa sayang seorang paman kepada keponakannya. Tidak lebih!” ujar Ansel dengan tegas.

***

Setelah hari-hari yang mendebarkan berlalu, kini adalah saatnya murid-murid yang telah berjuang keras untuk menempuh ujian akan segera mendapatkan hasil. Siang itu, murid-murid sekolah Clara telah berkumpul di area aula sekolah. Orang tua murid juga ikut hadir dan duduk di bangku yang terpisah dengan para murid.

Clara menoleh ke sana ke mari, harap-harap cemas sebab dari tadi ia tidak melihat batang hidung Ansel. Gadis itu sangat berharap kalau Ansel akan hadir sebagai walinya di acara kelulusannya, namun sepertinya Tuhan berkehendak lain. Karena hingga acara di mulai, Ansel tak kunjung datang.

“Clara, kamu kenapa hanya diam saja?” tanya Mira yang duduk di samping Clara.

Clara menoleh ke arah Mira, kemudian menghela napasnya. “Sepetinya Om Ansel tidak datang,” jawabnya.

Mendengar hal tersebut, Mira pun menyisir pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Memang betul dia tidak dapat menemukan keberadaan Ansel di sana. Mira sedikit merasa heran, sebab selama ini Ansel tak pernah absen untuk datang di acara-acara sekolah Clara. Namun, supaya temannya tidak bersedih, Mira memilih untuk tidak membahasnya.

“Clara, mungkin saja saat ini Om Ansel sedang sibuk. Kata Kak Ridwan, beberapa hari belakangan di kantor mereka sedang sangat sibuk karena sebentar lagi mendekati waktu panen,” ucap Mira, berusaha untuk menghibur Clara.

Clara menghela napasnya. “Ya, mungkin saja begitu,” ucap Clara pada akhirnya meskipun dia sendiri ragu dengan ucapan Mira.

Selama ini, sesibuk apa pun Ansel, pria itu pasti akan meluangkan waktu untuk Clara. Tapi, tidak untuk hari ini. Oh, bahkan Clara sudah merasa jika ada sesuatu yang salah dengan Ansel selama satu tahun belakangan ini. Entah kenapa Clara merasa jika Ansel agak menjaga jarak darinya.

“Lebih baik kita fokus dengan pengumuman kelulusan ini. Aku sangat gugup, takut jika aku tidak lulus,” ucap Mira.

Clara terkekeh. “Aku yakin kita semua akan lulus, Mira,” balas Clara.

Acara pun dimulai, setelah kepala sekolah memberikan pidato sambutan, kini tiba saatnya pengumuman akan dilaksanakan. Para murid duduk dengan gelisah, begitu pula dengan orang tua yang hadir di sana.

“Hasil ujian seluruh siswa sekolah ini menyatakan bahwa kalian semua ... Lulus seratus persen!” seru kepala sekolah sambil menebarkan senyuman.

Seluruh siswa berseru kegirangan setelah mendengar pengumuman tersebut. Mereka sangat bahagia karena usaha mereka selama ini tidak sia-sia.

“Dan ada satu siswa sekolah ini yang mendapat nilai sempurna di semua mata pelajaran. Siswa ini adalah lulusan terbaik di sekolah ini dan juga juara tingkat nasional,” sambung kepala sekolah, membuat para siswa berbisik saling tanya siapa orangnya.

“Clara Antonio, selamat! Kamu adalah lulusan terbaik di sekolah ini dan juara tingkat nasional!” seru sang kepala sekolah, membuat para siswa dan orang tua bertepuk tangan.

Clara yang awalnya sedih karena Ansel tidak datang ke acara kelulusannya, kini merasa bahagia dengan apa yang telah dia capai. Dia merasa bangga dengan dirinya sendiri karena sudah menjadi juara.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!