NovelToon NovelToon

My Teacher Is My Husband

Citra Laila zanna

...Untuk menjadi kuat, kita punya dua pilihan. Menerima setiap apa yang di takdir kan untuk kita, atau memilih menciptakan takdir kita sendiri...

...🌺🌺🌺...

Namaku Citra Laila zanna, orang-orang memanggilku zanna. Lebih tepatnya teman-teman yang mau bergaul denganku.

Kenapa? Karena tidak banyak sih yang memanggilku karena aku bukan orang yang terkenal.

Aku punya orang tua yang sangat aku cintai, ayahku bernama Bara dan ibuku Vina, kami tinggal di kota kecil jauh dari ibu kota. Berada jauh dari ibu kota membuat kehidupan kami cukup sederhana.

Untungnya saya bukan orang yang suka jalan-jalan, ya ... aku hanya anak rumahan yang bahkan jarang bergaul dengan tetangga ataupun teman sebayaku, teman satu kelasku. Sedangkan orang tuaku punya toko sembako yang tidak besar tapi cukup untuk membiayai hidup kamu.

Layaknya anak pemilik toko, sudah terlihatlah bagaimana kehidupanku sehari-hari.

"Zanna, ada yang beli. Ibu lagi masak, tolong layani ya!" teriak ibuku membuat kegiatan mengkhayalky di kamar jadi terganggu lagi dan lagi. Ini buka. teraikan yang pertama, ini sudah yang ke sekian kalinya.

Heehhhhhhh

Hanya helaan nafas panjang dan langkah lunglai menuju ke toko kelontong ibuku menjadi pilihannya.

Itu adalah rutinitas pertamaku, rutinitas kedua, setiap hari sebelum berangat sekolah aku harus membantu ibuku menjual sayur matangnya jika aku mau mendapat uang saku. Aku bukan anak tunggal, adikku masih dua kecil-kecil dan untuk membantu merawat mereka saat ibu sedang repot sedangkan ayahku, setiap hari dia sibuk mencari tambahan pemasukan dengan memasok beberapa barang dari luar kota dan akan kembali satu Minggu sekali. Begitulah kata ibu, kalau jelasnya aku juga tidak tahu, yang penting aku cukup percaya saja.

"Zanna, itu adikmu mau makan, ibuk lagi repot." teriak ibuku, entah apa semua ibu hobi teriak-teriak ya? Aku rasa begitu. Anak tetangga juga sering mengeluhkan teriakan ibunya saat di suruh belanja.

"Bentar bu, aku matikan kompor dulu!" aku benar-benar sudah nampak seperti baby sitter bagi kedua adikku yang katanya masih untuk, tapi menurutku tidak. Mereka perusuh ....

Dua butir telur ceplok sudah jadi, aku tinggal menambahkan secentong nasi, bisa aku berikan untuk kedua adikku, sebenarnya tadi rencananya mau aku buat untuk makan sendiri untuk mengganjal perut sebelum ke sekolah.

Tapi ya sudahlah, apa boleh buat. Mereka lebih membutuhkan.

Hanya telur yang menjadi menu sarapan kami karena ibuku cukup sibuk di pagi hari, keluargaku bukan keluarga kaya yang bisa dengan mudah mendapatkan makanan enak setiap kali mau. Ibuku memang penjual sayur matang, tapi bukan ibu sendiri yang membuatnya. Ibu mengambil dari tetangga yang sengaja di titipkan di toko ibuk, karena setiap pagi pasti tetangga belanja keperluan dapur di toko kami.

Aku menghampiri kedua adik kembarnya yang sedang mengemasi bukunya,

"Sarapannya dek!" Aku meletakkan dua piring itu di atas meja yang ada di ruang makan, satu tempat dengan ruang belajar adik-adik ku yang masih SD itu.

Sengaja ibu dan ayah meletakkan meja belajar mereka di ruang makan karena kamar kami memang tidak luas, hanya berukuran tiga kali tiga meter yang hanya bisa dimasuki sebuah tempat tidur ukuran sedang dan satu lemari baju juga sebuah meja kecil.

Beberapa perabotan di rumah kami tidak di letakkan di tempatnya karena memang rumah kami cukup sempit untuk dihuni enam orang,

Oh iya hampir lupa, selain dua adik kembarnya, aku juga punya satu kakak laki-laki, tapi sayang hidupnya nggak jelas. Aku sering malu karena ulahnya. Mungkin orang tuaku juga sama tapi entahlah, mereka tidak pernah mengeluh.

Rumah yang kamu tempati adalah warisan dari orang tuan ibu. Walaupun begitu ibu terpaksa sudah menggadaikan sertifikasi untuk modal usaha, maka dari itu ibu, ayah dan mungkin aku harus bekerja keras untuk menebusnya.

Kakak laki-lakiku juga sudah tidak peduli lagi, aku malah lebih suka kalau dia tidak usah pulang karena setiap kali pulang selalu saja membuat ulah.

Dia sebenarnya sudah berkeluarga tapi tidak jarang ia meminta uang dari ibuku.

"Zanna, maafkan ibu ya, uang buat SPP kamu kepakek lagi, soalnya hari ini jatuh tempo pembayaran angsuran!" Ucap ibuku.

Hehhhhh

Dan lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas, karena hari ini juga jatuh tempo pembayaran SPP. Satu Minggu lagi ujian semester, jika tidak di bayarkan dalam satu Minggu terakhir maka aku akan terancam tidak bisa mengikuti ujian.

"Terserah lah Bu, zanna berangkat dulu!" ucapku kesal sambil meraih tangan ibuku dan mencium punggung tangannya berpamitan.

Bahkan untuk berkeluh kesah rasanya begitu berat kata itu keluar dari bibirku karena aku sudah tahu jawaban ibuku.

"Nanti ya, ibu pasti bayar, tapi bukan sekarang!!!" dan itu pun terus berulang.

"Kak, Rara sama Riri bareng ya!"

Hahhh, selalu ...., keluhku dalam hati, rasanya malas jika harus mampir ke sekolah mereka dulu, sudah pasti aku akan telat.

"Enggak, kakak terburu-buru." tolakku dengan cepat.

"Jangan begitu nak, lagian kalian kan searah. Nanti kalau adik mau sudah ibu belikan sepeda sendiri juga nggak akan nebeng kamu kan!"

Ya ampuuuunnn, ibu pembela....,

"Baiklah, baiklah. Ayo naik!" aku hanya bisa pasrah. sepeda miniku harus di tumpangi kedua adikku juga dan tahu apa imbasnya, aku harus sering turun dan mendorong sepedah dari pada menaikinya.

"Lain kali nggak usah nebeng kakak lagi, kakak capek tahu." keluku pada kedua adikku yang masih kelas dua SD.

Hahhh, bodoh sekali aku. Mana dia faham aku marah-marah pun mereka kira aku sedang becanda dengannya.

"Sudah sana masuk!"

Seperti kakak pada umumnya, meskipun mempunyai adik kehidupan kakak menjadi tergadaikan. Tetaplah aku seorang kakak yang mencintai kedua adikku.

Setelah memastikan mereka masuk ke dalam sekolah, aku pun bergegas untuk mengayuh sepedaku kembali. Sudah jam tujuh kurang lima, perjalanan menuju ke sekolah cukup jauh dan aku hanya menggunakan sepeda bututku, aku tidak puny kekuatan super yang bisa berpindah secepat kilat kan.

"Pak pak pak, jangan di tutup dulu gerbangnya!" teriaku pada pak satpam dan seperti biasa pak satpam sudah sangat hafal denganku

"Tunggu di situ, lima belas menit lagi baru boleh masuk ."

"Tapi pak, aku kan terlambatnya cuma lima_,"

"Lima belas menit!"

Hahhh terserah lah, lagi pula aku bisa beristirahat sebentar ....

Hari ini aku juga harus menambah catatan merah pada buku BP ku.

Terlambat, rasanya aku lupa bagaimana tidak terlambat.

Aku harus menunggu hingga gerbang itu di buka lagi dan menuju ke ruang BK.

"Kamu tuh sudah kelas tiga loh, harusnya tobat. Jangan telatan terus!" Gerutu pak satpam sambil membukakan pintu gerbang setelah lima belas menit membiarkanku di luar, aku memilih untuk tetap diam dan masuk ke halaman sekolah saat gerbang di buka, "Kalau kamu terlambat terus seperti ini, bisa jadi sekolah tidak akan meluluskan kamu!"

Aku hanya masih terus diam dan mengikuti langkah pak satpam. Di usia delapan belas tahun aku harus di tempa dengan kehidupan yang keras, kalaupun tidak lulus mungkin bukan hal yang berat buatku. Jika harus putus sekolah, aku rasa itu jauh lebih bagus. Aku bisa bekerja dan mengumpulkan uangku sendiri.

Tok tok tok

Pak satpam mengetuk pintu itu, pintu yang di atasnya ada tulisan ruang bimbingan konseling.

"Masuk!" terdengar suara dari dalam.

Selagi pak satpam masuk aku memilih menunggu dan duduk di kursi panjang yang ada di teras ruang BK. Aku masih bisa mendengar percakapan mereka karena pintu tidak di tutup lagi.

"Selamat pagi pak Ardi, ini ada anak yang setiap hari terlambat!"

"Selamat pagi, mana anaknya?"

Aku merasa asing dengan suara guru BK, sepertinya dia bukan guru BK biasanya.

"Masuklah!" perintah pak satpam.

Aku terpaksa kembali berdiri, padahal kakiku masih terlalu capek untuk kembali di gerakkan, aku masuk menyusul pak satpam.

"Ini pak anaknya," tunjuk pak satpam padaku, aku masih menundukkan kepala.

"Saya tinggal dulu ya pak!"

"Iya, silahkan!"

Aku menundukkan kepalaku, berada di dalam satu ruangan dengan seorang pria membuat udara terasa sesak. Ingin rasanya segera pergi,

"Sebutkan namamu!" perintahnya, itu benar bukan suara pak Ramdan guru BK. Sekelebat aku bisa melihat pria di depanku itu, dengan baju keki khas guru dan sebuah gelang jam yang melingkar di tangannya yang di lipat di depan dada, ia berdiri dengan bersandar pada meja yang ada di depanku, tepat di depanku.

"Saya Zanna, pak!"

"Nama lengkap?"

"Citra Laila Zanna!"

Pria itu tampak merubah posisinya, ia berjalan mengitari meja dan duduk di bangkunya, mengambil salah satu map yang ada di tumpukan map, map paling atas.

Ia tampak membukanya,

"Citra Laila Zanna, sejak bulan juli, masuk semester pertama di kelas sebelas, kelas yang sama hingga saat ini, terhitung lima bulan, hanya ada tiga puluh hari kamu tidak terlambat, itu artinya satu banding lima, apa itu benar?"

Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, memang benar itu kenyataannya. Dari pada bangun lebih pagi aku lebih suka berangkat dengan tergesa-gesa dan akhirnya terlambat. Sepertinya itu yang membuatku buruk.

"Kenapa terlambat?"

"Ya terlambat!"

"Alasannya apa?"

"Memang butuh ya alasan? Kalau aku pengen terlambat aja gimana?"

Hehhhh ...

Aku tau dia tengah mendengus kesal dan aku tersenyum karena berhasil membuatnya kesal.

"Baiklah, jika dengan hukuman biasanya tidak membuatmu jera, maka saya akan memberi hukuman yang berbeda!"

Bersambung

Jangan lupa untuk memberikan Like dan komentar nya ya kasih vote juga yang banyak hadiahnya juga ya biar tambah semangat nulisnya

Follow akun Ig aku ya

Ig @tri.ani5249

...Happy Reading 🥰🥰🥰...

Hukuman yang tak biasa

Tebak di mana aku sekarang? Aku sedang berada di sebuah tempat yang penuh dengan sampah, tapi bukan tempat sampah.

Apa itu?

Aku sekarang berada di belakang kerpusatkaan, tempat sampah buku-buku yang sudah tidak layak terpakai lagi.

Dan apa tugasku sekarang?

Aku harus merakitnya satu-satu, menggabungkan lembaran-lembaran yang sudah tidak tahu ujung dan pangkalnya.

"Aku punya dua pilihan hukuman untukmu!" ucap pak Ardi.

Aku seharusnya bisa bernafas lega, setidaknya aku tidak perlu memasangkan lembar demi lembar untuk menjadi buku lagi kan?

Mungkinkah seperti itu?

"Saya pilih hukuman yang ke dua, pak!" sahutku dengan cepat.

"Kamu yakin_," pak Ardi menengok ke arah baju ku, melihat tag nama di baju sebelah kiri ku, "Citra Laila Zanna?"

"Ya,"

"Baiklah! Ayo ikut saya!"

Hehhhhh ....

Aku bernafas lega, benarkah nafasku bisa selega itu.

Tidakkkkk ....

Aku memang tidak harus berkecimpung dengan kertas-kertas lusuh dan lem, tapi kali ini aku harus berkecimpung dengan jurnal besar dan rak-rak buku yang menjulang tinggi.

Tebal dimana aku?

Aku berada di tempat orang-orang pintar sedang berkumpul dan seharusnya aku bukan bagian dari mereka, kalau aku bagian dari mereka tidak mungkin aku menjadi langganan remidi setiap kali ulangan.

Ya benar, aku berada di perpustakaan sekolah. Dan sama, aku harus berkutat dengan buku-buku menyebalkan ini. Jika saja boleh sekolah tidak membawa buku, aku adalah orang yang paling bersemangat pergi ke sekolah.

Mataku rasanya seperti berisi tulisan dengan berbagai bentuk dan kata. Ada beberapa warna, judul dan tebal, lalu aku harus memulainya dari mana?

Sedih banget kan aku?

Pengen banget berteriak, dan pria yang sudah menjadi guru BK baruku itu dengan kaca matanya terus mengawasi pekerjaanku, dia seolah menggantikan tugas petugas perpustakaan. Ingin rasanya mencakar wajahnya yang serius itu. Tanganku rasanya sudah sangat kebas, sudah berpuluh buku yang aku ambil dan aku kembalikan lagi ke rak yang berbeda.

Haus banget .....

Aku hanya bisa mengusap tenggorokanku yang begitu kering, dia benar-benar tidak peka.

Aku jadi teringat jika hari ini aku bahkan lupa meminta uang saku.

Sial

Aku hanya bisa mengumpat sepanjang merapikan buku-buku itu, memepatkan buku pada tempatnya yang bahkan tadi tidak Serapi ini.

Hehhh aku merasa berjasa ....

Melihat buku yang sudah mulai rapi, terbesit rasa bangga dalam benakku.

Tapi teringat lagi, tenggorokanku kering, jangankan untuk beli sebotol air mineral, untuk membeli sebuah permen saja aku nggak punya uang.

Bodoh ...., bodoh ...., bodoh ....

Tau begini aku nggak marah tadi sama ibu.

"Haus ya?" pertanyaan itu seperti oase di gurun pasir. Senyumku langsung mengembang saat melihat sebotol air di depan mataku,

"Minumlah!" Pak guru Bk yang aku ketahui namanya Arditama Ramadhan itu menyodorkan satu botol air mineral dingin kepadaku.

"Serius pak?" tanyaku ragu.

"Ayo, ambilah! Aku akan memberikannya gratis." pintanya lagi.

Aku pun langsung mengambilnya dan hendak membuka segel botol tapi ternyata sudah di buka, sepertinya pak Ardi menyadari keraguanku.

"Saya sengaja membukakannya untukmu, jangan berpikir macam-macam. Lihat tanganmu, kotor!" benar saja, aku baru menyadari kalau tanganku ternyata penuh dengan debu.

"Baiklah!"

Aku begitu lega saat meneguk air mineral dalam botol itu, rasanya aku seperti sudah satu Minggu tidak minun, setelah tinggal setengah aku meletakkan kembali botol itu di atas meja yang tidak jauh dari tempatku, aku sengaja duduk untuk beristirahat sejenak, tapi baru saja satu menit duduk pak Ardi kembali lagi,

"Kalau mau cepat selesai, jangan kebanyakan istirahat. Jika kamu masih terlambat lagi besok, saya akan membuat hukuman yang lebih dari ini!"

Ya ampun ...., baru juga bernafas, sudah dipotong lagi nafasku. Engap kan.

Ucapan pak Ardi membuatku terdiam kesal, aku terlalu kesal untuk menjawabnya. Tapi saat mendongakkan kepalaku, mata itu tengah menatap ke arahku dan membuat sesuatu yang aneh berdesis di dalam dada.

Sebelumnya aku belum Aku pernah menatap seorang pria manapun sedekat ini kecuali ayah dan kakakku,

"Yakin sekali pak kalau besok saya akan terlambat!?" dengan cepat aku mengalihkan tatapanku dan memilih berdiri meninggalkan pak Ardi.

"Baiklah, terserah kamu saja, lanjutkan pekerjaanmu!" ucap pak Ardi membuatku cukup lega. Itu tandanya dia sudah meninggalkanku.

Baru saja beberapa menit kembali melakukan hukumanku,

Tettttttt tetttttt tettttttt

Suara bel masuk berbunyi, itu bel masuk setelah istirahat kedua. Jadi intinya hari ini aku sudah melewatkan sekitar empat mata pelajaran.

Tidak buruk sih ....

Pak Ardi kembali menghampiriku, aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi saat menyadari bahwa suasana di perpustakaan sudah sangat sepi ketenangan ku tiba-tiba hilang.

Entah kenapa sekarang bulu kudukku semakin merinding, berdua saja dengan pak Ardi di perpustakaan jadi membayangkan beberapa berita yang menimpa siswi-siswi yang dilecehkan oleh oknum guru.

"Stop!" teriakku.

Pak Ardi segera menghentikan langkahnya tepat satu meter di depanku,

"Ada apa?"

"Pokoknya jangan mendekat, kalau pak Ardi mendekat satu langkah lagi, aku akan memukul bapak." ucapku panik sambil mengambil tongkat kasti yang berada tidak jauh dari tempatku dan menodongkannya pada pak Ardi.

"Saya cuma mau memberitahu jika hukuman kamu sudah selesai!"

"Baiklah, saya mengerti pak!Terimakasih!"

Tidak perlu menunggu jawaban dari pak Ardi, aku segera melepaskan tongkat kasti itu sembarangan dan menyambar tasku, membawanya berlalu pergi dari tempat itu sekelebat masih bisa aku lihat kalau pak Ardi menatapku.

Aku sudah harus kembali ke kelasku, keberadaanku mungkin tidak di sadari oleh anak-anak sekelas ku karena ada atau tidaknya aku tidak berpengaruh juga di dalam kelas. Tempat dudukku adalah di barisan paling depan, bukan karena aku pintar tapi di kelasku, bangku barisan depan adalah bangku menyeramkan.

Mungkin aku bar bar, tapi aku juga pendiam. Atau lebih tepatnya seperti istilah-istilah gaul saat ini, aku di sebut introvert.

Anak IPS ...., Mungkin ini perbedaan anak ips dan anak ipa ...

Jika anak Ipa, bangku depan adalah bangku favorit tapi bagi anak ips bangku depan adalah bangku pesakitan.

Aku duduk di bangku biasanya, aku tidak punya teman karena aku juga tidak ingin berbasa basi Dnegan mereka, aku tidak mengenal satu persatu nama teman sekelas ku, hanya ada beberapa yang aku ingat tapi mereka juga tidak pernah menyapaku bahkan jika ada tugas kelompok bahkan aku hanya seperti bayangan. Sudah syukur namaku masih di masukkan ke dalam kelompok mereka, hal yang paling tidak aku suka adalah tugas kelompok karena saat itu aku harus bekerja dengan mereka, banyak bicara dan lain sebagainya.

Yang introvert sepertiku pasti mengerti, bekerja sendiri bagiku lebih mudah, setidaknya aku tidak perlu pura-pura tersenyum di depan mereka.

"Zanna!"

Tiba-tiba salah satu anak yang duduk di bangku sebelahku memanggil namaku, dia mengenal namaku, luar biasa. Atau aku yang memang keterlaluan hingga namanya saja aku tidak tahu, segitu introvert nya aku.

Begitulah setiap hari, apapun yang terjadi. Aku lebih suka di panggil dari pada memanggil.

"Iya?" tanyaku.

"Kamu tadi di hukum sama guru BK yang baru ya?" tanyanya, ehhh tidak heran jika satu sekolah tahu. Bukan karena aku terkenal, tapi karena setiap pelanggar hari ini namanya di pajang di mading sekolah.

"Iya," jawabku singkat.

"Katanya ganteng banget ya?" tanyanya tampak begitu bersemangat sambil menggeser bangkunya agar lebih dekat ke arahku. Dan bisa di tebak, aku tidak nyaman.

"Emmm, nggak juga," ya memang menurutku biasa, atau aku tidak tahu batas ganteng itu dari apanya.

"Ihhhh, ganteng tahu." dia tidak terima aku mengatakan kalau guru BK tidak ganteng, "Tanya dong gimana caranya di hukum?"

Apa aku harus memberi jawaban yang sesuai atau nggak? ada-ada aja, memang dia mau di hukum sepertiku?

"Sebenarnya tadi aku terlambat!"

"Oh jadi cuma terlambat ya!" dia menganguk-anggukkan kepalanya seperti tengah memikirkan sesuatu.

Dari pada terus menanggapinya, aku memilih kembali menatap di depan,

Tidak ada suara lagi, sepertinya dia tidak ada lagi yang ingin di bicarakan,

Ada-ada aja ...

Seorang guru masuk dengan membawa setumpuk buku, aku bahkan lupa kalau buku tugasku memang di kumpulnya. Tas ku tidak ada banyak buku, hanya ada buku catatan dan buku tugas, saat teman-temanku punya banyak buku pegangan, aku hanya mengandalkan catatan dari guru di papan tulis dan menyalinnya di buku catatan. Saat ada pr, aku sering tidak mengerjakan karena saya tidak punya buku pegangan kecuali PR itu di tulis di papan tulis. Tahu kan kenapa? Ibuku selalu mengutamakan adikku ketimbang kepentingan sekolahku.

Ibu memintaku meminjam buku kakak kelasku, hah mana bisa, siapa? Aku nggak kenal siapa saja kakak kelasku.

Satu jam berlalu, dan bel pulang berbunyi. Aku selalu kebagihan keluar paling akhir. Bukan karena aku anak rajin atau bukuku terlalu banyak yang harus di masukkan ke dalam tas, tapi aku paling malas berdesakan dengan mereka.

Setelah memastikan semuanya keluar, barulah aku berdiri dari bangkuku dan berjalan keluar,

"Zanna,"

Tapi panggilan itu berhasil menghentikan langkahku,

aku menoleh ke belakang, Bu guru memanggilku.

"Iya Bu?"

"Ibu mendapat laporan dari pihak administrasi, katanya kamu sudah tiga bulan ini belum bayar SPP ya?"

Aku tersenyum, jelas aku tidak perlu pura-pura lupa atau aku lupa meminta pada orang tua,

"Iya Bu!"

"Apa ada masalah?"

"Nggak sih Bu, nanti kalau sudah ada pasti saya bayar Bu."

"Tapi ini orang tuamu yang belum memberikannya padamu, bukan_?"

Aku tahu apa kelanjutannya, bukan kamu habiskan kan? Pasti begitu.

"Bukan Bu, ayah saya masih diluar kota Bu, nanti kalau sudah pulang pasti di bayar Bu."

"Kalau bisa sebelum ujian semester dimulai ya."

"Iya Bu."

Bersambung

Jangan lupa untuk memberikan Like dan komentar nya ya kasih vote juga yang banyak hadiahnya juga ya biar tambah semangat nulisnya

Follow akun Ig aku ya

Ig @tri.ani5249

...Happy Reading 🥰🥰🥰🥰...

Roni kakakku

...Bersikap baik bukan karena ada maunya tapi karena kebaikan yang kamu tanamkan akan menumbuhkan kebaikan-kebaikan yang lainnya...

...🌺🌺🌺...

Siang ini seperti biasa setelah pulang sekolah, aku segera mengganti bajuku dengan kaos oblong dan celana panjangku, aku harus menunggu toko sembako milik ibu, jika siang hari ibu harus keliling untuk mengambil cucian dari tetanggal dan selanjutnya akan menjadi pekerjaanku.

"Ibuk hari jaga toko saja, ibadan ibuk pegal-pegal rasanya!" ucap ibuku sambil memijat punggungnya, wajahnya memang tampak pucat sepertinya ibu memang kurang enak badan, sepasang koyo juga melekat di pelipisnya.

"Ibu sakit ya?"

"Sepertinya ibu lagi masuk angin. Ibuk dapat pesenan tepung dari paman Hari, kasihan kalau tidak di antar nanti nggak hsia buat bakso."

"Baiklah, biar Zanna saja yang anter." aku tidak punya pilihan lain, aku tidak mungkin meminta dua adik kecilku, jarak kedai bakso paman Hari cukup jauh dari rumah.

"Yang mana Bu, tepungnya?"

"Itu di atas meja." ucap ibu bahkan tanpa berniat bangun dari dipan kecil yang ada di toko. Dia sepetinya benar-benar sakit.

Segera ku ambil selanyong kresek berisi beberapa jenis tepung itu dan ku masukkan ke dalam keranjang sepedaku.

Butuh waktu lima belas menit dari rumah untuk sampai di kedai bakso paman Hari, tapi karena sebuah insiden aku membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai.

"Maaf paman aku terlambat, soalnya sepedanya rantainya suka lepas sendiri, ini paman tepungnya!"

"Iya nggak pa pa, makasih ya! mau langsung pulang?"

"Iya paman, soalnya ibu kurang enak badan,"

"Ohhh, kalau gitu tunggu sebentar ya!"

"Baik paman!"

Aku kira aku diminta untuk menunggu uangnya, tapi ternyata tidak.

Paman Hari kembali lagi dengan membawa kantong kresek,

"Ini titip buat Rara dan Riri ya. Dan ini uangnya,"

"Ya ampun paman, repot-repot sekali."

"Nggak pa pa, itung-itung kan kamu sering bantuin paman sama bibi."

"Makasih ya paman, kalau begitu saya pulang dulu."

"Ya, hati-hati!"

Mereka sepasang suami istri yang baik, sayangnya mereka tidak di karuniai buah hati, begitulah kehidupan. Beberapa orang di karunia putra putri tapi mereka tidak bersyukur dengan keadaannya. Dan beberapa lagi diberi ujian dengan tidak dihadirkan seorang anak pun.

Bersikap baik bukan karena ada maunya tapi karena kebaikan yang kamu tanamkan akan menumbuhkan kebaikan-kebaikan yang lainnya

Setelah berpamitan aku pun segera pulang, aku tidak mungkin meninggalkan ibu yang tengah sakit. Aku harus segera menggantikan itu di toko.

Seperti biasa beberapa tetangga lebih suka mengiring pesan pada ibu dan meminta ibu untuk mengantarkan belanjaannya ke rumah, dan sekarang saat jbu kurang enak badan seperti itu, semua tugas beralih padaku.

Sepulang dari mengantar belanjaan tetangga, aku berbegegas masuk ke dalam rumah karena tenggorokannya begitu kering, tapi terhenti tepat di pembatas antara ruang tamu dan ruang tv, pria yang berstatus sebagai kakak laki-laki ku itu pulang lagi, hehhh firasatku benar-benar buruk.

Sebenarnya ini sudah biasa dan yang membuat tidak biasa, pria itu pulang dengan seorang wanita bertubuh seksi yang bukan istrinya. Seperti benar berita miring yang sedang beredar, pria itu punya wanita simpanan.

"Dari mana?" tanyanya begitu menyadari keberadaanku.

"Bukan urusanmu!"

"Rugi sekali sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma jadi tukan cuci baju!" hinanya.

Dasar mulut besar ...

Aku masih bisa menahan emosi selagi wanita itu tidak ikut-ikutan bicara. Tapi ternyata dia ikut bicara membuatku tersulut emosi,

"Oh jadi dia adik kamu yang cewek yang kamu ceritain itu, cantik sih sayang dekil!"

"Lebih baik aku kemana-mana, aku tidak malu-maluin kayak kamu. Dasar pria tidak berguna. Sana noh, istri kamu udah mau lahiran malah di tinggal nyeleweng."

"Anak kecil, berani kamu sama orang tua, kuwalat kamu."

"Asal kamu tahu, bibir kamu nggak akan bikin aku kuwalat, yang ada kamu yang kuwalat."

Plakkkkk

"Aughhhh!"

Aku hanya bisa memegangi pipiku yang memerah saat tamparan dari kakak laki-laki yang seharusnya melindungi adik-adik perempuannya mendarat di pipiku.

"Anak kurang ajar, nggak punya sopan santun. Minta maaf nggak!!" aku benar-benar muak dengan wajah marahnya, dia benar-benar seperti kesetanan, aku benar-benar tidak kenal dengan pria itu, dia seperti bukan kakakku.

"Bukan aku yang seharusnya minta maaf, tapi kamu!"

Roni, dia kakak ku terlihat semakin marah mendengarkan ucapannya, ia hampir saja melayangkan lagi tamparannya tapi wanita ****** itu segera menahan tangan pria itu.

"Sudah mas, nggak usah lah urusin dia, kita ke sini kan mau bersenang-senang!" Ucap wanita itu sambil bergelayut manja.

"Iya, kamu benar!"

Mereka seperti tidak punya muka, tidak punya hati nurani. Mereka meninggalkan aku begitu saja dan duduk di sofa ruang tamu, aku begitu jijik melihatnya. Bermesraan di depanku seperti aku ini adalah bayangan yang tidak punya hati.

Beruntung Rara dan Riri tidak di rumah, aku melihat mereka tengah bermain di halaman tetanhhal agak jauh,

Aku mengusap air yang keluar di sudut mataku, aku tidak peduli. Aku memilih untuk keluar saja dari rumah dan mengambil sepedaku yang terparkir di halaman rumah. Sepeda butut yang bahkan warna catnya saja sudah hilang.

"Zanna, ada apa di dalam? Kenapa ribut-ribut?"

Seseorang membuat aku mengurungkan niatku untuk mengayuh sepeda butut itu, aku menoleh ke sumber suara.

Aku hampir lupa ada ibu, dia baru saja dari tukang urut.

"Bu, nanti kalau masuk rumah nunggu pria itu keluar aja ya bu!"

"Pria itu siapa?" tanya ibu tidak mengerti.

"Siapa lagi kalau bukan Roni."

"Oh jadi itu tadi suara kakak kamu?"

"Bu!!!" aku paling benci kalau harus menyebut pria itu kakakku, rasanya sudah sangat lelah Dnegan kelakuan pria itu.

"Aku pergi dulu Bu, aku akan mengajak Rara dan Riri jalan-jalan, kirim pesan jada sama Zanna kalau pria itu sudah pergi!"

Aku tidak mau membahas pria itu, begitu menyakitkan bagiku. Sebenarnya pria yang menjadi kakakku itu karyawan tetap di sebuah pabrik, seharusnya gajinya sangat cukup untuk menghidupi keluarganya tapi malah memilih menghabiskannya sendiri dan tidak memberi sepeserpun pada istrinya.

Sebenarnya aku ingin sekali membantu kakak ipar ku, apalagi beberapa bulan lagi dia akan lahiran, tapi keadaan kami tidak jauh beda. Aku harus nunggak beberapa bulan untuk bayar SPP saja.

Bersambung

Jangan lupa untuk memberikan Like dan komentar nya ya kasih vote juga yang banyak hadiahnya juga ya biar tambah semangat nulisnya

Follow akun Ig aku ya

Ig @tri.ani5249

...Happy Reading 🥰🥰🥰...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!