Pada pekan kuliah yang padat, jadwal libur merah terlihat sama seperti hari biasanya. Tugas-tugas yang menumpuk, kegiatan kerja kelompok dan pengumpulan lembar ulangan harian. Sekelompok Mahasiswa ingin melepaskan rasa penatnya dengan melakukan pendakian yang telah lama mereka rencanakan. Ada delapan mahasiswa memesan tiket bus menuju ke sebuah perkampungan.
Rute jalan kesana tidak bisa menggunakan mobil, jalanan yang rusak, terjal dan licin. Mobil yang mereka naiki hanya bisa berhenti di bagian perbatasan kota. Bus roda gerigi, rem pakam dan supir yang siap terjun bebas masuk ke dalam jurang. Memilih lokasi pendakian karena tempatnya terkenal sangat indah dan menawan.
Kemuning membatalkan rencananya karena malam sebelum pergi dia mendapat mimpi buruk. Seolah pertanda gambaran firasat buruk yang akan menimpa. Wajah wanita tua membungkuk melepaskan biji bola mata ke tangannya. Dia mengembalikan semua barang-barang bawaan, mengirimkan pesan membatalkan janji pada hari sabtu pagi.
Tin_tin_
Rombongan teman-temannya menunggunya di dalam mobil. Farsya dan Hana keluar memanggil Kemuning. Dia keluar masih mengenakan baju tidur dan jilbab oblong polos berwarna putih menunjukkan lingkar mata menghitam.
“Maafin aku ya, aku nggak jadi ikutan.”
“Loh kok gitu sih, kita kan udah janji wajib ikut. Persiapan juga udah jauh hari, emangnya kamu kenapa Kemuning?” tanya Hana.
“Aku takut, akan ada banyak hal-hal ganjil kalau kita memaksa pergi..”
“Kalau kamu nggak pergi, aku juga! Aku di kasih ibu pergi karena alasan ada kamu” ucap Farsya mengernyitkan dahi.
Dia di paksa dengan bujukan sampai Ke tujuh temannya meminta ijin pada ibu Kemuning. Wanita yang berpenampilan bersahaja meskipun kehidupan kelas atas. Dia memberi ijin anaknya dengan catatan di sepanjang perjalanan tetap menegakkan sholat. Bekal yang di berikan bu Hamza adalah seperangkat mukenah dan doa keselamatan anaknya.
Farsya dan Hana membantu kemuning mengemasi barang-barangnya. Berpamitan pada ibunya, sekali lagi dia meminta ijin pada ibunya sebelum pergi. Perjalanan panjang di mulai pada waktu pertengahan hari, perpindahan melanjutkan menuju bus. Pandangan tertuju pada sosok yang melihat mereka dari seberang jalan. Kemuning mengusap matanya mengabaikan penampakan.
“Kamu liat apa?” tanya Erik.
“Nggak ada apa-apa..”
Di dalam bus, wajah-wajah asing memperlihatkan pandangan rasa tidak sukanya. Sisa satu kursi panjang pada bagian belakang, seorang wanita tua yang sedikit membungkuk melotot mendengus mendekati Nardi. Dia menepuk kuat pundak Jaja, ketakutannya melihat rahang yang terbuka lebar itu antara senyuman atau menakut-nakuti.
“Geser, ada nenek-nenek aneh di samping ku!” seru Jaja menutupi wajahnya.
“Mana ada nenek-nenek di sebelah kamu! yang ada Cuma kambing bandot tua. Tuh si Legi pandangannya liar banget, matanya keliling cari cewe kembang desa di dalam bus!”
Pak supir membawa kendaraan seperti tidak memikirkan nyawa penumpangnya. Kalau bukan karena keberuntungan hari ini, mereka sudah terguling masuk ke dalam jurang. Ke delapan mahasiswa itu menjerit ketakutan. Tapi anehnya para penumpang lain di dalam bus terlihat biasa saja.
“Ada yang nggak beres sama penumpang disini. Mereka nggak ada ekspresi sama sekali”
“Perasaan kamu aja kali Pin, mereka pasti udah terbiasa keluar masuk kampung naik bus ini” jawab Erik.
Farsya mulai mengantuk dia menyenderkan tubuh pada jendela. Di dalam alam bawah sadar, dia melihat semua wajah teman-temannya pucat fasih. Ada nenek-nenek tua yang menarik tangannya membawanya pergi. Farsya ketakutan meminta tolong, cengkraman tangannya sangat kuat sampai melukai tangannya.
“Arghh! Lepaskan aku! Tolong!”
“Far bangun! Haduh, dia mimpi di siang bolong!” Hana mengguncang tubuhnya.
Farsya membuka mata merasakan tangan kanannya yang sakit. Dia melihat kulitnya membiru berbekas gambar jari tangan. Meyakini mimpinya yang nyata, dia minta pulang di turunkan di tengah hutan.
“Jangan gila kamu Far, tidak ada rute bus balik. Kalau pun ada ya besok, jadi kamu nginap di tengah hutan malam ini” ucap Jaja.
Kemuning mengolesi pergelangan tangannya dengan minyak hangat. Dia membalut menggunakan sapu tangan miliknya. Sesampainya di area pos pendakian, sebelum mendaki mereka di beri petunjuk dan bimbingan mengenai batas wilayah, jalur dan cara mendaki lainnya.
Hal yang paling penting mengenai memastikan kondisi tubuh yang stabil, iklim, jalur, peta dan pembekalan para pendaki. Bekal makanan, minuman, pakaian secukupnya, obat-obatan dan kota P3K. Pulau daun teh hijau, kecamatan selayang pandang menjadi titik awal setelah mendapatkan surat ijin masuk mendaki.
Petugas pengendali Ekosistem hutan tidak pernah melupakan kewajibannya memeriksa jumlah sampah yang harus di bawa turun para pendaki. Ada pembagian pada empat pos pemondokan peristirahatan.
Pos peristirahatan awal sebelum memulai mendaki. Disana para pendaki juga di cek satu persatu. Satu pemimpin regu menyerahkan data keterangan lengkap, tempat itu di sebut lumbung rehat. Pada pos awal, di perkirakan empat kilometer dengan waktu berjalan Sembilan puluh menit.
Hani berhenti menekuk lutut, dia tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan. Farsya di sepanjang perjalanan mengeluhkan tangannya yang sakit. Erik menggendong Hana dan Farsya di gendong Jaja. Mereka melanjutkan pendakian sampai menuju pos kedua.
Keringat pertumpahan, gerimis membasahi tanah berlumpur. Mereka kembali berjalan masing-masing, berhenti di bawah pohon memakai jas hujan. Bebatuan terjal, mereka hampir tergelincir saat berpegangan pada tali.
“Hati-hati, sebentar lagi di depan sana pos tiga. Jangan sampai tergelincir!” teriak Didim.
“Ha_ha_hantu!” teriak Jaja berlari mendahului rombongan.
“Kamu mau kemana Ja? Jangan sampai tersesat!” teriak Didim.
Mereka duduk di batang pohon yang tumbang. Didim meminta yang lainnya tetap di posisi tersebut sampai dia dan Nardi kembali membawa Jaja. Suasana semakin tegang merasakan suara-suara aneh di dalam hutan. Untuk mencapai pos tiga, mereka harus melewati jembatan panjang di bawahnya ada sungai yang mengalir deras.
Menunggu temannya kembali, Kemuning turun ke pinggir sungai menggunakan seutas tali. Dia di bantu Erik menyimpulkan tali dan memangkas rumput sebagai tanda arah jalan.
Kemuning mengambil air wudhu, dia mencari arah kiblat mengunakan jarum penunjuk arah. Sekujur bulu kuduknya merinding saat mengangkat takbir. Merasa banyak makhluk mendekati, dia bertekad mengabaikan semua gangguan agar mendirikan sholat lebih khusyuk.
“Kemuning… hah” suara menggema terbawa angin kencang.
“Seram banget ya, kamu dengar sesuatu nggak Far?” kata Hana.
“Sstth! Jangan ngomong aneh-aneh di dalam hutan. Oh ya Kemuning mana ya lama banget.”
Dalam sekejap sekitar wilayah hutan di selimuti kabut putih pekat. Mereka baru menyadari kehilangan Legi setelah memasuki pos kedua. Legi di bawa makhluk berwujud wanita yang sangat cantik, pakaian kebaya berwarna hijau, kain panjang yang melilit pinggang membentuk rok. Kibasan jarinya memainkan rambut. Legi melangkah menjauh dari rombongan mengikuti sampai masuk ke dalam mata air.
“Legi! Kamu dimana?”
Berhenti di pos tiga, mereka bahkan belum memulai pendakian atau mendirikan tenda. Teriakan mencari teman-temannya yang hilang. Malam hari di sambut suara melengking mengagetkan Farsya dan lainnya.
“Duer!” kejutan makhluk halus dari belakang membuat dia jatuh pingsan.
Bola mata Farsya naik ke atas, pupil mata memutih. Dia kejang-kejang bergetar tertawa terbahak-bahak. Hana mengingat perkataan si juru kuncen agar tetap membawa benang berwarna merah bercampur hitam dan putih yang di lilitkan masing-masing di tangan mereka.
“Gelang milik Farsya masih ada di tangannya, tapi kenapa dia bisa kesurupan?” gumam Hana.
Seorang pria tua yang memakai topi capit berkomat-kamit menyemburkan asap rokok ke wajahnya. Farsya terkulai lemas, tatapan kosong merasakan tubuhnya seakan tertindih. Kalau menurut rute menunjukkan arah, mereka akan segera sampai di pos tiga. Tapi tidak ada yang mengetahui pria yang berpura-pura menolong Farsya telah mengubah belokan awal dari tempat mereka akan berjalan ke puncak.
Didim dan Nardi kembali ke rombongan tanpa menemukan Jaja ataupun Legi. Si pria tua berlagak menyamar seperti pemandu pendakian. Dia menyarankan akan mendirikan tenda di bagian wilayah dekat pohon raksasa.
“Loh bapak tadi kemana? Cepat banget hilangnya?” tanya Nardi.
“Sayang, temenin aku buang air kecil Yuk” ucap Farsya menarik jaket Erik.
“Hei kalian berdua jangan lupa pesan si juru kuncen sebelum kita mendaki kesini. Kita tidak boleh melakukan hal-hal di gunung.”
“Berisik kamu kemuning! Manusia jomblo tuh bawaannya sensi lihat pasangan yang lagi bermesraan” sindir Farsya menggandeng Erik pergi.
“Kamu kok jadi kasar gitu sih Far? Maaf Kemuning, Perasaan aku merasakan Jaja dalam bahaya. Aku harus segera menyusulnya!” Hana berlari mencari Jaja.
“Han.. Far…”
Mereka akan menikah bulan depan, cincin tunangan telah tersemat di jari manis. Hana yang tidak memperdulikan penampakan di sepanjang hutan memberanikan diri mencari Jaja di dalam kegelapan. Brughh__ krakk_
Tubuh Jaja terguling masuk jurang, kaki terasa lumpuh sebelah. Dia menjerit minta tolong di samping kesakitannya. Hana mendengar suaranya, dia mencari sumber suara yang mirip Jaja berasal. Menyorot senter ke jurang. Dia terkejut melihat Jaja ada di bawah, tangannya meraih akar pohon yang kuat untuk mencapai dasar.
Di pertengahan akar gantung, turun selangkah demi selangkah namun menarik akar mulai lapuk dan keropos. Tubuhnya kembali terbanting, samar-samar melihat kerumunan orang-orang yang berjualan. Dia ingat sebuah lokasi yang sering di bicarakan pengalaman para pendaki. Melihat sebuah pasar ghaib sama persis suasana manusia.
Berjalan mendekati orang-orang yang berjualan, wajahnya dan gerak-gerik mereka tidak menunjukkan mereka adalah makhluk halus. Kaki Jaja terhenti di depan penjual sate, tusukan harum daging yang mengepul di atas bakaran membuat perutnya keroncongan. Dia merogoh kantung, terselip selembar uang seratus ribu dan dua lembar lima ribuan.
“Pesan satenya satu ya pak..” ucapnya.
Penjual itu tidak menyahut, dia hanya sibuk mengipasi daging. Berpikir pendengaran si pria tua yang hanya memakai celana panjang tidak mendengar karena suasana pasar yang ramai. Gerakan cara membeli Jaja lalu menyodorkan uang ke arahnya. Dia meraih selembar uang lima ribuan, Jaja bingung harga sate yang terbilang cukup murah di dalam hutan.
Karena tidak sabar menunggu, dia mengambil beberapa tusuk dari pengasapan. Mendekati meja lalu menikmati sate setengah matang merasakan rasa daging yang sedikit aneh. “Ini daging apa ya? Kok beda!” gumamnya.
Jaja melongo melihat rombongan kuda hitam berhenti di depan pintu masuk. Semua penjual termasuk para pembeli berbondong-bondong mendekatinya. Wanita berbaju kebaya turun tersenyum mengangkat tangan lalu menganggukkan kepala. Wajahnya sangat pucat, Lipstik hitam, hiasan emas berbentuk bunga. Dia melihat Jaja yang memperhatikan, tiba-tiba Jaja merasa ada hewan yang menggeliat di mulutnya.
“Uhuk, Huekk. Cih! Apaan nih?” dia menarik cacing yang panjang dari dalam mulut.
Sisa sepotong daging di tusuk sate menggeliat hewan berlumur darah. Jaja memuntahkan seluruh isi perutnya, dia memukul dadanya yang terasa saki. Semua orang memperhatikannya dengan tatapan mengerikan. Ketika dia menyorot senter ke wanita yang jaraknya agak dekat. Dia melihat sosok hantu tanpa mata tersenyum menjulurkan lidah.
“Ahhh! Hantu!” Jaja di kejar-kejar para penghuni pasar, dia berlari menerobos semak belukar hingga pingsan terbentur pohon besar.
Kemuning yang tidak mau kehilangan Hana mengejar meski kakinya terluka tersandung batu. Dia menarik sahabatnya yang hampir celaka masuk ke dalam jurang. Memeluk Hana dan berjanji akan bersama-sama membantu mencari Jaja kekasihnya.
“Jangan bertindak gegabah sendirian Ini hutan Han, bukan jalan umum. Kamu nggak tau apa yang ada di dalamnya. Aku nggak mau kamu kenapa-napa”
“Kemuning.. hiks.”
Pria tua bertopi capit mengomando perjalanan mereka, Kemuning melihat gerak-geriknya yang aneh. Dia berbisik pada Hana, keyakinannya lelaki itu ada maksud yang terselubung. Akan tetapi, tidak satupun teman-teman yang mempercayai perkataannya. Mereka percaya lelaki itu adalah si pemandu yang sengaja menyusul setiap para pendaki di dekat pos tiga.
“Tapi Han, jelas-jelas di peta kalau kita harusnya belok kanan!” bisik Kemuning.
“Jangan berpikir negatif, aku yakin ini rute yang benar karena kita mau mencari Jaja dan Legi” jawab Hana mendahuluinya di depan.
Lelaki tua itu tiba-tiba berhenti, memutuskan agar mereka mendirikan tenda. Tempat yang terbilang cukup angker, terlalu banyak semak belukar dan jauh dari letak awal lokasi pos. Tenda siap terpasang, api unggun dan yang terakhir Nardi mengambil sekantung plastik besar garam untuk di tabur di sekitar tenda. Pria tua merampasnya, dia mengatakan garam tidak lah penting kalau keselamatan tidak di jaga sendiri.
“Tapi kata si juru kuncen sebelum kami naik, dia berpesan untuk membawa ini dan menggunakannya ketika tenda sudah terpasang pak” ucap Nardi mulai memperhatikan keanehannya.
“Tidak, dia terlalu tua mengingat apa saja yang di larang dan tidak. Aku akan kembali lagi besok!”
Nardi membuntutinya, langkahnya sangat cepat. Di sepanjang jalan dia sambil mengingat-ingat arah kembali ke tenda. Tapi, ketika dia berhenti di dekat bebatuan. Laki-laki itu menghilang di bawa kabut putih tebal.
“Gawat! Udah mulai kabut! Aku harus kembali!” gumam Nardi.
Di dalam hutan belantara, suara-suara aneh terdengar jelas. Rintik hujan, angin kencang seolah mau menerbangkan tenda. Semalaman mereka terjaga, Kemuning bertayamum menggelar ibadah dua rakaat berharap perlindungan pada Allah Yang Maha Esa.
“Kamu nggak sholat Han?”
“Nggak, kamu aja deh. Pikiran aku lagi banyak banget. Do’ain aku ya kemuning. Eheh!” jawabnya menolak.
Jaket, matras dan selimut membungkus tubuh mereka yang menggigil kedinginan. Bahkan sampai pagi hari, hujan masih bersambung dengan kabut putih tebal. Mereka tidak bisa meneruskan mendaki agar naik ke puncak. Didim dan Legi terkejut melihat Erik ada di samping mereka.
“Erik, kamu bukannya semalam sama Farsya?” tanya Nardi melihat wajahnya yang pucat.
Erik mengangguk, dia menarik selimut melanjutkan tidurnya. Sementara Farsya tertidur di luar tenda di bangunkan Hana yang memperhatikan jaketnya sangat kotor. Setelah semalam, Farsya bertingkah seolah bukan dirinya, dia tidak pernah kasar pada sahabatnya. Tapi Farsya yang ada di depannya memasang wajah cemberut dan bertingkah kasar.
“Kabutnya tebal banget Far, kamu mau kemana?” tanya Hana.
“Mau bersih-bersih. Aku di belakang tenda kok..”
Dia membuka simpul sapu tangan milik Kemuning. Dia membuang benda itu lalu menyiram luka dengan air. Tiba-tiba pandangannya berubah melihat luka di tangannya menjalar semakin lebar. Ada belatung menggeliat dia atasnya. Dia menjerit ketakutan, memukul hewan-hewan itu ke atas batu yang ada di dekatnya.
“Arghh! Hiks! Tolong!”
“Farsya! Kamu kenapa? Bangun Far” Kemuning menutupi tubuhnya dengan jaket.
Saat dia membuka mata, tidak ada hewan apapun di tangannya. Lukanya semakin melebar akibat kulit terbentur keras mengenai batu. Dia menangis kesakitan, Nardi dan Didim membantu membawanya ke dalam tenda.
“Loh si Erik mana?” tanya Kemuning.
“Tadi ada di tenda, tapi sekarang nggak kelihatan lagi” jawab Didim.
Farsya menangis, tubuhnya menggigil kedinginan. Suhu tubuhnya sangat panas, Kemuning membersihkan luka, suara ringisan Farsya merasakan tangannya yang sakit. Dia menjerit lebih kuat melihat sosok hantu mirip kuntilanak menjilati lukanya. Tubuh Farsya merontah ketakutan, semua yang ada di dalam tenda sangat panik.
“Demamnya pasti tinggi banget sampai dia kayak gitu” ucap Hana menahan kaki Farsya yang bergerak seperti mau menendang semua orang.
Beberapa jam kemudian dia tenang, Kemuning melihatnya mulai terlelap, dia benar-benar tidak betah lagi berlama di dalam hutan. Meminta pada teman-temannya agar mengurungkan niat naik ke puncak gunung. Hana menolak keras dengan berlari menjauh dari tenda. Didim menahan agar Kemuning tidak mengejar.
“Biarin dia menenangkan dirinya sendiri. Oh ya, aku dan Nardi mau melanjutkan mencari yang lain. Kami akan pulang sebelum senja.”
“Nggak bisa kita semua nggak boleh berpencar lagi Dim. Kita harus mencari mereka sama-sama” ucap Kemuning.
Pria yang hanya memikirkan kesenangannya saja, dia tidak sadar dengan apa yang di buat pada Farsya semalam. Berpikir seolah sedang tidak ada masalah apapun. Telinganya seperti di tutupi setan tidak mendengarkan apa yang terjadi dan pandangannya hanya melihat yang indah-indah saja. Mempercepat bangun di pagi hari, Erik membawa kamera memotret keindahan alam. Kaca hitam mejeng tanpa membawa tas dia berdiri lebih ke tepi mengambil gambar dirinya.
Gambar di tengah kabut, dia terkejut melihat sosok aneh yang ada di sampingnya. Mengambil beberapa gambar lagi memastikan sosok yang mendekatinya. Ketika dia akan meninggalkan tempat itu, muncul seorang pendaki wanita berwajah murung keletihan membawa ransel dan barang bawaannya.
“Permisi, mbak kok sendirian. Rombongan mbak mana?”
“Aku ketinggalan waktu di bawah tadi. Boleh aku ikut kamu?”
“Wah tentu saja boleh banget mbak, yuk..”
Sosok pendaki yang telah lama meninggal itu merasa dirinya masih hidup. Melakukan kegiatan mendaki, menampakkan wujud pada orang-orang yang menjelajah gunung. Di belakangnya, Erik tersenyum tidak sabar ingin mengenal wanita itu . Sesekali dia sembunyi-sembunyi memotret mengambil gambarnya.
......................
“Si Erik udah gila. Dia ternyata pergi entah kemana setelah berganti pakaian kotornya ini semalam. Nih lihat!” ucap Didim menunjukkannya pada Nardi.
“Ya benar, tuh anak udah kerasukan setan. Nggak takut bahaya lagi..”
Didim tidak sengaja melihat pak Capit berkelakuan mencurigakan berjalan melewati tenda. Dia mengikutinya, tenaganya dua kali lipat dari usia muda. Tanpa terasa dia berada di atas puncak bersembunyi memperhatikan Capit seperti mengubur sesuatu. Putung rokok tidak terlepas dari bibirnya, dia menyemburkan asap ke benda aneh.
Mengubur ke dalam tanah, wajahnya merah padam menatap ke atas pohon. Memastikan situasi aman, Capit berjalan menuruni belokan tenda. Didim membuka galian tanah, dia meraih akar bercampur cacing.
“Hih! Apaan nih? Benar kata si Kemuning, ada yang aneh sama pak Capit!”
Sebagai barang bukti, dia mengambil benda itu untuk menunjukkan pada teman-temannya. Nafasnya tersengal-sengal, dia menarik Nardi mendekati tenda. Membuka isi daun memperlihatkan kegelian cacing. Nardi menepis tangan menjatuhkannya.
“Apaan ini Dim? Kamu dapat dari mana? Geli aku lihat cacing!”
“Aku lihat pak Capit ngubur ini di atas!”
“Kamu menuduh saya? Seharusnya saja tinggalkan saja kalian disini. Saya melakukan itu demi keselamatan kalian. Menjauhkan dari gangguan makhluk halus!”
Dia menyangkal perbuatannya yang akan mencelakakan mereka. Capit mengambil cacing dan benda aneh itu lalu berjalan pergi. “Pak Capit tunggu pak!” teriak Nardi.
Mengira pak Capit harapan terbesar sebagai pemandu gunung supaya secepatnya mencapai puncak. Dia memohon agar pria itu tetap membantu mereka membimbing jalan dan mencari teman-temannya yang hilang.
Matahari berdiri di atas kepala, Kemuning mencari tempat menjalankan ibadah sholat zuhur. Sebelum menjauh dari tenda, dia memberi tanda sebanyak-banyaknya karena takut tersesat. Pandangannya tetap sama, daerah gunung itu tetap memperlihatkan keangkeran mistis dalam kabut yang mulai menyebar.
Selesai mendekatkan diri pada Illahi, dia melihat seorang wanita yang memperhatikannya. Kira-kira berjarak satu meter menyebrang ke bebatuan terjal. Dia berpegang pada pohon kedua bertemu di dekat pinggiran jurang. Kalau boleh memilih, Kemuning ingin berlari berteriak ketakutan melihat sosok yang sebenarnya di balik wajah aslinya yang menipu. Sosok pendaki yang telah lama meninggal di gunung.
“Hai nama aku Kemuning, kamu tersesat ya?” sapa memperhatikan kakinya yang tidak menapak di tanah.
“Saya Ayu , pendaki jalur kuning tahun lalu mbak. Kamu harus segera pergi dari sini. Ada banyak kejadian di depan sana yang tidak terduga di luar nalar manusia..”
“Aku akan pulang bersama teman-teman yang lain setelah menemukan Jaja dan Legi. Apakah kamu melihatnya?”
Dalam kedipan mata, keadaan berubah menunjukkan kejadian di masa lalu.
Pepohonan, bebatuan dan tanah berbeda lebih subur di penuhi lumut basah. Keindahan gunung tidak terlukiskan oleh kata-kata. Seorang wanita memakai kebaya dan sarung yang membentuk rok, berdiri memainkan selendangnya tersenyum di kelilingi para pria memakai pakaian hitam.
Salah seorang pria duduk di dekatnya mengeluarkan sebuah keris yang sangat panjang. Dia menusuk wanita itu tepat di bagian jantung. Wanita persembahan, jasadnya belum di temukan sampai saat ini. Pria penganut ilmu hitam sebagai dukun sekaligus juru kunci pesugihan gunung bagi orang-orang yang ingin mencari kekayaan.
Wajah pria itu sangat mirip dengan pak Capit. Sosok pemandu gunung yang mereka temui secara kebetulan sesaat setelah teman-temannya menghilang.
“Ayu, siapa wanita itu? kenapa hanya dia yang di bunuh?”
Sosok pendaki yang membawa Kemuning melihat kejadian tragis menghilang. Kemuning terbangun melihat dirinya berada di atas bebatuan tempat bertemu dengan hantu pendaki.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!