"Kau, apa yang kau masukkan ke dalam minumanku?!" Suara lantang dan tegas itu keluar dari bibir seorang pria bernama Heinry Phoulo. Pria itu adalah pusat perhatian dari para gadis masa kini, bahkan ada beberapa wanita yang memutuskan untuk bercerai dari suaminya karena begitu menggilai Heinry dan terus memimpikan kebersamaan bersama dengannya. Yah, hanya satu wanita yang tidak menginginkan kebersamaan bersama dengannya yaitu, Gozeline Amy.
Gadis dua puluh satu tahun yang kini seranjang dengan Heinry tak mengenakan busana setelah menghabiskan malam panas bersama, memang mengejar habis-habisan Heinry, tapi tidak memiliki niat sama sekali untuk hidup bersama dengannya.
"Sudahlah, Heinry yang tampan. Yang rusak adalah tubuhku, sekarang aku sudah tidak perawan lagi sementara kau bebas saja tidak memiliki bekas, bukankah seharusnya kau senang? Jangan lupa kalau semalam kau bahkan meracau begitu hebat sembari memelukku loh....." Amy memamerkan barisan giginya yang putih dan rapih itu, matanya mengerling bahagia, jemarinya menyatu menyangga wajahnya dengan tatapan manja membuat Heinry benar-benar ingin memukul wajah Amy yang begitu tidak tahu malu.
"Kau, seenaknya saja bicara! Apanya yang enak?! Ah, oke! Memang enak tapi aku tidak menginginkannya!" Kesal Heinry sembari menarik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua, tapi karena dia terlalu kesal dan kuat menaik selimut, pada akhirnya membuat tubuh Amy benar-benar terekspos membuat Heinry bisa melihat dengan jelas dua gundukan kenyal kembar itu, bahkan bagian bawahnya juga terlihat karena Amy bukannya menutup segera saat selimut itu tersibak, dia malah membiarkan saja seolah tidak begitu memperdulikan tubuhnya. Oh, mungkin lebih tepatnya Amy memang gadis yang tidak tahu malu sekali!
Amy menghela nafas, memang siapa yang tidak malu memperlihatkan tubuhnya kepada pria? Padahal selama ini dia juga begitu enggan menatap tubuhnya sendiri saat bercermin karena merasa malu. Tapi mau bagaimana lagi? Sekarang dia benar-benar harus memperlihatkan sisi negatif dan bagaimana kalau dia benar-benar murahan agar Heinry tak perlu merasa bersalah dan merasa harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di antara mereka berdua semalam.
Hari ini adalah hari yang sudah Amy tunggu dan rencanakan dengan sangat matang meski di hari sebelumnya sempat gagal. Amy sudah memeriksakan kondisi tubuhnya dengan sangat baik, juga sudah berkonsultasi mengenai masa subur sehingga dia tahu kapan bisa sel telurnya di buahi dan dia bisa hamil. Seperti di jelaskan asal, Amy adalah satu-satunya gadis yang tidak menginginkan kebersamaan bersama dengan Heinry. Lantas kenapa Amy begitu gila mengejar Heinry selama ini? Jawabannya adalah karena pengalaman hidup, dan sebuah cita-cita yang dia dambakan sejak lama.
"Heinry, aku benar-benar minta maaf, tapi ini juga termasuk salahmu yang tiba-tiba saja lengah, dan salahkan saja kemoceng mu yang bangun dan menyerangku!" Amy bangkit dari posisinya membuat Heinry menoleh membuang tatapannya karena tidak ingin melihat tubuh Amy yang polos tanpa busana.
"Dimana pakaian ku?" Tanya Heinry tanpa menatap Amy.
"Aku sudah menitipkan kepada pelayan untuk membersihkannya semalam, mungkin satu atau dua jam lagi akan segera di antar." Amy mengakhiri ucapannya dengan senyum lebar dan segera masuk ke dalam kamar mandi.
"Amy!" Kesal Heinry tapi tidak bisa melakukan apapun. Amy pasti benar-benar begitu matang merencanakan semua ini bukan? Dia tahu benar segala kebiasaan Heinry, dan dia juga sudah paham kalau Heinry pasti tidak akan bangkit dari tempatnya sekarang kalau di dalam kamar masih ada Amy.
"Sial! Sial! Sial!" Kesal Heinry mengacak rambutnya sendiri, sungguh dia benar-benar menyesal karena meminum anggur yang di sodorkan Amy padanya. Tapi wajah Amy yang mengatakan jika dia akan pergi ke luar negeri dan tidak kembali lagi membuatnya merasa melas, di tambah dia juga ingat benar bagaimana penolakan nya terhadap Amy selama ini. Bagaimana tidak? Beginilah cara Amy mendekatinya.
Beberapa waktu sebelum terjadinya malam itu.
"Heinry, besok adalah akhir pekan, bagaimana kalau ikut denganku? Tidak usah merasa buang waktu dan tidak penting, aku akan memberikan imbalan besar padamu yaitu, keperawanan ku! Ayo kita tidur bersama dan biarkan aku hamil!" Amy benar-benar tersenyum lebar seolah tawaran yang dia berikan itu benar-benar adalah hal yang begitu di inginkan Heinry.
Heinry membuang nafas kesalnya, dia menutup buku yang dia baca dan meninggalkan Amy. Bukannya tidak tertarik karena Amy memiliki wajah yang biasa saja, Heinry haha tidak atau belum memilki niat untuk menjalin hubungan di usianya yang sudah dua puluh lima tahun. Heinry sedang menempuh pendidikan untuk sarjana dua, maka dari itu dia masih aktif kuliah dan sebagian waktunya dia habiskan untuk membatu keluarganya menjalankan bisnis batu bara yang sudah beroperasi selama puluhan tahun ini. Dari jutaan wanita yang mengejar dan mendambakan citanya, Amy adalah satu-satunya gadis yang begitu ekstrim dan tidak tahu malu. Mereka kenal beberapa bulan lalu karena kakak tirinya Amy adalah sahabat Heinry, dan sejak mengenal Amy hidup Heinry benar-benar tidak bisa tenang sama sekali.
"Heinry, kenapa kau ini pelit sekali sih?! Hanya tinggal **** saja sudah, kenapa begitu susah?! Ayolah, aku sudah menghitung masa subur yang paling baik supaya aku bisa cepat hamil, ayo kita buat anak!" Amy merengek sembari memegangi lengan Heinry, tapi secepat itu juga Heinry terus menepis tangan Amy dan masih mencoba untuk mengacuhkan semua yang Amy ucapkan.
"Heinry! Aku tidak akan menyerah sampai aku bisa mendapatkan sper** mu!" Ancam Amy dengan mimiknya yang terlihat begitu serius. Ah, tidak tidak! Bukan itu masalah besarnya, tapi nada bicara Amy yang begitu kuat dan lantang membuat semua orang yang mendengarnya menoleh ke arah mereka berdua dengan tatapan terkejut.
"Heinry, aku cuma butuh sper** mu, kenapa pelit se- em.....!" Amy tidak bisa lagi melanjutkan ucapannya saat Heinry mulai kehilangan kesabaran dan membungkam mulutnya dengan kuat, lalu membawanya ke lorong kampus yang begitu sepi.
"Kau adalah gadis dua puluh tahun, kenapa kau tidak tahu malu sekali?! Lebih baik jangan macam-macam saat bicara, batas kesabaran ku ini sudah hampir habis!" Heinry melepaskan dengan paksa tangannya, lalu mengelap telapak tangan bekas bibir Amy ke baju yang Amy gunakan dengan mimik yang terlihat jijik.
Amy mendengus kesal, dia benar-benar ingin mengatakan jika batas kesabaran yang Amy miliki juga sudah hampir habis! Tapi, yang membutuhkan kan Amy, jadi dia benar-benar harus lebih bersabar bukan?
"Kalau begitu, cepat hamili aku dan semua selesai."
Heinry memijat pelipisnya karena kepalanya benar-benar sakit sekali memikirkan bagaimana seringnya Amy meminta untuk di hamili.
"Hamil saja dengan unta, aku tidak mau menghamili siapapun!" Kesal Heinry.
Bersambung.
"Katakan, bagiamana aku harus menghukum mu?!" Heinry menatap Amy dengan sorot matanya yang tajam, dia sungguh merasa sangat marah tapi juga tidak bisa melakukan apapun selain berteriak kesal karena memukul Amy bukanlah hal yang bisa di sebut pria kan?
Amy menghela nafasnya, memang siapa yang minta untuk di hukum? Tolong ya,... Dia benar-benar sangat lelah, tubuhnya sakit semua seperti baru saja selesai di telindas tronton.
"Sejak dulu kau selalu saja membuatku sakit kepala, kau tahu benar tindakan mu semalam benar-benar sangat keterlaluan!" Heinry sebentar menoleh membuang wajah, bagaimanapun membicarakan apa yang terjadi semalam benar-benar membuatnya malu. Bukanya tidak pernah merasakan yang seperti itu, walaupun memang hanya dengan tangan atau colai, tetap saja untuk pertama kalinya dia melakukan dengan wanita pasti dia bisa merasakan malu juga.
Amy tak berani menjawab, dia tertunduk tak berani bahkan hanya untuk menatap Heinry. Memang iya dia salah, terlalu memaksa Heinry untuk melakukan perbuatan yang seharusnya tidak di lakukan. Tapi, dia benar-benar merasa sudah sangat siap untuk menjadi orang Ibu, dia ingin memiliki seorang anak yang jelas akan mencintai dan dia cintai seumur hidupnya. Memiliki anak juga adalah sebuah cita-cita yang ingin dia tunjukan kepada kedua orang tuanya yang begitu mudah menikah, lalu bercerai seenaknya, membuat anak-anak mereka terlantar, berserakan di mana-mana. Ayahnya sudah enam kali menikah, total anaknya sekarang ada tiga belas. Ibunya sudah empat kali menikah, dan dia sudah memiliki empat anak kandung, tiga anak tiri.
Sejak Kecil Amy di titipkan bersama nenek dari Ibunya, dia hidup benar-benar menyedihkan karena kedua orang tuanya benar-benar tak pernah ada di masa-masa pentingnya. Semua teman Amy menganggap Amy adalah anak yatim piatu yang menyedihkan meski Amy sudah menjelaskan bahwa dia memiliki orang tua lengkap, nyatanya tak dapat mengubah apapun karena mereka bahkan tak pernah datang entah urusan sekolah, Amy sakit, atau apapun itu.
"Tapi, biarpun aku keterlaluan bukankah yang paling penting rasanya enak?"
"Kau-"
Amy kembali menunduk tak berani bertatapan mata dengan Heinry karena Heinry benar-benar terlihat sangat kesal.
"Bagaimana bisa kau mengungkit hal itu dengan begitu mudah?! Memangnya kau tidak merasa malu, hah?!"
Amy menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malu? bahkan sejak kecil dia sudah terbiasa menjadi sosok memalukan, jadi kata malu sepertinya tak dapat mempengaruhinya sama sekali.
"Kita kan melakukannya hanya berdua, kalau ramai-ramai baru aku bisa merasa malu." Ujar Amy yang membuat kekesalan Heinry bertambah.
Sebenarnya harus bagiamana mengatakan kepada Amy bahwa apa yang mereka lalui semalam bukanlah hal yang sederhana. Heinry sudah di jodohkan dengan teman masa kecilnya yaitu, Cheren. Jika saja apa yang terjadi ini sampai di ketahui orang tuanya dan juga pihak Cheren, ini benar-benar akan menghancurkan segalanya bukan?
"Sudahlah, Heinry yang tampan. Aku tahu kok kalau kau pasti sedang sangat kesal karena kejadian semalam, tapi di banding hanya merasakan kesal saja, bagaimana kalau kita lakukan sekali lagi? Aku sebenarnya sudah cukup yakin bisa hamil, tapi tidak ada salahnya kalau melakukan sekali lagi untuk berjaga-jaga kan?"
Heinry menatap Amy dengan tatapan kesal, membuat Amy segera mengalihkan pandangannya.
"Jangan bicara lagi kalau hanya itu yang ingin kau katakan! Aku tidak akan melakukannya denganmu lagi, dan jangan berani-beraninya menjebak ku lagi!"
Amy sebenarnya masih belum ingin menyerah seandainya saja dia belum hamil. Memang sih Cheren itu sangat galak dan sering mengancam Amy untuk tidak mendekati calon suaminya, mengganggu seperti wanita murahan saja. Ya ya ya! Memang murahan, seratus dapat tiga! Bonus ada juga! Tapi ya, tekad Amy benar-benar semakin besar setiap harinya jadi peringatan sekeras dan semenakutkan apapun benar-benar tidak akan menghentikan Amy.
Melihat bagaimana Amy berekspresi, Heinry benar-benar yakin benar kalau Amy pasti tidak akan menyerah begitu saja.
"Kalau kau tidak menghentikan perbuatan gila mu, kau benar-benar akan membuat semua orang muak dan menganggap mu gila juga murahan. Kau tahu kan gadis normal pada umumnya tidak akan seberani dirimu?"
Amy kembali menghela nafasnya.
"Aku mau mengelak, nyatanya aku memang bukan mahal. Aku memang murahan, dan juga gila. Sudahlah, aku benar-benar tidak terpengaruh kok kalau cuma karena hal itu."
Sudah, cukup! Heinry benar-benar sudah tidak ingin bicara lagi karena apapun yang akan dia katakan pasti tidak akan pernah membuat Amy mengerti.
"Baiklah, mengenai apa yang terjadi semalam, kau tahu bahwa kondisinya sulit untuk-"
"Oh, tentang itu! Jadi sejak tadi kau banyak mengomel karena hal itu? Tenang saja, aku kan sudah bilang aku hanya butuh sper** mu, tidak butuh yang lainnya apa lagi tanggung jawab. Kau memang sangat tampan, kaya, badanmu juga oke. Tapi, aku cuma butuh bibit unggul saja jadi masalah lainnya akan aku tanggung sendiri."
Heinry ternganga keheranan, dia pikir selama ini Amy hanya meledek dan bercanda saja mengenai apa yang dia katakan. Tali kali ini dia benar-benar terlihat sangat serius, seolah dia benar-benar tidak menginginkan Heinry.
Duh!
Rasanya benar-benar kesal, dan tidak terima sekali! Padahal selama ini begitu banyak gadis yang mengejar Heinry, dia biasa di perebutkan dan di puji. Banyak sekali wanita yang menginginkan, memimpikan kebersamaan bersama Heinry, tapi kenapa Amy tidak terlihat menginginkan kebersamaan seperti yang di inginkan para gadis lain.
"Sudah ya, baik-baik di sini menunggu bajumu datang, aku permisi dulu. Nanti kalau aku masih belum hamil, aku akan datang lagi minta sper** mu!"
Setelah mengatakan itu Amy meninggalkan Heinry di kamar hotel seorang diri dengan keadaan duduk di atas tepat tidur tanpa mengenakan sehelai benang pun. Sial! Heinry benar-benar kesal sekali, dan karena Amy sudah pergi dia bisa bangkit dan berjalan ke kamar mandi dan sementara dia akan menggunakan jubah mandi terlebih dulu.
Setelah kejadian itu Amy benar-benar tak muncul sama sekali, dia benar-benar berada di apartemen sewa dan menunggu kapan dia akan melakukan uji kehamilan. Amy juga melakukan aktivitas kuliahnya melalui online sehingga dia seperti menghilang begitu saja membuat Heinry benar-benar bingung dan tanpa sadar Heinry terus menanti kedatangan Amy.
Tiga Minggu setelahnya.
Amy tersenyum lebar menatap benda kecil, yang kini berada di tangannya.
Tes kehamilan!
Dia hamil!
"Bagus, ini benar-benar bagus!" Amy memeluk alat uji kehamilan itu sembari tersenyum lebar, dia benar-benar begitu bahagia karena ini adalah hal yang begitu ingin dia dapatkan.
"Waktunya untuk berpetualang, nak! Ucapkan selamat tinggal dengan vitamin dan lainnya, aku sudah hamil!"
Bersambung.
Amy mengemas semua pakaian, dan juga barang-barang yang dia butuhkan. Dia benar-benar mantap untuk meninggalkan negara kelahirannya menuju negara di mana dia akan melanjutkan kuliah seusai dengan beasiswa yang dia dapatkan. Bukan tanpa persiapan, Amy sudah menyiapkan semua itu sejak dua tahun yang lalu.
Rumah peninggalan neneknya, juga tanah dan beberapa perhiasan sudah dia jual sesuai titah neneknya yang meminta Amy menjual semua peninggalan jika suatu saat di butuhkan. Rumah dan batang yang di tinggalkan neneknya akan menjadi rebutan, masalah suatu hari nanti makanya neneknya sudah mengatasi semua itu dari jauh hari sebelum dia meninggal. Dia memang memiliki banyak cucu, tapi tidak bisa di pungkiri rasa sayangnya terhadap Amy memang melebihi rasa sayangnya kepada anaknya sendiri apalagi Amy sudah seperti anak yatim piatu sejak kecil.
"Hehe......."Amy benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, tertawa bahagia karena di dalam perutnya sudah ada calon anak. Meskipun dokter yang biasa dia kunjungi menyarankan untuk tidak melakukan apa yang dia rencanakan, tapi Amy benar-benar tidak goyah sedikitpun.
Gila? Mungkin memang seperti itu, dia bukan cukup tahu diri dan sadar diri bahwa dia memang tidak tahu malu. Tapi ya, ini adalah tentang cita-cita yang dia sangat impikan. Memiliki anak dari pria yang tampan, memiliki tubuh tegap dan gagah, memiliki kecerdasan, juga memiliki kualitas diri yang hebat.
"Aku benar-benar tidak menyangka kalau kau akan berhasil." Ucap sahabatnya Amy yang bernama Edith. Dia adalah satu-satunya teman yang begitu dekat dengan Amy, mengetahui hampir segalanya tentang Amy. Hubungan persahabatan mereka sudah terjalin sejak empat tahun terakhir. Edith juga adalah anak dari pasangan broken home seperti Amy, hanya saja orang tua mereka hanya menikah sekali setelah bercerai.
Amy mengangguk bangga kepada dirinya sendiri.
"Kau mungkin tidak akan tahu bagaimana rasanya hatiku saat ini, aku benar-benar bangga terhadap diriku sendiri karena berhasil mendapatkan benih unggul! Lihat saja, aku akan menjadi Ibu yang baik, dan juga Ayah yang baik!" Amy mengangkat tunggi kedua tangannya dengan bangga seolah hamil tanpa suami adalah kebanggaan, ah! Mungkin Amy menganggap kehamilannya semacam piala Oscar.
"Jangan membayangkan sesuai drama, wanita hamil tanpa suami akan menjadi gunjingan, anakmu juga akan menanyakan kemana Ayahnya, dan kau juga pasti akan repot! Lebih baik kau beritahu Heinry saja! Aku tidak sanggup membayangkan kau harus menjalani ini seorang diri, perutmu akan membesar beberapa bulan kedepan!"
Amy hanya menghela nafas, tentu saja dia sudah tahu. Sejak awal dia sudah benar-benar menyiapkan diri, masalah biaya, pekerjaan, dan masa cuti untuk melahirkan, lalu kesiapan mental. Tentu saja akan sulit menjalani kehamilan, bahkan jika ada suami pun banyak wanita yang mengeluh. Tapi tekad untuk memiliki anak sudah sebesar planet Jupiter.
"Jadi, kalau nanti anakmu sudah lahir dan kau tiba-tiba menginginkan anak lagi, apa kau juga akan melakukan hal yang sama?" Tanya Edith yang sebenarnya masih keheranan dengan Amy. Sungguh berbeda sekali dengan dia yang tak menginginkan anak karena takut jika anaknya nanti akan merasakan apa yang dia rasakan.
Amy nampak berpikir sebentar sebelum menjawab apa yang di tanyakan Edith padanya.
"Kalau bisa sih cari yang lebih dari pada Heinry, tapi kalau masih tidak menemukan yang lebih ya terpaksa memperkosa Heinry lagi."
Brep........!
Edith yang tengah menenggak air dingin karena kehausan membatu Amy membereskan barang benar-benar tidak bisa menahan diri mendengar jawaban Amy, dia menyemburkan air minum di mulutnya.
Semoga Tuhan melindungi mu dari betina gila ini, Heinry.
Di sisi lain.
Heinry menghela nafasnya, dia benar-benar bingung dengan Amy yang menghilang begitu saja setelah malam itu.
"Sialan! Perempuan gila itu benar-benar menghilang begitu saja? Cih! Kenapa aku justru merasa aku ternodai padahal tidak akan ada yang tahu juga karena aku tidak memiliki bekas kan? Ah, sebenarnya perempuan gila itu pergi kemana sih?!"
Heinry memutuskan untuk meninggalkan kampus karena memang sudah jamnya. Rasanya benar-benar aneh sekali karena sudah tiga Minggu ini Amy menghilang, biasanya Amy akan muncul di manapun seperti bayangan Heinry sendiri.
Satu jam di dalam perjalanan, akhirnya Heinry sampai di rumah dan rupanya sudah ada tamu yang menunggunya.
"Akhirnya pulang juga, lihat tuh! Cheren dan orang tuanya sudah datang untuk makan malam bersama."
Heinry menatap kedua orang tua Cheren, tersenyum dan menyapa dengan sopan, lalu baru dia tersenyum kepada Cheren.
"Heinry, cepat bersihkan badanmu, lalu turun lagi ke bawah untuk bergabung bersama kami." Ucap Ibunya Heinry yang membuat Heinry langsung mengangguk setuju.
Seperti yang di katakan Ibunya, segera dia berjalan cepat menuju kamarnya. Heinry meletakkan tas dan ponsel yang sejak tadi dia pegang bersamaan dengan kunci mobil. Sebentar dia duduk di pinggiran tempat tidur sembari melepaskan kemeja yang dia gunakan. Matanya teralihkan kepada laci yang dia gunakan untuk menyimpan benda aneh yang di tinggalkan Amy malam itu.
Heinry berpikir sebentar, lalu kembali membuka laci itu dan mengeluarkan benda yang dia maksud.
"Benda aneh ini, kenapa aku harus menyimpannya sih?!" Gumam Heinry dengan kesal sembari menyentuh dengan ujung jari telunjuk dan Ibu jarinya, matanya menatap jijik. Benda itu adalah, kain segitiga milik Amy dan juga sebuah catatan kecil yang membuat Heinry benar-benar kehilangan kata-kata. Kain segitiga yang di gunakan Amy untuk menutup bagian anunya, ada noda darah yang tertinggal, dan jelas noda darah itu adalah darah yang keluar sebagai bukti bahwa Amy masih suci kala itu.
"Cih! Dia benar-benar berniat sekali membuatku kesal dengan menyeka darahnya di benda ini? Apalagi catatan yang dia tinggalkan itu, rasanya membuatku begitu kesal, yang lebih kesalnya lagi adalah, aku tidak memiliki niat untuk merobeknya."
Lihat nih! Lihat noda darah yang berasal dari keperawanan ku! Kau harus terus melihat ini supaya kau ingat kalau aku yang rugi, bukannya kau! Aku dengar kau akan menikah, jadi aku doakan kau bahagia selalu. Ingat ya, kalau aku belum hamil, aku akan datang lagi padamu! Ingat juga kalau kau menolak, aku akan mengatakan kepada seisi dunia bahwa aku telah memperkosamu! Oh, bukan! Kau telah memperkosaku!
Heinry menggeleng keheranan. Sungguh dia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa, sebenarnya dia kesal sekali dengan Amy, tapi dia juga tidak bisa melakukan apapun karena dia juga ingat kalau rasanya memang sangat enak.
"Duh!" Heinry menjauhkan benda itu, memasukkan kembali ke dalam laci, segera dia berlari ke kamar mandi karena si kemoceng miliknya justru mudah sekali bereaksi hanya dengan membayangkan saat dia dan Amy sedang anu!
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!