Ernest masih menunggu seseorang di bangku bandara, diiringi celotehan mama Iren yang membekalinya makanan-makanan khas tanah air kesukaan Ernest, yang mungkin tak ada di Mesir sana.
"Nest, ini rendang nanti di kost'an kamu angetin aja. Terus masuk ke kulkas, ini mie instan jangan tiap hari dimakan...seminggu maksimal 2 aja, banyak minum karena disana cuacanya panas..." cerocos mama Iren lagi, padahal Ernest lebih sibuk celingukan ke arah pintu masuk bandara, berharap seseorang ikut mengantarnya.
Roda itu memutar begitu kencang demi mengejar seseorang, sampai suaranya sesekali berdecit. Kemacetan kota tak dapat ia hindari termasuk waktu yang tak bisa senggang.
Ernest pergi hari ini, begitupun Aisya yang harus datang ke kampus untuk daftar ulang camaba.
"Aduh! Telat deh kayanya ini, Nis!" keluhnya kesal, kesal karena harus terlambat, kesal jika ia tak sampai mengucapkan sampai jumpa pada Ernest, her Adam.
Ia bahkan meminta para pengunjung bandara untuk menyingkir dari jalannya, "awas air panas lewat!!!" teriaknya, Nistia yang setengah berlari membantu mendorong dan mengarahkan Aisya tak sanggup untuk tak tertawa.
Namun suara announcer itu membuat keduanya diam sejenak demi menyadari jika keberangkatan menuju Mesir sudah siap boarding.
Aisya memutar roda kursinya, tanpa ingin membuang waktu lagi. Ia sudah berusaha sekuatnya, hingga tangannya terlihat memerah dan kotor.
Mereka bertemu benar-benar di penghujung, "Ernest!"
Ernest yang sudah berjalan melewati pintu menoleh kembali, namun sayang....deretan penumpang di belakangnya meminta Ernest untuk segera masuk mengingat antrian sudah mengular panjang.
Dengan jarak yang jauh dan berbatas ruang, keduanya akan mengingat wajah itu satu sama lain.
Ernest melambaikan tangannya, "see you!"
Ada rasa menyesal namun Aisya tak dapat menyalahkan takdir, mungkin ada maksud baik Tuhan disini, untuk menjaga pandangan satu sama lain.
"Jika kamu memang Adamku, aku yakin Allah akan menjaga ragamu, matamu, telingamu, dan hatimu hingga kamu kembali."
"See you again, my'Adam!" Aisya melambaikan tangannya pada Ernest hingga pemuda itu hilang dari pandangan.
"Aisya, kenapa telat?" tanya mama Iren dan papa Edo. Semenjak kejadian kecelakaan itu, hati mama Iren dan Papa Edo melunak, hubungan mereka membaik seiring waktu bersama rasa menerimanya mereka dengan keyakinan baru Ernest.
"Annuuu tante, barusan Ai abis dari kampus dulu...ada urusan camaba yang harus dikelarin, di jalan juga agak macet tadi," jawabnya hampir menumpahkan tangisan, katakanlah ia se-cengeng itu, hatinya kesal saat tak bisa menatap Ernest dari dekat untuk yang terakhir kalinya.
"Mau pulang? Om Anter?" tanya papa Edo, Aisya mengangguk menerima, keempatnya kini pulang.
"Sabar ya Sya, anggap aja ldr ini buat nguji keteguhan hati kalian berdua, biar rindunya pol-pol'an, jadi nanti balik-balik langsung nikah deh!" bisik Nistia mengusap pundak Aisya.
"Ck, apa sih!" tiba-tiba saja pipi chubby itu merona, ucapan Nistia seiras dengan permintaan Ernest yang mengatakan jika ia meminta do'a, semoga saja setelah pulang dari Mesir, jalannya dimudahkan untuk meminang Aisya. Ia mau, menjadi lelaki layak untuk bersanding dengan Aisya.
"Assalamu'alaikum my'Hawa,"
Layar pipih itu selalu menampilkan wajah yang selalu Aisya rindukan setiap harinya.
"Wa'alaikumsalam,"
Kondisi itu bertahan di awal-awal mereka melakukan long distance relationship, setiap malam Ernest akan menghubungi Aisya, entah itu vicall atau lewat sambungan telfon biasa. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan kesibukan masing-masing lambat laun intensitas panggilan keduanya semakin berkurang.
"Nest, tugas minggu depan udah. Mister Abu minta jangan sampai telat,"
"Sip!"
"Jangan lupa kajian sore ini,"
Ernest mengusap wajahnya kasar dan mengangguk singkat, ia hanya mengacungkan jempolnya di udara seraya berjalan di koridor kampus.
"Kabar Aisya gimana ya? Udah berapa hari gue ngga denger kabar..." pemuda ini menelusuri jalanan menuju kost'annya pukul 3 siang waktu setempat, itu artinya di Indonesia pukul 7 malam.
Ia menaruh tasnya di kursi meja belajar, bersama ia yang duduk di tepian ranjang single.
Tuutt....tuut....
Ernest menggelengkan kepalanya sekali, tapi ia tak patah semangat dan terus mencobanya.
Tuutt....tuutt....
"Ck! Apa Aisya lagi solat ya? Atau lagi belajar?" Ernest mencoba mengetik pesan menanyakan kabar dan keberadaan Aisya macam anak-anak muda yang dilanda rindu setengah kejer!
Namun, baru ingin mengirimkannya Ernest ragu, "ah! Kaya anak alay aja tiap waktu di kirimin pesen, nanti Aisya ngamuk-ngamuk lagi, iya my'Adam....kan akunya mahasiswi sekarang bla...bla...bla..bla...bla!" Tiru Ernest begitu hatam dengan ocehan Aisya yang selalu kesal jika Ernest posesif.
Padanan kalimat yang telah tersusun rapi membentuk sebuah pertanyaan dasar akhirnya terhapus lagi hingga kosong, kemudian Ernest menaruh ponselnya di samping sementara diringa merebahkan diri.
Ia menoleh, menatap sebuah frame foto dengan potret wajah chubby di atas kursi roda dalam balutan kebaya nan cantik mendekap sebucket bunga juga boneka beruang yang di wisuda, yap! Itu dimana hari kelulusan mereka dari SMA.
Ernest dan Aisya saling bertukar bucket bunga, Aisya akhirnya mau difoto meski wajahnya ia buat sekonyol mungkin.
Ernest tertawa sendirian di dalam kost'annya mengingat reaksi Aisya saat foto itu Ernest cetak, ia kesal! Benar-benar kesal sampe ngga mau jajan 10 menit. Abis itu, uang jajan Ernest hari itu ia gasak hingga tak bersisa.
"Sya, tunggu aku pulang."
Aisya baru saja melaksanakan ibadah di pagi hari, selepas subhh Aisya baru ingat jika baterai ponselnya habis semalam, gadis itu menggeser duduknya alias ngesot ke arah nakas samping kasur dan mencolokan chargeran.
"Loh, semalem Ernest telfon?" Aisya menimbang-nimbang saat jarinya hanya tinggal menekan tombol hijau.
"Eh, tapi...jam segini masih malem disana. Takut ganggu Ernest sepertiga malam atau justru tidur!" Aisya menggeleng dan lebih memilih menaruh ponselnya, lantas gadis itu merambat meraih kursi roda dan duduk disana.
Begitu setiap harinya, sampai keduanya benar-benar melupakan komunikasi karena kesibukan yang semakin dibebankan pada keduanya sebagai mahasiswa.
"Sya!"
Nistia berlari dari fakultasnya menghampiri si gadis cantik berkursi roda dari fakultas astronomi.
"Jajan yuk, laper!" ajaknya menaik turunkan alisnya.
"Kemana? Eh Gibran, Ajeng sama Ardi ada wa ngga? Katanya jadi kan siang ini?!"
Nistia menepuk jidatnya, "ah iya! *poho* kan!" (lupa)
"Dimana? Coba wa lagi, biar bisa nge-fix'in! Mumpung Ai lagi kosong, biar nanti Ai ajak juga Retno sama Ayu."
Nistia mengangguk, mengechat mereka di wa grup, diantara mereka hanya nomor Ernest lah yang jarang on. Aisya menunduk menelan kekecewaan, apakah sesibuk itu? Atau justru Ernest sudah mengganti nomornya dan melupakannya? Apakah disana Ernest telah menemukan hawanya yang baru? Ia melihat panggilan terakhir Ernest dua bulan yang lalu. Aisya sering mengurungkan niatannya menelfon Ernest dengan alasan takut mengganggu dan membuat Ernest risih karena merasa Aisya posesif.
Ternyata long distance relationship tak semudah diucapkan, Aisya meloloskan nafasnya berat.
Aisya mulai ragu dengan hubungannya dengan Ernest, apakah akan seawet formalin? Ataukah akan kandas begitu saja terhembus angin malam....
.
.
.
.
.
Diantara keramaian, Aisya merasa dirinya sendiri. Hening, sepi, hanya ada ia dan kesenyapan, itung-itung latihan persiapan nanti dikubur! Cuma ada dia berteman amal-amalannya.
Sapuan tangan Ajeng tiba-tiba menyentuh keningnya, "Sya, kamu ngga apa-apa, sakit? Dari tadi diem terus?!" kekeh Ajeng setengah berseloroh, masalahnya wajah Aisya udah kaya ayam ngga makan 3 hari, lesu, lelah, kuyu.
Sontak saja semua pasang mata teman-teman lain menatapnya intens, menunggu jawaban Aisya. Aisya merasa mirip terduga maling tabung gas melon ditatap kompakan begini.
"Engga ih! Aku ngga sakit," gelengnya.
"Laper? Laper?" tembak Ayu.
"Inget ayang mbeb meren!" goda Ardi tertawa, dibalas tawa yang lain.
"Heem, lah! Sya, si Ernest kemana sii jarang nongol di wa, malah udah ngga pernah ya?!" tanya Retno. Pertanyaan Retno malah semakin mengingatkan Aisya pada Ernest.
Gadis berjilbab mustard ini menatap temannya satu persatu, harus ia jawab apa pertanyaan Retno, karena ia pun tak tau. Ingin menangis rasanya jika mengingat Ernest begini, biasanya ia yang akan selalu paling heboh, paling gombal dan paling-----paling usil!
Ernesttt! Pulaaaanggg! Rindu itu nyusahin! Jeritnya dalam hati.
"Ya sibuk atuh Ret! Belajar, kajian, pengajian, bimbingan, belum lagi ibadah sunnahnya! Masa sibuk dagang kulub suuk!" ujar Gibran, kembali mereka tertawa.(kacang rebus)
"Dasar gelo kamu mah!" dorong Nistia.
Aisya pulang dengan diantar Retno dan Nistia menggunakan taksi online, kebetulan rumah mereka searah, jadi bisa barengan.
Rumahnya sudah ramai, sejenak Aisya berpikir sekeras baja, "ada apa ya?!" namun kemudian Aisya menepuk jidatnya, "astagfirullah! Kenapa Aisya bisa sampe lupa!" Ai mendorong roda kursinya hingga menyentuh pagar rumah, tangannya terulur untuk mendorong pintu.
Sebuah mobil seribu umat sudah terparkir di samping mobil abi. Sepatu dan sandal pun cukup banyak berserakan di teras rumah, itu artinya di dalam sudah banyak orang.
"Kayanya a Sandi sama keluarganya udah datang," Aisya menarik nafas panjang lalu meloloskan nafas kasar.
Gadis itu memilih memgambil jalan nyempil ke halaman samping yang langsung ke arah garasi lalu ke dapur.
Cicitan roda, kursi rodanya tak sekencang suara tawa nan riuh cengkrama di dalam, yeah! A Sandi adalah putra dari pak Ibra...teman abi. Sudah jelas abi, umi, a Ikhwan, teh Raudhah termasuk dirinya akan menerima baik keluarga itu.
"Assalamu'alaikum..." cicit Aisya pelan selagi umi menyiapkan makan besar masakannya untuk tetamu.
"Wa'alaikumsalam. Ai....dari mana aja, a Sandi sama om tante udah dari tadi?! Ada Sifa juga tuh di depan, nanyain Ai dari tadi...."
Aisya nyengir, "lupa mi, tadi ketemu temen-temen SMA dulu, reunian singkat," jawab Aisya.
"Ya udah, ke depan dulu deh! Buat ketemu mereka," pinta umi diangguki manis oleh Aisya.
"Assalamu'alaikum, om, tante, a Sandi, Sifa!"
"Nah ini dia yang ditungguin! Sesibuk itu ya Sya?!" kekeh tante Yuni. Aisya nyengir lebar, "hehe, barusan kegiatan di luar kampus tan, biasalah anak muda!" jawabnya.
"Gayanya! Ck---ck!" cibir Ikhwan.
"Iyalah, kalo aa kan udah tua. Jadi kerjanya kalo ngga di percetakan ya rumah! Ngelonin teh Arin! Sambil ngelusin calon anak, bentar lagi juga jadi calon bapak-bapak rumah tangga !" tawa Aisya memantik riuh tawa penghuni lain.
"Sya, sombong ya kamu sekarang ih!" peluk Sifa, teman Aisya sejak kecil, meskipun mereka jarang bertemu.
"Apa kabar, Fa! Kangen tau!" jawab Aisya membalas pelukan Sifa dan mengusap-usap punggungnya, "kamu masih kurus aja Fa, kayanya tante Yuni sama om Ibra ngga kasih kamu makan!" lanjutnya dicebiki Sifa.
"Uluhh, ini kalo udah ketemu! Kaya bulu sama ketek!" ucap om Hardi.
"Bulu ketek dong bi," jawab Sandi, "Sya, gimana kabarnya?" seorang lelaki cukup dewasa, yang mungkin sebentar lagi akan menjadi anggota keluarga rumah ini tersenyum ramah, "alhamdulillah a, masih tetep cantik!" jawabnya, pundaknya langsung di dorong Raudhah dan Ikhwan.
"Huuu! Pede abis!"
Abi dan para orangtua lain hanya bisa tertawa.
"Ini nih! Ini, yang bikin a Sandi ngga bisa berpaling ke lain hati!" jawab Sandi membalas kelakar Aisya.
"Udah sana, biasanya juga anak kecil mah ngamar!" ujar Raudhah.
"Aduhhh, bahasanya udah ngamar aja Ra?!" goda teh Arin mengusap perutnya yang sudah masuk bulan hpl, Aisya tergelak dan langsung dibekap dengan kue bolu oleh Raudhah.
"Emhhh!" Aisya mengepalkan tangannya hendak memukul kakaknya itu.
"Aduhhh! Gini nih teh, kalo udah ngumpul semua rame! Berisik, bikin pusing!" ujar umi pada tante Yuni.
"Ah biasa itu mah! Justru rame!" senyumnya.
"Teteh ih, kalo mau nyuapin tuh kasih aba-aba dulu!" sungut Aisya, "hayuk Fa, ke kamar Ai yuk!" ajaknya mendelik pada Raudhah yang sudah memeletkan lidahnya disetujui Sifa.
"Sini Sifa bantuin, Sya! Bentar lagi kan kita sodaraan!" imbuh Sifa tertawa renyah.
Aisya menatap Sifa, saat mendengar sodara, hatinya mencelos mengingat janji Ernest. Kepercayaannya terhadap hubungannya dan Ernest yang serapuh kulit bakpia semakin terkikis.
Aisya sudah benar-benar diambang keraguan. 5 tahun bukan waktu yang sebentar, tanpa kabar, tanpa pesan...... Mungkin jika dalam waktu dekat Ernest tak jua menghubunginya, ia tak janji bisa bertahan. Aisya menyerah....
"Apakah janjimu masih bisa kupegang, Nest? Berapa lama lagi?!"
Sudah begitu lama Sifa tak masuk ke kamar Aisya, "udah berapa lama ya Sya, Sifa ngga kesini?" tanya nya mendorong kursi Aisya.
"Emhh, sekitar!" jawab Aisya tertawa.
Sifa langsung menjatuhkan badannya di kasur Aisya, "inget ngga Sya kalo kita dulu sering nyolongin belimbing di depan, rumah ketiga dari sini yang cat rumahnya warna tosca?" Sifa memejamkan matanya sambil mencoba bernostalgia dengan masa kecil mereka.
Aisya membuka kerudungnya dengan menarik satu persatu peniti dan jarum pentul dari sana, kemudian menaruhnya di busa bentuk kepala hello kitty depan cermin riasnya.
Surai hitam nan indah dan wangi yang selalu ia jaga, hanya akan ia tunjukan pada keluarga, dan mahromnya kelak.
"Inget, yang abis itu nanti a Sandi yang bakal minta maaf sama gantiin uang sama si empunya rumah, pak Aji?!" Aisya tersenyum lebar demi mengingat masa-masa kecilnya yang bandel.
Sifa bangkit dan duduk di kasur, melipat kaki hingga bersila, "iya bener! Abis itu kita kena omel sama jewer!"
Aisya mengangguk menyetujui ucapan Sifa, "Hah! Jadi kangen masa-masa itu, Sya." Sifa berucap merindu.
Netranya teralihkan dengan sebuah frame foto berukuran 2R tepat di belakang badan Aisya yang merupakan meja belajar.
Foto sama dengan yang dimiliki Ernest namun berbeda gaya, ia, Ernest dan yang lain berfoto bersama saat kelulusan, namun Aisya dengan sengaja melipat bagian orang lain, hanya ada ia dan Ernest saja...
Ia dengan kebayanya dan Ernest dengan jasnya.
"Ee...eee...siapa itu, Sya?!" Aisya langsung menoleh ke arah tatapan Sifa dan segera menutup frame foto, memasukannya ke dalam laci meja, "ah bukan! Ngga penting Fa."
Sifa menatap usil dan menunjuk Aisya, "emhhh, mau main rahasia-rahasiaan! Coba aku liat?!"
Aisya menggeleng, "temen! Beneran ini cuma temen-temen, banyakan kok!" Aisya mengelak tak ingin Sifa melihat kelakuannya yang memajang foto seorang lawan jenis.
.
.
.
.
.
.
Hari demi hari dijalani mengalir seperti air, kemana takdir Allah membawa maka disitu nasib manusia bermuara.
Aisya masih tetap berada di kursi rodanya, meski ada perkembangan kesehatan, tapi itu tak cukup signifikan.
"Dok, kalo Aisya minta jadwal terapi minggu depan dimajuin gimana?" tanya nya membenahi pakaian dan memutar roda kursinya menghampiri dokter fisioterapinya itu.
Ia masih terus berikhtiar demi kesembuhan, karena Aisya percaya Allah tak akan pernah tidur, mukjizat itu nyata adanya. Jika Allah berkehendak semuanya akan terjadi.
"Emhhh, liat jadwal dulu sebentar ya?! Kalo ruangannya kosong, terus saya juga lagi ngga ada jadwal terapi, bisa kita rubah harinya....sebentar," wanita ini merogoh ponsel dan menghubungi seseorang.
Aisya menatap penuh harap selagi dokter Dewi mengecek jadwalnya pada asisten perawat.
Senyum tercetak lebar ketika Aisya mendengar kabar baik dari obrolan dokter Dewi yang berhasil telinganya tangkap.
"Bisa dok?" tukas Aisya bertanya dengan mata berbinar.
"Bisa, alhamdulillah." Dokter Fisioterapi Aisya itu tersenyum hangat.
"Alhamdulillah!"
"Salam buat umi mu, Sya."
"Pasti dok, makasih. Kalo gitu Aisya pamit, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," ia tersenyum simpul melihat Aisya, ada rasa getir namun salut pada gadis itu, Aisya adalah pasien termuda yang diterimanya 5 tahun lalu. Di usia semuda itu, Aisya mengalami kelumpuhan, namun gadis itu tak pernah mengeluh apalagi menyerah untuk kesembuhan.
Support system yang dimiliki Aisya begitu kuat.
"Gimana?" tanya Raudhah yang mengantar Aisya terapi untuk ke.....entah, mereka tak menghitung berapa banyak usaha demi kesembuhan Aisya. Cicitan roda masih setia menemani hari-hari Aisya.
"Alhamdulillah bisa teh," jawabnya cepat. Setidaknya terapi-terapi ini mencegah Aisya dari komplikasi seperti organ kaki yang menyusut karena lamanya ia tak berjalan dan membiasakan otot-otot kakinya agar bisa berjalan kembali.
Raudhah mendorong kursi Aisya ke depan lobby rumah sakit, dimana mobil taksi online sudah menunggu mereka.
"Aku udah ngajuin cuti kak, buat acara minggu depan..." ujar Aisya.
"Beneran, bisa?"
Aisya mengangguk, "bisa dong, Ai kan udah setaun kerja disana..."
Prospek kerja bidang astronomi memang begitu prestisius, dan Aisya cukup beruntung bisa diterima bekerja di lembaga koordinasi kementrian riset.
°°°°°°
Ernest memasukan beberapa potong pakaiannya ke dalam koper. Cukup sudah! Ia tak bisa lagi menahan rindu yang selama 5 tahun ini ia tahan.
Dan hari ini, ia akan kembali menanyakan perasaannya pada Aisya, gadis yang selama ini selalu menghiasi bunga tidurnya, gadis yang selama ini menjadi alasannya tetap memperjuangkan mimpi.
"Apa kabar kamu, my'Hawa? Kamu rindu aku ngga? Kebangetan kalo ngga!" gumamnya bermonolog seraya merapikan barang-barangnya.
Netra hitam Ernest jatuh pada selembar surat dari sang mantan dosen yang memintanya menjadi asisten dosen, dan rekomendasi untuk meneruskan pendidikan magisternya di Al Azhar agar nantinya ia di promosikan sebagai dosen setelah gelar cumlaude didapatnya saat lulus kemarin.
Ada lengu han kasar dari Ernest saat ia meraih surat itu, Ernest kembali membaca dengan seksama dan duduk di tepian ranjang, menimbang-nimbang muara dari keputusannya nanti.
Gelar dan prospek kerja perstisius di depan mata, perjuangannya selama duduk di bangku kuliah dan jauh dari keluarga membuahkan hasil yang manis. Selangkah lagi ia bisa meraih apa yang dicita-citakan untuk menjadi seseorang yang dikenal di bidang fisika, tidak menutup kemungkinan ia akan menjadi guru besar.
Namun, memang ada sesuatu yang harus dikorbankan bukan? Waktu, jarak, pikiran, dan....Aisya. Bagaimana jika Aisya menyerah dengan hubungan jarak jauh mereka, sekarang saja...ia tak tau bagaimana keadaan Aisya, sedang apa gadis itu! Ck!
Ernest tak akan ragu lagi, ia melipat surat itu menjadi 2 dan memasukannya di saku koper lalu bergegas memeriksa semua inci kamar kostnya.
"Nest, jadi pulang kau ke Indonesia hari ini?" tanya Iko, sesama mahasiswa asal Indonesia. Pria kriwil pendek bergamis putih ini baru saja keluar dari dalam kamar kost'nya dan bersandar di pintunya.
"Jadi, Ko." angguk Ernest seraya memutar kunci kamar.
"Ha, berapa lama kau balik?" tanya nya lagi.
"Sampai dapat jawaban," kekeh Ernest menyugar rambut yang agak gondrong, beberapanya ia ikat dengan karet jepang, namun tetap saja anak-anak rambutnya mencuat keluar nakal.
"Jawaban apa, cinta?!" tembak Iko tertawa keras. Iko terkejut saat Ernest mengangguk membenarkan jawabannya.
"Wah, awak punye kekasih kah akhi?!" tanya Indra ikut menimpali, ia baru saja beres makan memasak mie instan dan jongkok di gawang pintu kost'annya sambil memegang mangkok beralaskan kaosnya karena mie masih panas, seketika aroma kuah soto khas mie instan menguar memenuhi selasar kost-kost'an yang Ernest dan beberapa mahasiswa asal negri Melayu serumpun tempati.
"Bukan kekasih, calon makmum!" jawab Ernest terkikik.
"Bah, betul? Kalau begitu kita tunggu tanggal baiknya!" jawab Iko diangguki Indra yang sibuk menyeruput mie dan kuahnya, sejurus kemudian Iko bergabung berjongkok di samping Indra dan merebut mangkoknya meminta jatah premannya.
"Salut sayeu pada awak, 5 tahun bukan waktu sebentar, tanpa ikatan, tanpa kabar berita. Awak yakin kah cik Aisya masih single?" tanya Indra sangsi. Ernest diam mendengar pertanyaan dari Indra layaknya patung, karena sejujurnya ia pun memiliki pertanyaan yang sama dengan yang Indra tanyakan.
Lalu ia meloloskan nafas kasar dan mantap menjawab, "insyaAllah!"
Jika ia memang Hawa-nya, maka Allah akan menjaga mata, hati dan perasaan Aisya sampai Ernest kembali.
"Ya sudah lah! Tunggu apa lagi, berangkat lah kau. Jangan sampai si Aisya kau itu menunggu terlalu lama arjunanya yang tak balik-balik karena kelamaan silaturahmi dengan spinx!" tawa Iko kembali keras mengisi setiap sudut kost'an.
Ernest tersenyum lebar, siap menggeret kopernya.
"Oh ya, tawaran mister Omar bagaimana? Kau ambil?! Mau kau bawa si Aisya jadi teman cleopatra?" tanya Iko.
"Masih saya pikirkan," jawab Ernest. "Kalau gitu saya pamit dulu Ko, nanti kalau pulang kabari saya. Siapa tau kita bisa janjian bertemu?!"
Iko mengokei dengan jempol karena mulutnya penuh dengan mie, sampai-sampai mie itu masih menggelantung di mulutnya.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam..."
Di antara cuaca panas Ernest menghentikan taksi menuju bandara.
"Tunggu aku kembali, Sya."
Ernest tersenyum lebar, ia tidak membawa oleh-oleh apapun lhas negri piramida untuk keluarga papa--mama, grandpa, ataupun keluarga Aisya. Hanya oleh-oleh kecil untuk Aisya.
Lelaki itu bersandar di bangku pesawat kelas bisnis, lalu menatap dua buah tiket umroh.
MUKADIMAH UMROH, TOUR AND TRAVEL
"Sesuai janjiku Sya. Akan kubawa kamu ke jabal rahmah sesuai janjiku."
Kemudian ia memasukan itu ke dalam tas gendong bersama sebuah kotak cincin pilihannya dari salah satu jewelry terkenal di Mesir. Lalu ditatapnya pemandangan di luar jendela pesawat, perjalanan akan cukup lama maka ia akan pakai untuk tidur saja.
.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!