"Hei, Sayang...mengapa sedih seperti ini? Suami pulang tidak ingin di sambut dengan senyuman atau minuman hangat?" Suara dari arah samping terdengar. Di mana sosok pria dengan wajah lelahnya menghampiri wanita yang duduk melamun di sofa sederhana itu. Rumah ia biarkan terbuka begitu saja.
Pelan manik mata sendu wanita yang bernama Lili Veronika bergerak menatap pria yang di sampingnya kini.
"Kamu sudah pulang, Sayang? Maaf aku tidak dengar. Aku menyambutmu dengan senyum saja yah? Uang belanja yang minggu lalu sudah habis. Aku tidak membeli gula." tutur Lili dengan pelan.
Sedih dan tak enak mengatakan yang sejujurnya pada sang suami. Tentu saja mendengar itu Raka mengerutkan kening heran. Ia sedih mendengar pernyataan sang istri. Lembut ia menggenggam tangan Lili dan menatapnya dalam.
"Mengapa tidak meminta padaku? Akan ku berikan, Sayang." ujar Raka.
Di depannya kini manik mata Lili menjatuhkan air mata sedih. Melihat kerja keras sang suami yang masih juga tak ada hasil sampai saat ini. Sudah berkali-kali Raka memulai usaha namun semuanya putus di tengah jalan.
"Aku minta maaf masih saja boros, Ka. Seharusnya aku bisa lebih hemat lagi." tutur Lili yang sedih. Pernikahan mereka belum begitu lama namun cobaan terus saja menghampiri mereka.
Bukan ujian dalam pernikahan mereka yang membuat Lili sangat sedih. Namun, dalang dari terjadinya masalah inilah yang membuat Lili sangat sedih. Ayahnya sendirilah yang selalu menggagalkan berbagai rencana sang suami. Pernikahan mereka yang memang sangat sulit mendapatkan restu dari sang ayah membuat Raka harus berjuang lebih keras lagi untuk menghidupi sang istri.
"Tidak ada yang perlu meminta maaf. Aku bekerja untuk mu dan Vindi anak kita. Itu adalah tugasku. Tugasmu adalah di rumah menjaga anak kita, Lili." Pelan Raka menarik tangan sang istri agar berdiri sejajar dengannya. Ia memeluk Lili begitu eratnya.
Lili menumpahkan tangis merasa sangat bersalah pada sang suami. Andai ia bisa melakukan suatu hal untuk semua ini tentu akan ia lakukan.
"Ini ada uang untuk kebutuhan rumah, dan yang ini adalah untukmu. Maaf aku belum bisa memberikan yang banyak. Secepatnya aku janji akan memberikan untukmu pribadi lebih banyak lagi." Air mata Lili menetes melihat satu juta uang di berikan sang suami.
Baginya ini adalah uang yang tidak begitu banyak yang hanya cukup untuk Lili buat ke salon dalam sekali. Tak pernah terbayangkan dalam pernikahan justru ia harus menggunakan uang itu untuk kebutuhan tiga orang.
"Tidak." sahut Lili menggelengkan kepalanya menolak ucapan sang suami. Lantas Raka mengerutkan kening bingung.
"Aku tidak butuh uang untuk diriku. Ambilah separuh untuk kebutuhanmu di luar. Separuh ini sudah cukup untuk di rumah. Aku akan usaha lebih hemat lagi." ujar Lili yang tak ingin membuat sang suami kesulitan dalam keadaan seperti ini.
Raka sangat butuh uang untuk memulai usahanya membuka bengkel otomotif. Maka dari itu ia harus lebih hemat lagi agar bisa membantu sang suami.
"Aku akan berikan lagi jika itu habis. Jangan takut." ujar Raka sembari mengecup kening sang istri.
Keduanya berjalan menuju kamar dimana sang buah hati mereka kini tengah terlelap dengan nyaman. Raka berjalan menatap Vindi. Bocah kecil yang sangat menggemaskan.
"Jangan patah semangat. Kami akan terus berada di sisimu untuk mendukung. Aku sangat mencintaimu, Raka." tutur Lili memeluk sang suami dari belakang.
Sore itu keduanya berkutat di dapur memasak bersama sembari bercanda tawa. Bagi Raka ia tak keberatan jika seharian sudah bekerja dan di rumah kembali membantu sang istri memasak. Baginya memasak bersama adalah hal yang menyenangkan. Lili tak hentinya di buat tertawa setiap kali Raka menggelitik pinggang wanita itu saat mencuci sesuatu di wastafel. Atau sekedar meniup ceruk leher sang istri. Raka memang begitu jahil pada Lili.
“Raka, geli! Hentikan. Aku kotor semua nanti.” keluh Lili namun hanya di sambut gelak tawa oleh pria itu.
Tak sadar jika dari luar rumah ada beberapa orang yang tengah mengintai keduanya. Hanya sekedar melihat pergerakan mereka yang semakin mesra saja. Menyiram bunga setelah usai memasak pun keduanya lakukan dengan anak kecil yang di letakkan di stroller.
Bahagia yang di rasakan Raka mau pun Lili mungkin akan musnah dalam hitungan waktu. Sampai pada waktunya makan malam tiba, ketiganya berada di meja makan. Lili memangku sang anak. Ia mendapat suapan dari sang suami.
“Ayo makan lagi.” pintah Raka namun Lili menggeleng.
“Sudah aku sudah kenyang rasanya. Entah kenapa perasaanku tidak enak sekali.” ujar Lili mencurahkan isi hatinya.
Raka menghela napas kasar. “Ada apa? Ingin ke toilet? Sini Vindi biar aku yang menggendongnya.” Lili menolak. Ia menjauhkan sang anak dari tangan Raka.
“Bukan itu, Ka. Aku hanya merasa gelisah saja. Bagaimana dengan usahamu yang baru buka itu? Pikiranku selalu kesana.” tutur Lili.
“Sayang tenanglah. Semuanya baik-baik saja. Ini bengkel ke empat kalinya aku buka. Meski yang sebelumnya hanya berjalan sebentar dan terpaksa tutup, tapi aku yakin kali ini pasti akan maju. Tuhan sudah memberikan aku tempat yang paling tepat. Ini tempat yang paling aman dan di awasi dua puluh empat jam. Meski biayanya jauh lebih besar sampai aku harus menjual peninggalan almarhum Papah, tapi tidak masalah. Ini usaha yang bagus Papah pasti akan mendukung juga,” Mendengar penuturan sang suami, Lili semakin sedih dan merasa bersalah.
Satu-satunya yang tersisa milik mertuanya harus Raka jual demi mewujudkan mimpinya menjadi pengusaha. Andai saja sang Ayah tidak sejahat itu menghancurkan semua usaha Raka, mungkin saat ini mereka sudah hidup enak meski tak sekaya keluarga Lili. Semua tentu harus di awali dengan yang kecil dulu.
Lili menatap Raka dengan penuh rasa sesal. Ia berulang kali menyalahkan dirinya yang masuk ke dalam kehidupan sang suami. Raka adalah pria baik-baik yang hanya mendapat penilaian negatif dari Ayah Lili.
“Maafkan aku, Raka. Aku minta maaf atas kekhilafan Ayah. Aku tidak tahu mengapa hati Ayah begitu keras untuk menghentikan ini semua. Dan sekarang peninggalan Ayah pun sudah habis terjual. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menghentikan Ayah.” Lili memeluk tubuh sang suami.
Ingin sekali bisa meringankan beban sang suami dengan bekerja, namun anak mereka pun masih sangat kecil dan tak bisa di tinggal. Raka pun tak memberi ijin Lili kerja sebab ia yakin dirinya bisa menghidupi sang istri ke depannya jauh lebih baik lagi.
“Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Apalagi anak gadis cantik dan baik sepertimu. Aku memang pantas mendapat berbagai ujian untuk bisa mendapatkan gadis baik sepertimu, Lili. Aku rela melakukan apa saja untuk bisa bersamamu. Ini adalah ujian yang akan di lewati semua pria untuk mendapatkan wanita sepertimu.” Senyum di wajah Raka tak terlihat sama sekali jika ia sedih.
Baginya semua akan sangat mudah ia lewati selama ada Lili dan Vindi di sisinya.
Seperti hari biasa dimana waktu sore adalah momen yang paling di tunggu oleh Raka ketika ia pulang bekerja. Wajah lelah dan sedihnya yang biasa ia bawa pulang kini tampak tiada. Bibirnya melengkung tersenyum, kedua tangannya menenteng beberapa belanjaan. Pria itu mengetuk pintu beberapa kali sampai akhirnya wajah seorang wanita terlihat di balik daun pintu.
Lili membuka pintu dengan tatapan tak seperti biasa. Sembab di bagian kelopak mata terlihat jelas jika ia baru saja menghabiskan waktu dengan menangis. Sontak hal itu membuat Raka masuk ke dalam rumah dengan wajah bingung. Buru-buru ia meletakkan semua belanjaan dan menarik tangan sang istri ke sofa.
“Lili, ada apa? Apa yang terjadi? Siapa yang membuatmu menangis? Aku ada kabar baik hari ini.” ujar Raka dengan wajah yang terlihat bingung harus senang atau ikut sedih melihat keadaan sang istri.
Tatapan nanar manik mata Lillia jelas menahan air mata. “Aku ingin kita cerai, Raka.”
Kedua bola mata Raka membulat penuh mendengar penuturan sang istri. Ia menggeleng terkekeh. Tentu saja bagi Raka ini adalah sebuah lelucon yang Lili utarakan padanya.
“Sayang, kamu minta cerai karena apa? Hari ini bengkel kita sudah mulai operasi dan hasilnya sangat lumayan. Kamu ragukah dengan kemampuan suamimu ini? Aku mampu Lili membangun usaha dari kecil. Beberapa tahun ke depan aku akan membuka bengkel besar dan perusahaan otomotif yang terkenal. Bersabarlah…” Raka bergerak berdiri hendak memeluk Lili.
Namun, wanita itu justru menahan tangan sang suami yang ingin melingkar di tubuhnya. Lili menggeleng menolak.
Dan detik itu juga ponsel milik Raka sudah berdering. Pria itu enggan untuk mengangkat. Di rumah ini ia sedang menghadapi masalah yang tidak main-main. Baginya Lili adalah hal yang paling utama dari yang lain.
“Angkatlah. Aku pikir itu adalah jawabannya, Raka.” ujar Lili memerintah. Barulah setelah itu Raka mengangkat panggilan telepon.
“Siapa ini?” tanya Raka ketika sambungan telepon terhubung.
“Pilih istrimu dan anakmu atau bengkel ini, Raka?” Suara di telepon itu terdengar jelas jika sang penelpon adalah Ayah mertua.
Lili yang sudah tahu hal itu tentu ingin memberi Raka kesempatan. Ini adalah negosiasinya dengan sang Ayah. Dimana Raka akan memilih bengkel dan bercerai darinya.
Raka menoleh menatap Lili yang menggeleng. Seolah mengatakan jika Raka tak boleh memilih dirinya. Raka harus memilih bengkel itu. Agar bengkel itu tetap utuh dan Lili yang akan pergi dari Raka.
“Apa pun yang terjadi dan sampai kapan pun itu saya akan tetap memilih keluarga saya. Istri dan anak saya adalah harta yang paling berharga dan tak ternilai.” Jatuh air mata Lili mendengar penuturan sang suami.
Pria di depannya benar-benar pria sempurna namun entah apa alasan sang Ayah begitu menolak pernikahan mereka. Rasanya Lili tak percaya jika alasannya hanya karena keadaan Raka yang tak begitu mampu.
“Tidak! Kita akan bercerai, Raka.” sentak Lili pertama kalinya ia meninggikan suara pada sang suami.
Sampai akhirnya Raka menolak. Ia teguh dalam pendiriannya. Dari pilihan sang ayah mertua barusan rasanya Raka sudah tahu apa yang akan terjadi.
“Hiduplah seribu tahun lagi bersamaku, Lili. Aku berjanji akan menghidupimu dengan semua kebahagiaan yang aku usahakan.” Lili menggeleng dan di saat yang bersamaan akhirnya suara pembakaran di seberang telepon terdengar.
Raka tetap tak gentar. Ia menatap sang istri tanpa perduli dengan panggilan video di seberang sana yang menunjukkan bengkel miliknya di bakar. Jika bengkel sebelumnya tutup dengan cara yang di gusur dan lainnya, kini Raka kembali harus memulai dari awal lagi.
Semua keamanan tak berarti ia lakukan ketika Raka menyetujui untuk usahanya di hancurkan. Ingin melapor pihak polisi pun ia tak ingin membuat sang istri sedih dengan ayahnya yang tua di masukkan jeruji besi. Terlebih ayah dari Lili merupakan pria berpengaruh di kota itu.
“Apa pun yang kau kerjakan tak akan bisa berhasil. Kau pria tidak berguna, Raka. Tidak sadarkah kau telah membuat putriku hidup susah? Ceraikan Lili putriku! Kau pria tidak berguna!” Teriakan amarah dari seberang telepon membuat Raka terpejam.
Keputusannya tetap teguh akan mempertahankan Lili. Sementara di depannya Lili sudah menangis sesenggukan. Harta peninggalan sang ayah mertua telah Raka habiskan untuk membuka usaha. Entah sampai kapan sang suami terus berjuang tanpa hasil.
“Aku mohon biarkan aku lepas darimu, Raka. Aku ingin kita hidup tenang. Restu yang tidak kita dapatkan selamanya akan menyiksa hidup kita.” ujar Lili mendekati sang suami.
Sakit rasanya Lili melihat perjuangan Raka yang sia-sia selama ini. Lili ingin kehidupan mereka seperti pasangan suami istri pada umumnya yang hidup tenang tanpa bertentangan dengan orangtua.
“Apa benar kamu ingin perceraian, Lili? Bagaimana dengan Vindi anak kita?” tanya Raka menatap hampa sang istri.
Lili menunduk tak sanggup mengatakan apa pun. Hatinya benar-benar ngilu membayangkan jika pernikahan mereka yang baru seumur jagung sudah harus berakhir.
“Kita bisa memilih. Pernikahan kita berhak untuk kita perjuangkan, Lili.” tambah Raka kemudian.
Lili menggeleng. “Aku ingin kita cerai, aku mohon Raka.” tuturnya lagi.
Raka memejamkan mata. Lelah hati dan pikiran menghadapi semua ini. Entah apa yang harus Raka lakukan kedepannya. Ia tak punya pikiran lagi. Di tambah permintaan Lili yang menurutnya benar-benar mematahkan semangat.
Malam hari usai menikmati makan malam akhirnya Raka baru terlihat duduk termenung. Memastikan jika sang anak telah tidur, barulah ia duduk menyendiri di ruang tengah. Tentu dengan rumah yang tidak begitu besar untuk ia dan sang istri tempati. Berbeda jauh dengan rumah milik orangtua Lili. Tepat pada pukul sepuluh malam Lili berjalan dengan langkah pelan mendekati punggung sang suami yang tengah rapuh. Ia bisa merasakan keputusasaan dari Raka saat ini. Satu-satunya harapan pun tak lagi ada untuk ia membuka usaha.
Pelan lengan Lili memegang pundak sang suami yang duduk menunduk. Raka pun sontak menengadah menatap wajah sang istri. Lili tersenyum mengecup kening sang suami sembari membungkuk.
"Katakan padaku jika kau lelah, Raka. Aku tahu itu sangat melelahkan untukmu." ujar Lili lembut penuh pengertian.
Di awal ia sudah ingin melepaskan hubungan mereka demi Raka bisa hidup dengan tenang. Tak sedikit pun Lili memikirkan hidupnya yang akan tenang kembali seperti sebelumnya bersama kedua orangtuanya. Lili hanya memikirkan kerja keras sang suami pasti akan membuahkan hasil ketika sang ayah tak lagi ikut campur.
"Tidak. Selama ada istriku dan anakku di sini aku tidak akan pernah tahu apa itu lelah. Yang aku tahu hanya ingin kebahagiaan untuk mereka. Tetaplah bersamaku, Lili." Raka berdiri menyambut tubuh sang istri untuk ia peluk.
Keduanya memang begitu saling mencintai sejak pertama kali mengenal hingga menikah dan memiliki anak. Sayang di pertengahan jalan pernikahan justruu badai datang tanpa henti kala ayah dari Lili sangat tak suka dengan Raka dan meminta mereka untuk berpisah.
Berbagai cara Bram lakukan tanpa lelah untuk menghancurkan usaha sang menantu. Lili sendiri pun tidak tahu mengapa sang ayah berubah sedrastis itu. Dan kini Lili perlahan mulai tak bisa melihat penderitaan sang suami. Sebagai menantu yang tak bisa memberikan apa pun, ia merasa tidak tega jika harus mengorbankan peninggalan sang ayah mertua yang di berikan pada Raka justru habis tak bersisa.
"Tapi tempat usaha yang baru saja kau bangun bahkan beroperasi satu hari sudah hancur terbakar. Bagaimana kita ke depannya, Ka? Semua sudah habis." ujar Lili menangis.
Raka justru tersenyum melihat tingkah sang istri yang rapuh. Ia mengusap kedua sisi mata sang istri dan mengecup kelopak mata itu bergantian penuh sayang.
"Aku pasti bisa, Lili." sahut Raka yakin.
Malam yang syahdu pun berlalu dengan keduanya saling memadu kasih di atas ranjang sederhana. Lili menikmati setiap sentuhan sang suami yang membuatnya bergerak tak beraturan di atas ranjang. Pergulatan panas itu berlangsung tidak lama seperti biasa. Lili tahu jika Raka begitu lelah maka dari itu ia pun berinisiatif untuk lebih cepat mengakhiri semuanya.
Erangan panjang keduanya menjadi penutup malam syahdu yang kini semakin larut. Raka memandang bola mata indah sang istri sembari mengusap kepala berambut panjang itu. Keduanya saling tatap dan tersenyum sampai akhirnya mengeratkan pelukan mereka. Barulah Lili terlelap bersamaan dengan Raka.
Singkat cerita waktu malam pun berakhir menjadi pagi yang cerah. Jalanan yang semula renggang kini terlihat mulai padat dengan berbagai macam kendaraan yang berlalu lalang. Mentari pun terlihat semakin bergerak naik dan semakin cerah. Terik yang hangat seolah menjadi penambah energi tubuh yang baru saja bangun dari tempat peristirahatannya.
Pagi yang cerah menjadi semangat baru bagi Raka dan juga Lili. Sepasang suami istri itu saling tersenyum bercanda dengan anak mereka yang masih kecil sekali. Tampak Raka sudah rapi dengan pakaian formal. Pagi ini ia berniat untuk mencari kerja lebih dulu. Setidaknya ada penyambung hidup mereka untuk sehari-hari.
"Sayang, aku pergi dulu. Vindi jangan di tinggal yah? Gendong aja kemana pun nanti aku pulang kita gantian jaga. Aku harus cari kerja dulu hari ini." ujar Raka memberikan sang anak pada Lili.
Senyuman hangat Lili berikan untuk suaminya. "Iya, Ka. Semangat yah aku di rumah juga bantu doa buat kerjaan kamu hari ini semoga dapat. Aku nggak akan capek kok jaga anak kita." tutur Lili.
Keduanya segera berpisah dengan Raka yang mengendarai motor miliknya meninggalkan pelataran rumah sederhana itu. Harapannya saat ini hanya pengalaman dan juga ijazah. Tak ada lagi hal yang bisa Raka usahakan untuk sang istri dan anak.
Dari hari pertama mencari kerja Raka belum juga mendapat pekerjaan, Lili yang setia menyambut kepulangan sang suami hingga kembali mengantar kepergian sang suami di pagi hari pun tak patah semangat memberi dukungan pada Raka. Ia berharap dengan suaminya bekerja pada orang kehidupan mereka akan sedikit lebih aman dari kata ancaman sang ayah. Nyatanya Lili salah besar. Semua sudah berjalan dua minggu lamanya Raka melamar kerja hingga kini ia tak kunjung mendapat kerjaan.
"Kasihan Papah kamu, Vin. Pasti Papah Raka lelah sekali hari ini. Di luar panasnya begitu terik semoga hari ini ada dapat kerjaan yah? Kita doakan Papah Raka yah, Sayang." ujar Lili berbicara pada sang anak sembari duduk di teras rumahnya yang sejuk.
Di luar sana mentari memang sangat terik namun sekitar depan rumah Lili terlihat banyak pepohonan buah yang tumbuh seolah memberikan kesejukan tersendiri untuk keduanya.
"Assalamualaikum..." Lili terkejut tak sengaja mendengar suara yang berasal dari depan rumahnya. Sebab tak ada suara kendaraan apa pun yang terlihat sampai akhirnya ia mengetahui jika yang datang adalah sang ibu mertua.
Lili berdiri segera menyambut kedatangan ibu mertuanya. "Mamah? Walaikum salam, Mah. Ayo masuk, Mah." Lili mendekat dan mencium punggung tangan sang mamah mertua.
Ia begitu hormat pada wanita paruh baya itu meski mereka jarang sekali bertemu dan berbicara. Murni memang bukan tipe ibu mertua yang banyak bicara dan terlalu banyak ikut campur pada sang menantu. Dan hari ini ia datang seorang diri tanpa di antar siapa pun tentu menjadi suatu hal yang sangat langka bagi Lili. Sadar dengan pernikahan mereka yang sedang di terpa badai, mungkin ini adalah salah satu penyebab sang mamah mertua datang.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Murni menatap sang menantu usai Lili mencium punggung tangannya. Mereka kini duduk di ruang tengah dengan sang anak yang tenang dii gendongan Murni.
Ia mengambil alih tubuh sang cucu saat ini. Lili tersenyum kecil menatap sang mamah mertua. Canggung tentu saja Lili rasakan. Tak menyangka jika sang mamah mertua datang di saat Raka tak di rumah.
"Alhamdulillah baik, Mah. Mamah bagai-" Belum saja sempat Lili bertanya balik, Murni sudah lebih dulu memotong ucapannya.
"Pernikahan kalian bagaimana?" Pertanyaan yang terasa biasa namun Lili bisa merasakan aura tak enak dari wajah sang mamah mertua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!