NovelToon NovelToon

Aku Bukan Taruhan

Awal Sebuah Kisah

Pukul 11.30, Jum'at siang.

Kafe Harmoni, di depan kampus.

Ketiga orang gadis muda sedang duduk di pojokan kafe, mereka sibuk dengan gawainya masing-masing sambil menikmati makanan dan minuman kafe.

Sluuuurrp!!! Sluuurrrpp!!!

"Berisik deh Nad!" ujar Arindi.

Sluuurrrrppp !!!

"Nadine, berisik!!!" teriak Arindi lagi.

"Sewot amat, lagi dapet ya!" jawab Nadine.

"Dapet paan, dapet sial iya ini mah!" rutuk Arindi.

"Kenapa Arindi sayang ? Tugas tambahan lagi?" tanya Vivian kemudian.

"Yaah gitulah, ga ngerti lagi gue ama dosen satu ini, semesteran masih lama tapi tugasnya udah harus di kumpul akhir bulan. Mana projek gue yang kemarin aja belom kelar." jelas Arindi panjang lebar.

"Emang pa an tugasnya say? Mau gue bantuin? Butuh model buat tugasnya?" Vivian menggoda Arindi.

"Ga usah, lo bukannya bantuin ntar malah nyusahin gue." Arindi memanyunkan bibirnya.

"Arindi jahat... Vivi nangis nih." Vivian memaasang muka sok imut.

"Bodo amat. Ngomong-ngomong Rasya mana sih, udah jam segini ga nongol-nongol?" Arindi mulai sewot.

"Gue telpon dulu, tadi katanya otw sih." Nadine menjawab santai.

Tak lama suara nyaring seorang gadis memberi sapaan genit mendekati meja mereka dan duduk di salah satu kursi yang masih kosong dengan santainya. "Hai hai ... Nungguin ya?"

"Eh makhluknya nongol, dari mana aja lo?" Nadine bertanya heran.

"Horee Rasya dateng." Vivian memeluk Rasya seketika.

"Lama amat sih Sya, orang udah ditungguin dari tadi." Arindi mulai jengah.

"Ugh sayang akuh ini, kangen banget ya. Hehehe maaf, macet say." Rasya menggoda Arindi yang mulai bete.

Gadis yang baru datang membuka hp nya dan mulai mengetik di layarnya.

"Udahlah langsung aja yuk, udah pada login kan? Gue juga ada kerjaan abis nih," ujar Rasya pada yang lain.

"Kaya lo aja yang sibuk," ucap Arindi dengan mata mendelik.

Mereka berempat pun sibuk dengan hp masing-masing.

"Nih punya gue udah ya, Arin, Vivi udah?" tanya Rasya memulai.

"Gue udah," jawab Arindi cepat.

"Gue juga," sambung Vivian.

"Punya gue udah nih," susul Nadine cepat.

Tak lama mereka meletakkan hp nya masing masing di atas meja. Layar hp mereka menunjukkan tampilan yang sama yang berisikan halaman unduhan sertifikat bahasa Jerman yang mereka ikuti di suatu tempat kursus yang sama. Dalam sertifikat tersebut tertera nilai akhir dan predikat kelulusan yang mereka dapat setelah menyelesaikan kursus.

Mereka berempat merapatkan kepala mereka ke tengah meja untuk melihat tampilan di setiap layar hp.

"Horee Vivi lolos."

"Keknya kesialan emang lagi nempelin elu deh Rin." Nadine melirik pada hp Arindi.

"Whaaaatttt... gue ga salah liat kan? Vi? Nad? Sya?" Arindi menatap satu persatu wajah temannya karena tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Ketiga temannya hanya menggelengkan kepala dengan santai.

"Yang sabar ya say, beginilah hidup cobaan semua," celetuk Rasya pada Arindi.

"Keknya azab deh Rin hahahaha." Vivian tertawa keras.

"Ssst sst udah udah, ntar malem di apart lo ya Rin kita kumpul lagi. Btw gue juga sibuk banget, jadi maaf ya gue duluan." Rasya pun memasukkan kembali hp ke dalam tas tangannya lalu bergegas keluar kafe.

"Vivi juga duluan ya Rin... dah Arin sayang." Vivian pun bergegas memasukkan tabletnya dan langsung menghilang keluar kafe.

"Woi woi mau kemana. " Arindi menoleh pada Nadine. "Nad, lu sahabat gue yang paling baik deh Nad, lu gak pergi kan? Kita bisa bicara sebentar kan Nad?"

Nadien memasukkan hp nya ke saku celananya dengan santai lalu mengambil kacamata hitam yang sedari tadi menggantung di kerah bajunya lalu memakainya dan ia pun berdiri.

Sambil melihat ke arah Arindi yang masih berharap padanya, ia mengangkat satu tangannya yang memegang kunci dan mengarahkannya ke dinding kaca kafe, ia pun menekan kunci tersebut yang membuat sebuah motor sport di luar kafe berbunyi. Tiit Tiiit.

"Sorry ya Rin, gue ada kencan dengan kesayangan gue." Yang tak lain motor sportnya. "Bye, see you tonight."

Nadien menepuk bahu Arindi yang masih duduk bengong di kursinya dan menjauh dari kafe dengan meninggalkan bunyi bising dari knalpot motor sport impornya.

Arindi pun duduk termenung menatap hp nya di atas meja sambil memeluk tabung gambarnya. "Kenapa jadi gini, tugas banyak, kerjaan banyak, sekarang kalah taruhan."

Ia pun berdiri tak semangat dan memasukkan hp nya ke dalam tas lalu menyelempangkan tabung gambarnya.

"Tunggu sebentar." Ia menatap ke gelas dan piring kosong di atas meja, "ini juga gue yang bayar? Arghhhhhh... kenapa sih ... ladahal beda 0,1 doangg ...."

.........

Keempat Sahabat

Nama : Arindi Putri Kiandra

Usia : 20th

Tinggi : 165cm

Berat badan : ideal

Rambut : hitam panjang bergelombang

Kulit : putih

Jurusan : seni

Semester : 4

IPK : 3.89

Penyuka cokelat, hobi melukis, benci anak kucing, gampang emosi, bisa karate.

Nama : Rasya Nata Kumala

Usia : 20th

Tinggi : 170cm

Berat badan : ideal

Rambut : cokelat panjang lurus

Kulit : kuning langsat

Jurusan : arsitektur

Semester : 4

IPK : 3.85

Penyuka mie instant, hobi belanja, lebih dewasa, model, punya studio foto.

Nama : Vivian Nathalia

Usia : 20th

Tinggi : 160cm

Berat badan : ideal

Rambut : hitam panjang lurus

Kulit : putih pucat

Jurusan : teknik informatika

Semester : 4

IPK : 3.89

Penyuka k-drama, penyuka warna pink.

Nama : Nadine Athmajaya

Usia : 20th

Tinggi : 170cm

Berat badan : ideal

Rambut : pendek hitam lurus

Kulit : putih

Jurusan : arsitektur

Semester : 4

IPK : 3.98.

Penyuka motor sport, penyuka warna hitam, tomboy, penyuka makanan instan.

Arindi, Rasya, Vivian dan Nadien adalah empat sahabat yang sudah berteman sejak sekolah dasar hingga sekarang menjadi mahasiswa di universitas yang sama, universitas terbaik di negeri ini.

Mereka berempat adalah anak yang pintar karena itu mereka selalu bersaing soal nilai pelajaran. Sejak sekolah menengah atas mereka mulai bertaruh untuk setiap yang mendapat nilai terkecil. Awalnya taruhan mulai dari yang terlihat sepele, namun dengan semakin dewasanya mereka maka taruhan menjadi semakin lebih menantang dan sulit.

Mereka berempat adalah anak yang beruntung, selain karena dukungan finansial tanpa batas yang di berikan orang tua mereka, mereka juga memiliki visual yang tak bisa dibantah.

Dengan visual yang memukau, kecerdasan dan materi yang mereka miliki, apapun yang mereka inginkan akan selalu mudah dimiliki. Kepopuleran mereka sudah terkenal bahkan sejak mereka masih di sekolah dasar. Jika mereka berkumpul bersama maka semua mata akan memandang kagum pada mereka.

Untuk mendapatkan perhatian lawan jenis bukanlah hal yang sulit, hanya saja mereka yang sulit membuat hubungan yang serius dengan lawan jenis. Hubungan dengan lawan jenis hanya bertahan tiga hari. Bagi mereka memiliki pacar adalah hal yang kesekian, tidak terlalu penting. Oleh karenanya mereka dikenal dengan sebutan "penyihir tiga hari".

Mereka bukanlah orang yang tak percaya pada cinta sejati, hanya saja urusan percintaan tak lebih penting daripada kepuasan menjadi yang terbaik. Begitulah cara mereka berpikir untuk saat ini.

...----------------...

Jumat malam, pukul 08.15.

Apartemen Grand Royal.

Apartemen Grand Royal adalah salah satu apartemen termahal di kawasan ini, yang merupakan tempat tinggal keempat sahabat. Meskipun di apartemen yang sama tapi mereka tidak tinggal bersama. Mereka tinggal di lantai yang berbeda.

Malam ini mereka sedang ada di kamar Arindi, yang tinggal di lantai paling atas.

Rasya memulai percakapan. "Nah semuanya, masih inget kan kesepakatan kita? Siapapun yang mendapat nilai terendah dari kursus ini, bakalan menerima apapun hukuman yang diberikan oleh yang lainnya?"

Suara Rasya nyaring membuka obrolan mereka malam itu. Vivian dan Nadien fokus mendengarkan perkataan Rasya, sedangkan Arindi bergelung di sofanya seolah tidak ingin melanjutkan obrolan.

"Arin, ini lagi serius loh, atau ga mau terima hukumannya? Fine...." Rasya menyenggol Arindi.

"Bukan gitu Sya." Arindi langsung duduk tegap. "Nilai gue ama Nadien beda 0,1 doang, kok tega sih gue sendiri yang di hukum?"

"Kok tega? Ini kan bukan pertama kali kita taruhan gini? Lagian elu juga setuju kan kemaren-kemaren? Lu ga inget tahun lalu gue harus relain apa karena ga mau terima hukuman?" jelas Rasya.

"Tau nih Arindi, walau 0,1 tetep gue lebih baekan dari elu lah," ujar Nadine.

"Udah terima aja. Oh ya Vi udah disiapin?" Rasya melirik ke arah Vivian.

"Udah nih." Vivian memberi sebuah map hitam ke Rasya.

"Nah ini target lu. Semua tentang target udah di siapin Vivi didalam map, lu buka dan pelajari gih trus lu baca aturan mainnya," jelas Rasya.

Dengan berat hati Arindi menerima map hitam yang diberikan Rasya, ia pun membukanya.

"What the f***." Arindi mengutuk dengan suara kuat ketika membaca isi map tersebut. Sementara itu ketiga sahabat lainnya hanya saling bertatapan dan melempar senyum.

"Sya, elu udah gila ya. Ini apa apaan?" tanya Arindi kemudian.

"Apanya yang apa apaan? Belom juga dibaca semua udah gaje gitu," seru Rasya.

"Lu serius? Vi, Nad ini gue ga salah baca kan?" Arindi mencari jawaban.

"Serius banget gue mah," jawab Nadine.

"Ya serius dong say, Vivi udah berusaha sekuat tenaga buat ngedapetin data datanya looh, " tambah Vivian.

"Elu denger sendiri kan? Ini bukan cuma keputusan gue sendiri, Vivi ama Nadine udah merestui kok," tambah Rasya.

Arindi melotot tak percaya kepada sahabatnya. Ia menarik rambutnya yang menjuntai dengan kedua tangannya.

"Iya tapi... Kenapa harus dia sih? Kenapa harus Tristan? Kenapa kenapa kenapa?"

"Uhm karena cuma dia yang cocok, ya kan Vi, Nad?" ujar Rasya.

"Tristan Bagaskara... Arindi Putri Kiandra.. wah dah pas banget tuh, dari nama aja udah cocok Rin," ledek Nadine.

"100% cocok," tambah Vivian.

"Tolong bunuh gue aja. Gue ga mau." Arindi pun berbaring di sofanya dan mentup wajahnya dengan bantal sofa.

"Ok fine, kayanya udah nyerah deh Sya. Kalo gitu gue Pradaha Cleo bag pink nya aja deh. Elu Sya? Elu Nad?" Vivian menoleh pada Rasya dan Nadine.

"Kunci apartemen lu siniin, pengen deh ngerasain tinggal di lantai paling atas." Rasya mengangkat tangannya ke arah Arindi.

"Kunci mobil lu siniin," ujar Nadine kemudian.

Arindi terlihat panik saat teman-temannya mulai menyebutkan asset pribadinya. Ia pun kembali duduk tegap.

"Tunggu-tunggu... ga gitu ga gitu...."

"Jadi? masih inget kan Rin? Kalo elu ga mau terima kekalahan, asset yang lu punya bakal kita ambil selama satu tahun. Cuma satu tahun doang kok, ntar juga di balikin," jelas Rasya kemudian.

"Ok ok gue terima. Sial lu pada."

"Gitu donk say," seru Rasya dan Vivian berbarengan.

"Berarti elu terima ya. Di map itu ada beberapa berkas tentang Tristan, mulai dari data pribadi sampe jadwal semua kegiatan yang dia biasa lakukan dan kegiatan - kegiatan sosialnya. Di aturan mainnya elu bisa baca kalo elu harus buat dia suka sama lu dalam waktu 50 hari, dan hari ke 50 elu harus putusin dia. Lu bisa lah ya," jelas Rasya panjang lebar.

"Buat dia suka?" Mata Arindi membulat.

"Kenapa? Ga bisa?," tanya Rasya.

"Bukan itu. Gue serius nanya kenapa harus Tristan?"

"Di tanya lagi. Kasian lo Vivi udah susah susah buat nge-hack laptopnya, hpnya, masih di tanya lagi. Ya kan Vi?" Rasya menoleh pada Vivian.

"Apa hubungannya? Lagian sapa suruh ngelakuin semua itu?"

"Arindi sayang, anggap aja ini bantuan dari sahabat lu yang paling cantik ini,, elu tau sendiri siapa Tristan? Si untouchable man. Lu bakal susah hadapin dia. Nah anggap aja ini bantuan kecil dari gue ke elu," jelas Vivian.

"Lagian kenapa sih Rin? Tristan kan belom punya pacar, ya kan Vi?" tanya Rasya.

"Belum ...," jawab Vivian.

"Bisa dibilang udah... bisa di bilang belum sih." Nadine tiba-tiba memotong ucapan Vivian.

"Kenapa ?" Rasya merasa heran.

"Kalian tahu Celyn? Anak semester 8 jurusan fashion?" tanya Nadine.

"Ahh si nenek lampir?" tanya Rasya.

"Yang mana? Jangan jangan yang waktu itu ribut sama lu di butik Sachie ya Sya?" Nadine seolah mengerti sesuatu.

"Hubungannya apa lagi ini Nad?" Arindi makin kebingungan.

"Ya bener, yang kalo ga salah waktu itu rambutnya ombre pink itu kan?" tambah Rasya.

"Inget banget ya, iya yang itu. Gini Rin, si nenek lampir itu nempel terus ke Tristan, dan ngaku-ngaku pacarnya Tristan ke semua orang. Setiap cewek yang deketin Tristan abis di maki sama dia," jelas Rasya.

"Wah cocok banget tuh kalo ketemu ama lu Rin? Baku hantam," ledek Vivian kemudian.

"Elu pada ga cuma mau ngebunuh gue, lu mau ngebunuh masa depan gue ya? Apa jadinya kalo gue di bilang pelakor?"

"Kenapa? Takut? Selama janur kuning belum melengkung, Tristan masih bebas kan yaah...," goda Rasya.

"Bener." Vivian ikut menggoda Arindi.

"Lagian masa si nenek lampir bisa ngalahin Arindi kita yang cantik pintar ini sih." Nadine mencolek Arindi yang mulai emosi.

"Bukan itu sih masalahnya, lu dah pada lupa ya? Inget gak Nad, hari pertama ospek? Lu kan dateng bareng gue Nad? Kejadian di parkiran?"

"Uhm oh hari itu ya. Inget inget kok, jadiiii karena itu ya?" Nadine baru mengingat sesuatu.

"Ohh yang elu berantem di hari pertama ospek kan?" tanya Vivian setelah mulai paham pembicaraan Nadine.

Arindi hanya mengangguk lesu. Ia masih mengingat dengan jelas kejadian yang terjadi di hari pertama ospek. Hari dimana rasanya ia pengen mengurungkan niatnya kuliah di kampus itu. Hari dimana ia berharap agar yak lagi bertemu pria itu, pria yang bernama Tristan, seumur hidupnya.

Awal Jumpa

Hari pertama ospek.

Arindi memarkirkan Mini Cooper S - nya di tempat parkir. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi ia dan Nadine sudah sampai dikampus lebih dulu dengan alasan agar bisa mencari tempat parkir strategis yang tidak terlalu jauh dari ruangan auditorium kampus.

Hari ini akan dilaksanakan pengenalan pimpinan kampus dan pengenalan organisasi kemahasiswaan kampus di ruang auditorium kepada semua mahasiswa baru. Sebagai mahasiswa baru Arindi dan sahabatnya diwajibkan mengikuti kegiatan ini, meskipun ia tidak menyukai kegiatan-kegiatan kemahasiswaan.

Arindi melihat ada parkiran kosong di bagian timur gedung, ia pun memarkirkan mobilnya disana. Ia dan Nadine bersiap-siap sebelum turun. Arindi merapikan kemeja putihnya, memeriksa setiap kancing bajunya dan merapatkan almamaternya. Sedangkan Nadine terlihat gelisah melihat area parkir yang masih kosong.

"Kenapa Nad? Elu kok bingung gitu?" tanya Arindi.

"Engga, lu yakin kita parkir ditempat yang bener Rin? Bukan disana?" Nadine menunjuk pada lahan parkir yang ada di ujung belakang auditorium dimana terlihat sudah ada dua buah mobil sedang terparkir.

"Ah tenang aja Nad, disini aja enak, lagian deket ke pintu masuk juga kan? Yuk lah turun."

Belum selesai Arindi berkata, tiba-tiba sebuah motor sport berwarna merah parkir di samping mobilnya, tepat di samping pintu mobil tempat Arindi duduk sehingga ia tidak bisa membuka pintu mobilnya. Arindi terkejut, ia pun menurunkan kaca mobilnya.

"Woiii... Mata lo buat pajangan doang ya? Ga liat disini ada mobil?" Arindi berteriak.

Arindi bukanlah orang yang bisa menahan emosi. Tentu saja ia akan mengeluarkan kata kasar disituasi seperti ini, meskipun ia tak tahu siapa lawan bicaranya. Dibelakang Arindi, Nadine yang sangat mengerti sifat sahabatnya ini berusaha mencegah Arindi menjadi lebih emosi, ia berusaha menutup mulut Arindi dengan tangannya.

"Pa an sih Nad, mentang-mentang kita maba, bukan berarti harus diinjek-injek juga kan." Arindi melepaskan tangan Nadine, matanya masih melotot ke arah pemilik motor.

"Udah deh Rin, udah lah. Di liat orang malu."

Arindi kembali meneriaki si pemilik motor yang dengan santainya turun dari atas motornya dan berjalan menjauhi mobilnya tanpa melepas helm nya. Sementara Nadine masih mencegah Arindi marah-marah.

Melihat kelakuan tak acuh si pemilik motor, Arindi pun menutup kaca mobilnya, ia melepas sabuk pengamannya. Ia berniat mendorong pintunya keras keras dan berharap motor tersebut jatuh. Tapi tiba-tiba kaca mobilnya di ketuk. Arindi yang baru akan membuka mobilnya terkejut, sang pemilik motor muncul dari samping mobilnya lalu mengetuk kaca mobilnya.

Arindi menurunkan kaca mobilnya. Sang pemilik motor membungkukkan badannya yang tinggi lalu membuka helmnya. Sebuah wajah tampan pria dengan tatapan mata dingin menatapnya dari balik helm itu sekarang, ditangannya ada sebuah papan tanda bertuliskan 'khusus parkir motor'. Pria itu mengangkatnya untuk menunjukkan pada Arindi, lalu ia berjalan memutar meletakkan papan tanda itu di depan mobil Arindi.

Dari dalam mobil, Arindi dan Nadine tampak terdiam saat sang pria meletakkan papan tanda didepan mobilnya. Arindi kaget, Nadine menelan ludahnya.

"Jadi ini tuh parkiran motor? Kenapa ga bilang aja sih? Pake sok keren segala," batin Arindi.

"Mati kita Rin. Rin rin...." Nadine menggoyangkan pundak Arindi yang hanya bengong.

"Ah Nad, itu maksudnya kita parkir di area yang salah ya?" Arindi masih mencoba mencerna situasi.

"Menurut loh? Ah sudah lah Rin, ayo mundur aja, parkir kesana aja."

Arindi pun menghidupkan mesin mobilnya, perlahan ia memundurkan mobil. Matanya masih tertuju pada pria itu.

"Gaya banget sih lu, sama sama maba juga pake sok sokan depan gue, gue ingetin ya muka lu." Begitulah yang dipikirkan Arindi, sifatnya yang gampang emosi membuatnya mudah menyimpulkan sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

...----------------...

"Nad lu dah telpon Vivi sama Rasya dimana? Bilang ke mereka kita udah jalan ke pintu masuk," tanya Arindi.

"Tadi sih gue dah kirim pesan, ntar gue telpon dulu, lu duluan gih kesana, ntar gue nyusul," jawab Nadine.

"Ya udah buruan, gue tunggu di pintu masuk ya." Arindi pun berjalan menuju pintu besar auditorium. Para mahasiswa mulai ramai berdatangan. Beberapa orang yang memakai baju seperti yang Arindi kenakan menunjukkan bahwa mereka mahasiswa baru.

Arindi pun berdiri di salah satu tiang penyangga besar di koridor auditorium. Ia memeriksa ponselnya, memeriksa mungkin ada pesan masuk dari sahabatnya. Tak lama ia mendengar suara panggilan dari microphone di dalam auditorium yang menunjukkan bahwa acara akan segera dimulai, orang-orang yang tadi masih berdiri di luar bergegas menuju pintu masuk. Arindi mulai gelisah, ia memanjangkan lehernya ke kanan kiri berharap melihat sosok yang ia kenal.

"Lo ga denger panggilan dari dalem?" Suara seorang pria tiba-tiba terdengar di belakang Arindi. Arindi menoleh dan nendapati bahwa pemilik suara adalah pria di parkiran tadi.

"Dia lagi. Elo lagi, gue punya utang ya ke lo? Mau gue denger apa ga, masalah banget ya buat lo? Apa gue salah juga berdiri disini. Owh apa disini ada tanda peringatan dilarang berdiri?"

Arindi mulai memutar badannya mencari sesuatu seperti papan tanda yang membuatnya bermasalah jika berdiri disana. Ia pun menatap kesal pada pria didepannya tapi ekspresi pria itu tetap datar memandang padanya.

"Owh mungkin lo mau gue minta maaf gitu? Mimpi aja sono," jelas Arindi ketus.

"Tristan, lu masih disini?" Seorang pria datang mendekati pria yang ada di depan Arindi dan memanggilnya dengan nama Tristan.

"Joe, baru mau masuk," jawab Tristan.

Pria lain itu, bernama Joe, ia tak menghiraukan jawaban Tristan dan melihat ke Arindi.

"Yah temennya rupanya... errrgghh," batin Arindi.

"Oh hai, mahasiswa baru ya, kenalin nama gue... eh nama kakak Jonathan, panggil aja kak Joe." Joe mengulurkan tangannya mengajak Arindi berjabat tangan. Tristan berusaha menjauhi mereka tapi buru buru Joe merangkulkan lengan kirinya ke pundak Tristan.

"Yang satu sok keren, satu lagi sok asik," batin Arindi lagi.

Arindi tak membalas uluran tangan itu, ia hanya melihat sekilas dan diam tak perduli, lalu kembali menatap ke arah lain. Melihat reaksi Arindi, Joe pun menarik tangannya dan merapikan rambutnya ke atas.

"Btw neng cantik, kenal Kak Tristan darimana?" ujar Joe kemudian

"Gue gak kenal dia kok, lagian lu sok asik banget dari tadi, ga usah sok kenal, sama sama maba juga dah sok asik."

Joe tertawa mendengar kata-kata Arindi, Tristan hanya menatap datar pada Arindi.

"Maba ? Iya emang muka kakak ini awet muda sih, tapi neng cantik, sayangnya kakak ini udah semester lima sama kaya dia nih." Joe menunjuk Tristan.

Arindi terdiam, ia meneguk ludahnya. Ia bergantian melihat Tristan dan Joe.

"Jadi mereka kakak tingkat? Ya Tuhan. Berani bener gue cari masalah ama kakak tingkat? Tolongin gue ya Tuhan." Arindi merasa malu.

"Ehm halo." Joe melambai-lambaikan tangan ke muka Arindi. Arindi baru sadar kalo ia melamun memikirkan semua perkataannya pada Tristan. Ia pun berharap seandainya bumi terbelah dan ia bisa hilang di telan bumi. Ia pun menundukkan pandangannya.

"Kaget ya, kakak bisa maklum sih, hahahaha. Owh iya kita kesini bukan karena kita maba, Kakak ini anak BEM, nah dia ini juga anak BEM," ujar Joe sambil menyikut Tristan. "Kita mau nampil disini hari ini."

"Mati gue, anak BEM? Kenapa gue pake marah marah segala sih tadi."

Arindi tak bisa berkata, ia menggigit bibir bawahnya dan mengatupkan mulutnya pertanda kalau ia merasa bersalah. Ia masih tak berani melihat kedua pria didepannya. Namun bukan berarti ia tak berani mengakui kesalahannya jika ia salah.

"Maaf." Arindi berkata pelan sambil menundukkan kepalanya.

Tristan menatap kaget, tapi ia tetap tak ingin merespon apapun. Joe jadi merasa bersalah karena permintaan maaf yang dikatakan Arindi.

"Uhm itu, ga usah minta maaf, kakak biasa kok di kira lebih muda," jawab Joe yang Pedenya selangit.

"Bukan soal itu, maaf sudah marah-marah," jelas Arindi pelan.

"Arindiii...." Tiba-tiba suara nyaring Rasya memanggil dari kejauhan, ia melambai pada Arindi. Tristan dan Joe belum membalas kata-katanya tapi Arindi buru-buru pamit pergi.

"Ah maaf kak, udah dipanggil temen," sela Arindi. Arindi pun berlari menghambur ke pelukan sahabatnya.

...----------------...

Sementara itu dibelakang.

"Arindi? Jadi itu namanya. Lucu juga. Lu boleh juga Tan liat yang bening-bening, gue pikir lu ga suka cewek," ujar Joe.

"Heh, lu ngapain kesini?" tanya Tristan merasa kesal.

"Ngapain kesini? Harusnya gue yang tanya lu gitu, gue tadi liat lu udah jalan masuk lewat samping eh terus lu tiba tiba belok kesini, udah gue panggil-panggil lu ga denger, ternyata lu kesini. Ngapain coba lu kesini."

"Gue ga denger," ujar Tristan ngeles.

"Ya iyalah kuping lu ga denger, orang mata lu liat cewek cantik, makanya udah gue bilang sekali kali pacaran kek sama cewe, gabung gitu Tan ama manusia."

"Ga jelas, ayo masuk," ajak Tristan.

"Tapi Tan, dia tadi anak mana ya? Lu ga tanya?"

"Apa urusannya sama gue?"

"Ga ada sih buat lu Tan, tapi ada buat gue, bening kaya gitu sayang lah dianggurin," canda Joe.

"Mau ngapain lu?" Mata Tristan menegang.

"Idih pake nanya, gue ini cowo, dia cewe, menurut lu apa kalo cewe sama cowo deket? Ah udah lu ga bakal ngerti, lu cukup Celyn aja cukup."

"Sialan, diem lu acara dah mulai."

Joe terkekeh menggoda temannya si Tristan.

...----------------...

Sementara itu di tempat Arindi dan sahabatnya duduk.

"Rin bukannya cowo yang depan lu tadi itu yang di parkiran tadi?" tanya Nadine.

"Bukan kok." Arindi ga ingin mengingatnya.

"Cowo? Siapa? Yang mana?" Vivian penasaran.

"Yang tinggi itu... wajahnya lumayan... lu kenal Rin?", tanya Rasya.

"Enggaaa... udah diem acara mau mulai." Arindi sangat berharap ia tak lagi bertemu dengan pria itu, tanpa dia tahu dan sadari ada yang berharap untuk menemuinya lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!