Dua belas tahun berlalu. Darren dan Karren kini sudah tumbuh menjadi pria dan wanita dewasa. Anak kembar ini berpisah dan memilih belajar di negara yang berbeda.
Darren, menyelesaikan sekolahnya di Amerika. Ia memilih menetap di sana. Kini dia adalah seorang seorang CEO muda, di salah satu perusahaan besar. Dengan jerih payah sendiri, Darren berhasil mencapai puncak kesuksesan dan hidup bergelimang kemewahan.
Sedangkan Karren, memilih menyelesaikan sekolahnya di Jerman. Setelah lulus ia memutuskan menetap di Australia. Karren bekerja di salah satu firma hukum terkenal. Karren adalah seorang pengacar handal. Ia juga merangkap sebagai detektif. Keunggulannya sudah di akui pemerintah, namanya melambung dan terkenal.
Karren sedang dalam perjalan ke Amerika untuk menemui saudara kembarnya Darren. Biasanya setiap tahun keduanya menyempatkan waktu bertemu, tetapi kali ini sudah lima tahun. Karren dan Darren belum bertemu sekalipun. Mereka bahkan jarang berkomunikasi. Rasa rindu pun melanda.
***
[Karren]
Akhirnya, setelah sekian lama. Aku bisa bertemu Pangeranku. Aku senang sekali sehingga lupa jika aku ada di jalan. Semua mata menatapku aneh, aku buru buru masuk ke dalam perusahaan Darren.
Aku langsung menemui resepsionis. Dan Mereka menyambutku dengan ramah.
"Hallo, Nona. Selamat datang." sambutnya.
"Hallo juga. Maaf, Bisakah saya bertemu Pak CEO Darren Edden?" tanyaku.
"Anda sudah buat janji?" tany resepsionis itu menatapku.
Aku terdiam, aku menyuruh wanita resepsionis itu mendekat padaku, dan kubisikkan sesuatu.
"Maaf, Nona. Saya sudah bersikap tidak sopan. Silahkan anda naik lift khusus ke lantai sepuluh," katanya tersenyum. Semabari menunjukkan arah ke mana aku harus pergi.
"Ya, terima kasih, Nona," ucapku.
Aku mencari lift khusus, dan menemukannya. Aku menekan tombol lift. Tidak beberapa lama pintu lift terbuka, aku segera masuk, dan pintu lift pum tertutup. Segera aku menakan angka sepuluh. Lift pun bergerak naik melewati lantai demi lantai.
Pintu lift terbuka dan aku segera keluar. Aku menatap ke kiri dan kanan. Suasana ramai sekali. Aku bahkan tidak mengenal siapa-siapa di san. Lantas aku harus bertanya pada siapa untuk bisa bertemu saudaraku? akupun memutuskan bertanya pada salah satu karyawan yang kebetulan lewat.
"Hallo, maaf menganggu. Boleh saya bertanya, di mana ruang Pak CEO?" tanyaku sopan. Aku berusaha untuk bersikap baik dsan manisa.
"Hallo, Nona. Oh, ruangan Pak CEO. Dari sini, Anda hanya perlu lurus, lalu ke kanan. Hanya ada satu ruanga di sana," jawab wanita itu ramah.
Aku mengamati gerakan tangannya dengan baik, aku mengangguk-angguk sembari mengingat pentunjuknya.
"Oh, begitu. Terima kasih, Nona. Selamat bekerja," jawabku tersenyum.
"Sama sama, Nona. Saya permisi," katanya berpamitan. Dan segera pergi meninggalkanku.
Aku pun berjalan mengikuti peyunjuk. Dan anehnya aku merasa bulu ditubuhku berdiri, tatapan mata tak biasa menatapku tajam. Aku melihat ada yang berbisik-bisik juga.
"Lihat, siapa dia?"
"Datang lagi penggoda."
"Yang satu di usir, muncul yang lain. Hahaha ... tidak tahu malu."
Aku kesal, mereka mengatakan aku penggoda. Mereka ini sedang menertawaiku ya? Belum tahukah jika aku Karren Edden? Aku gemas ingin rasanya membalikkan meja mereka.
Sabar Kerren, sabar. Kau sudah dewasa, bersikaplah selayaknya wanita dewasa. Aku menghembuskan nafas panjang dan mendatangi wanita-wanita penggosip itu.
"Maaf, apa kalian sedang menggosipkanku? Aku seperti mendengar sesuatu tadi," kataku langsung tanpa basa-basi.
"Tidak, kami tidak bicara apa-apa," jawan wanita di hadapanku.
"Sungguh? Aku mendengar yang satu di usir muncul yang lain. Memang siapa yang di usir, dan siapa yang muncul?" tanyaku.
"Itu, Nona yang merupaka anak dari perusahaan yang ingin menjalin kerja sama," jawab wanita di hadapanku dengan ragu.
"Dia menggoda Da ... ah, maksudku menggoda Pak CEO?" tanyaku. Hampir saja aku kelepasan bicara memanggil nama Darren begitu saja.
"Ya. Nona selalu ke sini dan menggoda Pak CEO. Hingga membuat Pak CEO marah besar," sahut wanita lain. Yang berada di samping wanita di hadapanku.
Aku langsung memukul meja dan membuat kaget mereka. Aku sengaja menjahili mereka.
"Tak tahu malu. Beraninya menggoda pangeranku. Mau cari mati?" ucapku pura-pura marah.
Aku melihat mereka semua ketakutan. Hatiku terasa tergelitik dan aku ingin tertawa keras.
"Sayang, apa yang kau lakukan di sini? kau menakuti karyawanku."
suars yang tak asing. Ya, itu adalah suara saudaraku, Darren. Aku segera memalingkan kepala dan menyapanya mesra.
"Sayangku, aku merindukanmu," ucapku. Aku langsung memeluk dan mencium kedua pipi Darren bergantian. Semua melihat ku keheranan.
"Kekasih Pak CEO ya?
"Astaga, kekasih Pak CEO romantis dan sangat cantik."
"Mesranya. Aku iri."
Darren berdehem dan meminta karyawannya kembali bekerja. Ia merangkulku, mengajakku masuk dalam ruangannya. Kami berjalan perlahan, dan melewati meja Sekretaris CEO. Saat aku menatapnya dan pandangan kamu bertemu, aku melihat matanya melebar dan wajahny begitu kesal. Aku mengerutkan dahiku. Berainya dia memelototiku. Belum tau siapa Karren rupanya. Akan kuberi kau pelajara.
Aku menghentikan langkah dan mengeluh kesakitan, "Aduh," kataku memegang kakiku.
Darren segera memegang kakiku, "Kenapa? kakimu sakit?" katanya perhatian.
Aku menganggukkan kepala, "Sayang, aku tak bisa jalan. Mau gendong aku?" kataku.
Tanpa menjawab, Darren segera mengendongku. Aku langsung mengalungkan tangan dan melirik ke arah Sekretaris itu, seolah mengejeknya. Aku melihat wanita itu sangatlah kesal sampai ia menggigit bibir bawahnya sendiri. Hahaha ... salah siapa berani memelototiku. Inilah balasannya.
Darren membawaku masuk ruangannya. Dan langsung melemparku ke sofa. Ia lantas menepuk tepuk tangannya.
Darren menatapku tajam, "Pandao sekali berakting," katanya kesal.
"Hahhh ... siapa suruh Sekretarismu melotot padaku, aku tidak suka," jawabku.
"Itu karena dia cemburu. Kau kan cantik," kata Darren.
Aku langsung melempar bantalan sofa pada Darren, "Jangan merayuku. Aku tak akan terpengeruh mulut manismu," kataku.
Darren langsung tertawa. Dan aku juga tertawa.
"Kenapa tidak memberitahu jika ingin datang? Aku bisa menjemputmu," tanya Darren terlihat kecewa.
"Kau pasti sangat sibuk. Aku tak ingin merepotkanmu," jawabku.
Aku berdiri dan melihat sekeliling ruangan Darren. Ruangannya bersih dan rapi. Khas Darren sekali.
"Aku senang, saudaraku sukses. Selamat," ucapku bangga.
"Terim kasih. Semua yang kuraih ini juga berkat doamu. Bagaimana kabarmu selama ini? kau sangat sibuk sampai tak bisa menemuiku," kata Darren.
"Ah, maaf soal itu. Lima tahun ini aku berkeliling mencari pengalaman bersama seniorku. Kau kan tahu jelas, kalau aku tak bisa menunda-nunda pekerjaan," jawabku.
Aku melihat sebuah bingkai foto di meja. Dalam bingkai terdapat foto kami sekeluarga. Papi, Mami, Aku, Darren dan dua adik kami. Melihat foto itu, tanpa sadar air mataku jatuh. Aku tak bisa menahan rasa rinduku pada mereka.
Darren memelukku dari belakang, "Ayo, kita pulang. Jangan bersedih lagi," katanya menghiburku.
Aku meletakkan bingkai ketempatnya. Segera aku mengangkat kepalaku dan menyeka air mataku. Darren membalikan badanku, ia menyeka air mataku. Dia mencium keningku lama lalu memelukku.
"Jangan menangis, sayangku. Kau selalu menangis jika dekat denganku," katanya.
Aku segera melepas pelukan, "Aku bukan anak-anak lagi, kau jangam sembarangan memeluk dan menciumku. Mau kuhajar?" kataku.
"Wah, kau jadi pemarah sekarang. Kita ini sedarah, aku bukan pria asing. Dasar kau," gerutunya.
Darren melihat jam tangannya. Sepertinya ia memang sangat sibuk. Apa aku sudah mengganggunya ya?
"Aku ada rapat. Setalah aku akan mengajakmu pulang ke rumahku," katanya.
Aku tersenyum, "Ya. Pergilah. Semangat," jawabku.
Darren diam menatapku. Ia mengambil sesuatu dari meja kerjanya dan langsung pergi meninggalkanku sendirian di ruang kerjanya. Selagi menunggu Darren rapat, aku melihat-lihat buku di rak. Siapa tahu aku menemukan buku yang cocok dibaca agar aku tak bosan menunggu.
[Darren]
Aku sangat senang bertemu Karren, dia berubah menjadi wanita cantik seperti Mami. Lima tahun tidak bertemu, dia merubah banyak hal. Setidaknya jauh lebih dewasa saat terakhir bertemu. Tingkahnya masih sama, suka menggoda dan pandai bersandiwara. Suka membuat orang panik dan bingung. Hahaha ... dia sangat menggemaskan.
Aku mempercepat langkahku menuju ruang rapat. Asistenku Rey membuka pintu. Aku masuk ke ruang rapat, semua sudah menunggu. Mereka berdiri memberi salam.
"Silahkan duduk. Mari kita mulai rapat hari ini," ucapku.
Rapat pun berjalan lancar tanpa kendala. Aku mendengarkan presentasi karyawanku. Aku mendengar detail tiap ucapannya. Karyawanku menjelaskan dengan detail dan bagus. Presentasinya hari ini sempurna. Aku sampai tidak sadar, sudah berapa lama aku di ruang rapat ini.
"Kerja bagus, presentasimu memuaskan," pujiku.
"Terima kasih, Pak CEO." jawabnya.
"Untuk departemen pemasaran, tolong segera bergerak cepat. Departemen operasional segera selesaikan langkah akhirnya. Untuk departemen keuangan, bisakah kalian meneliti lebih dulu, periksa baik-baik laporan kalian sebelum kalian serahkan padaku." kataku kesal, karena aku melihat data yang kacau.
"Ba-baik, Pak. Maaf atas kelalaian kami."
Aku membuka sebuah berkas dan menanda tanganinya, "Rapat hari ini sampai di sini saja. Kalian bisa lanjut bekerja," kataku.
Aku berdiri dari kursiku dan keluar dari ruang rapat. Aku berjalan perlahan menuju ruanganku. Dalam perjalanan, aku meminta Rey mengatur ulang jadwal dan memesankan tiket ke Prancis untukku dan Karren.
"Rey, susun ulang jadwalku bulan ini. Pindahkan saja semua ke bulan depan. Dan tolong kau pesankan dua tiket ke Prancis untuk besok." pintaku.
"Baik, Tuan. Apa ada lagi hal yang lain?" tanyanya padaku.
"Tolong panggilkan Wakil CEO ke ruanganku. Ada hal mendesak yang harus aku sampaikan padanya," kataku.
"Baik, segera saya panggilkan." jawabnya yang langsung pergi.
Aku sampai di ruanganku. Dengan segera aku membuka pintu ruanganku. Di dalam ruangan, aku tak melihat Karren. Aku panik lalu mencariny. Pikiranku sudah berpikir yang macam-macam. Aku buka kamar mandi, di sana tidak ada. Aku buka ruang dokumen, aku tidak menemukannya. Aku pun membuka ruang istirahat, dan melihat Karren terlelap tidur. Seketika aku langsung menghela napas lega. Aku menghampirinya dan membenahi selimut yang dikenakannya. Kubelai dan mencium keningnya. Aku mengambil dan langsung mematikan ponselnya agar tidak menganggu. Segera aku meninggalkannya.
***
Aku melihat Nico datang dan langsung duduk di sofa.
"Ada apa?" tanyanya.
"Nic, kau urus semua rapat saat aku tidak ada. Mohon bantuanmu," kataku.
"Ada apa? Kau mau pergi?" tanyanya.
" Ya, aku akan mengunjungi orang tuaku dan adik-adikku," jawabku.
"Apa sesuatu terjadi? apa ada masalah?" tanya Nico tampak panik.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya merindukan mereka saja. Selagi aku pergi, aku serahkan perusahaan padamu. Gantikan aku mengurus semuanya. Aku sudah minta Rey menyusun ulang jadwalku. Jika ada pertemuan mendesak, kau saja yang menghadirinya." jelasku.
"Ya, aku mengerti. Aku akan bekerja dengan baik agar kau senang dan puas," katanya.
"Bagus. Aku akan ajak kau berlibur lain waktu," kataku.
Nico tersenyum, "Wah, itu hal baik. Terima kasih, teman. Baiklah, aku pergi dulu. Aku harus memantau pekerjaan penting," kata Nico yang langsung berdiri dari posisi duduknya.
"Oh, ya. Pergilah," jawabku.
Nico pergi meninggalkan ruanganku. Tiba-tiba saja Ponselku berdering. Aku mendapatkan panggilan dari Rey yang memberitahu jadwal keberangkatan pesawat yang kuminta pesankan.
Karena Karren masih tidur, aku pun segera menyelesaikan pekerjaanku yang tersisa. Agar sepulang dari kantor, aku bisa langsung bersiap-siap dan pergi ke Prancis keesokan harinya.
***
Darren dan Karren turun dari taksi. Keduanya baru saja tiba di rumah orang tua mereka. Mereka berjalan menuju pintu utama, Karren menekan bel dengan perasaan berdebar. Tidak beberapa lama, pintu pun terbuka. Alberto membuka pintu, terkejut menatap Darren dan Karren.
"Ka-kalian ...." kata Alberto kaget.
Karren langsung memeluk erat Alberto, "Papi, aku merindukan Papi," Kata Karren yang langsung menangis.
"Oh, sayangku. Ini seperti mimpi," kata Alberto mengeratkan pelukan.
Tidak lama pelukan terlepas, Alberto menyeka air mata Karren dan mencium kening Karren. Pandangannya berpindah pada Darren.
Darren memeluk kilas Alberto, "Aku pulang, Pi." katanya.
"Selamat datang anak-anakku. Papi senang dengan kepulangan kalian," ucap Alberto terharu.
"Kakak ...."
"Kak Darren, Kak Karren .... "
Robert dan Rebeca keluar dari dalam rumah, di ikuti Janice.
"Hallo, Robert, Rebeca.. kakak merindukan kalian, "kata Karren memeluk kedua adiknya.
Darren menatap Janice, "Hai, Mami, aku merindukamu," kata Darren memeluk erat Janice
Janice menepuk punggung Darren, Sayangku, kau akhirnya pulang. Mami sangat merindukamu," kata Janice berkaca-kaca.
Darren melepas pelukan, "Maaf, sudah membuat Mami cemas." kata Darren.
Janice memuji putrnya semakin tampan. Karren langsung memeluk Janice, ia berkata ia sangat merindukan Janice. Punggung Karren ditepuk lembut oleh Janice, ia sangat senang putra dan putrinya pulang ke rumah. Mereka semua lantas masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan mengobrol.
***
Alberto dan Karren sedang berbincang. Terlihat Karren sedang kesal karena suatu hal.
"Papi, kenapa bertanya hal itu? kata Karren.
"Lalu?" sambung Alberto.
"Papi, aku tidak mau dijodoh jodohkan. Titik!" kata Karren menolak tegas
"Ayolah, dia pria baik." bujuk Alberto.
Karren diam dan hanya menatap tajam ke arah Alberto.
"Dia menyukai lukisan, dan dia mengerti seni. Dia ... " kata-kata Alberto di potong oleh Karren.
"Dia dia dia ... aku tidak suka dia. Papi jangan buat aku kesal. Aku akan marah," kata Karren.
"Ya,sudahlah. Papi tidak akan memaksamu," kata Alberto.
"Itu lebih baik. Oh, ya, Pi. Apa Papi tak mengunjungi Makam Oma dan Opa?" tanya Karren.
"Kenapa? kau mau mengunjungi mereka? nanti Papi coba bertanya pada Mami dulu," jawab Alberto.
"Hm, begitu. Baiklah. Aku keluar dulu, Pi. Mau bermain dengan Adik-adik." kata Karren.
"Ya, pergilah, sayang." jawab Alberto.
Karren pergi meninggalkan Alberto. Alberto terdiam. Ia menatap foto mendiang orang tuaya dan mendiang mertuanya.
Janice masuk dalam ruang kerja membawakan minuman herbal untuk Alberto.
Janice meletakkan minum di meja, "Ada apa? kau tampak sedih," tanya Janice.
"Tidak apa-apa. Hanya teringat Papa, Mama dan kedua mertua saja," jawab Alberto masih menatap ke arah foto.
Janice memeluk Alberto. Janice melihat foto mendiang orang tua Alberto dan mendiang orang tuanya.
"Papi, mami, aku sangat merindukan kalian. Apa kalian melihat? Kami sudah berkumpul sekarang. Anak anak kami tumbuh dengan baik," batin Janice.
"Sayang, ayo ke Inggris, aku ingin berkunjung ke makam mereka. Aku merindukan mereka," ajak Janice.
Alberto kaget, "kau tahu? tadi Karren bertanya apakah aku tak mengunjungi Oma dan Opa mereka," kata Alberto.
Janice melepaskan pelukannya, "Oh, benarkah? Dia sangat merindukan kwdua oma dan opanya. Kalau begitu, segeralah atur jadwal. Kalau bisa secepatnya kita pergi." kata Janice.
Alberto menganggukkan kepala, menatap Janice dan tersenyum tampan.
Alberto dan keluarganya mengunjungi pemakaman. Isak tangis mereka pecah. Alberto berdoa untuk orang tuanya dan kedua mertuanya. Begitu juga Janice. Janice juga mengunjungi makan Oma tercintanya, yang letaknya tak jauh dari makam orang tuanya. Darren, Karren, Robert dan Rebeca juga berdoa untuk para mendiang.
Ponsel Karren bergetar, Karren menyelesaikan doanya dan menjauhi pemakaman untuk menerima panggilan. Karren terlihat sibuk berdiskusi. Beberapa kali terlihat kesal. Karren berjalan perlahan terbawa oleh langkah kakinya. Mulutnya terus mengoceh dan tangannya bergerak-gerak. Karren menghentikan langkahnya dan berteriak. Karren memutuskan panggilannya.
"Hahh ... menjengkelkan!" sentaknya marah.
Karren melihat jalan, ternyata ia berjalan cukup jauh dari keluarganya. Ia segera berbalik dan tak sengaja menabrak seseorang.
Karren memegang hidungnya, "Aduh ... " gumamnya.
"Oh, maaf ... " ucap seseorang yang bertabrakan dengan Karren.
Karren mentap seseorang di depannya. Mata mereka saling memandang. Karren kaget, seperti mengenal .
"Ma-maaf. Aku tidak melihat jalan. Apa kau terluka?" tanya Karren.
"Tidak. Aku baik-baik saja. A-pa kau Karren?" tanya seseorang itu.
"Ya. Aku Karren. Bagaimana bisa kau tau namaku? Kau siapa?" tanya Karren.
"Ah, ternyata benar. Kau Karre. Apa kau melupakanku? Aku bahkan terus mengingatmu sampai terbawa dalam mimpiku," jawab seseorang itu.
"Pria tampan ini bicara manis sekali. Berapa banyak madu yang sudah dia minum? Jika aku mengenalnya mana mungkin aku lupa, dia sangat tampan. Ah ... bukan itu yang penting sekarang. Aku harus segera kembali," dalam hati Karen.
"Maaf, aku mungkin lupa. Bisa kau beritahu aku namamu?" tanya Karren.
"Aku Deric. Deric Willy," jawabnya.
"Hah? dia bilang apa? Si manja itu? Aku tidak menyangka dia tumbuh setampan ini. Ya Tuhan, mataku tak bisa berpaling darinya," batin Karren kaget.
"Oh, Deric. Putra Paman Dominic itu. Hallo, Deric. Senang bertemu denganmu," sapa Karren sambil tersenyum.
Karren dan Deric pun saling berjabat tangan sebagai tanda pertemuan mereka. Keduanya saling bertanya kabar dan berbincang. Sampai Karren ingat, jika ia harus segera kembali berkumpul dengan keluarganya. Ia lantas berpamitan pada Deric dan pergi. Karren melewati Deric dan berjalan menemui keluarganya.
Meihat Karren kembali, Alberto lantas mengajak keluarganya untuk pergi meninggalkan area pemakaman. Di parkiran, Alberto sekeluarga bertemu dengan Dominic dan Deric.
"Hai, Al. Lama tak berjumpa. Apa kabar?" tanya Dominic.
Alberto terkrjut, "Oh, Dominic. Apa kabar? kabarku baik," kata Alberto.
"Hallo, Jane. Bagaimana keadaanmu. Kau tampak sama. Senang bertemu kalian," kata Dominic.
"Senang bertemu denganmu juga. Tidak menyangka akan bertemu di tempat ini. Kau mengunjungi makam orang tuamu?" tanya Janice.
"Ya. Kami juga mengunjungi Rossa," jawab Dominic.
Janice terkrjut, "Ro-Rossa? Maksudmu?" tanya Janice menatap Deric, lalu menatap Dominic.
"Tak bisa kukatakan detailnya. Rossa kecanduan obat terlarang dan over dosis, lalu ... sudahlah. Tidak perlu membahasnya lagi." kata Dominic.
Janice mengerutkan dahinya, "Ah, maaf. Kami turut berduka," kata Janice.
"Turut berduka. Semoga kau diberi ketabahan, Dom." sahut Alberto.
"Ya. Terima kasih. Kebetulan kita bertemu, bagaimana jika duduk dan berbincang?" tawar Dominic.
"Boleh juga, kami juga sedang ingin minum teh dan makan kudapan," kata Alberto.
Mereka berjalan bersama-sama meninggalkan area pemakaman. Sampai mereka tiba di ke sebuah kafe.
Alberto, Janice dan Dominic duduk berdampingan. Darren menemani Robert dan Rebeca. Sedang Deric dan Karren sibuk memilih rasa es krim, karena melihat ada penjual es krim.
Dominic memuji Alberto, begitu melihat keempat anak Alberto. Kesempatan itu ia gunakan untuk menggoda teman lamanya itu. Alberto hanya tertawa, karena ia sendiri tak menyangka akan memiliki empat anak. Alberto juga memuji ketampanan Deric yang menurun dari Dominic.
Tak beberapa jauh, Karren dan Deric terlihat duduk semeja. Mereka saling berbagi pengalaman pekerjaan masing-masing. Keduanya tampak akrab. Karren dan Deric begitu menikmati es krim yang mereka beli. Mata mereka sesekali memandang, dan mereka tersenyum satu sama lain. Cukup lama kedua keluarga itu bercengkrama, sampai alhirnya mereka berpisah jalan.
***
Alberto dan keluarganya berencana tinggal di Inggris selama satu minggu. Waktu luang digunakan Darren untuk berkeliling menggali beberapa informasi bisnis. Sedang Karren sibuk dengan ponselnya karena tak ada kegiatan penting. Robert dan Rebbeca sibuk bermain bersama Janice dan Alberto.
Alberto mengetuk pintu kamar kamaren dan memanggil putrinya. Ia ingin menanyakan sesuatu.
"Sayang, kau di dalam?" tanya Alberto.
Karren membuka pintu dan menatap Albrto. Melihat putrinya rapi dan berdandan, membuat Alberto penasaran dan bertanya ke mana Karren akan pergi. Karren menjawab, jika ia akan pergi jalan-jalan bersama Deric.
Alberto mengerutkan dahi. Ia segera meminta Karren berganti pakaian dan mengenakan celana. Ia tidak ingin Deric terpesona dan menyukai Karren karena penampilan Karren yang mencolok.
"Kenapa ganti. Gaun ini panjang," kata Karren.
"Tidak ada tawar-menawar. Kalau kau ingin pergi, cepat ganti dengan celana panjang dan kemeja. Kalau tidak mau, Papi tak izinkan kau pergi." kata Alberto.
Karren masuk dalam kamar dan menutup pintu. Ia segers berganti pakaian dan tak lama keluar kamar. Alberto menatap dari atas sampai bawah.
'Gadisku ini pakai apa saja tetap cantik. Pakai celana panjang dan kemeja lebih terlihat cantik dari yang tadi. Aku tidak boleh melepaskan begitu saja pada sembarangan pria," batin Alberto.
"Aku sudah boleh pergi, kan?" tanya Karren.
"Hm, boleh. Penampilan ini lebih bagus dari yang tadi," Puji Alberto.
Karren lantas berpamitan. Belum sampai ia melangkah pergi, tiba-tiba Alberto menarik tanga Karren dan mengatakan akan ikut jalan-jalan bersama Karren dan Deric. Karren kaget, tapi ia tak bisa menolak sang Papa yang terlihat serius ingin ikut.
***
Karren merangkul lengan Alberto. Deric kaget melihat Alberto yang ikut naik mobil dengan Karren.
Karren menatap Deric, "Deric, papi ku mau ikut, boleh kan?" tanya Karren.
Deric tersenyum canggung, "Tentu boleh," jawab Deric. Deric langsung mengemudikan mobilny pergi.
Deric merasa sedih dan kecewa. Padahal ia berencana mengajak Karren menonton bioskop dan makan malam romantis agar Karren terkesan. Namun, sayangnya rencananya itu gagal. Di sisi lain, Alberto wasapada terhadap Deric. Walau bagaimanapun, Deric adalah putra temannya yang sempat bermusuhan dengannya. Ia tidak bisa membiarkan Karren hanya berdua saja dengan Deric.
***
Alberto, Karren dan Deric akhirnya sampai di sehuah pusat perbelanjaan.
"Paman, sudah makan? Mau makan dulu?" tawar Deric.
"Paman tidak lapar," jawab Alberto.
Deric diam sesaat. Ia bingung, harus apa. Ia pun menawari untuk nonton film dan Karren pun setuju. Deric pergi membeli tiket dan langsung kembali. Ia mengatakan, kalau ia mmebeli tiket film yang beberapa menit lagi akan segera tayang pada Karren. Karren mengangguk setuju, tak mempermasalahkan soal itu.
Deric mengajak Karren dan Alberto untuk segera masuk ke dalam studio. Mereka mencari tempat duduk. Deric mempersilakan Karren duduk, dan tiba-tiba saja Alberto menyela, duduk di samping Karren. Deric sempat terkejut, ia langsung duduk di samping Alberto. Tidak lama kemudian Film diputar. Sepanjang film diputar Karren fokus dan menikmati film, begitu jugabDarren. Namun, Alberto merasa aneh melihat adegan dalam film. Ia merasa film itu tak cocok dengannya yang sudah berumur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!