NovelToon NovelToon

Senior Cantik Incaranku

Siapa sebenarnya Ayuna?

Pov. Danu Narendra

Senin pagi, aku sudah terburu-buru berangkat ke kantor mengetahui jika ini adalah hari pertamaku dipindahkan dari kantor cabang yang ada di Bogor ke kantor pusat di Jakarta.

Aku melajukan mobil Honda Jazz berwarna merah milikku dengan kecepatan sedang, karena jalan di Ibu kota masih terpantau lengang. Bahkan aku berfikir jika aku terlalu pagi ke kantor. Padahal jarak Apartementku tidak begitu jauh, hanya berkisar enam kilo meter saja.

Ternyata begini rasanya, meski sudah berpengalaman selama dua tahun di kantor cabang tetap saja aku merasa deg-degan. Aku merasa seperti anak baru, tapi memang begitulah kenyataannya. Aku memang anak baru di sini, aku harus beradaptasi lagi dengan lingkungan dan orang-orang di dalamnya.

Yah tak apa, setidaknya dengan pemindahan di Jakarta aku bisa lebih dekat dengan keluargaku dan yang pasti gajiku naik. Lumayanlah untuk biaya melamar Fathin Khairunissa.

Ya, Fathin dia adalah kekasihku. Sudah dua tahun aku dan dia menjalin hubungan baik. Tapi, Fathin saat ini sedang fokus berkuliah. Dia mengambil jurusan yang lumayan bagus menurutku, setidaknya nanti dia akan menjadi Guru dan mudah-mudahan bisa melahirkan murid-murid yang baik dan pintar. Tugas yang mulia untuk Fathinku.

Tidak sepertiku, yang hanya menjadi seorang karyawan kantor swasta. Tapi setidaknya aku memiliki penghasilan dan bukan pengangguran atau penikmat harta orang tua. Bagiku, lelaki sejati adalah lelaki yang pekerja keras dan bertanggung jawab. Sungguh beruntung wanita yang akan menjadi istriku nanti.

Aku memang begitu percaya diri, atau bahasa kerennya sekarang itu PEDE. Yang penting jangan over pede saja.

Kepercayaan diriku inilah yang membuat atasanku, Pak Ruslan. Ia merekomendasikan agar diriku di pindahkan ke kantor pusat yang infonya kekurangan orang.

Aku sudah tiba di kantor Pusat, kutarik nafasku panjang lalu menghembuskannya perlahan. Aku harap nanti di dalam sana tidak ada perasaan gundah atau gerogi dalam diri ini. Aku juga tidak ingin membuat kesan pertamaku masuk kerja menjadi jelek.

Dan akhirnya, aku bertemu dengan seorang pria maskulin dengan buku dan bulpoin ditangannya.

"Apakah anda Danu Narendra?" Tanya pria itu padaku.

"Ya, saya Danu Narendra." Aku menjawab dengan tegas. Menumpaskan perasaan gerogiku saat ini.

"Mari ikut saya ke ruangan Pak Robert," pintanya padaku.

Aku hanya mengangguk pelan, ku ikuti langkahnya dari belakang. Hingga akhirnya kami pun sampai di sebuah ruangan yang lumayan luas. Namanya juga ruangan Boss.

"Selamat datang, Danu," sapa pak Robert kepadaku.

"Terimakasih pak Robert, senang bertemu Bapak."

Aku tak ingin berbasa-basi lebih banyak, karena menurut informasi dari Pak Ruslan, Pak Robert orangnya begitu dingin dan tak ingin berbasa-basi. Dia juga tak suka bercanda.

"Satria, antar Danu ke ruangan divisi baru, dan serahkan dia pada Ayuna."

"Baik pak."

Aku dan pria yang bernama Satria itu pun melangkah menuju ke ruangan lain. Aku tidak tahu akan diserahkan kepada siapa, yang jelas saat pak Robert tadi berkata dia menyebutkan nama seorang wanita.

Mungkin wanita itu nanti yang akan memimpinku, entahlah aku belum berpengalaman jika dipimpin seorang wanita. Mudah-mudahan wanita itu tua renta dan tidak galak, aku sempat terkikik jika membayangkannya.

Setelah Satria dan aku berbelok ke sebuah ruangan yang berisi sekitar tiga orang, Satria menyapa semua penghuni yang isinya hanyalah wanita.

Busyet! Di sini aku merasa paling tampan diantara penghuni lainnya.

"Pagi semua," sapa Satria dengan senyum semangat.

"Pagi Mas!" Jawab semua serentak, seperti mendapat sapaan pagi dari guru saja fikirku. Namun, satu orang berkacamata itu tidak ikut menjawab.

"Teman-teman, kita kehadiran anggota baru," jelas Satria memeperkenalkan.

Semua orang menatap ke arahku, seakan tatapan haus. Aku hanya bisa menelan salivaku menerima tatapan mereka semua. Mereka yang melihatku terkagum-kagum, kuakui diriku memang memiliki tampang lumayan. Tapi setidaknya jangan menatapku lapar seperti ini, itu semua bisa membuatku mati kutu.

"Wauuu ..." Ucap salah satu wanita putih dengan rambut pinknya yang terus menatapku. Aku geli melihat rambutnya itu, tampangnya malah seperti anak punk.

Sementara disebelahnya ada seorang wanita cantik yang terlihat kalem memandangku tanpa berkedip disertai senyuman yang begitu manis.

Namun aku heran, ada satu orang wanita yang menjadi pusat perhatianku, dia duduk di pojok sana seperti tak menganggap kehadiranku. Dia terlihat sibuk dengan terus menatap komputer, serta tangannya yang menari-nari di atas keyboard.

"Yuna," panggil Satria.

"Langsung perkenalkan diri saja!" Ucap wanita yang di pojok sana tanpa memalingkan wajahnya.

"Ayuna Maharani, kau memang pekerja keras. Tapi setidaknya sambutlah dulu anggota baru di timmu!"

"Satria Dwi Sasongko, apa kau akan bertanggung jawab jika pak Robert memecatku?"

Wanita yang dipanggil Yuna itu berbicara, namun matanya masih tak berpaling dari layar komputer didepannya. Aneh, baru kali ini aku menemukan orang seperti dia.

"Oh, lanjutkan saja pekerjaanmu itu, Nona Ayuna."

Satria tak lagi berkomentar setelah menerima jawaban dari Yuna. Ia pun meminta diriku untjk segera memperkenalkan diri.

"Ayo, Danu. Perkenalkan diri,"

"Hai semua, aku Danu Narendra. Mohon bimbingannya," Aku perkenalkan diriku sesingkat mungkin dengan bonus senyuman ramah.

"Panggil aja Danu," ucap seorang wanita dengan rambut pink itu.

"Panggil aku Gita," lanjut wanita itu melambaikan tangan lentiknya.

"Aku Syifa," wanita yang kalem itu pun bersuara dan terus memberi tatapan hangat padaku.

"Hai, senang bertemu dengan kalian," ucapku menjawab sapaan Gita dan Syifa.

"Baiklah, untuk pertanyaan lain nanti saja ya sambil berjalannya waktu. Mungkin kalian akan ngobrol-ngobrol sedikit," Satria meminta diriku untuk duduk di sebuah kursi yang berada dekat dengan posisi wanita yang bernama Yuna itu.

"Ayuna, ajarin dia. Apa aja tugasnya, apa yang mesti jadi tanggung jawabnya, jangan dikacangin mulu!" kali ini Satria berbicara santai dengan Yuna.

"Ish, tenang aja. Aku bakal kasih didikan militer sama dia, Sat,"

"Jangan kecantol, dia berondong!" Satria terkikik.

"Yee, kamu tu ya kalo ngomong asal! Minta dikepret!" Yuna memukul lengan Satria dengan sebuah buku agenda berwarna hitam.

"Kekerasan kamu mah, lembut dikit napa, Yuna? Jangan galak-galak!" Satria mengusap lengannya perlahan merasa sakit akibat pukulan dari Yuna.

"Pergi sekarang, kamu buang-buang waktu aku aja!" Yuna kini mengusir Satria.

"Iya, iya." Satria pun pergi menuju ke luar ruangan.

"Eh Danu, ati-ati ya dia galak kayak singa. Bisa-bisa kamu diterkam!" Satria pun pergi keluar dengan langkah sedikit cepat diiringi tawanya karena telah berhasil menjahili Ayuna.

Tak ada tanggapan apapun dari Yuna. Hanya Gita dan Syifa yang sesekali terlihat mengulum senyum karena perkataan Satria. Untuk diriku sendiri, aku masih dalam keadaan aman. Tak ingin terlalu ikut campur dalam keakraban mereka.

"Oke, silahkan duduk," pinta Yuna padaku.

"Baik, Bu," aku duduk di kursi tepat bersebelahan dengannya. Dan aku terus menatap wanita berpenampilan simpel, berkacamata bulat, namun terkesan cuek ini. Aku menunggunya mengeluarkan kata-kata, namun sudah lima menit benar kata Satria, aku dikacangin.

"Bu, Yuna?" Tanyaku mencoba memberinya sebuah alarm jika aku masih hidup dan tidak harus didiamkan terus seperti ini.

Yuna memutar kursinya dan tepat mengarahku. Sejenak ia menatapku, mungkin hanya tiga detik setelah itu ia kembali menatap layar komputernya.

"Yuna, jangan dicuekin dong. Danu kan bakalan bantuin kamu," ucap Gita dari tempat duduknya.

"Kamu nggak mau 'kan kalo terus-terusan kerja dauble?" sambung Gita lagi.

"Mba, Yuna itu sebenarnya nggak cuek, dia cuma lagi mikir mau kasih tugas apa sama Danu," sahut Syifa memberi pembelaan.

"Berisik! Selesain aja kerjaan kalian, atau kalian yang mau ngajarin dia?" Yuna pun mengeluarkan suara dengan nada sedikit tinggi.

Menurutku, Yuna terkesan cuek dan sensitif. Aku belum mengenalnya, tapi aku sudah bisa menilainya.

"Aku udah print semua tugas-tugas kamu," Yuna meraih beberapa lembar kertas yang baru saja keluar dari mesin printer di dekat mejanya. Dia pun menyerahkan kertas-kertas itu padaku.

"Aku liat kamu nggak bawa buku, mungkin ini bisa ngebantu kamu buat nginget. Kalo ada yang kurang jelas, bisa tanya lagi ke aku. Hari ini kamu belajar aja dulu,"

Yuna pun melanjutkan pekerjaannya kembali. Namun disatu sisi, aku kagum padanya. Meski terkesan cuek, dia ternyata seorang yang peduli. Benar, aku tak membawa buku catatan. Sungguh aku sangat kalap hingga melupakannya, untung saja Yuna memberiku ampun kali ini.

"Apa ada yang nggak paham?" Yuna kembali bertanya kepadaku, namun matanya masih tak menatapku.

"Untuk materinya aku sudah paham, Bu, cuma alangkah baiknya kalo belajar sambil praktek."

Tak ingin berlama-lama, aku lebih suka langsung bekerja daripada harus bersantai untuk belajar di hari pertama.

"Okey," Yuna beranjak dari duduknya, ia berjalan cepat ke arah mejaku.

Yuna mengajariku hal apa saja yang harus aku kerjakan, data apa saja yang harus aku laporkan, serta poin-poin apa saja yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan Pak Robert, pemimpin perusahaan tempat kami bekerja.

Aku menerima penjelasan Yuna dengan baik, ternyata dia juga pandai dalam berbicara hingga membuat aku bisa dengan mudah mengerti.

Sedikit informasi, aku dan Yuna bekerja di perusahaan periklanan. Yuna adalah seorang Copywriter atau lebih dikenal dengan penulis naskah yang akan dipersiapkan untuk iklan. Sedangkan aku saat ini mengemban tugas sebagai Graphic Designer. Tidak ada atasan atau bawahan antara kami, tetapi aku menganggap jika Ayuna adalah Seniorku.

Untuk hari ini, Yuna amat membantuku meski terkadang masih bersikap dingin. Aku juga tak berani jika harus sok kenal sok dekat dengannya. Aku lebih memilih cari aman saja, daripada nanti akan dimarahi olehnya.

Melihatnya memarahi Satria dan disegani oleh Gita juga Syifa sudah membuatku tahu jika wanita ini benar-benar kaku dan emosional. Ya sudahlah, untuk hari ini aku cukup menerima saja apa yang diajarkan Yuna.

Waktu istirahat pun tiba. Gita dan Syifa mengajakku untuk pergi ke cafetaria kantor. Namun aku menolaknya dengan dalih ingin ke toilet lebih dulu.

Gita dan Syifa pun meninggalkan ruangan, yang tertinggal di sini hanyalah aku dan Yuna.

Ingin sekali aku menyapa senior baruku itu, tapi kulihat sepertinya ini waktu yang tidak tepat. Karena sebelum mulutku terbuka, Yuna sudah menempelkan ponsel ditelinganya. Sepertinya saat ini ia sedang menerima panggilan penting.

"Ya benar, saya sendiri."

"Apa?!!!"

Dapat aku lihat dengan jelas guratan kekhawatiran pada wajahnya, sampai helaan nafasnya yang tak teratur pun dapat terdengar ditelingaku. Matanya yang kini mulai memerah dan berkaca-kaca pun sudah terlihat. Entah apa masalah yang ia hadapi kali ini, namun sepertinya sebuah beban berat saat ini sedang menimpa dirinya.

Setelah itu, Yuna pun segera mengambil tasnya. Ia beringsut pergi dengan tergesa-gesa tanpa mempedulikan jika masih ada aku di sini.

"Bu, Yuna," panggilku, namun Yuna tetap saja berlari tanpa menghiraukanku.

Ingin sekali aku mengejar dan bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Namun, lagi-lagi aku sadar diri jika aku tidak harus ikut campur masalah orang lain. Apalagi dia adalah Seniorku yang baru.

Sejauh ini, hatiku terus bertanya-tanya. Siapa sebenarnya Ayuna??

Siap baca kelanjutannya???

Nih!! Othor kasih Visualnya. Biar bacanya makin semangat!!

Ini hanya pandangan Othor semata, kalau readers punya pandangan atau khayalan lain, boleh² saja 😀

Jangan lupa tinggalkan jejak...

LIKE, KOMENT, VOTE dan GIFTnya....

Visual Ayuna Maharani.

Visual Danu Narendra.

Kebohongan yang terbongkar

Pov. Ayuna Maharani

Aku berfikir setelah pernikahanku dengan Mas Bagus akan mendatangkan sebuah bahtera rumah tangga yang bahagia. Ternyata aku salah, selama enam tahun aku menjalani hubungan jarak jauh saat masih pacaran, hingga dua tahun pernikahan kami, nyatanya keadaan kami tak berubah meski sudah memiliki seorang putri.

Mas Bagus, dia lebih memilih tetap bekerja di kantor lamanya yang berada di luar kota, tepatnya di kota Bandung. Satu minggu sekali dia baru akan kembali mengunjungiku dan Dinda Putri Prasetya, buah hati kami yang saat ini sedang berusia satu tahun.

Terkadang, saat tanggal tua Mas Bagus tidak pulang dengan alasan uang yang sedang limit. Sedih memang, tapi mau bagaimana lagi? Aku bekerja di Jakarta sedangkan Mas Bagus di Bandung. Jarak yang cukup menyita waktu, bukan?

Untuk saat ini, belum ada yang mengalah diantara kami berdua untuk melepaskan pekerjaan kami, karena kami bekerja sama-sama sebagai karyawan lama di perusahaan masing-masing. Selain itu, masih banyak hal lain yang kami pertimbangkan.

"Yuna," panggil Mas Bagus ketika dia baru saja selesai mandi setelah beberapa menit yang lalu tiba dari Bandung.

"Emmm..," aku hanya menjawab samar-samar dengan suara yang sedikit berbisik karena Dinda saat ini sedang tidur dan aku pun sudah memejamkan mataku.

"Yuna ... " panggil Mas Bagus lagi dengan menggoyang-goyangkan sebelah lenganku.

"Iya, Mas," jawabku malas. Jujur saat ini aku sedang merasa sangat mengantuk dan tidak suka ketika Mas Bagus harus mengganggu tidurku.

"Yuna, ngadep kesini. Aku kangen loh!" Mas Bagus mulai menarik tubuhku dan memelukku dari belakang karena posisiku saat ini memunggunginya dan menghadap ke arah Dinda.

"Mas, aku ngantuk!"

Jelas aku tahu apa yang sebenarnya Mas Bagus inginkan dariku. Bukan aku sedang malas, bukan juga tak ingin melayani suami. Aku saat ini memang sedang datang bulan. Karena aku menjalani KB. Hal itu membuat siklus menstruasiku tidak lancar. Apalagi rasa nyeri yang sering datang timbul, tak karuan rasanya.

"Hmm ... " Mas Bagus menghembuskan nafas panjang, sepertinya Mas Bagus mulai kesal padaku.

"Jangan alesan kalo kamu haid lagi," celetuk Mas Bagus.

Aku memilih tak melanjutkan perkataanku, bukan sekali dua kali, bahkan berulang kali aku sudah berdebat dengan Mas Bagus karena masalah ini dan akhirnya kami pun akan bertengkar.

Mas Bagus memang penyabar, tapi untuk masalah satu ini ia amatlah sensitif. Dia tak pernah mau tahu alasan apapun, yang ada dia malah menganggap jika aku sudah tak menyukainya lagi. Dia juga menuduhku bosan padanya, hingga tak mau melayaninya.

Tengah malam, Dinda merengek karena minta dibuatkan susu. Sebagai seorang pekerja, aku memang tak memberikan ASI pada anakku. Aku lebih memilih susu formula. Bukan tak sayang anak atau takut tubuhku berubah bentuk, tapi menurutku ini adalah pilihan yang tepat karena sejak usia Dinda dua bulan, ASIku tak lagi keluar.

Mas Bagus pun bangun dan membuatkan susu untuk Dinda, tapi Dinda merasa tak puas oleh susu buatan Mas Bagus. Entah karena itu terlalu panas, atau kurang takaran, aku tidak tahu sering kali Dinda melempar botol susunya dan malah menangis.

"Ndaaak ... " rengek Dinda sambil melempar botol susunya.

Padahal aku sudah berulang kali menjelaskan kepada Mas Bagus, jika membuat susu untuk Dinda jangan terlalu panas dan takarannya pun harus lima sendok untuk satu botol susu. Akhirnya, aku lah yang selalu membuatkan susu untuk Dinda.

"Mama," rengek Dinda lagi dengan sedu sedannya.

"Iya sayang, ini Mama yang bikinin."

Aku merasa kesal terhadap Mas Bagus, karena ada dia atau tidak tetap aku yang mengurus anak kami. Padahal jika dia pulang ini kesempatan untuk diriku sedikit beristirahat pada malam hari. Aku berharap ia akan menggantikanku sementara mengurus Dinda setelah lima hari penuh aku yang mengurusnya.

Bukan aku merasa terbebani dengan mengurus Dinda, tapi aku hanya menginginkan kerja sama diantara kami berdua untuk merawatnya.

Kadang mas Bagus malah menyebutku 'perhitungan sama suami' karena aku selalu saja meminta dirinya untuk bergantian mengurus Dinda jika di hari libur.

Aku kecewa, marah, emosi, ketika Mas Bagus mengecapku sebagai istri perhitungan. Lah, dia saja terus-menerus bermain ponsel dan menyemburkan asap rokoknya setiap hari. Sebenarnya siapa disini yang perhitungan? Terlihat jelas, bukan?

Aku bukanlah wanita penyabar, aku ini seorang wanita yang sangat emosional. Bukan seperti di film-film yang terus menurut dengan suami. Melihatnya ongkang-ongkang kaki aku merasa cemburu. Cemburu karena ia tak bisa memberikan waktu luangnya untuk aku dan anakku.

Ya, dia memang bekerja untuk aku dan Dinda. Tapi, aku juga bekerja ekstra untuk Dinda dan dirinya. Toh, jika mengandalkan gajinya saja mungkin aku takkan bisa bayar sewa rumah dan pengasuh Dinda. Bukan sombong atau tidak pandai bersyukur karena bisa berpenghasilan sendiri, tapi semua ini demi anak dan membantu suami untuk mencukupi kebutuhan kami.

Aku ini juga bekerja, Mas? Aku juga ingin santai sebentar setelah hampir seminggu penuh mengurus anak dan bekerja. Belum lagi harus membereskan rumah dan memasak. Anak juga butuh perhatian dari kamu, tapi bukannya bermain dengan anak, kamu malah sibuk sendiri dengan ponsel sialan itu. Bahkan tidurpun ponsel itu selalu didekapannya.

Hanya batinku yang terus mengomel. Apa mungkin omelanku ini suatu hari akan meledak? Mungkin saja. Jika Mas Bagus tidak berubah dan terus saja nyaman dengan sikapnya.

Tapi apalah daya, daripada anakku yang terlantar dan kurang perhatian lebih baik aku mengalah. Ketika Mas Bagus ada di rumah, aku lebih memilih membawa anakku bermain ke luar atau ke rumah tetangga.

...****************...

Minggu sore, Mas Bagus hendak bersiap-siap untuk kembali lagi ke Bandung. Dia membereskan tas dan juga perlatannya yang lain. Memang begitulah kehidupan kami setiap hari. Malam minggu Mas Bagus pulang, malam senin pun dia harus kembali lagi ke Bandung.

"DRTTTTT ......DRRRTTTTT ....."

Kudengar Ponsel Mas Bagus tak berhenti bergetar. Ya, sepengetahuanku sebagai istrinya selama dua tahun ini, Mas Bagus memang tidak pernah memberi nada panggilan untuk ponselnya. Hanya getaran saja, untuk alasannya aku tidak tahu. Karena aku tidak pernah mengutak-atik ponsel miliknya. Begitu pun sebaliknya, kami memegang teguh sebuah kepercayaan satu sama lain.

"Mas, Hapenya, tuh! Ada yang telepon kayaknya," aku sedikit bersuara tinggi karena Mas Bagus sedang di kamar mandi.

"Udah, biarin aja!" jawab Mas Bagus.

Tapi ponsel mas bagus memang terus saja bergetar, hingga aku tak sabar dan langsung mengambilnya dari dalam tas. Aku hanya khawatir jika itu panggilan penting atau darurat.

Saat panggilan dengan nomor tak dikenal itu aku jawab, tak ada suara seorang pun di sana.

"Hallo, hallllo ... " aku pun memilih meletakkan kembali ponsel Mas Bagus.

Namun saat aku ingin meletakkan ponsel itu, aku melihat sebuah kantung hitam kecil yang menurutku begitu asing.

Aku memberanikan diri mengambil kantung kecil itu, meski ini terlihat lancang. Tapi ini demi membuat rasa penasaranku terbayar.

Aku pun membukanya. Dan betapa terkejutnya aku setelah mengetahui apa isinya.

Marah, kecewa, sedih campur aduk jadi satu. Aku tidak pernah menyangka jika menemukan benda-benda yang biasa digunakan untuk memakai benda terlarang itu ada di dalam tas milik suamiku.

"Ya, Tuhan ... "

Aku tidak bisa lagi menahan gejolak amarah di dalam diriku. Hanya kata prngampunan yang terus aku sebutkan tanpa henti. Berharap Tuhan memberi pengampunan padaku, juga suamiku.

Sesak dan lemas rasanya, ketika aku menganggap jika suamiku ini baik-baik saja. Ternyata dugaanku salah besar, pantas saja semua uang tabungan kami ludes entah kemana, uang bulanan darinya pun semakin berkurang, bahkan dua bulan ini Mas Bagus hanya memberiku seperempat gajinya saja. Atau jika dirupiahkan hanya berkisar lima ratus ribu rupiah sebulan. Lalu sisa lima jutanya kemana??

"Yuna??" panggil Mas Bagus padaku.

"siapa yang telepon?"

"Ini apa, Mas?"

Aku tak menjawab pertanyaanya. Aku malah menunjukkan benda terlarang yang aku temukan tadi dihadapannya dengan penuh amarah dan emosi.

"Yuna!!" Mas Bagus terlihat marah, ia pun merebut kembali benda itu dari tanganku.

"Mas? Jadi bener kamu pake obat terlarang itu??" Tebakku.

"Yuna, ini bukan apa-apa,"

Mas Bagus berusaha memasukkan kembali kantung hitam yang tadi aku temukan, namun aku segera merebutnya dan melemparnya kesembarang arah.

"Mama ... "

Dinda pun mengarah kepada benda yang tadi aku lempar, ia berusaha meraihnya. Namun aku segera mengambilnya, karena aku tak mau mata atau tubuh anakku terkontaminasi dengan barang haram itu.

"Mas, kamu nggak takut nambah dosa?? Apa karena benda ini uang tabungan kita abis? Apa karena ini juga kamu sudah ngurangin jatah bulanan buat anak dan istrimu?!!"

Dengan mata yang memerah dan mengeluarkan air bening, aku luapkan kemarahanku pada Mas Bagus.

"Yuna, bukan gitu." Mas Bagus sepertinya tidak bisa menjelaskan apapun. Dan aku tahu jika dia sudah bersikap seperti itu pertanda dia memang bersalah.

"Aku kecewa sama kamu, Mas!!"

Aku menggendong Dinda, dan membawa benda itu untuk ku buang jauh-jauh. Dengan isakan tangis, Dinda terus saja memperhatikanku tanpa kata. Kali ini mungkin dia tahu jika ibunya sedang tidak baik-baik saja.

"Ayuna!!!" Panggil Bagus dengan keras.

"Apa lagi, Mas? Apa lagi yang mau kamu omongin?"

Aku tidak tahan dengan sikap Mas Bagus. Dia bertindak seenaknya terhadapku. Apa lagi setelah aku mengetahui jika Mas Bagus kini menggunakan barang terlarang. Siapapun akan tahu hukuman berat apa yang diterima jika menggunakan barang itu.

"Jangan karena kamu kerja, kamu jadi istri yang ngelawan sama suami!" Mas Bagus masih berbicara dengan nada tinggi.

Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Mas Bagus mengucapkan hal ini, apakah dia hanya ingin membuat pengalihan pada inti pembicaraan kami sebelumnya?

"Aku nggak bermaksud ngelawan kamu, Mas. Kamu yang buat aku bersikap kayak gini, kamu maksa aku untuk terus ngertiin kamu, liat sekarang, Mas?,"

Mas Bagus masih memasang wajah marahnya. Sementara Aku sudah tidak bisa lagi menahan air mata yang sejak tadi terbendung. Belum lagi tangisan Dinda yang membuat Aku semakin pusing.

"Yuna, ini nggak seperti yang kamu fikirin. Dengerin aku dulu," pinta Mas Bagus dengan nada yang sudah melembut.

"Apa yang harus aku dengerin, Mas? Kamu mau ngomong kalo emang bener kamu MAKE obat itu, gitu 'kan?"

Aku sudah terlewat kesal, Mas Bagus mungkin tidak pernah tahu bagaimana amarahku jika sudah keluar.

"Yuna, aku khilaf ..."

"Jadi, kamu ..."

Aku tidak tahan lagi, tubuhku pun terhuyung dan jatuh di atas lantai. Untung saja Dinda yang masih ada dalam gendonganku mampu kutahan.

"Ayuna, ini cuma selingan. Aku nggak akan make lagi," ucap Mas Bagus penuh penyesalan.

Mungkin terdengar menyesal, tapi aku tidak tahu apakah suamiku ini ketergantungan obat itu atau tidak.

"Kamu nyesel?"

Aku menatap mata Mas Bagus dengan tajam. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya.

"YA," ucap Mas Bagus dengan lirih disertai anggukan kecil.

"Terus, di mana uang tabungan kita?"

"Yuna, uang itu sudah ilang. Aku nggak tau,"

"Kamu BOHONG!!!" Sergahku.

Aku tahu, setelah ini Mas Bagus akan terus berbohong dan berbohong lagi untuk menutupi beberapa kebohongannya yang lain. Keyakinan diriku bukan sampai di sini saja, aku pun mempertanyakan perihal dia untuk pindah bekerja dan mencari pekerjaan lain di satu kota yang sama denganku.

"Tinggalin kerjaan kamu, pindah dan cari yang lain di Jakarta!"

"Yuna, nggak bisa gitu. Aku udah lama kerja di sana, aku nggak enak sama atasan yang sudah percaya sama aku selama bertahun-tahun,"

Benar dugaanku, Mas Bagus menolak keinginanku itu. Alasannya pun masih sama. Tak enak dengan atasannya.

"Kamu nggak enak sama boss kamu, tapi kamu bersikap seenaknya sama anak istri!"

Sengaja ku tantang Mas Bagus, aku ingin tahu apa yang akan dia pertahankan. Pekerjaannya di Bandung, atau memilih ikut bersamaku di Jakarta.

"Yuna, kita bisa omongin ini nanti. Aku tau suasana hati kamu lagi panas, nggak bisa diajak kompromi," Mas Bagus memeluk tubuhku pelan. Ia mengambil Dinda dari pangkuanku.

"Dinda, Papa berangkat dulu," Mas Bagus mengecup pipi dan kening Dinda pelan. Memberi pesan seperti biasanya jika ia akan berangkat kerja.

"Aku mau kita tuntasin dulu pembicaraan kita, Mas!" Aku mencegah kepergian Mas Bagus. Aku curiga pamitnya ini hanya untuk menghindar dari topik pembicaraan kami.

"Ayuna! Coba sekali aja kamu nurut sama aku!!!"

Mas Bagus menaruh Dinda di pangkuanku lagi. Sepertinya kali ini ia sudah mulai emosi kembali.

"Aku bukan perempuan penurut, apalagi dengan suami yang terus ngebohongin aku!"

PLAK!!!!!

Pertama kalinya, wajah ini mendapatkan tamparan keras dari suamiku sendiri. Rasa panas di wajah ini masih kalah dengan rasa sakit di dalam hatiku. Tak apa, aku berusaha untuk lebih kuat. Aku kuat. Aku tak selemah yang dia kira.

Dari situ, aku bertekad dan benar-benar bertekad untuk melawannya. Mungkin aku akan disebut istri durhaka, tapi aku tak peduli karena aku bukan tipe wanita yang hanya bisa menangis saat disakiti dan harga diriku yang terus diinjak-injak.

Suara tangisan Dinda kian menggema seisi ruangan, aku pun memilih untuk bangun dan menenangkannya terlebih dahulu.

"Yuna," panggil Mas Bagus dengan menarik tanganku.

Aku tak mempedulikannya, aku menghempas tangannya itu kemudian pergi ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat.

Sejak saat itu, aku tak ingin lagi berbicara dengan Mas Bagus. Bukan karena tamparannya saja, sepertinya masih banyak hal lain yang tak terduga yang telah Mas Bagus sembunyikan dariku.

Kehilangan (Cobaan terberat)

Pov. Ayuna Maharani

Aku terus menelpon nomor Mas Bagus berulang kali, namun tidak pernah bisa terhubung karena berada di luar jangkauan. Entah apa yang Suamiku itu kerjakan, hingga malam tiba pun nomor teleponnya masih tetap di luar jangkauan. Aku pun memilih mengirimkan Mas Bagus sebuah pesan singkat dan memberitahunya jika Dinda sedang sakit.

[Dinda sakit, bisa kamu pulang sekarang, Mas?]

Hanya itu yang bisa aku katakan padanya, aku menghubunginya bukan karena keinginanku, jujur aku masih marah terhadapnya. Tapi karena dia masih ayah dari Dinda, dan suamiku, aku harus membuang jauh rasa egoku. Jika aku tidak memberitahu kepadanya, mungkin suatu saat dia akan marah besar. Kucoba menepiskan sedikit rasa sakit hatiku terhadapnya, demi Dinda. Namun setelah begini, aku semakin paham Mas Bagus memang tidak begitu peduli terhadap anak dan istrinya.

Dari siang, hingga malam kini bertemu pagi lagi, Mas Bagus masih tidak ada kabar. Sementara keadaan Dinda semakin parah, panasnya tinggi dan aku terpaksa harus membawanya ke rumah sakit.

Aku mengirim pesan kepada Satria, memberitahu jika tidak bisa masuk kerja hari ini dikarenakan Dinda sedang sakit. Aku juga memintanya untuk membantu pekerjaan karyawan baru pindahan dari kantor cabang kemarin. Karena ada hal yang belum sempat kujelaskan.

Aku menemani Dinda sendirian, dengan keadaan Dinda yang tidak sadarkan diri, serta banyaknya selang yang terpasang pada tubuh anakku itu membuat hatiku terasa teriris dan hancur.

Sebagai seorang Ibu, jika bisa ditukar maka aku akan sangat bersedia menggantikan Dinda yang sedang sakit. Aku sungguh tak tega melihatnya terbaring lemah tak berdaya diatas brankar, apalagi banyaknya selang dan jarum yang ditusuk ketubuhnya.

Anak sekecil itu harus menderita dan merasakan sakit, aku sungguh tak sanggup melihatnya. Tangisku pecah, ketika melihat Dinda kini kejang-kejang. Panik, hingga aku pun berteriak memanggil perawat.

"Suster!!!!!"

Tak ada siapapun yang menemaniku, bahkan suamiku sendiri yang katanya berjanji akan menemani disaat susah dan senang, nyatanya hingga sekarang belum menampakkan diri. Kemana dia? Jangan tanya aku.

Malam hari, Gita dan Syifa mengunjungiku di rumah sakit. Mungkin mereka mendapat kabar dari Satria karena aku hanya memberi informasi ini pada sekretaris Bossku. Sekaligus aku mengajukan cuti beberapa hari untuk menemani Dinda.

"Mba, Dinda kenapa?" Tanya Syifa dengan mengusap pundakku pelan.

Suara lirih Syifa pun bisa menyadarkan diriku, jika saat ini aku memiliki teman.

Aku hanya menggelengkan kepala, tak bisa lagi menjawab pertanyaan apapun. Dari situ tangisanku semakin pecah, hingga Syifa dan Gita memelukku erat diiringi tangisan kami bersama.

Ketika aku melihat ketegangan yang terjadi saat dokter dan perawat menangani Dinda, aku menghampiri dan mendekati brankar.

"Dinda," panggilku.

Kupererat genggaman tangan ini untuk menguatkan Dinda sekaligus menguatkan diriku sendiri.

"Mohon maaf, Bu. Kami sudah berupaya sebisa mungkin tetapi Tuhan berkehendak lain," ucap Dokter kepadaku dengan tatapan penuh belas kasihan.

"TIDAK!!!!"

Jeritanku mungkin memenuhi seisi ruangan ICU rumah sakit. Aku berteriak sejadinya, kupeluk erat tubuh anakku itu yang sudah terlihat memucat dan dingin.

"Yang sabar, Bu," ucap seorang perawat kepadaku sembari melepaskan beberapa selang dari tubuh Dinda.

Mungkin niatnya adalah untuk memberikanku sebuah ketenangan. Tetapi, sungguh aku tidak bisa. Aku hancur, sehancur-hancurnya.

"Dinda ..." tangisku semakin pecah sejadinya.

Aku merasa gagal menjadi Ibu, karena tidak bisa menjaga anakku dengan baik. Ternyata rasanya sakit sekali ketika kita harus kehilangan orang yang amat kita sayangi. Apalagi buah hati kita.

"Ayuna, sabar,"

Gita datang menghampiriku dan memelukku kembali. Begitu pula dengan Syifa, ia pun menenangkan diriku. Mereka berdua memberi kekuatan penuh untukku. Tapi sayang, kekuatan yang mereka alirkan tak mampu membuatku tenang.

"Tuhan lebih sayang dengan Dinda, yang ikhlas ya, Mba,"

Setidaknya aku beruntung karena masih ada yang menemaniku disaat seperti ini. Mereka lah yang dinamakan teman disaat susah dan senang. Terimakasih Gita, Syifa.

******

Aku menghubungi keluargaku di kampung halamanku, tepatnya di kota Semarang. Niatku karena ingin membawa Dinda dan memakamkannya di sana.

Aku meminta Bu Siti pengasuh Dinda menemaniku untuk pulang, dan beruntungnya Bu Siti mau tanpa basa-basi. Karena dia pun merasa kehilangan Dinda. Aku bersyukur, setidaknya ketika tiba di kampung aku tidak sendiri.

Entah sudah berapa jam perjalanan, semua itu tak terasa. Karena aku terus saja menangis sembari memeluk tubuh anakku. Ambulance dengan sirinenya pun menyaksikan kesedihan semua orang yang menyambut kedatangan kami.

Saat tiba di rumah, aku langsung berhambur dan memeluk erat tubuh Ibu dan menumpahkan tangisanku padanya.

"Sabar, Ndok," Ibu pun sama halnya, menangis dan terus menangis serta tangannya yang terus mengusap pundakku.

"Lah, Suamimu di mana, Yuna?"

Inilah yang kutakutkan, pertanyaan ini bagaikan jarum yang semakin menusuk-nusuk jantungku. Ketika Bude Ratri menanyakan keberadaan Mas Bagus, rasanya aku ingin menarik rambutnya itu. Tidak bisakah ia menanyakan keadaanku sekarang, yang jelas-jelas ada di depannya? Kenapa dia harus mencari orang yang tidak tampak batang hidungnya?

"Bagus akan menyusul nanti, Mba," jawab Ibu menyumpal mulut Bude Ratri.

Bersyukur, karena Ibu mampu membantuku, jadi aku tak perlu berpusing-pusing mencari alasan lain. Ibu memang selalu mengerti keadaan anaknya. Setelah kita menjadi Ibu, kita akan paham hal itu.

"Pasti ngurusin kerjaan terus! Ya begitu, anaknya sampe meninggal gara-gara nggak diperhatiin ..."

"Wes to, Mba!" potong Ibu atas ucapan Bude Ratri yang belum juga selesai. Ibu tak ingin berkata banyak, karena semakin dilayani, Bude Ratri semakin kelewatan.

Aku merasa semakin tertusuk ketika mendengar omelan Budeku yang dijuluki 'cangkem lombok' oleh beberapa anggota keluarga kami.

Sebagai orang tua yang bekerja, kami juga ingin yang terbaik untuk anak kami. Jika memang Dinda meninggal karena kurang perhatian dari orang tuanya, aku mengaku salah. Tapi aku juga tidak ingin melawan garis takdir Tuhan, karena urusan jodoh, rezeki dan maut itu sudah kehendaknya.

...****************...

Tiga hari aku berada di kampung, aku pun memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Sebenarnya aku berniat tak ingin kembali lagi ke kota itu, tetapi masih banyak hal yang harus aku selesaikan. Belum lagi keadaan di rumah semakin membuatku tak betah. Itu semua karena banyaknya orang yang bertanya perihal keberadaan Mas Bagus yang aku sendiri pun tidak tahu di mana dia.

Beruntung aku pergi bersama Bu Siti, hingga aku bisa menjadikannya alasan untuk mengantarnya pulang lebih dulu. Aku memilih jalur udara, untuk mempersingkat waktu perjalanan kami.

Di dalam pesawat, aku hanya terus tertidur. Sepertinya aku malah bisa tidur dengan pulas di pesawat daripada berada di rumah. Jika di rumah, aku akan terus teringat akan Dinda. Belum lagi perilaku suamiku yang sangat menjengkelkan itu. Hingga saat ini pun dia belum memberikan kabar padaku, meski sebenarnya pesan Whatsapp yang tempo hari kukirimkan sudah dia baca. Teganya dia, sebenarnya apa yang dia perbuat di sana?

"Mama Dinda, bangun,"

Suara Bu Siti menyadarkanku dari tidur panjang yang aku lalui. Ternyata kami sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Kami pun segera turun dari pesawat dan menaiki taksi untuk pulang. Setelah selesai mengatar Bu Siti, aku menuju ke rumah kontrakanku yang berada tidak jauh dari rumahnya.

Namun betapa terkejutnya ketika aku membuka pintu, di sana sudah ada Mas Bagus yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Yuna??"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!