NovelToon NovelToon

My Boss Is My Ex-Boyfriend

Chapter 1

Cerita ini ganti judul ya, yang semula judulnya Kembali Bersemi.

yang gak suka gak usah komen aneh-aneh!!!

suka baca gak suka tinggalkan. jangan bikin ribet hidup sendiri.

Terima kasih

****

Malam datang di iringi dengan tetesan air hujan yang cukup deras, membuat sepasang manusia yang tengah berjalan di trotoar harus berlari mencari tempat untuk berteduh yang sayangnya disaat seperti ini sulit didapatkan karena banyak pula orang yang melakukan seperti mereka berdua inginkan. Pinggir-pinggiran toko bahkan café terlihat penuh dengan orang-orang yang menghindari dinginnya hujan dan basahnya pakaian.

“Gimana dong, Sya?” tanya Radit pada perempuan yang berada di sampingnya.

“Gak apa-apa deh, Dit. kita ujan-ujanan aja, tanggung juga udah basah.”

“Tapi dingin, Sya lo juga gak pakai jaket nanti lo sakit!” khawatir Radit.

Mesya tersenyum lembut kemudian menggeleng, “Gak akan.”

Radit akhirnya mengangguk meski dengan berat hati, menggenggam tangan mungil dan dingin itu lalu melanjutkan berlari menerobos hujan yang sepertinya enggan untuk berhenti. Beruntung jarak komplek perumahan tempat mereka tinggal sudah tidak jauh lagi.

Radit lebih dulu mengantar Mesya hingga depan rumahnya, mengecup singkat kening dan bibir gadis itu dan membiarkannya masuk. Baru setelah gadis itu masuk kedalam rumah Radit kembali dan berjalan menuju samping dimana rumahnya berada. Mesya memperhatikan kepergian laki-laki itu dari balik jendela sambil mengeringkan rambut panjangnya menggunakan handuk yang baru saja di berikan oleh Rasti, sang Bunda.

“Kenapa hujan-hujanan sih, Kak, bukannya tadi pagi Radit bawa mobil?” dengan raut khawatir Rasti bertanya.

“Iya, Bunda tapi tadi mobilnya mogok dan harus dilarikan ke bengkel, dari pada nunggu yang entah kapan selesainya lebih baik pulang kan?” jawab Mesya yang kini sudah berjalan menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Resti tak menjawab dan malah berbelok menuju dapur.

Selesai berendam dengan air hangat dan mengganti pakaian Mesya menerima segelas teh hangat yang baru saja Rasti berikan, rasa hangat mengalir melalui tenggorokannya dan itu membuat Masya tidak lagi sedingin tadi.

“Terima kasih Bunda,” ucap Mesya memeluk erat tubuh sang Mama.

“Sama-sama Sayang. Langsung istirahat ya, Kak, Bunda juga udah ngantuk nih.” Mesya mengangguk, kemudian mengecup kedua pipi Rasti secara bergantian sebelum benar-benar wanita berusia 40 tahun itu keluar dari kamarnya.

Gadis cantik dengan baju tidur beruangnya itu naik keatas ranjang, meraih ponsel yang berada di atas nakas terlebih dulu kemudian membaringkan tubuhnya dan menarik selimut tebal berwarna merahnya hingga batas dada. Jari lentiknya menari dengan lincah di atas layar datar berwarna biru tersebut mengetikan pesan singkat yang segera ia kirimkan pada tetangga sebelah rumahnya, siapa lagi kalau bukan pada Radit, laki-laki tinggi yang selalu menatapnya lembut dan memiliki tubuh yang atletis walau usianya masih belasan.

Mesya dan Radit adalah sepasang teman bahkan sahabat yang satu tahun ini berubah menjadi sepasang kekasih. Sedari kecil meraka sudah bersama-sama selain rumah yang bersebelahan juga karena mereka satu sekolah. Mesya menyayangi Radit begitu pun sebaliknya. Sedari kecil mereka sudah selalu bersama, saling melindungi juga saling menghibur dikala salah satu dari mereka tengah bersedih.

Beberapa hari yang lalu mereka baru saja resmi menjadi alumni dan mulai sibuk mencari kampus untuk melanjutkan pendidikannya. Lagi, Mesya dan Radit memutuskan kampus yang sama dan tadi pagi keduanya baru saja mendaftar di kampus yang mereka inginkan.

Drettt… dreettt…

Getaran di ponsel membuat Mesya yang hendak terpejam teralihkan dan meraih kembali ponselnya yang semula ia simpan di atas nakas samping tempat tidurnya. Sebuah pesan balasan dari Radit yang mengatakan bahwa laki-laki itu baru saja selesai membersihkan dirinya dan berniat untuk langsung tidur. Senyum Mesya terbit saat membaca ucapan selamat tidur yang Radit kirimkan selanjutnya.

Tanpa kembali membalas, Mesya memilih untuk memejamkan matanya karena rasa kantuk juga pusing di kepalanya kini sudah menyerang. Tidak lupa ia menggumamkan selamat tidur untuk Radit meski ia yakin laki-laki itu tidak dapat mendengarnya.

♥♥♥

Pagi-pagi sekali Radit sudah berada di rumah Mesya tepatnya dikamar gadis cantik berbadan ramping dan mata berbentuk seperti kacang almon yang masih nyaman bergelung di dalam selimut, guncangan bahkan tepukan kecil di pipinya yang Radit lakukan tidak sedikit pun membuat gadis itu terganggu. Helaan napas laki-laki tampan yang sudah rapi dengan t-shirt merah bergaris hitam lengan panjang terdapat kupluk di belakang dipadukan dengan celana jeans hitam selutut dan rambut yang sedikit panjang di bagian depan yang terlihat sedikit acak-acakan membuat sang empu terlihat sangat tampan.

Kesal karena sang putri tidur tidak juga bangun akhirnya Radit menarik selimut tebal yang dikenakan Mesya dan menjawil hidung mancung kecil itu hingga gadis cantik itu langsung terbangun karena merasa sesak.

“Ish, lo apa-apaan sih, Dit! Kalau gue mati kehabisan napas gimana?” kesal Mesya seraya mencubit lengan Radit yang baru sja terlepas dari hidung mancungnya.

“Makanya kalau tidur jangan kayak orang mati! Buruan deh bangun, gue mau ajak lo jalan-jalan nih,” ucap Radit menarik tubuh Mesya yang hendak kembali berbaring.

“Masih pagi banget ini, Dit. Nanti aja deh agak siang, ya?”

“Gak bisa, Sya nanti sore gue udah harus pergi.”

“Pergi kemana?” tanya Mesya menaikan sebelah alisnya.

“Nanti gue cerita. Sekarang lo mandi, siap-siap abis itu kita langsung pergi. 30 menit gak selesai gue tinggal!” setelah mengatakan itu Radit tak lupa mendaratkan kecupan di pipi dan kening Mesya kemudian langsung saja pergi, keluar dari kamar Mesya tanpa peduli perempuan cantik itu hendak mengeluarkan kata.

Dua puluh menit waktu yang Mesya butuhkan untuk turun dari kamarnya menemui Radit yang kini tengah duduk di meja makan bersama Rasti. Baru saja ia akan duduk, Radit dengan cepat menarik wanita itu menuju Honda Civic berwarna silver kesayangan Masya, hadiah dari sang Papa dua tahun lalu.

“Didit gue lapar tahu! Gak bisa apa kita makan dulu sebentar?” keluhnya dengan bibir yang maju beberapa centi.

“Ngapain makan dulu, nanti juga lapar lagi.” Dengusan kecil Mesya berikan membuat laki-laki di sampingnya yang kini tengah menyetir itu terkekeh puas.

Lima belas menit kemudian Radit menghentikan mobilnya di pinggir jalan dekat penjual kupat tahu yang berada tidak jauh dari komplek perumahan tempat keduanya tinggal. Sebuah taman yang memang selalu ramai pada pagi dan sore hari. Banyak penjual dari mulai pakaian, pernak-pernik, makanan hingga barang-barang lainnya. Senyum terukir di bibir tebal Mesya begitu indah saat wanita itu keluar dari dalam mobil yang kemudian diikuti laki-laki tampan dengan gaya santainya.

“Pak Ton dua ya,” ucap Mesya pada si penjual. Laki-laki tua yang di panggil Pak Ton itu mengangguk seraya mengacungkan jempolnya.

Radit duduk tepat di depan Mesya, menatap wajah ceria perempuan itu dengan seksama membuat sang empu wajah merasa risi dan memalingkan wajahnya kearah lain.

“Lo lucu ya kalau lagi blushing gitu,” ucap Radit yang membuat Mesya semakin memalingkan wajahnya karena malu.

“Madep sini, Sya! Gue pengen puas-puasin lihat wajah lo. Akan gue simpan di memori dan hati gue, biar nanti saat gue kembali gak lupa sama wajah cantik itu.” Radit berkata sambil terus menatap perempuan didepannya.

“Lo ngomong apa sih, ngaco tahu gak?” dengus Mesya.

Saat hendak kembali berucap, Pak Ton lebih dulu datang mengantarkan kupat tahu pesanan mereka. Entah karena makanannya yang enak atau emang Mesya yang sangat lapar, karena Radit hanya mampu menggelengkan kepala melihat lahapnya gadis itu.

Tidak butuh waktu lama bagi Mesya untuk menghabiskan sepiring kupat tahu dengan campuran toge yang di bumbui dengan saus kacang yang kental juga kecap manis dan sambal. Sedangkan Piring milik Radit masih terisi setengahnya

“Lo mau lagi, Sya?” Mesya dengan cepat menggeleng. Radit mengangguk-anggukan kepala kemudian kembali melanjutkan makannya. Suapan demi suapan tak lepas dari pandangan Mesya hingga piring itu kini kosong. Segelas teh hangat ia berikan pada Radit yang diterima baik oleh laki-laki tampan itu.

Selesai membayar keduanya kembali menaiki mobil, melajukannya menjauhi taman. Tangan kanan Radit sibuk dengan kemudi sedangkan tangan kirinya terus memijit tombol radio mencari lagu yang menurutnya enak untuk didengarkan saat ini. Lagu perpisahan termanis menjadi pilihan Radit saat ini membuat kening Mesya mengerut menatap laki-laki itu merasa aneh.

“Tumben lo dengerin lagu kayak gini?” heran Mesya bertanya. Radit menoleh sekilas pada perempuan disampingnya, senyum tipis ia berikan sebelum mengusak pelan rambut panjang Mesya.

“Gak apa-apa lagi kepengen aja. Gak boleh emang?” cepat perempuan cantik itu menggeleng.

Satu setengah jam dalam perjalanan dan akhirnya Radit menghentikan laju mobilnya di sebuah parkiran besar kawasan taman bermain. Meski masih bingung dengan maksud dan tujuan laki-laki tampan itu mengajaknya pergi kesini hari ini, tapi Mesya tetap senang, karena tidak mudah baginya mengajak laki-laki penakut itu untuk ke taman bermain.

Dengan cepat Mesya menarik lengan Radit, membawanya untuk mengantri di loket karcis. Dan setelah mendapatkan itu barulah keduanya masuk bersama beberapa orang lainnya yang juga mengunjungi tempat ini.

“Dit, naik itu yu,” ajak Mesya menunjuk sebuah permainan yang berputar keatas dan kebawah dengan ritme cepat. Laki-laki tampan dengan perawakan cukup besar itu menggeleng dengan kuat.

“Naik itu aja kalau gitu,” kembali Mesya menunjuk pada permainan lain yang kali ini bergerak naik keatas lalu kembali turun kebawah. Lagi Radit menggeleng.

“Terus lo ngajak gue kesini mau apa dong?” kesal Mesya seraya menghentakan kakinya.

“Ya, buat main lah, masa buat belajar.” Ringan laki-laki itu menjawab.

“Mau main apaan. Lo dari tadi gue ajak naik itu gak mau ini gak mau. Terus maunya apa?” dengusnya semakin kesal.

“Lo aja yang naik gue tunggu disini.”

“Ish lo mah! Ayok pokoknya lo harus naik!” Mesya menarik kuat lengan Radit mengantri untuk menuju permainan yang diinginkannya. Tidak perduli laki-laki itu menolak hingga tibalah giliran mereka.

Mesya lebih dulu menyuruh Radit untuk duduk di kursi permainan yang mereka naiki mengancingkan sabuk pengaman dan setelah itu barulah Mesya duduk bersebelahan dengan laki-laki itu yang ketara sekali wajahnya sudah menegang ketakutan.

Radit yang memang baru pertama kali menaiki permainan ini sudah pasti ketakutan, wajahnya sudah memerah dan sedari tadi laki-laki itu berteriak paling kencang sedangkan Mesya tertawa berbahak bukan karena permainannya yang seru tapi suara jeritan ketakutan Radit lah yang membuat ia tertawa.

Kincir angin raksasa yang berputar 360 derajat secara vertikal itu terhenti, sabuk pengaman terbuka dan dengan cepat Mesya turun membantu Radit yang kini wajahnya sudah memucat itu untuk duduk di bangku panjang yang di sediakan pihak taman bermain.

“Please, Sya gue gak mau main lagi, rasanya kayak mau mati tahu gak?” Radit bergidik ngeri sedangkan wanita di sampingnya tertawa geli ditambah melihat wajah laki-laki itu yang memelas.

“Ya udah, nggak main lagi, tapi keliling jalan-jalan aja ya, liat festivalnya?” Radit mengangguk kemudian meneguk air mineral yang sebelumnya Mesya beli hingga tandas dan setelah di rasa pusingnya sudah mereda barulah Radit dan mesya kembali melanjutkan jalan-jalannya.

Kali ini wanita cantik itu mau tak mau harus menaiki setiap permainan yang diinginkannya seorang diri karena Radit benar-benar menolak keras ketika diajak, akhirnya laki-laki tampan bertubuh Atletis itu hanya menunggu hingga permainan selesai. Setelah puas dan merasa lelah baru lah Mesya berhenti menaiki permainan-permainan ektrem dan memilih untuk menonton festival yang memang sudah akan di mulai.

“Dit, sebenarnya gue bingung dengan maksud lo ngajak gue kesini untuk apa. Gue juga perhatikan dari tadi lo murung terus, ada masalah yang mengganggu pikiran lo?” tanya Mesya saat keduanya sudah duduk di dalam café yang masih berada di area taman bermain.

“Sebenarnya ini hari terakhir gue disini, Sya,” ucap Radit dengan lesu. Mesya menaikan satu alisnya, menatap bingung pada Radit.

Laki-laki tampan itu menghembuskan napasnya pelan, menatap tepat pada mata almon itu dengan sedih. “Papa nyuruh gue kuliah di Jerman, Sya, dan sore ini keberangkatan gue.”

Mesya membulatkan matanya tak percaya. “Tapi kemarin lo daftar kuliah bareng sama gue…?”

“Gue juga gak tahu kalau Papa udah daftarin gue di sana karena baru semalam Papa ngasih tahu gue. Maaf, Sya kalau akhirnya gue terpaksa harus mengakhiri hubungan kita.”

Mata Mesya semakin membulat saat kata yang terakhir laki-laki tampan itu ucapkan mengganggu pendengarannya. Entah ia harus mengatakan apa untuk mejawab karena yang jelas saat ini Mesya merasa terkejut, tak percaya juga kecewa.

“Bukan karena gue udah gak sayang dan cinta lagi sama lo Sya, sebenarnya gue juga berat, tapi lo tahu sendiri kan keputusan Papa gue gak pernah bisa di bantah? Gue lebih memilih mengakhiri bukan karena tidak mampu menjalani LDR, tapi gue gak mau lo maupun gue merasa terbebani dengan hubungan yang kita jalani apalagi gue sendiri gak tahu kapan akan kembali. Orang tua gue juga akan pindah kesana dan rumah yang sekarang di tempati akan di jual. Maafin gue karena harus menyakiti lo dengan kepergian gue, Sya.” Panjang lebar Radit menjelaskan, kedua tangannya menggenggam punggung tangan Mesya yang berada di atas meja. Lengan yang biasanya terasa hangat itu kini berubah dingin, tatapan kecewa juga terluka sangat ketara dari mata almon itu.

“Jam berapa lo berangkat?” tanya Mesya tanpa menatap laki-laki di depannya.

“Pukul lima sore ini.” Mesya menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukan pukul satu siang.

Mesya melepaskan genggaman tangan Radit dan bangkit dari duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah membuang napas beratnya Radit ikut bangkit dan berlari kecil untuk mensejajarkan langkahnya bersama gadis cantik yang selama satu tahun ini menjadi kekasihnya.

Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan sama sekali, suasana di dalam mobil benar-benar sepi. Mesya menatap kearah samping dan menyandarkan kepalanya pada jendela, entah apa yang berada di pikiran wanita cantik itu. Sesekali Radit menolehkan pandangan kearah wanita di sampingnya kemudia kembali fokus pada jalanan. Berkali-kali laki-laki itu menghembuskan napasnya berat merasa ragu untuk membuka pembicaraan.

Sesampainya di pekarangan rumah Mesya, perempuan cantik itu keluar lebih dulu berjalan masuk kedalam rumah meninggalkan Radit tanpa kata. Kembali helaan napas laki-laki itu keluarkan lalu melangkahkan kakinya menuju ke rumahnya sendiri untuk bersiap, membereskan barang-barang yang akan ia bawa hari ini dan sebagian lainnya akan di kirimkan nanti lewat jasa pengiriman.

Sesampainya di rumah, kardus-kardus juga koper-koper besar sudah tersusun di ruang utama. Kursi juga perabotan lain sudah tertutupi kain putih lebar. Radit berjalan menaiki tangga untuk menuju kamarnya sendiri, dan kembali laki-laki tampan itu menghembuskan napasnya saat semua barang miliknya juga sudah selesai di kemas. Tidak ada satu pun barang yang tersisa, di meja belajar maupun lemari. Radit membuka jendela kamarnya yang langsung berhadapan dengan jendela kamar Mesya yang tertutup.

“Maafin gue, Sya. Gue sayang sama lo, tapi mungkin melepas lo adalah yang terbaik. Gue harap suatu saat nanti kita akan bertemu kembali dengan keadaan yang jauh lebih baik.”

Kembali Radit menutup jendela tersebut dan menutup gordennya, tanpa tahu bahwa sedari tadi ada seseorang yang memperhatikannya di sebrang sana. Mesya sudah meneteskan air matanya sejak sampai di kamar, berdiri di sisi jendela yang tertutup mengintip laki-laki tampan yang kini resmi menjadi mantan kekasihnya.

“Maaf, Dit gue gak bisa nemuin lo. Bukan karena tidak ingin, tapi gue takut gak bisa melepas kepergian lo. Hati-hati di jalan, Dit semoga lo bahagia dengan kehidupan baru lo di sana.”

Chapter 2

Setelah hasil pengumuman bahwa dirinya di terima di kampus yang memang diinginkannya keluar, tidak sedikitpun Mesya merasa bahagia. Radit tidak lagi berada di sampingnya, tidak ada yang membuatnya semangat seperti saat mendaftar beberapa minggu lalu.

Hampir setiap hari di pagi dan sore hari Mesya selalu berdiri di depan jendela kamarnya menatap ke jendela sebrang sana yang selalu tertutup. Tak jarang air mata menetas mengiringi kerinduan yang gadis cantik itu rasakan. Pesan singkat yang laki-laki itu kirimkan tepat beberapa menit kepergiannya menjadi tanda perpisahan mereka dan sampai sekarang pesan itu selalu Mesya baca berulang kali meski nomornya sudah Radit blokir tepat ketika Mesya sudah membaca pesan tersebut. Pesan yang hanya berisikan permintaan maaf juga kata perpisahan itu hingga saat ini tetap selalu membuat air matanya menetes.

Hari-hari Mesya jalani dengan berat meski ada beberapa teman baru yang kini mulai dekat dengannya, juga teman semasa SMA dulu masih ada beberapa yang kuliah di kampus yang sama termasuk teman dekatnya sejak di SMA dulu, tapi tetap saja sepi itu tidak bisa terobati karena Mesya menginginkan kehadiran Radit di sisinya.

Rima dan Mina adalah sahabat terdekatnya sedari SMA dulu, tak jarang mereka menghibur Mesya, mengajak hangout atau apapun itu untuk menghibur sang sahabat namun tak juga berhasil keduanya lakukan. Mereka cukup paham dengan kesedihan yang sahabatnya rasakan meski tidak bisa berbuat banyak untuk perempuan cantik itu yang kini lebih sering murung.

Tidak sedikit laki-laki yang mendekati Mesya mulai dari seangkatan hingga kakak tingkat yang terang-terangan menyukainya bahkan mengungkapkan perasaannya. Tapi Mesya bukanlah tipe perempuan yang mudah di dekati hingga akhirnya satu persatu dari mereka mundur dengan teratur, menyerah karena tidak juga mendapat respon.

Hanya Aldrich yang tetap bertahan hingga saat ini berada di samping gadis cantik itu. laki-laki keturunan Inggris-Amerika itu sudah lama tinggal di Indonesia bersama Ibu dan juga adik-adiknya, sedangkan ayahnya sudah lama meninggal. Bukan karena jurusan dan jadwal mereka yang sama namun juga karena Aldrich memang sudah menyimpan rasa pada gadis cantik itu sejak awal mereka masuk kampus.

Kemana pun perempuan itu melangkah, maka Aldrich akan berada di sampingnya, awalnya Mesya merasa risi dan sudah sering kali menyuruh laki-laki itu menjauh tapi Aldrich tetap lah Aldrich yang tidak akan menyerah begitu saja. Hingga akhirnya Mesya terbiasa dengan keberadaan laki-laki bule tersebut.

Waktu memang terus berjalan hingga membuat Mesya kini merasa terbiasa dengan ketiadaan Radit di sampingnya. Benar apa yang di katakan Rima bahwa dirinya hanya membutuhkan waktu untuk terlepas dari bayang Radit dan keluar dari kesedihannya.

Dua tahun berlalu tak ada satu pun kabar yang terdengar tentang mantan kekasihnya, semua akun media sosial milik laki-laki itu tidak sekali pun aktif dan laki-laki itu seperti benar-benar menghilang dari peradaban.

Hari ini Aldrich mengajaknya untuk makan siang di sebuah café yang tidak jauh dari kampus sambil menunggu jadwal selanjutnya. Rima dan Mina tidak ikut karena kebetulan kedua perempuan itu hari ini tidak memiliki jadwal kuliah seperti Mesya. Teman-teman Aldrich, Rasya dan Delon juga tidak ikut karena kedua laki-laki playboy itu lebih memilih makan di kantin untuk mencari mangsa cewek cantik untuk dijadikannya sebagai gandengan baru.

Aldrich adalah laki-laki baik hati yang ramah namun juga tegas dan tidak banyak bicara. Perlakuannya yang membuat Mesya nyaman, karena meskipun laki-laki itu berasal dari luar negeri tapi tetap masih berlaku sopan dan menghormati perempuan, itu jugalah alasan Mesya kini sedikit demi sedikit membuka hati untuk laki-laki itu meski statusnya masih belum resmi menjadi sepasang kekasih.

“Sya, kamu mau pesan apa?” tanya Aldrich seraya membuka-buka buku menu.

“Jus manga sama waflle sandwich aja, Al.” laki-laki itu mengangguk kemudian bangkit dari dudunya, berjalan menuju tempat pemesanan dan setelah itu kembali lagi untuk duduk di depan Mesya yang tengah memainkan ponselnya.

Tak lama pesanan mereka sampai, keduanya menikmati makanan masing-masing dengan sesekali diselingi obrolan ringan mengenai perkuliahan hingga masalah pribadi yang mana laki-laki itu kembali membahas perasaannya.

“Al, aku minta maaf jika selama ini tidak juga memberimu kepastian. Bukan perasaan kamu yang aku ragukan, tapi aku yang masih ragu pada diriku sendiri.”

“Apa yang membuatmu ragu?” tanya Aldrich penasaran.

“Entah.” Mesya menggelengkan kepalanya tak yakin.

“Apa tidak ingin mencoba lebih dulu?” tawar Aldrich membuat perempuan di depannya mendongakan kepala menatapnya dengan kening berkerut.

“Apa menurutmu perasaan itu untuk ajang coba-coba?” dengan cepat Aldrich menggeleng dan menatap wanita di depannya dengan tatapan lembut.

“Apa kamu akan langsung mengatakan menyukai makanan itu tanpa mencobanya?” laki-laki tampan itu balik bertanya.

“Kita tidak akan pernah tahu juga tidak akan pernah menyukai rasanya jika kita belum mencoba.”

Mesya diam, mencerna yang diucapkan laki-laki di depannya. Setelah mengerti dengan maksudnya barulah ia menatap Aldrich yang juga tengah menatapnya.

“Apa boleh aku mencoba?” tanyanya dengan ragu. Aldrich tersenyum, menggenggam lengan Mesya yang nganggur di atas meja.

“Apa kamu mau mencobanya denganku? Aku janji akan memberikan yang terbaik untuk kamu,” ucap Aldrich dengan tulus. Dua detik selanjutnya Mesya mengangguk yang membuat laki-laki tampan itu mengembangkan senyumnya begitu lebar.

♥♥♥

Hari-hari baru yang Mesya jalani kini lebih berwarna, hubungannya dengan Aldrich yang sudah berjalan satu tahun lebih, laki-laki itu benar-benar memberi semangat dan harapan baru untuk Mesya. Aldrich begitu sabar dan penyayang, Mesya beruntung mendapatkan laki-laki sebaik dia. Semakin hari kebersamaan yang selalu mereka jalani sedikit demi sedikit membuka hati perempuan cantik itu, kini bukan lagi rasa nyaman yang Mesya rasakan tapi juga rasa sayang yang mulai tumbuh untuk laki-laki bule itu.

“Yang?”

“Hemm,”

“Sayang?”

“Ada apa, Al?” tanya Mesya dengan lembut dan senyum yang begitu manis.

“Aku nya jangan dicuekin gitu dong, kamu mah kebiasaan kalau udah nonton drama-drama gitu lupa banget sama aku!” rajuk Aldrich cemberut.

“Sebentar ya, selesai kok habis ini.” Mesya menatap kekasihnya itu dengan tatapan sayang, tatapan yang selalu membuat Aldrich luluh.

Satu jam kemudian drama yang kekasihnya itu tonton akhirnya berakhir membuat ia menghela napas lega dan senyumnya mengembang dengan tampan. di rumah hanya ada mereka berdua karena Rasti tengah keluar mengurus pekerjaannya yang mendadak memanggil.

“Mata kamu gak perih, Yang hampir tujuh jam loh kamu nonton?” gelengan adalah jawaban yang Mesya berikan.

“Aku lapar, Al,” ucap gadis cantik bermata almon itu dengan manja. Aldrich mengacak gemas rambut panjang Mesya dengan gemas, melayangkan kecupan di pipi gadis itu kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan segera membuka aplikasi untuk memesan berbagai makanan yang diinginkan sang kekasih.

Mesya suka dengan kepekaan Aldrich, ia hanya perlu berkata singkat seperti itu dan Aldrich akan langsung memesan tanpa banyak bertanya lagi. Berhubungan hampir dua tahun membuat Aldrich tahu bahwa wanita yang menjadi kekasihnya itu tidak sedikit pun bisa memasak. Tapi meski begitu Aldrich tidak keberatan karena ia mencintai wanita itu dengan apa adanya bukan ada apanya. Bisa atau pun tidak wanita itu memasak bukan sesuatu yang penting baginya apa lagi di zaman sekarang yang sudah banyak restoran mulai dari kelas teri hingga kelas kakap, tidak akan membuatnya kelaparan.

Di awal berpacaran memang Mesya merasa minder karena tidak memiliki keahlian sebagaimana seharusnya perempuan bisa. Beruntung ia berpacaran dengan Aldrich yang mampu menerima kekurangannya.

Chapter 3

Acara wisuda baru saja selesai terlaksana, membuat Mesya begitupun Aldrich dan Mina serta Rima yang memang di wisuda di hari yang sama amat bahagia. Kebahagian Mesya bertambah saat Rama sang Ayah dan juga Nasya sang adik yang sudah lama tak bertemu ikut hadir dalam acara wisudanya. Begitu juga Nilam yang tak lain adalah istri baru sang ayah yang dinikahinya lima tahun lalu ikut hadir meski tidak sama sekali ia harapkan.

Setelah selesai berfoto bersama keluarganya kini giliran Mesya berfoto dengan sang kekasih juga sahabat-sahabatnya secara bergantian. Buket bunga juga boneka yang Aldrich berikan selalu dalam genggaman Mesya hingga selesai berfoto bahkan ada juga foto dengan pose seperti mereka tengah melakukan pre-wedd juga lamaran dimana Aldrich yang berlutut di depan Mesya yang tengah berdiri sambil mengulurkan sebuah buket bunga mawar yang dirangkai begitu cantik.

Selesai dengan semua itu akhirnya mereka bubar bersama orang tua masing-masing. Mesya selesai berpamitan dengan Aldrich dan ibu juga adik-adiknya langsung menghampiri sang bunda yang sudah menunggu di parkiran.

Nasya, adik Mesya kini sudah berumur 17 tahun baru saja lulus dari sekolah menengah atas dan baru tahun ini akan masuk kuliah memutuskan untuk satu mobil bersama kakak juga sang bunda, sedangkan Rama satu mobil bersama istri juga anaknya yang berusia empat tahun.

“Kak Sya, Bang Radit gimana kabarnya?”

Tubuh Mesya sejenak menegang kemudian perempuan cantik itu mengalihkan tatapannya ke arah samping dan menyandarkan kepalanya pada jendela, sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan sang adik. Rasti yang menyadari keadaan anak pertamanya yang berubah murung segera menoleh pada anak bungsunya dan menggeleng kecil. Helaan napas pelan Nasya keluarkan kemudian ia mengangguk mengerti dengan maksud sang ibu.

Tiga puluh menit kemudian mobil yang di kendarai Pak Maman yang tak lain adalah supir Rasti menghentikan mobilnya tepat di depan restoran mengikuti mobil Rama yang lebih dulu berhenti di parkiran.

Rasti asyik mengobrol dengan Nilam begitu akrab, terlihat seperti sahabat. Tidak ada canggung sebagaimana seharusnya mantan istri dengan istri baru yang kebanyakan mungkin akan saling membenci. Nasya asyik bersama adik tirinya yang entah siapa namanya, karena Mesya tidak pernah peduli dengan itu.

Semenjak perceraian kedua orang tuanya dan kabar bahwa sang ayah menikah lagi membuat Mesya kecewa dan hingga saat ini hubungan ayah anak itu tidak terlalu baik. Berbeda dengan Nasya yang lebih bisa menerima dan dapat berlaku baik-baik saja. Entah benci atau apa yang Mesya rasakan kepada sang ayah karena buktinya hingga saat ini Mesya tidak pernah menolak kehadiran Rama juga tidak menentang pernikahan ayahnya dengan wanita dewasa yang berusia dua tahun di bawah sang Bunda, hanya saja semenjak perpisahan itu terjadi Mesya lebih banyak diam dan hanya akan mengeluarkan suara ketika di tanya itu pun hanya jawaban singkat.

Rama jelas memperhatikan raut murung di wajah cantik putri pertamanya, makanan yang ada di depannya hanya ia aduk-aduk dengan tidak bernapsu, kepalanya menunduk tidak menikmati makan siang yang tengah mereka lakukan saat ini.

“Kak, kamu kenapa?” tanya Rama yang sudah gatal sedari tadi. Tak ada jawaban meski hanya anggukan atau pun gelengan.

“Syasa?” panggil Rama sekali lagi. Wanita cantik berusia dua puluh dua tahun itu mendongak menatap sang ayah.

“Kamu kenapa? Gak enak badan?” tanya Rama dengan raut khawatir.

Mesya menggeleng. “Sya, baik-baik aja kok, Yah.” Jawabnya tersenyum singkat lalu meneguk jus pisang di depannya.

Nasya yang tengah menyuapi es krim pada adik tirinya itu langsung menoleh pada Mesya yang duduk di sebelahnya. Memperhatikan sang kakak yang sepertinya tengah melamun. Teringat akan pertanyaan yang tadi ia keluarkan saat di mobil membuat Nasya meringis kecil menyalahkan dirinya sendiri yang sempat menyebutkan nama laki-laki yang selalu membuat mood sang kakak memburuk.

“Habis ini kamu mau langsung kerja apa istirahat dulu?” tanya Rama setelah menyelesaikan makannya.

“Sya mau langsung kerja, Yah.”

Senyum Rama terbit begitu sempurna kemudian berkata, “ya udah, besok senin kamu langsung ke kantor. Ayah sudah siapkan posisi untuk kamu tempati.”

“Syasa mau melamar kerja ke kantor lain, bukan kantor Ayah.” Jawabannya sukses menyurutkan senyum Rama dengan perlahan.

“Kenapa?”

“Sya pengen mandiri, Yah.”

“Ayah gak akan larang kamu untuk mandiri, Kak. Kamu akan Ayah tempatkan kamu jadi karyawan biasa dulu untuk belajar, nanti setelah kamu di rasa cukup mampu baru akan menggantikan Ayah di kantor.”

Mesya menggelengkan kepala. Sekali lagi ia menolak. “Di kantor Ayah hampir semua karyawan mengenal Sya, dan kemungkinan besar mereka akan merasa segan dan sungkan. Tolong, Yah, jangan paksa Syasa. Sya juga pengen ngerasain susahnya mendapat pekerjaan, berjuang bersama calon-calon pekerja lainnya dan mendapat perlakuan yang seharusnya didapat seorang karyawan.”

Rama menghela napas dengan berat, sedikit merasa kecewa dengan keinginan sang putri tertua meski terselip rasa bangga. Rasti menoleh pada mantan suaminya itu menatapnya dengan memohon agar menyetujui keinginan Mesya. Ia cukup tahu bagaimana anak gadis pertamanya yang memang tidak pernah bisa merubah apa yang sudah di putuskan.

Pukul empat sore Mesya dan Rasti baru saja sampai di rumah. Hari ini Mesya benar-benar tidak banyak mengeluarkan kata, perempuan cantik itu lebih banyak melamun dan wajahnya pun selalu murung. Perayaan yang sebenarnya di tujukan untuk sang anak tertua pun tidak begitu berjalan dengan lancar karena sang ratu acara malah lebih memilih diam. Itu sebabnya Rasti memilih untuk membawa Mesya pulang meskipun Rama berencana untuk mengajak jalan-jalan dulu.

“Bunda, Kakak ke kamar ya, mau istirahat.” Pamit Mesya mengecup pipi sang bunda dengan singkat kemudian menaiki tangga tanpa menunggu jawaban Rasti.

Sesampainya di kamar Mesya langsung membaringkan tubuhnya setelah mengunci pintu kamar terlebih dulu. Hanya berdiam diri menatap langit-langit kamar yang berwarna putih polos. Pikirannya sedari tadi bertanya-tanya tentang bagaimana kabar laki-laki itu. Pertanyaan yang sama dengan yang di tanyakan sang adik tadi siang.

Drett… drett… dret.

Deringan yang berasal dari ponsel di dalam tas kecil yang tergeletak begitu saja di ranjang mengalihkan Mesya dari lamunannya. Sebuah pesan dari Aldrich yang mengatakan bahwa pria itu akan datang kerumahnya besok malam. Dengan cepat Mesya membalas, menyetujui kedatangan kekasihnya itu. Setelah pesan terkirim, Mesya bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi membesihkan make up yang di kenakannya sedari tadi pagi juga membersihkan tubuhnya yang sudah lengket karena keringat.

Sambil mengeringkan wajah ia melangkah menuju jendela, membuka lebar-lebar kaca bening itu hingga menampakan sebuah taman samping yang di rawat dengan baik oleh Rasti. Kaca jendela di seberang sana masih juga tertutup, sama seperti empat tahun yang lalu. Waktu itu Radit pernah berkata bahwa rumah itu akan di jual, tapi ternyata tidak ada juga keluarga baru yang pindah mengisi rumah itu.

Hanya sesekali Mesya melihat dua orang paruh baya yang datang dan saat Mesya tanya mengatakan bahwa wanita baya dan lelaki baya itu akan membersihkan rumah tersebut sesuai titah sang pemilik rumah. Mesya hanya mengangguk dan tidak bertanya lebih banyak.

Puas menatap Mesya kembali menutup jendela juga gordennya karena hari memang sudah beranjak malam. Empat tahun berlalu nyatanya ingatan tentang Radit tidak sepenuhnya lenyap dari pikiran dan hati Mesya apalagi ketika ada seseorang yang menyinggung tentang laki-laki itu.

♥♥♥

Dengan wajah yang lebih segar akibat air dingin yang ia usapkan sendiri pada wajahnya, Mesya menuruni anak tangga masih dengan pakaian tidurnya. Berjalan menuju dapur dan mendapati Rasti yang baru saja menyimpan mangkuk kaca berukuran cukup besar berisi nasi goreng yang masih mengepul dengan bau harum yang membuat perut Mesya berbunyi dengan nyaring.

“Selamat pagi, Bunda,” sapa Mesya mengecup pipi kiri Rasti sebelum akhirnya duduk di kursi makan.

“Pagi juga sayang.” Balas Rasti tersenyum lembut kemudian ikut duduk berhadapan dengan Mesya.

“Bunda, nanti malam katanya Aldrich mau main ke sini,” ucap Mesya di tengah-tengah suapannya.

“Ya udah, kalau gitu nanti Bunda masakin sup ikan Nila sama orek telur kesukaan pacarmu itu.”

“Masa yang di masak kesukaan dia aja, kesukaan aku enggak!” protes Mesya cemberut. Rasti hanya terkekeh kecil mendengar protesan yang dilayangkan anak tertuanya itu. Anak gadis berusia dua puluh dua tahunnya ini selalu protes jika Rasti mengatakan akan memasakan makanan favorit dari kekasihnya.

“Kamu ‘kan Bunda masakin setiap hari, Kak. Masih aja cemburu Bunda masakin pacar kamu.” Rasti menggeleng-gelengkan kepalanya seraya kembali melanjutkan makannya.

“Kak, kemungkinan besar Radit juga sudah selesaikan kuliahnya, apa dia masih gak ada ngehubungin kamu? Siapa tahu dia pulang lagi ke sini,” ujar Rasti. Mesya yang baru saja menyuapkan makanannya langsung tersedak mendengar ucapan sang bunda. Menatap wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu dengan tatapan memohon.

“Kalau seandainya dia benar-benar kembali bagaimana?” tanya Rasti tidak menyadari raut wajah anak tertuanya yang sudah berubah murung.

“Bunda, please jangan buat Kakak bad mood!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!