Vina berjalan cepat menghampiri seorang Dokter yang baru saja selesai memeriksa Ayahnya. Wajahnya terlihat sangat cemas dan khawatir.
"Dok, bagaimana keadaan Ayah saya?" Tanya Vina dengan nafas yang masih tersengal.
"Kondisinya sangat buruk, ginjalnya sudah rusak separuh dan dia harus segera dioprasi. Kalau tidak, nyawanya akan terancam," sahut sang Dokter.
"Oprasi? Berapa biaya yang diperlukan untuk melakukan oprasi itu Dok?" Tanya Vina lagi.
"Mungkin sekitar dua ratus juta," sahut Dokter itu.
"Dua ratus juta?" Vina membuka mulutnya lebar. Dia tertegun dengan jumlah uang yang diperlukan untuk menyembuhkan Ayah tercintanya.
Uang dua ratus juta bukanlah jumlah yang sedikit, kemana Vina harus mencari uang sebanyak itu? Tidak mungkin dia menjual rumah tempat mereka tinggal. Dijual pun tidak akan ada yang mau membeli, rumah mereka sudah usang dan rusak disana sini.
Bayu, Ayah Vina hanyalah seorang kuli bangunan. Dia tidak memiliki tabungan atau barang berharga yang bisa dia jual. Jangankan menabung, Bisa memberi makan keluarganya tiga kali sehari saja sudah untung.
"Sebaiknya anda segera mencari uang itu, sebelum kondisi Ayah anda semakin memburuk," lanjut sang Dokter.
"Baik Dok, saya akan mencari uang itu dengan segera."
Vina menghampiri Ibunya, wanita paruh baya itu sedang duduk lemas disisi suaminya sambil menggenggam tangan pria itu erat. Matanya bengkak karena menangis semalaman, wajahnya juga pucat karena sejak suaminya masuk ke rumah sakit dia belum makan dan minum apapun.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang Vina? Ibu bingung," Karti kembali menitihkan air mata.
"Apa kita bawa pulang saja Ayahmu? Ibu tidak sanggup menanggung biaya pengobatan sebanyak itu," Karti sudah pasrah jika sesuatu hal yang buruk menimpa suami tercintanya.
"Jangan Bu, kalau Ayah dibawa pulang sekarang dia bisa meninggal. Aku tidak mau kehilangan Ayah," tolak Vina mentah mentah.
"Tapi dari mana kita bisa mendapatkan uang dua ratus juta dalam waktu singkat?" Karti menatap Vina dengan tatapan berkaca kaca.
"Ibu tunggu saja disini, aku akan berusaha untuk mencarinya."
🍃🍃🍃
Vina keluar dari lingkungan rumah sakit, dia menghubungi Bu Siska pemilik toko sembako tempatnya bekerja. Sebenarnya Vina tau kalau wanita galak itu tidak akan mau meminjami dirinya uang, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Apa lagi hanya dia satu satunya harapan Vina saat ini.
Tut... Tut... Tut...
Bunyi suara telfon tersambung, tak berapa lama suara Bu Siska muncul dari balik telfon itu.
"Hallo, ada apa Vina?" Tanya Bu Siska ketus.
"Bu, apa boleh saya meminta tolong?" Tanya Vina balik.
"Kalau kamu mau pinjam uang, maaf, saya tidak bisa membantumu. Hutangmu yang kemarin kemarin saja belum dibayar," celetuk Bu Siska terus terang.
"Bu, tolong saya kali ini saja. Tolong pinjami saya uang dua ratus juta, Ayah saya sedang kritis, kalau tidak segera dioprasi nyawanya bisa melayang," Vina memelas.
"Dua ratus juta katamu? Kalau saya punya uang sebanyak itu saya lebih baik menggunakannya untuk menambah modal toko saya. Daripada dipinjamkan ke kamu, tidak tau kapan kamu bisa melunasinya," sindir Bu Siska.
"Salah Ayahmu sendiri, sudah tau miskin malah sakit keras. Membuat susah anak dan istri saja!" Sambung Bu Siska dengan nada setengah menghina.
Batin Vina terasa sakit mendengar cibiran itu, dia ingin sekali mengamuk dan mengatai Bu Siska balik. Tapi, Vina teringat pada sejumlah hutang yang masih dia miliki pada Bu Siska. Kalau Vina macam macam padanya, mungkin Vina akan dituntut balik oleh wanita pelit dan judes itu.
Kini, Vina hanya bisa mengelus dada, dia mematikan telfonnya dan menaruhnya kembali ke dalam tas selempang yang dipakainya. Kemana lagi dia akan pergi kali ini? Vina benar benar bingung dan mulai berputus asa.
Vina merasa takdir sedang mempermainkan hidupnya, sudah tau Vina wanita lemah dan tidak memiliki daya upaya, tapi takdir masih saja mempertemukan dia dengan hal hal yang tidak bisa dia selesaikan sendiri.
Tidak, Vina tidak boleh menyalahkan takdir. Segala sesuatu yang terjadi didunia ini sudah ada yang menggariskan. Bukan hanya dia saja yang sedang mengalami kesulitan saat ini, semua mahluk hidup pasti juga pernah merasakannya.
Tiba tiba, Dokter yang menangani Ayah Vina datang menghampiri Vina. Dia menyodorkan sebuah kartu nama bertuliskan nama dan alamat seseorang.
"Temui orang ini, mungkin dia bisa membantumu," ucap Dokter bernama lengkap Puji Astuti itu.
"Siapa orang ini Dok?" Vina penasaran.
"Dia sahabat lamaku, seorang CEO yang terkenal baik hati dan dermawan. Bilang saja, kamu datang kesana atas saran dariku,"
"Baik Dok, terimakasih atas bantuannya. Tapi ngomong ngomong, kenapa Dokter mau membantuku? Padahal, kita tidak saling kenal," Vina memasang wajah serius.
"Aku kasihan padamu, dan juga dulu Ayahmu pernah membantuku saat aku hendak dirampok seseorang. Aku ingin membalas budi baiknya sekarang," sahut Dokter puji sambil menyunggingkan senyum simpul yang manis.
Vina seperti baru saja mendapat sebuah petunjuk dari Tuhan. Dia merasa senang karena akhirnya memiliki secercah harapan untuk bisa membiayai pengobatan Ayahnya. Ayahnya harus sembuh, Ibunya tidak boleh menjadi janda, dan dia juga tidak mau menjadi seorang anak yatim.
Vina masih sangat memerlukan kehadiran Ayahnya, pria yang selalu memperlakukan dia dan Ibunya dengan lembut juga penuh kasih sayang. Jika pria itu sampai pergi, dunia Laras akan runtuh seketika. Dia akan kehilangan penopang serta penyemangat dalam hidupnya.
Hallo,
Bertemu lagi dengan karya terbaru dari YoungLady. Mohon dukungannya berupa like, vote dan komen sebanyak banyaknya ya. Terimakasih bagi yang sudah berkenan mampir ke karya karya Author, semoga kalian panjang umur dan sehat selalu. Amin🙏😘
Bersambung...
Sore itu juga Vina datang ke alamat rumah yang tertera dikartu nama pemberian Dokter Puji. Dia memencet bel yang menempel ditembok rumah beberapa kali, sampai akhirnya seorang pria bertubuh tinggi tegap keluar membuka pintu.
"Hallo, aku Vina. Aku kesini untuk menemui Tuan Dimas Maher Zain," sapa Vina ramah sambil berusaha untuk bersikap tenang.
"Hallo, Nona. Anda sudah membuat janji temu?" Tanya pria yang berpenampilan seperti seorang asisten pribadi itu.
"Aku belum membuat janji temu, tapi saya kesini atas saran dari Dokter Puji," ucap Vina.
"Sebaiknya kita mengobrol di dalam saja, mari masuk."
Vina masuk ke dalam ruang tamu yang ukurannya lebih besar dari lapangan voli, semua perabotan yang ada disana terlihat mewah dan berharga mahal. Tak hanya takjub, Vina juga sangat ingin memiliki hunian seperti itu. Semoga saja keinginannya yang kelewat konyol itu bisa terwujud suatu saat nanti.
"Kebetulan, Tuan Dimas sedang tidak ada dirumah ini, beliau sedang berada dirumah utama. Jika ada keperluan, Nona bisa menyampaikannya padaku. Namaku Anton, Aku asisten pribadinya," jelas Anton.
"Begini Pak Anton, aku sedang dalam kesulitan. Aku kesini untuk meminta bantuan pada Tuan Dimas," ucap Vina.
"Apa itu soal uang?" Anton mencoba menebak.
"Iya, betul." Vina menjawab dengan malu malu.
"Berapapun uang yang Nona perlukan pasti akan oleh Tuan Dimas, asalkan Nona mau bekerja padanya. Saat ini, beliau sedang membuka sebuah lowongan pekerjaan,"
"Aku mau bekerja apapun, aku bisa memasak, mencuci dan beres beres rumah. Aku bisa menjadi baby sitter, merawat Oma Oma atau menjadi seorang ART," Vina begitu sangat bersemangat.
"Sebenarnya, bukan itu lowongan pekerjaan yang sedang dibuka oleh Tuan Dimas," Anton menatap Vina dengan penuh keraguan
"Kalau bukan itu, lalu lowongan pekerjaan apa?" Vina berhasil dibuat penasaran.
"Lowongan pekerjaan untuk melahirkan anaknya," tutur Anton.
"Bapak pasti sedang bercanda," Vina tertawa karena setengah tak percaya.
"Tuan Denis membutuhkan rahim untuk disewa, rahim yang sehat untuk mengandung calon pewarisnya," Jelas Anton dengan wajah serius.
"Kalau Nona berminat, aku akan menelfon Tuan Dimas dan membuatkan Nona janji temu," lanjut Anton.
"Ah, tidak. Aku tidak berminat sama sekali. Biarpun aku miskin, aku adalah wanita baik baik, aku tidak mau menyewakan rahimku apa lagi tanpa adanya ikatan pernikahan," cicit Vina panjang lebar.
"Pikirkan dulu baik baik Nona, bukankah Nona sedang membutuhkan banyak uang?" Anton mencoba merayu dan meruntuhkan pertahanan Vina.
Vina adalah perempuan muda yang cantik, tubuhnya terlihat sehat dan berisi. Wanita seperti itu yang sangat diinginkan oleh Tuan Dimas untuk dijadikan istri keduanya dan mengandung calon anaknya. Kalau sampai Vina mau, Tuan Dimas pasti akan merasa senang dan Anton akan mendapatkan bonus besar.
"Tidak, terimakasih. Aku pamit pergi dulu," Vina terburu buru mau pergi.
"Baiklah kalau begitu, kalau Nona berubah pikiran Nona bisa datang ke rumah ini lagi,"
"Berubah pikiran? Sepertinya hal itu tidak mungkin akan terjadi," celoteh Vina dengan penuh percaya diri.
Setelah mengatakan hal itu pada Pak Anton, Vina berlalu pergi meninggalkan rumah kedua Dimas karena tidak ingin berlama lama berada dirumah milik CEO gila.
Dia dan majikannya pasti sama saja, sama sama tidak memiliki otak dan hati nurani. Bisa bisanya mereka bekerja sama membuka lowongan untuk mencari istri kedua, Vina merasa hanya wanita bodoh saja yang mau ditawari pekerjaan seperti itu.
Selepas Vina pergi, Anton berdoa dalam hati, semoga Vina mau kembali lagi ke rumah itu. Anton akan mendapat bonus dalam jumlah besar dari Tuan Denis jika Anton berhasil membujuk seorang wanita untuk menyewakan rahimnya pada majikannya itu.
🍃🍃🍃
Vina merasa seperti seorang pengemis, dia berpindah dari pintu ke pintu rumah temannya untuk mencari bantuan. Sayang, diantara mereka semua tidak ada yang bisa memberikan Vina pertolongan, maklum saja, jumlah uang yang dibutuhkan oleh Vina cukup besar.
Vina teringat pada bekas teman sebangkunya saat SMA dulu, namanya Riska, dia putri tunggal seorang pengusaha yang tinggal tak jauh dari rumah Vina. Vina pergi menuju rumah Riska dengan menaiki ojek pangkalan, setelah menempuh perjalanan lumayan lama akhirnya Vina tiba di tempat tujuan.
Tok... Tok... Tok...
Vina mengetuk pintu, gadis manis itu tersenyum saat melihat sosok teman lamanya keluar dari balik pintu.
"Vina?" Riska sedikit heran karena Vina tiba tiba datang berkunjung ke rumahnya.
"Hai... Ris, apa kabar?" Sapa Vina.
"Baik, mari masuk ke dalam," ajak Riska.
Vina dan Riska duduk di kursi tamu. Untuk sesaat, suasana sekitar berubah hening karena Vina bingung ingin memulai pembicaraan dari mana.
"Tumben kamu datang ke rumahku? Ada perlu apa?" Tanya Riska to the poin.
"Anu Ris, aku membutuhkan pertolonganmu," tutur Vina dengan nada mendayu.
"Pertolongan apa?" Riska mengangkat alisnya sebelah.
"Tolong pinjamkan aku uang, Ayahku masuk rumah sakit karena serangan jantung dan dia harus segera dioprasi,"
"Berapa uang yang kamu perlukan?"
"Dua ratus juta,"
"Maaf Vin, kalau uang sebanyak itu aku tidak bisa meminjamkannya. Lagi pula kamu juga tidak memiliki jaminan yang bisa aku ambil jika kamu tidak bisa membayar hutangmu itu,"
Vina menunduk, dia merasa sedih dan terluka. Berkali kali dia harus menahan perih karena terlahir dari keluarga yang kurang berada. Apa orang miskin seperti mereka tidak boleh sakit? Apa orang miskin seperti mereka tidak boleh meminta sedikit bantuan?
Kenapa mereka sulit sekali mempercayai orang miskin yang hendak berhutang, Vina tau mencari uang itu sulit, tapi bukan berarti sedikit sedikit harus ada jaminan bukan?
Air mata Vina jatuh menetes, dia bingung dan putus asa. Seharian dia mondar mandir kesana kemari mencari pinjaman, tapi hasilnya nihil.
"Aku turut berduka untuk Ayahmu Vin, ini ada sedikit uang untukmu," Riska menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah.
"Ambillah, tidak banyak tapi aku yakin kamu membutuhkannya," ujar Riska.
Vani mengambil uang itu dan menghitungnya, total ada lima ratus ribu rupiah uang yang ada di genggamannya saat ini. Kurangnya masih banyak sekali, masih jauh dari angka dua ratus juta rupiah.
"Terimakasih ya Ris, aku akan mengembalikannya jika aku sudah memiliki uang," ucap Vina.
"Santai saja Vin, kamu tidak perlu mengembalikannya. Aku ikhlas memberikannya kepadamu secara cuma cuma."
🍃🍃🍃
Vina kembali ke rumah sakit, dia membawa dua bungkus makanan dengan uang sumbangan dari Riska. Vina menemui Ibunya dan membujuknya agar mau makan walaupun hanya sedikit.
"Bu, makanlah dulu. Kalau Ibu sakit, siapa yang akan merawat Ayah," ucap Vina.
"Baiklah, aku akan makan. Jaga Ayahmu dulu ya," pesan Karti.
"Iya,"
Vina duduk disisi Ayahnya, dia membelai rambut putih sang Ayah yang masih saja memejamkan kedua matanya. Tiba tiba saja tubuh Bayu bergetar hebat, mulutnya komat Kamit seperti dukun yang sedang membaca mantra.
"Ibu, apa yang terjadi dengan Ayah?" Vina panik. Sementara itu Karti meninggalkan nasi bungkusnya dan berlari keluar memanggil Dokter.
Dokter memeriksa keadaan Bayu dengan teliti, setelah itu dia memerintahkan beberapa perawat untuk memindahkan Bayu ke ruang khusus.
"Dia harus segera dioprasi malam ini juga, penyakitnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi," Dokter memberi penjelasan kepada Karti. Wanita itu terduduk lemah diatas lantai, seolah nyawanya sudah hilang separuh.
"Dok, segera oprasi Ayahku. Aku akan mengambil uang untuk biaya penanganannya sekarang juga." Ucap Vina mantap.
Dokter Puji mengerti apa yang dimaksud oleh Vina, dia menebak kalau wanita muda itu telah menerima tawaran pekerjaan dari sahabatnya yaitu Dimas Waseso.
Bersambung...
Waktu hampir tengah malam, Vina turun dari Taxi dan berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju rumah kedua Tuan Dimas. Vina memencet bel berkali kali, tak lama Pak Anton keluar membuka pintu.
"Nona..." Anton sedikit terkejut.
Anton tersenyum senang saat melihat Vina kembali ke rumah itu, dia merasa seperti baru mendapat berkah dari langit karena harapannya terkabul. Kembalinya Vina ke rumah itu menjadi pertanda kalau Anton akan mendapatkan bonus besar dari sang Bos, bonus yang sangat diidam idamannya sejak kemarin.
"Katakan pada Tuan Dimas, aku bersedia menyewakan rahimku. Tapi... Aku punya satu syarat," ucap Vina dengan deru nafas yang tidak teratur.
"Syaratnya apa Nona?" Tanya Anton.
"Syaratnya adalah nikahi aku dulu, karena aku tidak mau terjerumus dalam lubang perzinahan," sahut Vina dengan penuh percaya diri.
Saat itu juga, Anton mengirim foto Vina kepada majikannya via chat. Dia juga mengatakan persyaratan sulit yang Vina ajukan kepada Tuan Dimas. Setelah menunggu lumayan lama, Dimas membalas pesan dari orang kepercayaannya itu.
"Aku menerimanya persyaratan darinya, berikan berapapun uang yang dia mau. Setelah urusannya dirumah sakit selesai, suruh dia datang kerumah itu untuk menemui ku," bunyi balasan chat dari Dimas.
Segera, Anton mentransfer sejumlah uang ke rekening pribadi Vina. Setelah mendapatkan apa yang Vina butuhkan, Vina langsung bergegas kembali ke rumah sakit.
Menelan ludah sendiri adalah hal yang paling menjijikan, seperti apa yang baru saja Vina lakukan. Dia sendiri yang telah menolak tawaran Pak Anton karena harga diri, tapi dia juga yang merengek meminta kesempatan itu kembali.
Harga dirinya sebagai seorang wanita hilang, dia tak peduli jika predikat wanita baik baiknya berganti menjadi wanita ******, yang penting Ayahnya bisa segera dioprasi. Vina sangat menyayangi Ayahnya, dia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa sang Ayah.
🍃🍃🍃
Selesai membayar biaya oprasi sang Ayah, Vina berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit. Wajahnya terlihat sedih, seolah sedang menyesali keputusan yang baru saja dia buat. Dia tidak boleh menyesal, dia hanya melakukan pengorbanan kecil saja. Sementara Ayah dan Ibunya? Mereka telah mengorbankan banyak hal untuk hidupnya selama ini.
"Vina, seseorang memanggil dari belakang. Vina menoleh, dia mendapati Ibunya sedang berjalan menuju kearahnya.
"Dari mana saja kamu?" Tanya Karti penuh selidik.
"Aku dari rumah teman, aku baru pinjam uang untuk biaya oprasi Ayah," sahut Vina.
"Temanmu yang mana?" Karti meminta penjelasan secara detai.
"Riska teman sekolahku dulu, dia juga sering main kerumah. Masa Ibu lupa," Vina sedikit gugup karena takut ketahuan berbohong.
"Oh, yang Ayahnya pengusaha batu bara itu ya?" Karti mencoba mengingat ingat.
"Iya," Vina meringis.
"Tapi, dia kok mau meminjamkan uang begitu banyak? Apa dia tidak meminta jaminan apapun?" Karti masih belum mau berhenti bertanya dan membuat Vina was was.
"Setelah Ayah keluar dari oprasi dan keadaanya membaik, aku akan bekerja pada keluarga Riska. Kami akan pindah ke kota sebelah karena Ibunya Riska baru membuka sebuah butik disana. Setiap bulan, gaji ku akan dipotong oleh mereka untuk membayar hutang," ucap Vina dengan penuh kehati-hatian.
"Baik sekali keluarga itu ya, ada manfaatnya menjadi kaya bagi orang lain,"
"Sudahlah Bu, jangan bahas itu lagi. Lebih baik, kita tunggu Ayah dikamar rawat inapnya."
🍃🍃🍃
Bayu membuka kedua matanya perlahan, kesadarannya berangsur angsur membaik. Dia menatap sekeliling, dia mendapati dirinya masih terbaring diatas ranjang rumah sakit. Tapi kali ini dadanya terasa nyeri dan panas, seperti baru saja selesai dibedah.
Vina masuk ke dalam ruangan sambil menenteng makanan, dia langsung berlari menghampiri Ayahnya saat melihat tangan Ayahnya bergerak dan kedua matanya terbuka lebar.
"Akhirnya, Ayah siuman juga," Vina menangis bahagia.
"Mana Ibumu?" Tanya Bayu dengan nada lemah.
"Dia ada didalam kamar mandi, sedang mandi. Apa yang Ayah rasakan saat ini?" Tanya Vina sambil menggenggam telapak tangan Ayahnya.
"Aku merasa jauh lebih baik," Bayu menyunggingkan senyum kecil.
Vina menarik nafas lega, batinnya terasa plong seperti baru saja keluar dari ruang gelap yang mengerikan. Pengorbanannya tidak sia sia, Ayahnya bisa kembali sehat setelah dioprasi.
"Ayah sudah dioprasi, semoga Ayah cepat pulih agar segera diperbolehkan pulang kerumah,"
"Oprasi? Darimana kalian mendapatkan uang untuk oprasi Ayah?" Bayu melebarkan kedua matanya.
"Kita bahas hal itu nanti saja ya kalau Ayah sudah boleh pulang ke rumah," Vina mencoba menenangkan hati dan pikiran sang Ayah agar berhenti mewawancarainya.
Klak...
Pintu kamar mandi terbuka, karti keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar dan wangi. Dia menoleh kearah suaminya yang ternyata sudah terbangun dari tidur panjangnya.
Karti menghampiri sang suami dengan mata berkaca kaca, dia merasa senang karena pria yang dicintainya bisa lolos dari Kematian. Semakin lama, tangis haru Karti pecah hingga membuat Vina ikut menangis.
"Aku senang masih bisa melihat kalian berdua lagi," Bayu mengusap pipi Karti dan Vina secara bergantian.
Siang harinya, Vina pamit pergi pada Ibunya. Dia sengaja tak menunggu Ayahnya bangun dari tidur karena tidak mau disudutkan dengan berbagai pertanyaan lagi.
Karti merasa sedih karena putri semata wayang mereka harus ikut menanggung beban keluarga, karena itu pula untuk sementara mereka harus tinggal berjauhan. Roda kehidupan selalu berputar, Karti yakin setelah kesulitan hidup yang mereka alami, akan ada kebahagiaan di penghujungnya.
"Nak, jangan lupa rajin rajin memberi kabar pada kami. Kalau ada waktu libur, sempatkanlah untuk pulang dan menjenguk kami," pesan Karti sambil memeluk erat tubuh langsing Vina.
"Ibu tenang saja, aku tidak akan lupa pada keluargaku sendiri, aku berjuang juga untuk keluarga. Doakan saja semoga aku sehat selalu dan rejekiku lancar," ucap Vina sedih.
"Amin, semoga Tuhan selalu menyertai kamu kemanapun kamu pergi."
Vina keluar dari rumah sakit, dia menyetop taxi dan pulang ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian. Setelah itu dia pergi menuju ke rumah kedua Tuan Denis untuk menepati janjinya.
Sepanjang perjalanan pikiran Vina melayang, dia membayangkan seperti apa sosok Tuan Denis sebenarnya. Jangan jangan, dia adalah seorang pria gendut dan berkepala botak yang memiliki bau badan menyengat? Vina bergidik ngeri, dia menggeleng gelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran buruk itu.
Seperti apapun Tuan Denis, Vina harus menepati janjinya untuk menyewakan rahimnya pada pria itu. Bagaimanapun juga karena bantuan Tuan Denis, Ayah Vina bisa segera dioprasi dan bisa melewati masa kritisnya.
Satu jam kemudian, Vina turun dari Taxi. Dia melangkah penuh keraguan menuju halaman rumah calon suaminya. Bukan suami, melainkan calon majikannya. Karena Vina hanya akan dijadikan budak hasrat saja sampai keinginannya untuk memiliki pewaris terwujud.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!