Manusia benar-benar adalah makhluk yang menakutkan. Mereka akan menyeret dan menjatuhkanmu ke dasar jurang terdalam hanya karena rasa iri. Mereka yang bahkan sempat memuja-mujamu pun sama saja, mereka akan mendorongmu ke dasar jurang kesakitan terdalam jika tidak berhasil menggapaimu. Manusia benar-benar makhluk yang menyeramkan.
***
Chaeryoung berlari menuruni tangga. Bulir-bulir air mata kembali menetes menyusuri pipinya yang putih mulus. Ia benar-benar menyesali keputusannya untuk masuk ke sekolah itu. Kehidupannya benar-benar hancur semenjak ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam sekolah itu.
Teman-teman kelasnya tertawa melihat gadis itu berlari sambil menangis. Tidak ada sedikit pun rasa bersalah di dalam hati mereka setelah merundung gadis itu. Mereka bahkan merasa senang tiap kali merundung gadis itu. Gadis yang selalu mereka kucilkan itu.
“Lontenya kabur, guys.”
“Iyuh, biarin saja. Biar dia jauh-jauh dari sini, merusak pemandangan saja.”
“Sok kecakepan, sih, jadi orang.”
“Memang dasar l0nt3.”
Hujatan demi hujatan dilontarkan oleh teman-teman sekelasnya. Tidak ada satu pun orang yang menolongnya di sekolah itu. Tidak ada satu pun orang yang akan membantunya melawan semua hinaan tanpa perasaan yang teman-teman sekelasnya sematkan padanya. Hinaan yang merujuk pada fitnah yang tidak berdasar.
***
“Nak, kamu kenapa?” tanya ibu Chaeryoung sambil mengusap-usap rambut putri semata wayangnya itu.
Gadis itu telah pindah dari sekolahnya yang sebelumnya dengan trauma mendalam yang menusuk dan melukai hati dan jiwanya itu. Ia terus menerus murung dan jarang tersenyum. Akan tetapi, meskipun ia telah dipindahkan ke sekolah lain, ia tak kunjung membaik. Kondisinya justru makin memburuk. Apalagi jika ia sudah membuka akun media sosialnya dan mendapati orang-orang yang mengucilkan dan merundungnya itu tetap menjalani kehidupan dengan baik seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Ibu gadis itu menahan tangisnya melihat kondisi putri semata wayangnya itu saat ini. Gadis yang cantik dan berprestasi itu sekarang benar-benar telah berubah. Tidak ada lagi raut ceria dan optimis di sana, yang ada hanyalah kesedihan mendalam yang terpancar dari kedua bola matanya.
Ia bahkan baru menginjak bangku kelas satu SMA, tapi teman-teman sekelasnya seperti bukan manusia saat merundungnya. Mereka merundungnya hingga gadis itu beberapa kali mencoba untuk bunuh diri. Bekas goresan-goresan pisau dan silet bahkan tampak jelas di kedua tangan gadis itu sampai sekarang.
Gadis itu bahkan sangat ketakutan bila ditempatkan di tengah-tengah kerumunan orang. Padahal sebelumnya ia adalah salah satu anak yang terlahir dengan banyak rasa kepercayaan diri, apalagi ia juga pintar sampai bisa menyandang gelar ‘Duta Pariwisata’ di kotanya.
Parasnya yang ayu membuat tidak sedikit orang yang menaruh rasa iri padanya, apalagi ia juga pintar. Selain itu, gadis itu juga sangat tertutup sehingga terkesan sombong dan sulit didekati. Hali inilah yang membuat orang-orang makin membencinya, apalagi ia bahkan menolak semua laki-laki yang mendekatinya di sekolah itu, termasuk beberapa teman sekelasnya.
Awalnya ia hanya dimusuhi beberapa orang yang iri di sekolahnya, tapi semenjak ia menolak beberapa teman-teman sekelasnya, ia perlahan dikucilkan dan dirundung. Perundungan yang awalnya hanya sekedar mengucilkan, kemudian berlanjut dengan makian secara terang-terangan dan kekerasan fisik. Akhirnya gadis itu depresi dan mencoba bunuh diri, meskipun selalu gagal.
Ibunya tidak bisa berbuat banyak selain memindahkan anaknya ke sekolah lain, apalagi pihak sekolahnya tidak bisa membantunya. Mereka tidak ingin nama baik sekolah mereka tercemar hanya karena kenakalan remaja seperti itu. Mereka bahkan balik menyalahkan gadis itu karena terlalu angkuh sampai dirundung oleh seluruh teman-teman sekelasnya. Miris memang, tapi begitulah adanya.
Manusia benar-benar menakutkan. Orang-orang dewasa yang harusnya melindungi gadis itu selama berada di lingkungan sekolah justru seolah-olah melindungi orang-orang yang merisaknya. Posisi gadis itu bahkan bisa diputar-balikkan seolah-olah semua kesalahan ada pada gadis itu. Manusia benar-benar makhluk yang menakutkan.
***
“AAHHHHHHH!!! Tidak!! Chaeryoung! Tidak! Tidak!”
Ibu Chaeryoung menjerit ketakutan setelah membuka kamar putri semata wayangnya pagi ini. Ia berlari menghampiri anak semata wayangnya yang sudah terbujur kaku di atas lantai kamarnya, dengan bagian pergelangan tangan kirinya yang terus menerus mengeluarkan cairan merah kental.
Tetesan air mata mengalir menyusuri pipi ibu gadis itu, yang kini memosisikan dirinya memeluk tubuh kaku putrinya sambil sesekali menepuk-nepuk pipi putrinya itu, berharap putrinya akan segera sadar dan kembali melanjutkan hidup bersama dengannya seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi harapan tinggal harapan, gadis itu tidak kunjung bangun sekeras apa pun ibunya berteriak memanggil-manggil namanya. Ia sudah tidak ada, ia sudah pergi meninggalkan tubuhnya yang terbujur kaku di lantai kamarnya. Ia sudah menyerah akan hidupnya sendiri.
***
Orang-orang mulai datang karena rasa penasaran dan khawatir karena suara ibu Chaeryoung yang sangat keras pagi itu. Mereka mengetuk-ngetuk dengan penuh cemas pintu rumah gadis itu. Tapi tak kunjung terbuka. Mereka justru makin khawatir begitu mendengar suara isak tangis putus asa yang keluar dari mulut ibu gadis itu.
Akhirnya mereka memutuskan mendobrak pintu rumah gadis itu. Mereka takut sesuatu yang buruk telah terjadi di dalam sana, apalagi gadis itu hanya tinggal berdua dengan ibunya. Ayah gadis itu telah pergi sejak lama meninggalkan mereka berdua setelah bercerai dengan ibunya.
BRAKKKK....
Setalah pintu rumah terbuka, mereka berbondong-bondong masuk ke dalam rumah itu. Ada yang masuk karena memang khawatir, ada yang masuk sekedar memuaskan rasa penasarannya semata.
Begitu mereka mencapai kamar Chaeryoung, mereka benar-benar terkejut dengan pemandangan yang sedang tersaji di depan kedua mata mereka. Pemandangan yang membuat hati pilu, sekaligus merasa ngeri.
Gadis itu terbaring di dalam pelukan ibunya yang sedang menangis dengan putus asa, di tengah-tengah sebuah simbol yang telah dibentuk oleh gadis itu dengan darahnya dan beberapa lilin. Entah apa yang telah dilakukan gadis itu sebelumnya, tapi pasti itu bukanlah hal yang menyenangkan untuk diketahui.
Seseorang maju mendekati ibu dan anak itu. Sekedar memastikan apa yang terjadi di sana. Ia menatap wajah pucat gadis itu, kemudian menempelkan dua jarinya di leher gadis itu untuk sekedar memeriksa denyut nadi dari gadis itu. Setelahnya, ia mengarahkan jarinya pada bagian bawah kedua lubang hidung gadis itu, untuk memeriksa nafas gadis itu.
Laki-laki itu menggeleng. Tubuh gadis itu bahkan sudah dingin saat ia menyentuhnya. Bagian belakang leher gadis itu bahkan telah timbul lebam mayat, tubuh gadis itu juga sudah kaku, ia memastikan bahwa gadis itu memang sudah tiada dan memberi tahukannya pada ibu gadis itu.
Tentu saja, pemberitahuan itu disambut tangis yang lebih keras lagi dari sang ibu sambil meratapi kepergian putrinya yang tiba-tiba. Lagi pula siapa yang siap untuk ditinggalkan orang terkasihnya? Tidak akan ada orang yang siap dan tidak akan ada yang akan langsung mengikhlaskan kepergian orang terkasihnya itu.
Sang ibu dengan frustasi bahkan mengambil pisau yang terletak tidak jauh dari tubuh kaku putrinya itu. Ia ingin segera pergi menyusul putrinya yang selalu menderita semenjak masuk ke bangku SMA itu. Tapi niatnya digagalkan oleh orang-orang di sekitarnya. Ia hanya bisa menangis meraung-raung meratapi kepergian putri semata wayangnya itu.
Na Jaemin, ketua kelas, sekaligus murid paling pintar di kelasnya, melangkahkan kakinya memasuki ruang kelasnya yang masih sepi. Belum ada seorang pun di sana, kecuali dirinya, si rajin yang ambisius. Ia tidak ingin dikalahkan dalam hal apa pun, termasuk masalah absen pagi. Ia tidak ingin ada yang lebih dulu datang ke dalam kelas, bahkan kalau bisa lingkungan sekolah, selain dirinya. Tidak boleh ada seorang pun yang mengalahkannya, pokoknya tidak boleh.
Setelah ia meletakkan tasnya di atas meja di depan bangkunya, ia mulai membuka buku dan membacanya. Sekedar menambah pengetahuannya di pagi hari.
Matanya tertuju pada sebuah buku hitam di atas meja guru di dalam ruang kelasnya. Ia tidak ingat ada buku itu di sana saat ia pulang sekolah kemarin. Apalagi ia kemarin adalah orang yang paling akhir pulang sekolah karena ia memiliki kelas tambahan bersama salah satu gurunya di sekolah itu, sekedar untuk menunjang nilainya di mata pelajaran guru tersebut.
Licik? Tidak. Ia hanya memanfaatkan kekuasaan kedua orang tuanya yang mampu memberikannya apa pun yang ia inginkan. Bahkan kalau ia mau, ia bisa mengeluarkan guru itu dari sekolah tersebut kalau ia mau. Tidak akan ada yang berani padanya, anak kesayangan dari pemilik yayasan tempat ia bersekolah saat ini.
Laki-laki itu maju melangkahkan kakinya untuk sekedar melihat buku hitam pekat di atas meja gurunya. Senyuman mengejek terbit di wajahnya begitu melihat penampilan buku tebal yang cukup lusuh itu. Entah siapa pemilik buku itu.
Ia mengambil buku itu dan meletakkannya di dalam tong sampah di koridor kelasnya. Jahat? Tidak. Jika ada yang berani protes pada tindakannya itu, ia akan balik menyalahkan si pemilik buku yang dengan sembrono meletakkan bukunya seperti itu.
Jaemin melangkahkan kakinya kembali memasuki ruang kelas setelah membuang buku catatan yang lusuh itu. Entah siapa pemiliknya, ia tidak peduli. Ia hanya merasa buku itu merusak pemandangan di sekitarnya karena penampilannya yang lusuh.
***
Kedua mata laki-laki itu membola. Buku yang baru saja ia buang seolah-olah kembali ke tempatnya sendiri. Buku itu bahkan sudah ada di atas meja guru dengan posisi sama seperti sebelumnya, padahal laki-laki itu sudah membuang buku itu ke dalam tempat sampah di koridor kelasnya.
Bulu kuduk laki-laki itu berdiri. Ia masih sulit percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Ia benar-benar yakin telah membuang buku itu beberapa menit yang lalu.
Ia dengan langkah bingung dan sedikit ragu, berjalan mendekati meja guru di depan kelasnya itu. Ia kembali mengambil buku itu dan membuangnya ke dalam tempat sampah di koridor kelasnya. Setelahnya, ia berbalik dan berlari untuk sekedar mengecek apakah kejadian yang sama akan kembali terjadi atau tidak.
Laki-laki itu menghembuskan nafas lega begitu ia tidak mendapati buku itu ada di atas meja gurunya. Ia melangkahkan kedua kakinya menuju bangkunya dan duduk di sana.
Jantungnya berdetak dengan kencang sampai membuat dadanya terasa berdebar-debar begitu ia kembali menatap ke arah meja gurunya. Buku itu kembali ada di sana, di saat ia bahkan masih sendirian di dalam kelas itu. Entah bagaimana caranya buku itu bisa kembali berada di sana.
Laki-laki itu kemudian mengambil buku itu dan berlalu menuju kantin. Ia hendak meminta korek api untuk membakar buku itu. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan buku itu. Sesuatu yang terasa ganjil dan berbahaya. Ia benar-benar merasa harus menyingkirkan buku itu secepatnya.
***
Setelah meminjam korek api dari ibu kantin, laki-laki itu beranjak keluar dari kantin dan berjalan menuju halaman belakang sekolah. Ia akan membakar buku itu di sana. Ia khawatir akan ada sesuatu yang buruk terjadi jika buku itu tidak segera ia singkirkan.
Langkah kedua kaki laki-laki itu berhenti begitu ia sampai di halaman belakang sekolah. Ia mengeluarkan korek api yang sebelumnya ia pinjam dari dalam saku celananya, kemudian membakar buku usang itu.
Ia menatap buku yang telah dilahap api itu. Ia akan pergi dari sana setelah memastikan bahwa buku itu telah berubah menjadi abu. Ia tidak ingin melihat buku menyeramkan itu lagi. Ia takut keberadaan buku itu akan membawa kesialan di sekitarnya.
Ketika api yang membakar buku itu mulai padam, laki-laki itu beranjak dari sana, meninggalkan buku yang telah berubah menjadi abu itu di sana. Perasaannya sedikit lega setelah memastikan bahwa buku itu telah berubah menjadi abu.
Ia melangkahkan kakinya kembali ke kantin untuk mengembalikan korek api yang telah ia pinjam sebelumnya. Setelah itu, ia akan kembali ke ruang kelasnya, karena jam pelajaran akan segera dimulai.
Ia tidak ingin terlambat dan mengurangi poinnya. Ia ingin tetap bertahan di peringkat satu umum di sekolahnya dalam hal akademik dan kedisiplinan, ia bahkan berniat mencalonkan dirinya menjadi ketua OSIS di sekolahnya, jika ia sudah duduk di bangku kelas dua SMA nanti.
***
Mata laki-laki itu membola begitu ia mendapati temannya sedang memegang buku dengan sampul hitam itu di dalam kelas sambil bercanda dan menghina buku itu. Ia telah membakar buku itu dan memastikan buku itu benar-benar telah berubah menjadi abu.
Tapi sekarang apa yang ia lihat dengan kedua bola matanya? Buku itu masih utuh dan sedang digenggam oleh teman-temannya, yang saat ini sedang menghina pemilik buku itu. Meskipun tidak ada satu pun orang di dalam kelas itu yang mengaku pemilik buku itu.
Dengan langkah tergesa-gesa, laki-laki itu menghampiri temannya dan merampas buku itu dari tangan temannya. Teman-temannya hanya bingung melihat tindakan dan ekspresi laki-laki itu saat ini. Ekspresi penuh ketakutan dan kekhawatiran sambil menatap buku yang ada di dalam genggamannya.
Ia membuka dengan kasar lembar demi lembar buku itu. Tapi tak kunjung menemukan apa pun di dalam. Buku itu seperti buku catatan biasa, hanya saja sedikit lusuh. Buku itu bahkan kosong, seolah-olah memang tidak pernah digunakan sebelumnya.
Laki-laki itu memberikan buku itu kembali pada temannya yang sebelumnya memegang dan mengolok-olok buku itu. Ia lalu berjalan kembali ke tempat duduknya dengan ekspresi bingung dan cemas. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan buku itu. Sesuatu yang tentu saja bukan hal baik.
Keringat dingin menguncur dari jidatya, tatapannya bahkan kosong saat ini dan membuat teman-temannya khawatir dengan kondisinya saat ini. Laki-laki itu bahkan tiba-tiba berubah menjadi pendiam karena masih sangat terkejut dengan apa yang terjadi pagi ini. Buku yang telah ia bakar sampai hanya menyisakan abu itu masih ada di dalam kelasnya, bahkan masih utuh seolah-olah tidak pernah dibakar sebelumnya.
Mark menatap buku usang dengan sampul hitam yang sempat direbut oleh Jaemin dari tangannya. Ia penasaran dengan buku itu, apalagi buku itu sempat membuat Jaemin seperti kesetanan. Laki-laki itu bahkan sekarang seperti tanpa jiwa, ia hanya menatap kosong ke depan kelas, pikirannya entah ada di mana saat ini.
Laki-laki itu perlahan membuka buku usang itu untuk mengetahui alasan dibalik tingkah aneh temannya itu. Ia mengerutkan keningnya begitu ia membuka lembar demi lembar yang ada di dalam buku itu. Isi buku itu bersih tanpa noda, hanya sedikit usang saja.
Iseng, laki-laki itu meraih pena yang ada di saku seragamnya. Ia ingin mencoret-coret buku itu.
Laki-laki itu mulai menorehkan tinta penanya pada lembaran pertama buku itu. Ia menulis berbagai umpatan dengan huruf yang berukuran cukup besar sambil tersenyum lebar.
Kedua matanya melotot saat tinta yang telah ia torehkan di dalam buku itu perlahan memudar, lalu menghilang seakan-akan tidak pernah ada coretan sedikit pun di sana. Laki-laki itu membolak-balik lembaran yang baru saja ia coret, tapi tidak ada apa-apa di sana. Lembaran itu benar-benar bersih tanpa noda.
Mark kembali menorehkan tinta penanya ke lembaran lain di dalam buku itu dan hal yang sama kembali terjadi. Laki-laki itu takjub dengan buku yang ada di dalam genggamannya itu.
“Wahh, anjir! Ajaib juga buku ini.”
Laki-laki itu menuju Jeno dan Chenle yang tengah memakan kuaci. Ia memamerkan buku aneh itu kepada mereka berdua. Tentu saja, hal itu disambut oleh tatapan takjub dan tak percaya yang diberikan oleh kedua temannya itu, seakan-akan baru saja melihat keajaiban.
Tidak lama kemudian buku itu memunculkan tulisan dengan sendirinya. Mark, Jeno dan Chenle benar-benar terkejut dibuat buku itu. Mark bahkan sampai menjerit ketakutan dan melempar buku itu ke belakang kelas.
Death Note
1. Mark Lee
Anak-anak di kelas memberikan tatapan penasaran pada Mark yang baru saja berteriak sambil melempar sebuah buku ke belakang kelas. Suasana kelas tiba-tiba menjadi hening setelah Mark berteriak.
Teriakan Mark seolah-olah mengembalikan kesadaran Jaemin. Laki-laki itu melangkah ke belakang kelas, lalu memungut buku itu. Ia membuka sampul buku itu dan terkejut dengan tulisan yang ada di lembaran pertama buku itu.
Ia menatap ke arah Mark yang saat ini sedang waswas dengan sekitarnya. Jaemin tahu bahwa yang tertulis di dalam buku itu benar-benar seperti kutukan, seakan-akan ada yang sedang mengutuk orang-orang di dalam kelasnya. Mungkin baru Mark yang tertulis di sana, tapi siapa yang tahu siapa nama selanjutnya yang akan tertulis di sana selain Mark?
***
Orang-orang di kelas mulai menatap penasaran ke arah Mark semenjak insiden tadi pagi. Laki-laki itu bahkan berkeringat dingin dan bersikap awas dengan sekitarnya. Tulisan ‘Death Note’ di dalam buku itu tidak bisa ia sepelekan, apalagi ia tahu benar bahwa buku itu bukan buku biasa.
Laki-laki itu telah merobek lembaran yang berisi namanya itu, tapi sebanyak apa pun ia merobeknya, buku itu seolah-olah memulihkan dirinya kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bahkan nama laki-laki itu masih tertera di halaman pertama buku itu.
Jaemin telah menceritakan kejadian yang ia alami sebelum anak-anak datang ke dalam kelas tadi pagi. Tentang laki-laki itu yang berusaha menyingkirkan buku itu dari dalam kelas, mulai dari membuangnya ke dalam tempat sampah sampai membakarnya, tapi semua gagal, seolah-olah buku itu tidak akan pernah bisa disingkirkan.
Mark benar-benar ketakutan saat ini. Laki-laki itu bahkan tidak ingin mengonsumsi apa pun selama ia masih berada di dalam lingkungan sekolah. Laki-laki itu bahkan enggan meninggalkan ruang kelas, seolah-olah kelas merupakan tempat teraman baginya saat ini.
PRANGG!!!
“AHHHH!!!”
Anak-anak perempuan di dalam kelas menjerit ketakutan sambil melihat ke arah Mark, setelah sebuah batu yang cukup pipih baru saja menembus kaca jendela kelas dan tertancap di mata laki-laki itu. Bola mata laki-laki itu pecah, laki-laki itu bahkan langsung jatuh ke lantai kelas dengan salah satu matanya yang terus mengeluarkan darah setelah dihantam oleh batu yang kini menancap di sana.
Semua orang yang ada di dalam kelas itu menatap ngeri ke arah Mark. Sebelah mata laki-laki itu masih terbuka dengan sangat lebar, membuat orang-orang di sana bergidik ngeri melihat penampilannya saat ini.
Tidak sedikit anak-anak yang berlari ke luar kelas saat melihat tubuh Mark yang kini terbujur kaku di atas lantai kelas. Tindakan anak-anak itu membuat anak-anak dari kelas lain datang ke kelas mereka dengan penuh rasa penasaran, ingin tahu apa yang telah terjadi di dalam kelas itu.
Para guru datang setelah melihat kerumunan anak-anak di depan kelas Mark. Tidak ada yang berani mendekati tubuh laki-laki yang terbaring di lantai kelas dengan sebelah mata yang terus mengeluarkan darah sejak tadi sampai para guru tiba. Tidak jauh berbeda dengan reaksi anak-anak murid yang telah melihat keadaan Mark, para guru pun terkejut dan bergidik ngeri melihat penampilan anak muridnya yang mungkin sudah meninggal itu.
Salah seorang guru maju memeriksa keadaan Mark, lalu menggeleng. Tapi tak urung mereka membawa tubuh laki-laki itu ke rumah sakit terdekat.
Na Jaemin, Jeno, Chenle, dan teman-teman sekelas mereka berlari mencari buku dengan sampul hitam pekat yang sebelumnya dilempar oleh Mark ke belakang kelas. Tapi buku itu sudah tidak ada di sana. Buku itu hilang entah ke mana, seolah-olah hanya datang sekedar memberi kabar buruk bagi mereka yang ada di dalam kelas itu.
Tidak sedikit dari mereka yang masih berpikir itu hanyalah sebuah kebetulan. Tapi tidak sedikit juga yang berpikir bahwa itu akibat nama Mark telah tertulis dalam catatan kematian di dalam buku itu, seolah-olah Mark telah dikutuk.
Na Jaemin segera menutup pintu kelas dan mengusir anak-anak dari kelas lain yang masih bertengger di koridor kelas mereka. Ia bahkan mengancam setiap orang yang masih ada di sana akan dikeluarkan jika tidak mematuhi perintah dari laki-laki itu.
“Sampai semuanya jelas, tidak boleh ada yang menyebarkan tentang buku itu keluar dari kelas ini.”
“Gila aja! Terus kamu mau tunggu sampai nama kami ada di dalam buku itu seperti Mark?”
“Ini mungkin cuma kebetulan, guys. Masa kalian percaya sama yang namanya ‘death note’, sih?”
“Terus kamu bisa jelasin kenapa bukunya tiba-tiba hilang?”
Kelas mulai bising karena dilanda kepanikan setelah kejadian yang menimpa Mark dan hilangnya buku usang bersampul hitam itu. Tidak sedikit yang takut akan menjadi korban selanjutnya setelah Mark.
“Aku bakalan cari tahu apa yang terjadi sebenarnya dan di mana buku itu. Kalau sampai aku tahu di antara kalian ada yang sudah ngerencanain ini semua sampai bikin teman aku mati, aku yang bakalan bunuh kalian,” ancam Jaemin dengan tatapan penuh kemarahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!