Katanya, sebelum kita terlahir ke dunia, roh kita sudah ditunjukkan, kehidupan seperti apa yang akan kita jalani nantinya. Jika roh kita menyetujui, maka kita akan terlahir. Namun jika tidak, kita tidak akan terlahir.
Benarkah begitu?
Jika itu benar, berarti roh ku benar-benar bodoh. Sudah tahu kehidupan yang akan di jalani nya berantakan. Mengapa memaksa untuk terlahir?
Terkadang hal itu sering ku renungkan. Seperti saat ini.
Aku berjalan menyisiri pantai. Ya, pantai selalu menjadi tempat terfavorit saat hatiku terasa gundah.
Hembusan angin serta teriknya matahari membuatku menyipitkan mata. Berulang kali aku menyiah rambut pendekku yang berantakan karena ulah angin.
Suara deburan ombak seolah menyatu dengan apa yang sedang ku pikirkan, cocok menjadi background musik nya.
Aku menghentikan langkahku, tepat di bawah pohon cemara laut yang cukup rindang. Aku duduk di bawahnya sambil menatap ombak yang datang dan pergi.
Saat ombak pergi, pasir kembali mengering seolah tidak pernah dijajah oleh air. Sepertinya aku harus berguru pada pasir pantai..
Perlahan aku mulai memejamkan mata, merasakan setiap hembusan angin yang menerpa wajahku. Dan tanpa ku sadari, aku mulai menerawang masa lalu.
Flashback, 4 tahun yang lalu.
"Yah, Luna minta uang untuk biaya pendaftaran kuliah Luna," ujar ku setelah kembali dari sekolah.
Suroyo, Ayahku yang saat itu sedang membaca koran hanya melirikku sekilas, tanpa menjawab. Aku masih berdiri di sana menanti jawabannya.
Mungkin Ayah merasa terganggu dengan hal itu. Beliau mengibaskan korannya setelah membalik halamannya.
"Kamu ini menambah beban saja! hutang ibu kamu yang di warung saja belum lunas.." ucap Ayah ketus.
"Istri Ayah bukan berarti itu ibu aku.." aku asal menjawab. Tapi memang benar, karena dia bukan ibu kandung ku.
plak!
Ayah melempar korannya ke atas meja. Kemudian menatap ku tajam. Mungkin saat itu Ayah berpikir kalau aku akan merasa takut. Tapi tidak, aku melawan tatapannya. Hingga beliau sendiri yang memutus kontak mata denganku.
"Haiss~" Ayah memalingkan wajahnya menghindari tatapan ku.
Aku menyembunyikan senyum tipis ku karena merasa sudah menang darinya. Namun ternyata tidak, aku kalah. Aku terlalu sombong dengan hal sepele itu.
"Ayah sudah menyiapkan calon suami untuk mu. Kamu menikah dengannya dan minta semua yang kamu inginkan darinya."
deg!
Senyum ku mulai memudar.
Apakah benar yang ada dihadapan ku saat ini adalah Ayah kandung ku? Apakah beliau berniat untuk menjual ku demi melepas tanggung jawabnya?
Alasanku tetap bertahan di rumah yang terasa seperti neraka ini adalah, karena aku tidak ingin melepaskan Ayahku dari tanggung jawabnya atas diriku.
Beliau seorang pejudi, pemabuk. Ayahku bukan orang yang baik. Ibu telah meninggal saat usiaku 8 tahun. Belum seratus hari kepergian Ibu, Ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak dua.
Jika Ayah bisa menghidupi seorang janda beranak dua, maka Ayah juga harus bisa menghidupi anak kandungnya sendiri. Bukankah begitu? Karena aku berpikir seperti itu.
"Dia bos tambang batu bara, orang kaya raya. Hidupmu akan makmur jika menikah dengannya.." lanjut Ayah selama aku terhenyak dengan pikiran ku sendiri.
"Tidak!"
"Luna masih 19 tahun! masa depan Luna masih panjang. Meskipun Luna menyayangi Ibu, tapi Luna tidak mau bernasib sama seperti Ibu. Menikahi pria yang salah!" aku mulai berteriak tak sopan kepada Ayah.
Pantas jika hal itu membuat Ayah sangat geram. Ayah meraih koran yang di letakkan nya di meja jadi. Lalu melemparnya ke wajahku.
"Kalau begitu hidupi dirimu sendiri! pergi cari uang kuliah mu sendiri dan pergi dari sini!" bentak Ayah yang membuatku semakin yakin, kalau pernikahan itu hanya untuk keuntungannya sendiri.
"Baiklah, hari ini juga aku pergi!"
Aku langsung berbalik pergi. Saat itu aku benar-benar sudah bertekad untuk pergi dari rumah. Namun ucapan terakhir Ayah membuat ku menghentikan langkahku. Tubuhku gemetar tak karuan, air mata yang ku tahan sedari tadi pun mulai tumpah tak tertahankan.
"Pernikahan mu sudah didaftarkan, dia sudah menyiapkan segalanya. Minggu depan kamu sudah harus bersiap."
Aku berlari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Ayah sudah sangat keterlaluan. Aku tidak ingin menikah, terlebih dengan orang yang tidak ku kenal, bahkan tidak ku cintai.
Namun apalah daya ku. Aku terjebak dalam neraka ini. Selama seminggu sebelum pernikahan itu di laksanakan, Ayah mengurungku. Tidak ada celah bagiku untuk kabur.
Hingga hari itu tiba.
Aku hanya diam seperti boneka barbie, membiarkan mereka memainkan tubuh ku sesukanya. Mendandani dan memakaikan ku gaun. Aku seperti raga tanpa nyawa, diam tak berdaya.
Gaun mewah dan gedung megah ini cukup membuktikan kekayaan pria yang sama sekali tidak ku tahu bagaimana rupanya.
"Pengantin wanita nya sudah siap.." ujar wanita yang mendandani ku.
Beberapa saat kemudian, Ayah masuk ke ruangan ini. Ayah menghampiriku layaknya seorang Ayah yang bertanggung jawab. Omong kosong!
"Putri Ayah sangat cantik.."
Aku tidak menoleh, hanya menatapnya tajam lewat kaca besar di hadapanku. Mata kami bertemu dalam pantulan kaca itu.
"Ayo kita mulai pertunjukannya.." ucapan Ayah membuatku sangat geram. Aku mencengkeram erat gaunku.
"Oh.. putri Ayah yang cantik. Jangan membuat gaun mu kusut. Gaun itu seharga rumah Ayah," ucap Ayah sambil menepuk punggung ku.
"Pak Suryo, sudah waktunya.." ujar seorang wanita yang baru saja masuk itu.
Ayah menarik lenganku untuk berdiri di belakang pintu besar itu. Aku penasaran, apa yang akan terjadi selanjutnya setelah pintu itu di buka.
Ternyata cukup mengejutkan..
Para tamu undangan, orang-orang asing itu, mereka bertepuk tangan setelah pintu ini terbuka. Aku tidak mengenal mereka. Satupun tidak.
"Kirana.." lirih ku.
Hanya satu wajah yang ku kenal. Kirana, sahabat ku. Dia menatapku penuh prihatin. Senyum terpaksa terlihat sangat jelas di wajahnya. Aku mengalihkan pandanganku tak kuasa melihatnya. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya saat ini.
Ku lirik Ayah yang menggamit tanganku dengan lembut. Ekspresi bahagia bercampur kesedihan yang dibuat-buat itu membuatku sangat muak.
"Ayah tidak cocok berlaku seperti seorang Ayah yang sangat menyayangi putrinya," lirihku dengan ketus.
"Kamu tau berapa upah untuk mengantarmu ke altar pernikahan ini? 1 miliyar.. Surya sudah berjanji pada Ayah, akan memberikan banyak uang!" bisik Ayah.
Refleks aku menarik tanganku dari gamitan Ayah. Namun dengan sergap Ayah menarik kembali tangan ku dan menggamitnya lebih kuat lagi.
"Jangan membuat onar! atau kamu ingin makam Ibu mu hancur?" ancam Ayah.
Sebisa mungkin aku menahan air mataku.
Aku adalah pusat perhatiannya. Semua mata tertuju padaku. Bisa saja aku berbuat nekad. Hanya dengan berpura-pura mengamuk, orang-orang pasti akan ketakutan dan pastinya pernikahan ini akan hancur.
Tapi rasa takut akan ancaman Ayah tidak dapat ku hindari. Banyak hal gila yang telah dilakukan Ayah, termasuk pernikahan ini. Tidak kecil kemungkinan Ayah juga akan melakukan apa yang baru saja diucapkan nya.
Pria di depan sana. Ayah bilang namanya Surya. 37 tahun, dimana artinya pria itu 18 tahun lebih tua dariku.
Memang ku akui kalau Surya adalah pria yang tampan dan gagah. Wajahnya tak termakan oleh usia. Dia terlihat lebih muda dari usianya.
"Saya serahkan putri saya pada anda.." ucap Ayah seraya memindahkan tanganku pada genggaman Surya. Surya menyambut tangan ku dengan lembut dan hangat.
"Cantik.." bisik Surya itu membuatku bergidik ngeri. Merinding.
Dan...
Selesai. Sumpah pernikahan telah kami ucapkan. Aku tidak mau mengakuinya, tapi aku juga tidak bisa memungkirinya. Bahwa kami telah sah menjadi suami istri.
Aku memejamkan mata, membuat air mata yang telah ku pertahankan tumpah. Namun sesuatu yang terasa hangat menyentuh pipiku, mengusap air mataku.
"Jangan menangis.."
Surya mendekat kan wajah nya. Jika saat itu aku tidak memalingkan wajah, mungkin bibir itu akan menyentuh bibir ku.
Aku yakin itu pasti sangat memalukan, apalagi di hadapan banyak orang. Dapat ku lihat beberapa tamu undangan sedang berbisik sambil menyaksikan kami.
Namun di luar dugaan pria itu malah tersenyum. Dan sayangnya kali ini aku kecolongan. Dia mengecup kening ku. "Kamu sah menjadi milik ku.." bisik nya.
Gulungan selimut melilit tubuh ku. Dan sesuatu yang memalukan ada di balik selimut ini. Lingerie. Ya, baju kurang bahan yang mengerikan itu, aku memakainya.
"Dia pasti sengaja.." gerutu ku sambil berguling-guling.
Beberapa saat yang lalu, karena merasa sangat gugup, aku masuk begitu saja ke kamar mandi setelah sampai di kamar pengantin ini.
Gaun yang ku kenakan ku lempar begitu saja ke sudut kamar mandi. Tanpa berpikir bahwa itu akan berguna nanti.
Aku memaki diriku sendiri. Gaun yang ku lempar hampir sebagiannya telah basah. Bodohnya lagi aku lupa kalau tidak membawa sehelai pakaian pun karena terburu.
Terpaksa aku meminta tolong pada Surya. Namun siapa yang sangka pria mesum itu malah memberiku pakaian kurang bahan seperti ini.
Daripada keluar hanya dengan balutan handuk pendek, terpaksa aku memakainya.
"Argghh.. pria tua sialan itu!" aku terus mengumpat karena kesal. Tidak ada baju lain lagi. Lemarinya kosong.
Aku memejamkan mata rapat-rapat, berharap rasa kantuk akan segera menghampiriku. Tapi suara guyuran shower dari balik pintu itu tidak membiarkan ku tenang.
Jantung ku berdebar tak terkontrol. Satu yang ku takutkan, bagaimana jika tiba-tiba pintu itu terbuka dan sosok telanjang muncul dari baliknya?
"Buang pikiran kotor mu itu Luna!" aku menggelengkan kepala mengusir pikiran kotor dan mengganggu itu dari kepalaku.
klakk~
deg!
Refleks aku memejamkan mata pura-pura tidur setelah mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.
Debaran jantungku semakin tak karuan. Semoga Surya tidak menyadarinya kalau aku pura-pura tidur. Hanya itu yang ku harapkan.
Aroma sabun tercium sangat pekat, tanda dia berdiri tak jauh dari ku. Sebisa mungkin aku berusaha untuk merilekskan mataku yang terpejam agar tidak ketahuan.
"Kenapa tidur seperti anak kelinci yang kedinginan?" bisik Surya seraya membelai rambut ku.
Geli? tentu saja. Ingin menepis juga pasti. Tapi aku harus menahannya sebentar saja.
Tangannya mulai bergerilya membelai setiap inci wajah ku. Alis, mata, hidung, pipi, dan kini berhenti di bibir. Ingin sekali ku gigit tangan yang lancang itu sampai membekas.
cup~
"Dasar pria tua mesum!!" teriakku yang langsung mendorong tubuhnya untuk menjauh. Namun tubuh kekarnya itu sama sekali tak bergerak.
Pria sialan! Apa dia ingin balas dendam karena aku memalingkan wajah di depan banyak orang tadi, saat dia ingin mencium ku? Pria tua ini tidak bisa dipercaya. Aku harus waspada, jangan sampai pria tua ini berbuat macam-macam padaku.
Ku tatap dia dengan tajam. Namun dia hanya membalas ku dengan senyuman tipis.
"Manis.." ujarnya sambil menjilat bibir bawahnya.
Kini aku dalam posisi duduk, "Mesum! pergi kamu!"
Aku sudah berancang-ancang untuk mendorongnya dengan keras hingga tubuh kekarnya itu bergeser. Namun naas, karma datang dengan begitu cepat.
Aku terjatuh dari ranjang.
"Kamu tidak apa-apa? maaf aku tidak sengaja, aku menghindar bukan bermaksud untuk melukaimu.." ujar Surya dengan khawatir.
Dia langsung bergegas turun dan menggendongku seperti seorang putri. Pria tanpa baju dan yang hanya membalut separuh tubuhnya dengan handuk itu sedang menyentuhku.
Aku terus memberontak. Namun dia tak menghiraukan, hingga aku kembali mendarat dia atas ranjang.
"Apa ada yang sakit?" tanya Surya khawatir sambil meraba kepalaku.
Aku menepis tangannya dengan kasar.
"Tidak usah pura-pura baik! aku tau kamu hanya berpura-pura! semua pria sama saja, bejat. Seperti Suroyo sialan itu!" umpat ku terang-terangan tepat di depan wajah Surya.
Dia tersenyum tipis, lalu mulai mengangkat tangannya.
Refleks aku memejamkan mataku.
Tangan yang besar itu, jika itu mendarat di wajahku rasanya pasti sangat sakit. Sama seperti tangan Ayah. Tidak, jangan pukul aku. Aku sudah bosan dengan rasa sakit itu.
Namun...
"Aku tidak akan melukaimu..kenapa kamu membuat ekspresi seperti itu?"
Dia membelai wajahku, bukan ingin memukul ku. Kerutan di keningnya sangat dalam seolah dia benar-benar peduli denganku.
Aku menepis tangannya. Aku tidak ingin dibodohi lagi. Dulu Ayah juga seperti itu, Ayah sangat lembut. Tapi kemudian hal itu tidak bertahan lama setelah Ibu meninggal. Aku tidak boleh jatuh ke jurang yang sama untuk ke dua kalinya.
"Ceritakan semuanya tentangmu, aku ingin mendengarnya," ujar Surya lembut.
Aku terdiam, seketika mataku terpaku pada sepasang bola mata yang menatap ku dengan hangat itu.
"Tidak ada yang menarik dariku," ujar ku ketus setelah memutus kontak mata dengan Surya.
Dia mendorong tubuhku pelan hingga aku terbaring. Begitupun dengannya yang mengambil tempat di samping ku. Dia berbaring miring sambil menatapku, dilengkapi dengan senyuman di wajahnya.
"Jangan tersenyum seperti itu! kamu terlihat seperti seorang ayah yang bangga terhadap putrinya. Kau tidak lupa dengan umurmu kan, Paman?" lagi-lagi ucapan pedas keluar dari mulut ku.
Dia malah tertawa kecil mendengar ucapan kasar ku itu. Dan tiba-tiba.. karena pergerakan yang terlambat ku sadari itu, aku berakhir dalam dekapannya.
"Hei! Paman gila! lepaskan aku!" aku meronta.
Surya melonggarkan dekapannya.
"Aku adalah suami sah mu. Jadi aku tidak harus meminta izin darimu untuk melakukan sesuatu bukan?"
Firasat buruk ku dapatkan setelah mendengar ucapannya. Sebelum hal buruk terjadi, aku mengambil kesempatan karena dekapannya yang sudah melonggar. Aku hendak bangkit, namun naas Surya menahan pinggang ku dengan kuat. Membuat tubuh mungil ku tidak dapat berkutik sama sekali.
"Aku tau kau takut. Aku tidak akan memaksamu, aku akan melakukannya saat kamu sudah siap. Aku akan menunggu.." ujar Surya.
"Tapi.." dia menggantung ucapan nya.
Ibu jarinya membelai lembut bibir ku, membuat tubuhku tersentak karena geli.
"Aku tidak tahan melihatnya. Izinkan aku menikmati nya. Bibir mungil ini.." lanjutnya yang membuat ku semakin berdebar tak karuan.
Mengingat umur nya yang 18 tahun lebih tua dari ku membuat ku merasa jijik. Apalagi ini pernikahan yang dipaksakan. Dan aku tidak mencintainya.
Namun saat melihat wajahnya yang tidak tampak seperti umurnya, membuat ku sedikit lega. Tapi tetap saja aku merasa geli.
"Jangan macam-macam atau aku ak~ hmmph~"
Bibirku terkunci. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Begitupun dengan tubuhku. Dia mendekap tubuhku dengan kuat.
"Hmm!" seru ku saat tiba-tiba dia membalik tubuhku.
Kini tubuhku berada di atas tubuhnya. Dari atas tubuhnya aku dapat merasakan dengan jelas debaran jantungnya.
Debaran jantung kami saling bertautan seperti suara detikan jarum jam.
Surya memperdalam ciumannya. Sebelah tangannya menahan kepala ku yang terus mencoba melepaskan diri.
Aku pasrah. Ku biarkan diriku mengikuti permainannya. Tapi aku sudah tidak kuat lagi, aku kehabisan napas.
pwahh~
Napas ku terengah-engah setelah Surya melepas ciuman nya.
"Pria tua bangka gila!" teriak ku sembari memukuli dadanya.
"Apa kau menginginkannya lagi? setiap mulut mungil ini mengeluarkan kalimat yang kurang enak di dengar, aku akan melahapnya.." ancam Surya seraya membelai bibirku.
Aku diam seribu bahasa. Aku tidak berani melawannya, aku takut dia bersungguh-sungguh dengan apa yang baru saja dia ucapkan.
Masih di atas tubuh Surya. Dia menahan pinggang ku dengan kuat. Aku memalingkan wajah karena malu. Mungkin dia menyadari hal itu, dan hal itu membuatnya terkekeh sambil mengacak-acak rambutku.
"Gadis pintar.." ucapnya yang kemudian mengecup bibir ku sekali lagi.
"Sudah malam, mari kita tidur," lanjutnya.
Sama seperti tadi, secara tiba-tiba dia membalikkan tubuh ke samping bersamaan dengan diriku yang masih ada di atasnya.
"Arghh..pria tua ini membuat ku gila!" gerutu ku merasa kesal.
"Apa kau baru saja mengutukku?" sahut Surya.
"Tidak, kau salah dengar!" jawab ku dengan cepat karena takut dia akan berbuat lebih jauh lagi.
"Hmm" gumam Surya seraya menarik tubuh ku lebih dekat lagi kedalam dekapannya.
Sedikit tidak nyaman dan asing, tapi ku akui pelukannya terasa sangat hangat. Membuat ku rindu dengan pelukan Ibu saja..
Akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ku kira aku tidak akan bisa tidur karena berada dalam dekapan orang asing ini. Ternyata tidak. Rasa kantuk tiba-tiba menghampiri ku. Membuat ku kehilangan kewaspadaan ku. Dan terlelap..
Tak terasa setahun sudah pernikahan paksa ini berjalan. Diluar dugaan, pernikahan kami berjalan dengan baik-baik saja selama itu.
Ku kira dia orang yang kasar, yang hanya memenuhi nafsunya saja untuk menikahi ku. Ternyata tidak.
Dia menepati ucapannya untuk tidak menyentuh ku sebelum aku bersedia. Dia pria yang baik. Ya, aku tidak bisa berbohong karena itu memang kenyataan nya.
Dia juga orang yang lembut dan perhatian. Terkadang aku merasa takut dengan sisinya yang itu. Aku takut akan tenggelam.
Aku takut dengan diriku sendiri. Aku takut mencintai nya. Karena aku tahu, Tuhan maha membolak-balikkan hati manusia.
Di hari pertama saat itu, dia memintaku untuk menceritakan tentang diriku kepadanya. Dan ya, meskipun awalnya aku tidak mau, tapi akhirnya itu menjadi dongeng pengantar tidur untuknya.
Setiap malam, dalam dekapannya aku menceritakan semuanya, juga menceritakan keseharian ku di kampus. Aku meluapkan semuanya padanya. Rasanya seperti curhat dengan Ibu.
tok..tok..tok..
"Na, udah siap?"
Aku tersadar dari lamunanku. Segera aku memakai lipstick yang tertunda ku pakai.
"Iya mas, sebentar.."
Panggilan itu, butuh hampir satu bulan untuk menentukan panggilan apa yang harus ku gunakan. Dan akhirnya aku memilih kata itu.
Aku keluar dari walk-in closet dalam keadaan rapi. Dengan rambut panjang yang ku biarkan terurai.
Namun..
Lihatlah pria yang berdiri menatapku dengan kerutan di dahinya itu. Aku yakin itu pasti karena rambutku.
Karena dia sering sekali mengeluh akan hal itu.
Tiba-tiba saja dia menarik tubuhku dan menuntun ku ke hadapan cermin.
"Lihat.." serunya.
Dia mengikat separuh rambut ku dengan tangannya. Di depan cermin kini tampak diriku dengan rambut pendek buatannya.
"Kamu terlihat lebih cantik dengan rambut pendek," tuturnya.
"Potong ya?" lanjutnya dengan suara merajuk.
Aku menatapnya lewat pantulan cermin. Ugh, wajah merajuknya itu sangat menggelikan. Tidak cocok untuk orang bertubuh kekar membuat wajah seperti itu. Seketika aku bergidik ngeri.
"Ihh jijik banget aku. Gak pantes kamu mas pasang wajah seperti itu!" seru ku dengan ekspresi jijik.
Senyum hangat itu masih belum menghilang. Dari awal hingga saat ini. Awalnya ku kira itu hanya perangkap. Ku kira itu hanya sesaat. Ternyata perkiraan ku selama ini tidak ada yang benar.
Terkadang pikiran buruk ku tentangnya membuatku merasa bersalah. Karena yang selama ini ku kira-kira sama sekali tidak ada pada dirinya.
Dia tersenyum tipis dan merangkul pinggang ku. "Itu termasuk kalimat yang kurang enak di dengar.." bisik nya.
Pria gila. Aku lupa dengan perjanjian itu. Bahwa dia akan mencium ku kalau aku mengeluarkan kalimat yang kurang enak untuk didengar.
Sontak aku menutup mulutku dengan telapak tangan seraya menggelengkan kepala tanda aku tidak melakukan kesalahan.
"Potong ya.."
Dia mengulang lagi ucapannya dengan suara yang lebih rendah.
"Enggak! apa bagusnya rambut pendek, nanti kayak ibu-ibu.." tolak ku dengan asal bicara.
"Bagus kok, cantik.."
"Kalo ini jadi permintaan terakhir aku gimana?"
deg!
Aku terdiam.
Terakhir? Itu dalam artian dia akan pergi perjalanan bisnis untuk waktu yang lama, atau pergi untuk selamanya? Aku tidak mengerti ucapannya. Tapi mendengar kata 'permintaan terakhir' memang membuatku sedikit merinding.
Sejak awal aku memang tidak menginginkan pernikahan ini. Meskipun dia orang yang baik, tapi aku masih sedikit membencinya karena telah seenaknya sendiri menikahi ku tanpa meminta pendapat ku.
Jika dia pergi, bukankah seharusnya itu sangat melegakan bagiku? Tapi kenapa kenyataan nya tidak seperti itu. Aku tidak tahu perasaan apa ini.
Takut.
Tapi aku tidak mencintainya. Seandainya dia benar-benar pergi, mungkin itu tidak akan terasa menyedihkan.
Aku melepas rangkulan tangannya di pinggangku, "Sudahlah, ayo berangkat. Kamu mau mengajakku kemana?" aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin memikirkan sesuatu yang membuat ku bingung.
Aku pergi keluar kamar mendahuluinya, membiarkannya yang masih berdiri dibelakang sana.
...****************...
This i promise you milik NSYNC mengisi keheningan sore hari dalam mobil ini.
Aku tidak tahu dia akan mengajakku kemana. Sepanjang perjalanan aku hanya melihat keluar jendela mobil yang ku buka kaca nya. Ya, karena aku mabuk mobil.
'Lagunya lumayan..' batinku saat itu.
Aku meliriknya sekilas, dia yang fokus dengan kemudinya itu. Seperti tangannya yang tak berhenti menggerakkan stang mobil, bibirnya itu juga tak ada hentinya tersenyum.
Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan hingga membuatnya se-senang itu.
Tunggu, apa dia akan membawaku ke rumah pria sialan itu? Suroyo. Tidak, aku tidak mau. Aku ingat hari ini adalah hari ulang tahunku. Apa si Suroyo itu pura-pura menjadi ayah yang baik dan menyuruh Surya untuk membawaku ke sana?
"Kau mau membawaku ke mana?" tanyaku tiba-tiba dengan ketus. Pikiranku telah mempengaruhi mulutku untuk berucap kasar.
Surya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada kemudinya. Dia hanya tersenyum.
"Kamu akan tau sendiri nanti.." ujarnya.
"Apa kamu akan membawaku ke tempat Suroyo?" tanyaku.
Di luar dugaan, dia malah mengerutkan keningnya menunjukkan ekspresi tak suka. Apa kali ini perkiraan ku salah lagi? Apa aku terlalu banyak berpikir?
Beberapa saat kemudian mobil berhenti di halaman parkiran yang sangat luas. Ku lihat di seberang sana, sebuah restoran mewah.
"Kenapa kita ke sini?" tanyaku.
Dia tidak menjawab dan keluar mobil begitu saja. Ku lihat dia memutari depan mobilnya dan kini berhenti di samping pintuku, lalu membukanya untukku.
Aku menatapnya dengan tatapan meminta jawaban. Namun sepertinya dia mengabaikan hal itu. Aku menerima uluran tangannya setelah keluar dari mobil.
'Sangat tidak strategis, kenapa halaman parkiran dan restorannya terpisah. Terpisahkan oleh jalan raya pula.. membahayakan nyawa orang saja!' gerutu ku dalam hati saat kami menyeberang.
Seorang waiters menyambut kedatangan kami dan mengantarkan kami ke sebuah ruangan yang katanya telah di pesan secara khusus.
Aku hampir lupa kalau dia orang kaya raya. Bukan apa-apa baginya menyewa ruangan khusus seperti ini yang hanya untuk makan saja.
Ku rasa dekorasinya juga disiapkan secara khusus. Di tambah dengan orang yang bermain keyboard di ujung sana.
Canon in D. Hah~ lumayan romantis. Tapi apa maksudnya ini?
Pemandangan luar jendela menghadap taman kolam. Aku juga dapat melihat parkiran yang ada di seberang sana. Mengingat betapa tidak amannya harus menyebrang di sana membuat rasa kesal ku muncul.
"Tunggu.." gumaman Surya membuatku terlepas dari lamunanku.
Ku lihat dia sedang menggeledah sakunya. Apa kunci mobilnya ketinggalan, batinku.
"Tunggu sebentar, aku akan segera kembali.." ucapnya yang langsung bergegas keluar sebelum aku menjawabnya.
Ku tatap punggungnya yang semakin menjauh. Aku terus mengawasinya hingga dia menyebrangi jalan raya itu.
"Ahh~" lirihku saat melihatnya hampir terserempet motor karena terburu-buru.
"Pria tua bodoh itu! Apa sih yang membuatnya terburu-buru seperti itu!? bagaimana kalo tadi dia benar-benar terser~"
"Tidak.."
"Jangan dilanjutkan, ucapan adalah doa Luna!" gumam ku.
Alunan Canon yang tadi di mainkan tiba-tiba berganti menjadi instrumen musik ulang tahun. Sontak aku mengangkat kepala karena kaget.
Aku menghela napas panjang seraya memejamkan mataku. Aku berharap apa yang ku tebak sejak awal tidak akan terjadi. Karena jika itu benar-benar terjadi, aku juga akan benar-benar tenggelam padanya.
Namun...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!