Suasana pagi ini masih terlihat berkabut dan gelap, matahari memang belum menyapa dan memperlihatkan semburat cahaya indahnya. Di sebuah desa yang letaknya sekitar 100 km dari ibu kota, sebagian penduduk desa masih terlelap di atas pembaringan mereka yang nyaman dan hangat. Namun, tidak dengan sosok gadis yang bernama Bunga, gadis itu tampak mengayuh sepedanya menuruni jalanan yang terjal menuju ke sebuah pasar.
Pada pagi hari, Bunga memang membantu berapa pedagang sayur di pasar, tidak jauh dari tempat panti asuhan yang dia tinggali. Setelah selesai melakukan aktivitasnya di pasar sampai jam 08.00 pagi, dia berpindah ke sebuah minimarket untuk menjadi kasir, begitulah keseharian dari Bunga. Gadis itu bekerja semenjak matahari belum terbit hingga matahari hampir saja tenggelam, tetapi dia melakukan itu semua dengan ikhlas demi membantu keuangan Panti Asuhan tempat dia tinggal. Meskipun, sebenarnya dia ingin membantu lebih, namun hanya itu yang bisa dia lakukan, tidak banyak pekerjaan di desa tersebut, apalagi dia hanya sebatas lulusan SMA, dimana notabene saat ini yang dibutuhkan perusahaan besar adalah tenaga yang memiliki gelar sarjana.
Saat mengayuh sepedanya, gadis itu tampak menguap seraya bergumam lirih. "Tuhan, bisakah aku bernasib seperti Sin Ha-Ri atau Sekretaris Kim yang dicintai oleh CEO tempat mereka bekerja? Ah, kenapa nasib mereka mujur sekali? Astaga, sadar Bunga, itu cuma drama, kehidupan nyata itu kejam, lebih kejam daripada ibu tiri yang menyamar jadi ibu kandung. Lagi pula mana ada CEO yang tertarik sama cewek yang bau sayuran kaya gue? Hahahaha..." tawa nyaring gadis itu pun terhenti bersamaan dengan laju sepeda yang juga berhenti di pasar tempat dia akan memulai aktifitasnya.
"Annyeong haseyo," sapa gadis itu pada beberapa orang yang berpapasan dengannya. Namun, bukannya mendapat sapaan balik, tetapi yang dia dapatkan adalah tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang tersebut. "Kok natapnya gitu sih? Nggak gaul banget, bahasa Korea aja nggak tau," monolog Bunga pada dirinya sendiri saat berjalan menuju ke kios milik Ibu Rika, tempat dia bekerja.
"Selamat pagi Bu Rik." Mendengar sapaan itu, tentu saja Rika merasa kesal. "Heh bunga bangkai, berani-beraninya sebut aku Burik?"
"Kenapa Bu Rik, juga sebut aku bunga bangkai? Memang namanya Bu Rika kan? Apa salah kalau aku singkat jadi Burik? Apa Bu Rik belum tahu kalau di Negeri Makanda, Bu Rik itu artinya kecantikan yang sempura?"
"Negeri Makanda? Dimana itu, Bung? Kok baru denger sih?"
"Oh, itu ada di daerah perbatasan Samudra Hindia dan Antartika."
"Oh di tengah-tengah laut gitu? Keren juga ya."
"Iya Bu Rika itu luar biasa, jadi aku harus manggil Bu Rik dengan sebutan yang nggak biasa," dusta Bunga yang sebenarnya sering merasa dongkol pada Rika karena sering memangkas upahnya, atau memperpanjang jam kerjanya hingga dia terlambat ke mini market. "Ya udah deh khusus kamu boleh manggil aku kaya gitu, sekarang udah kerja sono, tuh dah banyak pembeli!"
"Siap Bu Rik, chalang haeyo."
"Astaga Bunga! Jangan bawa bahasa Maria Marcedes deh!"
***
Sorenya..
Di bawah temaram cahaya senja, Bunga mengayuh sepedanya, kayuhan kakinya memang tidak terlalu cepat, karena selain sudah lelah, gadis itu pun membawa banyak barang di sepedanya. Sepulang bekerja, dia memang sering membawa barang-barang yang dibuang di tempat dia bekerja. Di kios sayur Bu Rika, dia sering meminta sayuran yang tidak laku terjual, dan tidak bisa disimpan untuk besok karena beresiko busuk, sedangkan di mini market, dia sering kali membawa makanan yang sudah hampir kadaluarsa yang sudah dibuang pemiliknya. Bagi mereka, mungkin barang-barang itu sudah tidak berarti, tapi tidak dengannya dan penghuni panti tersebut.
Saat dia baru saja memarkirkan sepedanya, sayup-sayup terdenger celotehan beberapa anak panti pada Ibu Sukma, pemilik panti asuhan tersebut, sejak menderita struk, fisik Bu Sukma memang tidak seperti dulu, jadi sebagai penghuni tertua, otomatis Bunga mengambil alih tanggung jawab panti tersebut. "Bu Sukma, kapan Kak Bunga pulang? Kami lapar, sejak tadi kami belum makan apa-apa, Bu."
"Sabar ya anak-anak, sebentar lagi Kak Bunga pasti pulang." Bunga yang mendengar percakapan mereka dari balik tembok tampak meremas dadanya, rasanya begitu sakit saat mendengar jiwa-jiwa polos itu sampai kelaparan. "Oh Tuhan, jodohkanlah aku dengan duda tampan dan kaya seperti Song Jong Ki."
NOTE: Selamat pagi, sudah lama ya othor tidak menulis di sini. Annyeong haseyo?
Dengan menegarkan hatinya Bunga masuk ke dalam Panti Asuhan tersebut, lalu menyunggikan senyum manis seolah dia tak mendengar perbincangan mereka, kemudian menyerahkan makanan pada 6 orang adik pantinya. "Sasa ini ada telur dan sayur-sayuran kamu bisa memasak sayuran itu, tapi kamu pilih dulu telur yang belum busuk, setelah itu baru kamu goreng untuk dijadikan lauk. Lalu, ini juga ada makanan kecil, tolong kalian masukan ke dalam toples ya!" perintah Bunga.
"Iya Kak Bunga," jawab Sasa. Dia lalu beranjak menuju ke dapur, diikuti oleh anak-anak yang lainnya, guna memasak makanan, tentunya mereka sudah tidak sabar untuk mengolah makanan yang dibawa Bunga karena mereka sudah sangat lapar. Bunga mendekat pada Sukma, lalu duduk di sampingnya. "Bu, Bunga mau ngomong sesuatu sama Ibu."
"Mau ngomong apa, Bunga?"
"Bu, bagaimana kalau aku merantau saja ke kota? Ibu tahu sendiri kan kalau pekerjaan di desa ini, sangat terbatas. Sebenarnya Bunga pingin buka kedai Bu, tapi untuk memulai usaha, juga diperlukan modal. Bagaimana kalau aku merantau saja? Agar bisa memiliki penghasilan yang cukup tinggi sekaligus bisa menabung untuk modal."
"Jangan nak, lebih baik kamu di sini, temani ibu. Berapa pun hasil yang kamu dapatkan, kami sudah sangat bersyukur. Maaf kalau Ibu tidak bisa membantumu, beberapa orang donatur sudah tidak bisa lagi membantu Panti Asuhan ini. Sedangkan ibu tidak bisa berbuat banyak, maaf kalau kami merepotkanmu."
"Tidak apa-apa Bu, tolong jangan dipikirkan. Sejak kecil, ibu sudah merawatku, sudah sepantasnya aku membalas semua kebaikan Bu Sukma, tapi aku ingin berbuat lebih Bu, aku ingin adik-adik tercukupi."
"Apa katamu? Tercukupi? Kamu pikir kami tidak tercukupi, Bunga? Kami sangat tercukupi, lihat adik-adikmu masih bisa bersekolah, lalu kami juga bisa makan setiap hari. Kenapa kau bilang kebutuhan tidak tercukupi? Ini sudah lebih dari cukup Bunga, lebih baik kau fokus pada pekerjaanmu dan tidak usah memikirkan kami lebih jauh. Apa yang kau lakukan sudah lebih dari cukup, dan jangan pernah berpikir kami kekurangan," tandas Sukma sambil menatap bunga dengan tatapan sendu. Bunga pun hanya mengganggukan kepalanya, sambil menarik kedua sudut bibirnya. "Kalau begitu, Bunga mandi dulu ya Bu."
"Iya Bunga." Bunga pun masuk ke dalam kamar. Namun, setelah dia menutup pintu dia tampak menjatuhkan tubuhnya dibalik pintu tersebut, lalu menangis dengan begitu terisak. "Maafkan aku Bu, aku belum bisa berbuat banyak untuk Panti Asuhan ini," isak bunga di tengah derai air matanya.
Setelah cukup lama menangis, Bunga keluar dari kamar untuk membersihkan tubuhnya, lalu ikut makan malam dengan mereka. Dia tak ingin kalau Sukma dan adik-adiknya curiga dia baru saja menangis, dia tak ingin mereka melihat ada kesedihan di wajahnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam, tetapi Bunga tak dapat memejamkan matanya, entah mengapa percakapan antara adik-adiknya dan Bu Sukma terasa masih saja mengudara di telinganya. Di tengah kegundahan itu, Bunga mengambil ponselnya, lebih tepatnya ponsel milik Bu Rika yang hampir saja dia buang tetapi Bunga pungut kembali, lalu dia perbaiki di tempat service handphone. Untungnya ponsel itu masih bisa dipakai, dan ongkos yang Bunga keluarkan pun tidak terlalu banyak. Meskipun itu hanyalah ponsel bekas yang hampir saja dibuang, tetapi Bunga sangat bahagia bisa memiliki ponsel, setidaknya dia tidak terlihat kudet, dan bisa terlihat gaul sama seperti teman-teman di mini market tempat dia bekerja. Dari ponsel itu pula, Bunga mengenal beberapa artis Korea yang menjadi idolanya yang sebelumnya hanya bisa dia lihat di televisi.
Saat ini, Bunga tampak membuka aplikasi berwarna biru lalu mensubscribe beberapa drama Korea yang akan dia tonton. Ketika sedang asyik menonton drama tersebut, tiba-tiba dia bergumam lirih. "Senang sekali kalau punya suami orang kaya, aku juga ingin punya suami kaya, agar aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan, termasuk membangun panti asuhan ini. Tapi, lihat aku, udah udik, dekil lagi. Mana ada CEO yang tertarik denganku? Huhuhu..."
Saat masih asyik menonton drama tentang penjebakkan, tiba-tiba sebuah ide gila terlintas di benaknya. "Ah, bagaimana kalau aku menjebak seorang CEO saja agar menikahiku," kekeh Bunga dengan seringai liciknya. "Astaga Bunga, jangan gila deh. Dosa tau, lagi pula mana ada CEO di kampung kaya gini. Udah ah tidur aja, kebanyakan nglantur bisa-bisa jadi gila!"
***
Keesokan Harinya...
Sebuah mobil mewah warna hitam tampak menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya diapit oleh sebuah perkebunan teh. Di balik mobil mewah itu, lebih tepatnya di bagian kursi belakang tampak sosok pria tampan berwajah tegas dengan penuh kharismatik duduk sambil memainkan tablet miliknya. Garis wajah tegas itu dilengkapi hidung yang mancung, mata tajam beriris hitam pekat, serta rahang yang tegas dan ditumbuhi rambut-rambut halus di sekitarnya.
Raut wajah itu terlihat datar dan dingin, iris matanya tidak henti menatap lekat ke arah tablet yang dia pegang, mengamati seluruh pekerjaan, meskipun di luar pemandangan tampak begitu indah. Tetapi tak mampu mengalihkan atensinya untuk tetap fokus pada pekerjaan itu.
Tak berapa lama, mobil itu pun sampai di sebuah villa. Seorang pekerja pria paruh baya berlari membuka pintu gerbang villa tersebut yang letaknya di tengah-tengah perkebunan teh. Setelah pintu gerbang terbuka, mobil itu pun berjalan pelan hingga tiba di depan teras villa yang seluruhnya terbuat dari kayu.
Seorang pria paruh baya berusia sekitar 45 tahun mendekati mobil hitam mewah itu dan segera membuka pintu untuk pria yang masih duduk di kursi belakang. "Selamat datang tuan muda," sapa laki-laki itu setelah melihat tuan mudanya turun dari mobil. Pria dengan tinggi tubuh 175 cm itu hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam villa.
"Apa pembebasan tanah di sini sudah selesai?"
"Belum sepenuhnya, Tuan. Mereka tidak mau pindah dari desa ini." Mendengar perkataan anak buahnya, rahang laki-laki itu pun tampak mengeras. "Bodoh sekali, melakukan hal seperti itu saja kau tidak becus!"
"Aku tidak mau tahu, besok pagi masalah ini sudah harus beres! Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini secepatnya, karena aku tidak mau kedatanganku ke desa ini sia-sia!" gertaknya, lalu berjalan meninggalkan dua orang anak buahnya menuju ke sebuah kamar di lantai dua.
"Baik Tuan Sean."
Sesampainya di kamar, Sean merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Perjalanan dari Jakarta menuju ke desa itu sebenarnya tidak terlalu menguras tenaganya, tapi hari entah mengapa dia merasa begitu penat dengan semua pekerjaan itu, apalagi setelah mendengar urusan pembebasan tanah di desa ini belum sepenuhnya selesai. Laki-laki itu tampak memejamkan mata sambil memijit pelipisnya, namun tetap saja tak mengurangi rasa penat yang berkecamuk.
Dia pun beranjak dari atas ranjang, lalu berjalan ke arah balkon, melihat hamparan perkebunan teh yang berselimut kabut tipis, terlihat sangat menyejukkan mata. Sejenak, Sean terpaku, hatinya pun tergelitik untuk turun dan berjalan-jalan di area perkebunan teh tersebut. Laki-laki itu membuka jas-nya, lalu melipat kemeja warna biru donker sampai ke siku. Setelah itu, gegas dia keluar dari kamar tersebut.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, susana sore yang temaram dan tak pernah Sean temui di perkotaan membuatnya betah berlama-lama menyusuri kebun teh itu. Hingga tanpa dia duga, hujan tiba-tiba saja turun. "Arg, Sial. Kenapa tiba-tiba hujan turun?" geram Sean. Dan sialnya, Sean baru menyadari jika dia sudah sangat jauh dari villa miliknya.
"Arg!" teriak Sean, dalam hati dia merutuki dirinya sendiri sambil berlari untuk berteduh di salah satu pohon, meskipun berteduh di bawah pohon saat hujan itu sangatlah beresiko tapi dia tak punya pilihan lain. Dan, ternyata tak jauh dari pohon itu terdapat sebuah saung.
"Ah, kebetulan sekali. Aku bisa berteduh di sana!" Gegas Sean pun menuju saung tersebut, lalu mengambil ponselnya untuk meminta anak buahnya membawakan payung ataupun jas hujan. Sebenarnya, bisa saja Sean pulang menerobos derasnya hujan, tetapi dia mudah terserang flu, dia tak mau jika kondisinya menurun, akan berdampak pada pekerjaannya.
Namun saat Sean memencet tombol samping ponsel, ponsel itu tak kunjung menyala. Seketika Sean pun menyadari jika ponselnya sudah low bat. "Ohhh, shiiitttt!" geramnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Dia pun akhirnya hanya bisa pasrah menunggu sampai hujan reda. Sudah satu jam lamanya dia ada di tempat itu, tetapi hujan tak kunjung berhenti. Akhirnya, Sean pun memilih untuk merebahkan tubuh dan memejamkan matanya.
***
Keesokan Harinya...
Di tengah pagi yang berkabut, Bunga tampak mengayuh sepedanya dengan penuh semangat. Jalanan memang masih terlihat gelap dan tidak ada satu orang pun yang dia temui, tetapi tak menyurutkan semangatnya menuju ke tempat kerjanya. Pagi ini memang jauh lebih sepi dari biasanya, Bunga yakin semua orang pasti masih terlelap, apalagi kemarin hujan turun begitu derasnya.
Hingga saat dia berada di sebuah jalan menurun, tiba-tiba atensinya tertuju pada saung yang ada di perkebunan itu. Lampu di saung tampak menyala, tidak seperti biasanya. Merasa penasaran, takut sesuatu yang buruk terjadi pada perkebunan itu, Bunga akhirnya menghentikan laju sepedanya lalu bergegas menuju ke saung tersebut. Namun, betapa terkejutnya Bunga saat mendapati seorang laki-laki tampan tengah tertidur lelap di saung. Mata gadis itu pun membelalak lebar, disertai mulutnya yang membulat. "Cha Eun Wo? Kenapa ada Cha Eun Wo di sini? Aku sedang tidak bermimpi kan?"
Bunga mengigit bibir bawahnya, matanya tak berkedip menatap laki-laki tampan itu yang masih tertidur pulas. "Dari penampilannya, dia seperti orang kaya. Jam tangan Rolex, kemeja dan celananya saja pasti harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan ponsel Bu Rik itu, lihat sangat licin seperti porselein. Astaga, sepertinya Tuhan mengabulkan doaku untuk mempertemukan diriku dengan CEO tampan yang kaya."
Bunga tampak menggigit bibirnya, tubuhnya mondar-mandir di depan saung sambil melirik laki-laki tampan itu, ide gila yamg dia miliki beberapa hari yang lalu kembali menari dalam benaknya. "Ah, apa aku sedang bermimpi? Sebentar, aku tes dulu." Bunga pun mencubit tangannya. "Argh sakit, jadi ini bukan mimpi. Astaga kau bodoh sekali Bunga, jangan sia-siakan kesempatan ini. Mungkin dia adalah laki-laki yang dikirim Tuhan untukmu, ah ya aku mengerti Tuhan pasti mengabulkan doaku dengan mengirim laki-laki ini. Come on, jangan sia-siakan kesempatan ini, apalagi dia sangat tampan, kalau aku menjadi istrinya, pasti aku akan menjadi wanita paling beruntung melebihi Shin Ha-Ri dan Sekretaris Kim. Ya, aku harus menjadi istri dari laki-laki ini agar bisa membantu panti! Hwaiting, ganbate Bunga!"
Bunga kemudian duduk di samping pria tersebut, meskipun ragu perlahan dia membuka kancing kemeja laki-laki itu, menampilkan perut six pax yang membuat Bunga meneguk salivanya dengan kasar. "Maafkan aku Oppa, aku harus melakukan ini untuk membantu adik-adik dan ibu panti."
Setelah membuka kemeja laki-laki itu, Bunga membuka gesper dan kancing serta sedikit menurunkan resleting celana yang dipakai oleh laki-laki tersebut, meskipun dia melakukan itu sambil menutup matanya disertai perasaan yang begitu berkecamuk, apalagi saat tak sengaja menyenggol bagian inti laki-laki itu yang masih lembek. "Arg, aduh maaf Oppa, nggak sengaja, untung nggak bangun."
Setelah penampilan laki-laki itu terlihat berantakan, Bunga merebahkan tubuh di sampingnya. "Kamu pengen dipeluk sayang? Sini aku peluk?" Terdengar ocehan dari laki-laki itu saat Bunga baru saja merebahkan tubuh di sampingnya, Bunga pun merasa kaget, tetapi ketika melihat mata laki-laki itu masih terpejam, Bunga menghembuskan nafas lega.
"Oh dia cuma melantur, ya sudah Oppa lanjutkan tidurmu, saat kau terbangun nanti bersiaplah untuk jadi suamiku," kekeh Bunga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!