📍Sudah siap dengan cerita yang akan memeras hati dan menguras emosi ini? Yuklah, langsung saja, selamat membaca. Semoga suka ya beb ...📍
...Recognize You by VizcaVida...
...Happy reading...
...[•]...
Erika Wardana adalah sosok cantik yang sabar, penyayang, lembut, rajin, mandiri, pandai memasak, dan tentu saja sempurna dimata kaum adam. Selain itu, dia memiliki banyak pengikut di berbagai akun sosial medianya karena, dia adalah seorang penulis besar yang terkenal.
Erika telah berkeluarga. Lima tahun lalu, dia menikah dengan Made Pratama, seorang laki-laki yang ia cintai dan mendampinginya sejak duduk di bangku kuliah semester empat. Dan selama itu pula, mereka belum di karuniai seorang anak.
Ade—panggilan pendek Made—bilang, tidak apa-apa. Mungkin belum waktunya Tuhan memberi kepercayaan kepada mereka untuk merawat seorang anak. Erika pun merasa tenang dan damai atas ucapan sang suami, karena Ade memang tergolong pria yang penyabar dan tentu saja sangat menyayangi juga mencintainya. Terbukti, pria itu setia hingga saat ini. Sikapnya juga selalu manis dan perhatian kepada Erika.
“Pagi sayang.” sapa Ade yang sudah rapi dengan kemeja abu-abu muda yang dipadukan dengan celana bahan berwarna abu-abu gelap. Itu pilihan Erika. Wanita ini yang menyiapkannya tadi pagi, saat baru bangun tidur.
“Eumm, pagi.” sahut Erika yang masih berkutat diatas panci mengepulkan asap gurih dari kaldu daging yang ia masak pagi ini. Semalam, Ade memintanya untuk memasak sup daging dan perkedel kentang untuk sarapan. Erika pun selalu menyanggupi apa kemauan Ade tanpa banyak bicara. Lagi pula, permintaan itu justru sangat menyenangkan bagi Erika.
Perempuan cantik itu berjalan menuju meja makan kecil yang ada tidak jauh dari tempatnya memasak. Ia meletakkan piring berisi perkedel kentang, daging goreng, tidak lupa tempe dan sambal kecap yang selalu menjadi kesukaan sang suami saat meminta menu sup.
“Hari ini aku ada pertemuan dengan pihak penerbit, mas.” kata Erika jujur dan diangguki oleh Ade.
Penerbit yang dimaksud Erika, jaraknya cukup jauh dari rumah. Biasanya Erika akan bermalam dirumah ibu dan ayahnya jika meeting selesainya terlalu malam.
“Nginep rumah ibu?” tanya Ade sambil mencomot satu perkedel kentang yang dicampur daging, dari piring. Masakan Erika tidak pernah gagal dan selalu cocok dengan lidahnya.
“Belum tau, mas. Nanti kalau meeting nya selesai malem banget, aku nginep rumah ibu aja ya?”
Sudah biasa. Ade pun tidak keberatan karena Erika memang jarang pulang kesana. Wanitanya itu sangat bertanggung jawab dan tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri kepada suami.
“Iya.”
Karena Ade tau, penglihatan Erika tidak terlalu awas saat malam hari. Ditambah lagi Erika pernah mengalami kecelakaan kecil saat memaksa pulang malam-malam karena menuruti kemauannya. Ade tidak sampai hati mengulangi, meminta atau memaksa istrinya untuk pulang demi dirinya dan mempertaruhkan keselamatan di jalan raya. Ade tidak sejahat itu. Dia akan memberikan banyak sekali peluang dan kesempatan untuk istrinya memadu rindu dengan keluarganya disana, yakni ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya yang memang belum menikah yang sangat menyayangi Erika.
“Mas hari ini sibuk nggak?” tanya Erika yang kembali lagi ke meja makan sambil membawa mangkuk berisi sup daging yang aromanya begitu lezat. Ia lantas melepas celemek dan mendekat kepada Ade untuk memasangkan dasi pria itu.
“Sepertinya iya. Ada beberapa dokumen penting tertunda yang belum aku periksa dan tanda tangani kemarin.”
Disambut senyuman, Erika jadi merona. Memang selalu seperti ini, Ade selalu berhasil membuatnya merasa malu hingga tersipu hanya karena senyuman pria itu yang begitu mempesona. Setelah berhasil mengikat simpul dasi sang suami, Erika jatuh terduduk di pangkuan Ade lantaran pria itu menarik pinggang rampingnya hingga oleng dan berakhir mendaratkan pantat di paha sekal sang suami.
Sebuah ciuman Erika terima, dan balasan ia berikan karena bibir Ade sangat candu untuknya. Pria itu pandai berciuman, apalagi bermain di atas ranjang. Erika selalu dibuat tunduk dan pasrah untuk dua hal itu.
Setelah cukup lama beradu bibir, Erika menyudahi ciuman itu sepihak. Takut jika nanti keterusan dan berakhir di ranjang hingga Ade harus telat sampai kantor.
“Udah ih, sarapan dulu. Nanti telat kamunya.” kata Erika bangkit dari pangkuan si suami yang kini terkekeh geli. Istrinya yang merona seperti itu, sangatlah menggemaskan. Ya, Erika selalu terlihat menggemaskan bagi Ade.
“Ayolah sayang, nanti kamu nggak pulang lho.” rayu Ade mencoba menagih haknya kepada Erika.
Ingin sekali Erika membatalkan pertemuannya dengan pihak penerbit agar tidak berjauhan dengan Ade. Tapi mau bagaimana lagi, dia harus profesional. Ini adalah pekerjaan yang sudah ia tekuni sejak lama hingga namanya melambung seperti sekarang. Tidak mungkin dia bertindak semaunya setelah terikat kontrak dengan penerbit besar itu.
“Iya, tapi nanti kamu telat ngantor. Kalau pulang deh, janji ku kasih dobel.” kelakar Erika yang ditanggapi serius oleh Ade.
“Oke. Aku tunggu janjimu. Kalau nggak ditepati, aku bakalan ngambek dan tidur di kantor.” ancamnya dengan ekspresi tidak meyakinkan yang membuat Erika tertawa.
“Iya, iya. Yuklah, sarapan.”
Ngomong-ngomong soal kontrak, Erika juga memiliki satu judul buku yang hendak di filmkan dan ditampilkan di bioskop. Seorang sutradara mengadopsi salah satu buku karyanya yang sangat diminati oleh khalayak umum.
“Sayang.”
“Eung?” Erika menatap Ade sambil mengisi piring pria itu dengan nasi. Takarannya, jangan ditanya lagi, Erika sudah hafal. Satu centong nasi sudah cukup untuk mengisi perut Ade saat pagi hari.
“Kapan jadwal kita ke dokter kandungan?”
Erika menghentikan telapak tangannya yang sibuk. Tatapannya kosong menyorot nasi diatas piring milik Ade, namun detik ke tiga dia kembali melanjutkan kegiatannya.
“Hari Sabtu. Kenapa, mas?”
“Enggak sih. Cuma tanya aja, takutnya kelewatan.”
Senyuman kaku terbit di wajah Erika. Entah mengapa, akhir-akhir ini Ade sering sekali mengajaknya bicara banyak tentang anak padahal sebelumnya, pria ini lah yang selalu acuh tentang itu. Perlu diketahui, acuh yang dimaksud disini, ada dalam artian tidak menuntut jauh kepada Erika yang memang sudah di vonis oleh dokter akan sulit memberikan keturunan. Kemungkinan memiliki keturunan di terka dokter hanya sekitar sepuluh persen. Kecil sekali bukan? Tapi Erika dan Ade tidak menyerah begitu saja. Mereka tetap berusaha meskipun memakan biaya.
Ya, yang bermasalah disini adalah ... Erika.
Duduk dengan perasaan sedikit tidak nyaman, Erika memilih menunda sarapan karena mood dan selera makannya tiba-tiba menghilang begitu saja setelah mendengar pertanyaan Ade.
“Lho, kok nggak ikut sarapan?” tanya Ade saat melihat Erika justru hanya melipat tangannya diatas meja.
“Nanti saja sekalian setelah kamu berangkat kerja.” kata Erika memberi alasan. Sedangkan Ade yang notabenenya adalah pria yang cukup sensitif juga tau betul siapa dan bagaimana seorang Erika, langsung bisa menebak. Ia tersenyum kecil setelah menghembuskan nafasnya yang sangat besar dari hidung.
“Aku cuma tanya doang kok, Sayang.” tutur Ade yang kini menjulurkan tangannya, mengambil telapak tangan Erika untuk ia genggam. Jujur, dia sama sekali tidak ingin membuat Erika sampai terluka atas ucapannya, apalagi sampai menangis. Tapi Ade sendiri tidak sadar kelepasan telah mengatakan hal yang sangat sensitif bagi Erika, di pagi hari seperti ini. “Aku nggak bermaksud—”
“Kamu kenapa sih, De? Aku cuma lagi nggak pingin makan pagi hari ini.” katanya mencoba bersikap senatural mungkin didepan Ade. Erika juga harus bisa menjaga perasaan Ade agar pria itu tetap fokus bekerja. “Dan jadwal berkunjung ke dokter Alan, memang hari Sabtu. Aku harap kamu tidak pulang telat.”
Erika tertawa kecil. Wajahnya ia tumpu dengan telapak tangan yang ia gabung menjadi satu, lalu menatap Ade yang memulai sarapan paginya dengan sesekali curi-curi pandang padanya.
“Aku serius cuma bertanya, Er. Tidak ada maksud dan tujuan lain dari pertanyaanku itu. Apalagi untuk menyakiti perasaanmu.” []
...Bersambung...
...🌼🌼🌼...
Hai-hai. Ini author Vi's.
Sesuai janji, Vi's menelurkan karya baru lagi untuk pembaca sekalian.
Jangan lupa untuk mendukung Recognize You ya man-teman sekalian. Caranya gampang banget kok. Kalian bisa meninggalkan jejak dengan cara memberikan like, komentar, serta jadikan cerita ini salah satu list favorite kalian dengan cara subscribe. Eummmm ... boleh deh kasih vote dan hadiah jika berkenan 🤭
Oke, sekian dulu woro-woro nya, sampai jumpa di bab selanjutnya.
See you ❣️
...•••••••••••••••...
...•Disclaimer•...
...-Cerita ini murni imajinasi penulis....
...-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidaksengajaan....
...-Semua karakter didalam cerita hanya fiksi, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata....
...-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan....
...-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain....
...Regret,...
...Author....
...Recognize You by VizcaVida...
...Happy reading...
...[•]...
Menjadi petinggi sebuah instansi keuangan itu, cukup menguras emosi, tenaga, dan juga otak. Bagaimana tidak? Semua kegiatan keuangan baik internal instansi maupun personal, adalah tanggung jawab yang harus ia emban. Belum lagi godaan dan tawaran-tawaran menggiurkan dari orang-orang yang ingin semua masalah cepat beres. Ade kadang tidak habis pikir, mengapa mereka melakukan itu dan apa tujuan mereka melakukannya. Padahal, jauh lebih baik jika bekerja jujur.
Selama ini, Ade tidak pernah menanggapi hal seperti itu. Dia memilih bekerja bersih dan memegang sumpah yang pernah ia ucapkan saat jabatan ini diberikan kepadanya. Well, tidak mudah memang, tapi Ade tetap memilih jalan lurus. Tidak akan pernah menerima suap dalam bentuk apapun. Dia memegang teguh prinsip tersebut.
Disaat lelah mulai menyapa, secara tiba-tiba pupil matanya tertuju pada cincin yang terpasang di jari manis kanannya. Cincin pernikahannya dengan Erika, wanita yang selalu memenuhi dan sangat ia cintai sampai sekarang. Tatapannya lurus menerawang, hingga ia teringat ucapannya tadi pagi yang justru membuat Erika seperti tersudut. Ucapan yang selama ini selalu membuat istrinya berubah pemurung saat orang lain yang menanyakan tentang kehamilan dan anak.
“Ck!!” decaknya sebal pada diri sendiri. Ia lantas mengambil ponselnya dan berniat menghubungi sang istri. Namun terhenti karena pintu ruangannya diketuk seseorang. Ponsel kembali ia letakkan begitu saja dan memberi titah kepada seseorang yang sedang menunggunya diluar agar segera menghadap. “Masuk.”
Tak menunggu lama, salah satu staff HRD memasuki ruangannya membawa tumpukan lamaran pekerjaan dari beberapa orang yang sudah berhasil di rekrut dan akan mulai bekerja Minggu depan sebagai karyawan magang.
“Permisi, pak. Ini saya bawa berkas pegawai baru yang akan mulai bekerja Minggu depan.” kata Yuni, staff yang sudah lama menjabat sebagai ketua HRD di kantor ini.
Ade memperhatikan tumpukan itu sejenak, lantas menerimanya. Membolak-balik untuk membaca dan melihat profil si pekerja baru.
“Ada yang mutasi dari kantor lain tidak?” tanya Ade memastikan agar tidak ada kesalahan untuk kedepannya nanti.
“Untuk saat ini belum ada, pak. Sepuluh orang ini, fresh graduate dari universitas ternama yang berbeda-beda.”
Ade membalik lembar CV milik seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh satu tahun yang memiliki IPK hampir sempurna yakni 3,8. Kepalanya mengangguk paham.
“Hasil test nya, boleh saya minta?” lanjut Ade yang langsung disanggupi oleh Yuni. Wanita itu menyerahkan selembar kertas yang berisi print out hasil test sepuluh orang yang telah di rekrut tersebut. Adapun test yang tercantum disana ada beberapa macam, diantaranya test akademik dan kesehatan yang tentu selalu menjadi prioritas utama bagi Ade.
“Untuk hasilnya, calon pegawai yang bernama Refana yang paling unggul. Dari pengamatan saya, dia memang anak yang cerdas dan kemampuan komunikasinya sangat baik.”
Ade dapat melihat nilai perempuan bernama Refana itu memang unggul dari yang lainnya.
“Selain itu, dia sangat cantik pak. Dia cocok di tempatkan di bagian depan. Bukankah kita juga sedang membutuhkan bagian resepsionis?”
Mendengar penjelasan dari Yuni, Ade menjadi penasaran dan mencari profil calon pegawai bernama Refana. Dan benar tentang apa yang dikatakan Yuni. Refana memang cantik, dan pas jika di tempatkan di bagian depan untuk menerima tamu-tamu atau nasabah. Karena biasanya, orang-orang cenderung suka dan urusan menjadi mudah.
Kepala Ade mengangguk lagi. Dia baca profil lengkap Refana mulai dari nama lengkap, alamat lengkap, usia, nama orang tua, dan jejak pendidikan yang dia tempuh.
“Cukup mengagumkan.” batinnya karena ternyata, selain cantik, Refana yang disebut-sebut dan digadang oleh Yuni sebagai resepsionis itu, sangat mengagumkan.
Yuni masih berdiri ditempatnya, memperhatikan Ade yang serius membaca-baca CV para pegawai baru. Dulu, Yuni sempat mengagumi sosok Ade, sosok seperjuangan dengannya di kantor mulai dari menjadi trainee, hingga sekarang pria di hadapannya itu telah mendapatkan jabatan penting.
“Jadi, kapan mereka datang untuk pengenalan menjalani training?”
***
Ade turun dari mobil Pajero hitamnya dengan kancing atas kemeja yang terbuka dan dasi yang sudah posisi mengendur. Hari ini cukup melelahkan karena pekerjaan benar-benar datang beruntun tanpa ampun. Apalagi akan ada pegawai baru yang masuk dalam bulan ini, menjadikan aktifitas kantor sedikit sibuk mengurus ini dan itu, melakukan pengangkatan jabatan pegawai lama ke jabatan baru, dan beberapa administrasi kantor yang perlu di cek lagi mengingat sudah waktunya melakukan pembukuan baru.
Di rogohnya saku tas kerja untuk mengambil kunci rumah. Keadaan rumah masih gelap, dan ia sadar sekarang, tanpa Erika pasti semuanya tidak akan tertata.
Ade terkekeh kecil mengingat istrinya itu. Sudah hampir sepuluh tahun mereka bersama, namun rasa cinta itu masih tetap sama. Ade begitu mencintai istrinya itu tanpa memandang kekurangan sang istri. Terutama tidak bisanya Erika memberinya keturunan hingga hari ini.
Tapi, tidak masalah. Suatu saat pasti di beri kok.
Ade tersenyum, menarik keluar ponselnya keluar dari saku celana bahannya, lalu mengetuk layarnya sebanyak dua kali. Kali ini, dia bisa memandangi wajah cantik sang istri yang tersenyum kepadanya. Ade kangen. Dia merindukan Erika.
Buru-buru dia mengetik pesan kepada wanitanya itu karena tau jika Erika pasti tidak pulang kerumah. Dia juga sudah memberi izin, tadi pagi.
Malem, sayang. Lagi ngapain?
Simpel, tapi selalu berhasil membuat percakapan di ponsel mereka berjalan sesuai yang diinginkan.
Ade melanjutkan langkahnya untuk masuk kerumah, menyalakan lampu, dan mandi selagi Erika belum membalas pesannya. Dilanjutkan dengan makan malam seadanya, yakni sisa sup daging tadi pagi yang dibuatkan Erika. Yeah, Ade tidak keberatan makan makanan tersebut.
Ting!
Sebuah pesan masuk kedalam ponselnya, dari Erika kah? Jika bukan, Ade memilih meneruskan makan saja.
Ia melirik ponselnya yang masih menyala, mencaritahu siapa yang mencoba mengontak ponselnya dengan sebuah pesan. Lalu, senyuman menghias bibir seksi nya kala tau nama ‘Wife’ muncul disana.
Sorry baru bales. Baru aja sampai rumah
Tak lama, ponselnya kembali berdenting.
Kamu udah pulang? Udah makan?
Ade mengunyah nasi didalam mulutnya. Ia meletakkan sendok di piring guna mengetik balasan untuk Erika.
Udah. Lagi makan malam sama sisa sup kamu tadi pagi
Setelah itu, Ade kembali meraih sendoknya, kemudian menyuapkan nasi ke dalam mulut.
Maaf ya nggak bisa masak makan malem buat kamu. Besok pagi aku baru bisa pulang.
Ade meraih lagi ponselnya.
Iya, ga apa. Tapi aku kangen sama kamu
Balasan terkirim, dan tak lama berselang panggilan Video membuat ponsel Ade kembali bergetar.
Digesernya tombol yang melompat. Wajah cantik Erika muncul memenuhi layar ponsel.
“Ya udah nih aku telepon, katanya kangen.” celetuknya menggoda membuat Ade lagi-lagi terkekeh geli.
“Emang lagi kangen. Serius.”
Erika tertawa diseberang. Tawa yang selalu menghibur dan menjadi mood booster bagi Ade.
“Iya, besok aku pulang kok.” jawab Erika masih santai, lalu menatap Ade seksama. “De,” panggil Erika penuh sayang. Jika sudah memanggil nama Ade seperti ini, Ade tau kemana arah pembicaraan yang akan mereka tuju.
“Eumm, kenapa? Ngga perlu ngomong aneh-aneh deh.” celetuk Ade mengingatkan. Tadi pagi dia memang salah bicara. Erika tidak mungkin melupakan jadwal periksa mereka ke dokter. “Kalau ngajak ngomong aneh-aneh, aku matiin aja teleponnya.” lanjutnya mengancam yang justru mengundang tawa Erika di seberang.
“Apa sih. Orang aku mau bilang kalau kamu ganteng banget kok.”
Ade tidak terkecoh. “Iya, awalnya kamu muji aku, terus nanti ujungnya—”
“Kamu capek ngga hidup kayak gini sama aku?”
Diam. Ade benar-benar diam tak memberikan jawaban selain melahap makanannya yang sudah hampir masuk angin. Dia acuh dan tidak ingin berdebat lebih jauh masalah rumah tangga mereka.
“Serius nanya aku, De.”
Kesal dengan sikap Erika yang tidak mau mendengarnya, Ade kembali memberikan ultimatum. “Udah. Aku matiin aja teleponnya. Aku mau lanjut makan terus istirahat—”
“Kalau kamu capek, kamu boleh cari perempuan lain yang bisa kasih kamu anak. Kita stop pengobatan dan terapi ke aku. Udah banyak yang kita keluarin buat biaya ngobatin aku yang nggak ada hasil—”
“Udah aku bilang, kan? Jangan bahas yang aneh-aneh.” sela Ade dengan ekspresi wajah yang sudah berubah datar. Ingin sekali marah, tapi dia tetap menahannya mati-matian. Apalagi saat mendengar Erika memberinya kesempatan untuk dekat dengan wanita lain, membuat darah Ade mendidih seketika. “Aku ngga masalah keluar biaya banyak, serius aku ngga keberatan. Kalau kamu tersinggung dengan ucapanku tadi pagi, maaf. Aku cuma pingin nggak terlambat pulang dan buat kamu nunggu aku.”
Erika diam. Ade terlalu mudah menebak rasa tidak nyamannya. Ia memutuskan untuk mengangguk paham dan kembali tersenyum. “Aku juga serius, cuma muji kamu, sayang.”
Menghela nafas besar, Ade menatap intens pada gambar Erika di layar ponselnya. “Ya sudah. Kamu istirahat aja kalau begitu.”
Tidak ada jawaban lain selain menganggukkan kepala, Erika mencoba kembali menampakkan senyuman dibibirnya agar suasana kembali natural. “Ya sudah. Kamu juga tidur, jangan begadang. Besok aku sampai rumah sekitar jam sepuluh.”
“Eumm, hati-hati nyetirnya.” pesan Ade tulus kepada sang istri.
“Iya, pak Ade tersayang.”
Ade tersenyum hangat, lantas menggoyangkan telapak tangannya sebagai salam perpisahan. “Bye. Aku kangen kamu.” []
Bersambung
🌼🌼🌼
Next?
...Recognize You by VizcaVida...
...Happy reading...
...🌼🌼🌼...
Ade menyiapkan sebuah kemeja dan celana yang hendak ia pergunakan ke kantor. Kemarin malam setelah melakukan panggilan telepon, Erika sempat menghubunginya dan memberitahu jika istrinya itu sudah menyiapkan setelan kerja yang bisa dikenakan oleh Ade untuk hari ini. Sebuah kemeja biru langit, sebuah celana biru dongker dan jas berwarna senada. Tidak lupa dasi yang juga sudah di setrika licin tinggal pasang.
Ia tau, istrinya itu seorang wanita yang menyukai kebersihan dan kerapian, dengan kata lain perfeksionis dalam hal apapun. Untuk itu, Erika selalu memadu padankan apa yang cocok dan tidak di badan Ade. Wanita itu bahkan tidak keberatan kehilangan uang untuk membeli perlengkapan yang diperlukan Ade agar terlihat sempurna di tempat kerjanya.
Terlepas dari itu, Erika juga bisa menjadi sosok yang posesif jika Ade terlihat sering pulang malam. Ia tidak mau kecolongan kalau-kalau Ade main belakang, alih-alih bicara jujur minta nikah lagi.
Memikirkan hal itu, ucapan Erika semalam kembali terbesit dalam ingatan dan pendengaran Ade.
Erika berkata jika dia akan memberikan izin jika memang Ade menginginkan seorang anak, yang tentu saja bukan dari rahim Erika. Mereka juga pernah membahasnya belum lama ini, namun harus berakhir dengan perbedaan pendapat, saling tidak saling sapa, dan juga diam beberapa hari.
Ade menyugar rambutnya dengan Pomade, lalu menatanya dengan jari sebelum menyisirnya. Tidak ada yang membantah ketampanannya, namun Ade sendiri tidak pernah menghiraukan itu. Pujian sembunyi-sembunyi yang sering ia dengar di kantor, tak pernah ia gubris. Bahkan jika ada yang terang-terangan mendekatinya, Ade akan dengan terang-terangan juga mengultimatum dengan penolakan. Baginya, Erika tidak akan tergantikan.
Nama Erika, lagi-lagi membuatnya ingat akan sesuatu. Istrinya itu belum memberi kabar atau mengirim pesan kepadanya. Tumben?
Masih ada sisa waktu lima belas menit sebelum dirinya harus bergegas berangkat jika tidak ingin terjebak macet. Dia akan mencoba mengirim pesan singkat agar tidak merasa was-was akan terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan.
Pagi, sayang
Sudah. Pesan sesingkat itu ia kirim dengan harapan akan segera dibalas, tanpa menunggu. Tapi ternyata, sampai mobilnya melesat setengah jalan menuju kantor, pesan tersebut bahkan belum dibuka. Atau memang sengaja diabaikan?
Ade mendecak kesal. Dia paham apa yang sedang terjadi sekarang, Erika sedang tidak baik-baik saja padanya. Wanita itu mengabaikannya, namun berusaha terlihat tidak terjadi apa-apa.
“Kenapa sih?” gumam Ade, mencoba menyambungkan panggilannya pada nomor Erika yang ternyata, justru tidak aktif. Rasa gelisah dan khawatir memuncak. Ade pun mencari kontak kakak Erika dan menghubunginya tanpa ragu.
Tiga nada hubung menjadi sapaan kepada Ade sebelum suara seorang pria menyapanya. “Halo,”
“Halo, mas sibuk?” tanya Ade pada si kakak ipar.
“Enggak. Kenapa De?”
“Bisa saya bicara sebentar dengan Erika, mas? Kok saya telepon ngga nyambung ya?”
“Lho, dia udah pamit pulang sekitar sejam yang lalu, De. Mungkin perjalanan.”
Biasanya, nomor Erika akan tetap aktif dalam situasi apapun. Tapi entah mengapa sekarang tiba-tiba dia bersikap seperti itu?
“Oh begitu ya mas. Ya sudah kalau begitu, nanti saya telepon Erika lagi.”
“Oke.”
***
Bagaimanapun, suasana hati Ade masih tetap tidak nyaman. Ia kepikiran Erika saat bekerja. Konsentrasinya terpecah antara keberadaan Erika dan riwehnya pekerjaan di akhir bulan.
Kata Yuni tadi pagi, sepuluh orang yang baru saja direkrut oleh instansi akan datang hari ini. Lebih tepatnya jam sepuluh pagi. Mereka akan diberikan bimbingan singkat, dan juga pengenalan tempat serta petinggi instansi, yang tidak lain adalah Ade.
Ade memejamkan matanya sejenak saat jari telunjuk dan ibu jarinya memijat pelipis juga perpotongan hidung. Mengesampingkan masalah keluarga dengan pekerjaan itu, cukup sulit. Namun ia dituntut untuk profesional agar kinerja tetap bagus. Ke-profesionalannya dalam bekerja harus menjadi prioritas saat di kantor.
Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. Ia menoleh setelah pijatan di pelipisnya itu ia lepas.
“Masuk.”
Pintu terayun terbuka, dan Yuni muncul dari balik bilah kaca tebal dan buram yang menjadi sekat antara ruangan kepala instansi dengan kubikel tempat staff di luar sana.
“Sepuluh orang sudah berkumpul di ruang meeting, pak. Mereka menunggu anda.” kata Yuli penuh kesopanan. Ia tau, meskipun Ade adalah orang yang seangkatan dan cukup dekat dengannya, jabatan mereka berbeda. Yuni harus menghormati Ade sebagai atasannya.
“Eumm ya. Aku akan kesana.” jawab Ade yang sontak membuat Yuni undur diri untuk kembali ke ruang meeting. Yuni juga termasuk salah satu bagian penting hari ini. Dia lah yang akan mendampingi Ade untuk melakukan pengenalan bidang pekerjaan dan training sampai tiga hari kedepan.
“Saya ke ruang meeting dulu kalau begitu.”
Ade menganggukkan kepala.
Seperginya Yuni dari ruangan, Ade menyambar jas kerjanya lalu ia kenakan. Tak lupa mengecek sejenak penampilan dan membenarkan posisi name tag yang menempel di dadanya. Kemudian, dia meraih ponselnya untuk ia letakkan pada salah satu laci, dan menguncinya.
Sepatu pantofel hitam itu mengetuk lantai lobby yang akan membawanya menuju ruang meeting. Tak sedikit yang menyapa saat ia berjalan bersama wibawanya yang terasa begitu jelas melekat pada dirinya. Tampan, berwibawa, baik, dan tegas, adalah pribadi seorang Made Pratama saat di kantor.
Setelah melewati dua pintu tempat wakil dan sekretaris, Ade kini sampai didepan sebuah pintu kayu yang terbuat dari jati tebal dan dirancang khusus dengan bahan kedap suara.
Didorongnya bilah kayu itu hingga seluruh presensi disana menoleh. Wajah-wajah ini tidak begitu asing dimata Ade, karena sebelumnya dia sudah melihat mereka semua dari surat lamaran yang ada.
Pandangannya kini fokus pada dua orang, Andra—si pemilik IPK hampir sempurna, dan satu orang lainnya Refana—si cantik yang ternyata jauh lebih cantik jika di lihat secara langsung.
Ade sempat berdehem samar sembari mengerjap kecil saat melihat presensi gadis berusia dua puluh satu tahun itu. Rambutnya diikat rapi dengan poni menyamping ke arah kanan. Alisnya yang tebal, mata kucingnya yang terlihat begitu menggemaskan, bulu mata lentik, hidung mancung, bentuk bibir begitu sempurna dan ranum, serta leher jenjang yang terlihat sangat indah saat mengenakan blazer.
Astaga.
Ade buru-buru mengalihkan isi otaknya yang mulai meneliti detail gadis bernama Refana Tristanti itu.
Seisi ruangan tak menghentikan tatapan mereka hingga Ade sampai di kursi utama dan duduk setelah merapikan jasnya.
Yuni mulai membuka acara perkenalan, dan mempersilahkan Ade untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu.
“Baiklah.” kata Ade sedikit mende-sah dan berdiri dari duduknya. “Perkenalkan, nama saya Made Pratama. Tapi semua staff disini memanggil saya dengan nama Ade.”
Pandangan Ade mulai memperhatikan satu persatu peserta training yang kini juga memperhatikan dirinya tanpa melakukan pergerakan sedikitpun.
“Saya disini sebagai kepala kantor yang bertanggung jawab penuh atas semua kegiatan didalam instansi ini. Jadi, mohon kerja sama kalian. Jika tidak mengerti atau kurang paham, tanyakan. Jangan malu, atau nanti akhirnya membuat kesalahan fatal untuk instansi.”
Seluruh peserta training mengangguk paham. Mereka tau, sebesar apa tanggung jawab seorang pimpinan. Terutama tentang sebuah reputasi. Ya, reputasi. Seorang pimpinan harus menjaga reputasinya didepan seluruh bawahan yang dipimpinnya agar seluruh kegiatan berjalan dengan baik.
Setelah Ade dan Yuni memperkenalkan diri beserta jabatan mereka masing-masing, para calon pegawaipun melakukan hal yang sama. Mereka memperkenalkan diri secara bergantian didepan Ade dan juga Yuni, serta memberitahu devisi apa yang akan mereka tempati nantinya saat mulai bekerja.
Selain reputasi, ada lagi satu hal yang akan selalu disorot dari bawah oleh anak buahnya. Yakni tindak-tanduk yang dilakukan, harus mencerminkan kebaikan yang nantinya akan menjadi panutan seluruh staff yang ada.
“Kalian sudah tau akan mengemban tanggung jawab seperti apa di tempat kerja dan devisi kalian masing-masing nanti, kan?”
“Ya pak.” jawab mereka serempak.
“Terima kasih sudah bersedia paham lebih dahulu sebelum terjun ke dunia kerja.”
Ade mendorong mundur kursi yang tadi ia duduki, lantas berjalan memutar untuk menyalakan sebuah proyektor.
“Tentang visi misi, dan aturan instansi, sudah paham kan? Saudari Yuni pasti sudah menjelaskan secara detail kepada kalian. Tapi, disini saya akan mengulanginya dengan versi saya.” tanya Ade memastikan.
Tidak tau mengapa, pandangan Ade tiba-tiba tertuju pada Refana. “Perlu kalian catat juga, ya.” kata Ade yang sudah memutus tatapan singkatnya pada Refana, lantas kembali berjalan kedepan menuju papan putih yang menjadi objek presentasi singkatnya yang akan segera ia mulai. “Surat perjanjian kontrak kerja yang kalian tanda tangani itu, sudah tercantum aturan-aturan yang harus kalian patuhi selama menjadi bagian dari instansi di bawah kepemimpinan saya ini.”
“Ya, pak.”
Ade tersenyum singkat, lalu memulai presentasinya. Membahas dengan tuntas banyak hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menjadi pegawai di instansi yang dipimpinnya.
“Ada yang kurang faham? Silahkan bertanya.”
Ade menatap satu persatu calon pegawai baru di kantor ini, lantas pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang mengangkat satu lengannya ke udara. Sosok cantik yang sempat membuatnya berkedip cepat, tadi.
“Ya. Silahkan.”
“Pada poin ‘tidak diperbolehkan menjalin hubungan dalam lingkup instansi’, apa sangsi yang akan diterima jika hal itu terjadi, pak?”
Ade menyorot lurus sosok gadis bersuara madu itu, lantas menjawab dengan tegas. “Pemecatan.” []
Bersambung
🌼🌼🌼
###
Hayo Ade,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!