NovelToon NovelToon

Cinta Bersemi Kembali

Kesempatan

"Sttt a...aku dimana?" gumam seorang pria ketika baru membuka matanya sembari menatap sekelilingnya dengan bingung.

Ceklek

"Tuan sudah bangun? Sebaiknya Tuan minum dulu," ujar seorang pria lain yang baru memasuki sebuah kamar dengan nuansa gelap terlihat dari catnya yang serba hitam. Pria itu mengambilkan air untuk Tuannya lalu membantu Tuannya minum.

Pria yang duduk di atas tempat tidur itu mengernyitkan dahinya bingung menatap pria di depannya.

"Evan, saya dimana ini? Bukannya seharusnya saya ada di rumah sakit? Apa saya selamat?" tanya pria itu bingung.

Pria yang bernama Evan itu ikut mengernyitkan dahinya bingung, tapi setelahnya ia paham.

"Iya Tuan, tentu saja Tuan selamat. Tuan tadi sudah di periksa dokter katanya Tuan hanya kecapean jadi tidak ada masalah. Kita saat ini ada di apartemen Tuan," jawab Evan.

"Ha? Kecapean? Bukannya saya kecelakaan?" tanya pria bernama Arvandi Jafin Kendrick atau biasa di sapa Arvan dengan raut wajah bingungnya.

"Ha? Kecelakaan? Maksud Tuan? Tuan tadikan pingsan di ruang kantor bukannya di luar apalagi kecelakaan?" ujar Evan yang saat ini ikut bingung dengan maksud Tuannya.

Arvan terdiam mendengar ucapan dari tangan kanan sekaligus asistennya itu.

Arvan pun mulai mengasah otaknya berpikir apa yang terjadi saat ini dengan dirinya.

'Bukankah aku sudah meninggal? Lalu apa ini?' gumam Arvan dalam hatinya bingung dengan yang saat ini tengah dialaminya. Setelah lama berpikir mengenai kejadian aneh menurutnya ini, Arvan pun kembali membuka suaranya.

"Evan saat ini tahun berapa?" tanya Arvan dengan raut wajah tegangnya.

"Tahun 2023 Tuan?" jawab Evan dengan raut wajah bingungnya.

Arvan membulatkan matanya kaget dengan jawaban yang diberikan asistennya itu.

"Bulan?" tanya Arvan kembali.

"Bulan 6 Tuan," jawab Evan lagi masih dengan raut wajah bingungnya.

'Tidak mungkin kan Tuan Arvan amnesia?" batin Evan bertanya-tanya sekaligus khawatir jika Tuannya tiba-tiba amnesia.

Lagi dan lagi Arvan terkejut mendengar jawaban itu.

'Berarti saat ini dua bulan setelah pernikahan aku dengan Ayla?' batin Arvan kaget.

"Kamu bisa keluar sekarang!" usir Arvan melirik Evan sebentar lalu melihat kasur kembali, tetapi pikirannya sudah tidak berada di tempat saat ini.

"Tapi, Tuan yakin kan baik-baik saja? Tuan tidak amnesia kan?" tanya Evan dengan suara pelan serta khawatirnya.

"Hmm," jawaban singkat dari Arvan yang pikirannya sudah berkelana entah kemana.

"Baik Tuan, kalau ada yang Tuan butuhkan bisa memanggil saya. Kalau begitu saya permisi Tuan," pamit Evan. Setelah melihat anggukan kepala Arvan Evan pun keluar dari kamar yang ditempati Arvan itu.

"Apa aku mengulang waktu? Apakah Tuhan memberikan kepada pendosa ini kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahanku di masa lalu?" gumam Arvan dengan matanya berkaca-kaca baru kali ini seumur hidupnya Arvan sesedih serta terharu seperti saat ini di rasakannya.

Arvan mengingat kesalahan besar yang dilakukannya di masal lalu hingga membuatnya sangat menyesal bahkan, menghukum dirinya sendiri di masa lalu.

"Kamu sudah tanda tangani surat perceraian kita? Aku harap secepatnya kamu tanda tangani berkas itu. Kamu tenang saja saya akan memberikan kompensasi besar yang cukup untuk kamu hidup seumur hidupmu itu!" tegas seorang pria memandang wanita yang nampak sederhana di hadapannya itu dengan raut wajah datarnya.

Mata wanita itu menampakkan kesedihan yang mendalam di rasakannya karena ini sudah kesekian kalinya pria di depannya yang tepatnya adalah suaminya menanyakan hal sama sesuatu yang membuat hatinya terasa sangat sesak.

Wanita itu pun menghela nafas panjang.

"Baiklah, Ayla akan tanda tangan surat cerai itu. Tapi, Ayla tidak butuh uang dari Mas, Mas tidak perlu memberikan Ayla uang. Ayla akan menafkahi diri Ayla sendiri," jawab Ayla menatap pria di depannya dengan mata berkaca-kaca tetapi di tutupi dengan senyum indah yang masih saja terpatri di wajah cantiknya.

Senyum dengan mata berkaca-kaca itu membuat pria yang mengajukan pertanyaan siapa lagi kalau bukan Arvan tertegun melihatnya. Hal itu membuat Arvan terdiam beberapa detik.

"Baguslah kalau kamu mau. Kalau sudah tanda tangan kamu bisa serahkan berkas tersebut ke Evan," ujar Arvan pedas sembari berdiri dari duduknya.

"Mas mau kemana?" tanya Ayla dengan suara lembutnya, walaupun saat ini hatinya hancur berkeping-keping rasanya.

"Apartemen," jawab Arvan singkat dan berlalu dari tempat itu tanpa mengucapkan kata perpisahan ataupun menoleh kembali ke arah sosok perempuan yang masih menjadi istrinya saat ini.

Beberapa hari telah berlalu tidak terasa hari persidangan yang dijadwalkan untuk meresmikan perceraian kedua insan Arvan dan Ayla pun tiba. Arvan sejak tadi bahkan, sudah uring-uringan di ruang kantornya.

"Tuan kenapa?" tanya Evan dengan helaan nafas panjangnya melihat Tuannya itu uring-uringan sejak tadi. Bahkan, saat rapat tadi semua pegawai yang ada di jadikan tempat meluapkan emosinya, tadi pun tidak sengaja ada pegawai yang jatuh tepat di depannya sudah membuatnya emosi tidak jelas.

"Saya kenapa?" Bukannya menjawab Arvan malah bertanya balik dengan raut wajah datarnya seperti biasa.

Evan menggelengkan kepalanya pelan.

"Saya sedari tadi melihat Tuan uring-uringan bahkan, memarahi pegawai yang tidak salah sama sekali. Jadi, saya pikir Tuan ada masalah?"

"Ck mereka pantas dimarahi karena mereka salah!" ketus Arvan.

"Kamu-"

"Ah baik saya paham Tuan, mereka memang pantas di marahi!" sela Evan cepat sebelum itu dijadikan tempat pelampiasan amarah Tuannya itu.

Arvan menatap tajam Evan yang memotong ucapannya.

"Kalau tidak ada yang Tuan butuhkan, saya permisi dulu Tuan masih banyak yang haru saya kerjakan," pamit Evan dengan hormat.

Baru saja Evan berbalik sudah dihentikan oleh Arvan.

"Tunggu, jam berapa sidangnya?" tanya Arvan kesekian kalinya.

"Jam 4 Tuan," jawab Evan dengan helaan nafasnya.

'Kalau suka ya tinggal bilang suka kali Tuan. Tapi, ini malah ceraiin istri padahal suka ckck!' batin Evan dengan gelengan kepalanya pelan melihat tingkah Tuannya yang Evan sudah pastikan uring-uringan karena Tuannya sudah hampir resmi bercerai dengan istrinya.

"Kamu bisa pergi sekarang!" usir Arvan.

"Baik kalau begitu saya permisi Tuan."

Beberapa jam kemudian, persidangan pun akan berlangsung. Tapi, karena Arvan yang terus saja entah kenapa uring-uringan ia memilih untuk keluar sejenak mencari udara segar katanya.

Di luar Arvan melihat kafe tepat di depan bangunan tempat dirinya akan meresmikan perceraiannya itu. Karena merasa haus sedari tadi perasaannya juga resah pun akhirnya memilih untuk ke kafe itu.

Arvan pun mulai menyeberangi jalan. Akan tetapi, karena tidak fokus sebab pikirannya sudah kemana-mana sejak tadi Arvan tidak menyadari ada mobil yang melaju kencang ke arahnya.

"Astaga awas nak!!"

"Tampan awas!!"

"Mas awas!!"

Pekik semua orang yang melihat Arvan. Arvan mematung kaget mendengar pekikan itu lalu melihat kesampingnya kaget ternyata mobil itu sudah sangat dekat kearahnya ia sepertinya sudah tidak bisa lagi selamat saat ini.

BRUUKKK.

Kepergian

"AYLA!!" pekik Arvan dengan wajah terkejut serta tegangnya.

Arvan langsung berlari kencang ke arah sang istri yang tengah berbaring dengan penuh darah membanjiri sekujur tubuhnya.

"Ayla! Hei, jangan bercanda sayang! Jangan buat Mas khawatir, ayo bangun!" Arvan menepuk-nepuk pelan pipi Ayla yang basah dengan darah, ia sama sekali tidak peduli jika tangannya juga ikutan penuh dengan darah yang ada di pikirannya saat ini adalah melihat istrinya itu membuka mata kembali.

"Sayang, jangan hukum Mas dengan cara begini dong! Mas tidak akan sanggup sayang. Hei, kamu dengarkan perkataan Mas, Mas janji Mas akan batalkan perceraian kita asalkan kamu bangun okey. Mas janji kita akan hidup bahagia bersama, jadi ayo bangun sayang!" ujar Arvan dengan mata berkaca-kacanya serta tangannya yang terasa bergetar. Arvan saat ini sangat khawatir, panik, takut jika istrinya itu akan meninggalkannya untuk selamanya.

"Tu-Tuan sebaiknya Nyonya di bawa ke rumah sakit sekarang!" ujar Evan panik, walaupun otaknya tetap mencoba berpikir jernih karena ia merasa Nyonyanya itu saat ini harus segera di tangani Dokter.

"SIAPKAN MOBIL!" teriak Arvan sembari matanya terus terpaku melihat wajah cantik istrinya yang sudah berlumuran darah, matanya pun masih tertutup rapat.

"Mobilnya sudah siap Tuan!" jawab Evan sembari membuka pintu mobil yang memang sudah disediakannya sedari tadi.

Tanpa berkata lagi, Arvan langsung menggendong tubuh lemah berlumuran darah istrinya itu memasuki mobil.

Saat mobil berjalan pun tak henti-hentinya Arvan mencoba membangunkan istrinya. Bahkan, pikiran tentang hari ini persidangan perceraian mereka pun tidak terpikirkan lagi di otaknya. Jangankan persidangan semua hal tidak ada terpikirkan di otaknya, yang ada ia hanya ingin istrinya itu bangun menatapnya dengan mata teduhnya dan tersenyum lembut kearahnya seperti yang biasa istrinya lakukan ketika bertemu dengannya.

"Lebih cepat lagi Evan, jangan seperti siput!" pekik Arvan dengan wajah emosi serta khawatir yang tercetak jelas di wajahnya.

Evan tidak menanggapi perkataan Tuannya, ia hanya menuruti perintah Tuannya itu mempercepat laju mobil agar cepat sampai di rumah sakit terdekat.

Setelah memakan waktu beberapa menit di perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Saat sampai mereka langsung di sambut perawat serta Dokter. Arvan pun langsung saja membaringkan tubuh Ayla di ranjang yang telah disediakan, wajah Ayla tampak semakin pucat bibirnya terlihat sudah tidak pink seperti biasanya. Melihat itu membuat Arvan bertambah khawatir, panik dan takut.

Selama perjalanan menuju UGD, tak henti-hentinya Arvan mencium tangan istrinya serta sesekali mencium wajah istrinya itu, ia tidak peduli dengan darah yang ikut menempel di bibir serta wajahnya. Arvan pun membisikkan kalimat-kalimat penyemangat untuk istrinya, ia sangat berharap istrinya itu bisa membuka kembali matanya dan kembali seperti Ayla istrinya yang lemah lembut selalu menyambutnya dengan ceria. Bahkan, tidak terasa air mata sudah menetes dari balik kelopak mata Arvan, biarlah ia dikatakan lelaki cengeng ia tidak peduli lagi karena saat ini hatinya pun sangat sakit melihat istrinya dengan keadaan seperti itu.

"Maaf Tuan, anda tidak di perbolehkan masuk. Tuan menunggu saja di sini, kami pastikan melakukan yang terbaik untuk istri Tuan!" kata Suster yang membawa Ayla dengan tegas.

"Tapi, saya ingin tetap di samping istri saya!" pekik Arvan dengan emosi yang tidak terkontrol karena saat ini ia benar-benar tidak ingin sedikit pun berjauhan dari istrinya itu.

"Maaf Tuan, ini sudah peraturan di rumah sakit ini!" kata Suster itu lagi dengan tegas.

"Kamu mau saya pecat ha!! Saya akan beli rumah sakit ini dan membuat peraturan saya sendiri. Pokoknya saya mau lihat istri saya!" pekik Arvan lagi dengan wajah memerah menahan emosinya dan menatap tajam Suster di depannya.

Glek!

Suster itu menelan salivanya susah payah mendengar serta melihat tingkah laki-laki yang Suster itu sangat tau laki-laki itu pasti berkuasa. Ia jadi serba salah saat ini rasanya.

"Tuan sudah jangan berdebat seperti ini. Sebaiknya Tuan duduk menunggu Nyonya diperiksa dan terus berdoa agar Nyonya selamat. Kalau Tuan seperti ini malah akan menghambat Nyonya ditangani dan itu bisa berakibat fatal untuk nyawa Nyonya!" ujar Evan tegas berusaha menyadarkan Tuannya dengan membawa-bawa nyawa Nyonyanya karena hanya itu yang menurutnya bisa membuat Tuannya itu berhenti membuat masalah.

Evan yang baru saja sampai karena harus memarkirkan mobil terlebih dahulu tadi langsung disuguhkan pertengkaran Tuannya dengan Suster yang bertugas itu mau tidak mau ia pun harus turun tangan.

Deg!

Arvan yang mendengar perkataan Evan pun seolah tersadar dengan apa yang dilakukannya. Jantungnya rasanya berpacu kuat mendengar perkataan terakhir Evan. Tanpa berkata lagi Arvan pun langsung duduk dengan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang berlumuran darah itu. Dadanya terasa sangat sesak seolah dihantam oleh batu besar berkali-kali.

Evan hanya bisa menghela nafas panjang dan berdoa agar Nyonyanya selamat.

Setelah berjam-jam menunggu, akhirnya pintu ruangan tempat Ayla diperiksa itu pun terbuka menampilkan Dokter yang baru saja keluar dari ruangan.

Melihat wajah Dokter yang murung itu pun membuat pikiran negatif berkecamuk di otak Arvan.

"Dok, istri saya selamat kan? Istri saya baik-baik saja kan?" tanya Arvan menuntut jawaban dari Dokter bahwa istrinya itu baik-baik saja. Jantungnya tambah berpacu kuat, air mata pun lolos kembali dari balik kelopak matanya, tubuhnya bergetar, kakinya terasa lemas saat melihat gelengan kepala Dokter di depannya.

"TIDAK! ISTRI SAYA PASTI BAIK-BAIK SAJA KAN DOK!" pekik Arvan dengan gelengan kepala kerasnya. Ia tidak percaya dengan Dokter di depannya itu.

"Maaf Tuan, kami sudah berusaha semaksimal mungkin." Hanya itu yang dapat Dokter katakan. Dokter itu pun menatap iba Arvan yang tampak sangat terguncang dengan kepergian sang istri untuk selama-lamanya. Dokter sangat paham dengan kondisi Arvan saat ini, ia sudah banyak melihat hal ini sejak dirinya menjadi Dokter.

Arvan berlari kencang memasuki ruangan itu, ia tidak peduli lagi dengan larangan dari Suster yang masih berusaha melarangnya untuk masuk.

Saat sampai di dalam Arvan kembali menggeleng kuat melihat wajah pucat serta mata istrinya yang masih tertutup rapat, dengan pelan ia mendekati tempat istrinya berbaring dengan damai itu.

Arvan langsung mengguncang keras tubuh istrinya, air matanya sudah sangat tidak terbendung lagi.

"SAYANG JANGAN BERCANDA DENGAN MAS! KAMU BOLEH HUKUM MAS DENGAN HAL LAIN, TAPI MAS MOHON JANGAN HUKUM MAS DENGAN HUKUMAN YANG SANGAT MENYAKITKAN INI!" pekik Arvan meluapkan kesedihannya, ia masih sangat tidak terima jika istrinya itu meninggalkannya.

Arvan menelusupkan wajahnya di ceruk leher istrinya dengan tangis deras. "Sayang, Mas tau Mas banyak salah sama kamu. Mas tidak seharusnya cuek, bersikap dingin selam ini sama kamu hiks. Ma...Mas seharusnya tidak berpura-pura selingkuh agar membuat kamu mau bercerai dengan Mas! Mas hiks hiks." Arvan menjeda ucapannya sejenak, ia rasanya tidak sanggup berkata-kata lagi. "Mas tau Mas banyak salah dan yang paling fatal Mas tidak seharusnya menceraikan kamu sayang, Mas sadar Mas juga cinta sama kamu. Ayo, buka mata kamu sayang, kamu bilang kamu cinta kan sama Mas? Kamu mau kan melihat Mas tersenyum menatap kamu, Mas janji kalau kamu membuka mata Mas pasti akan selalu tersenyum setiap saat. Jadi, ayo buka mata kamu sayang hmm kamu tidak rindu sama Mas sayang!" ujar Arvan tepat di telinga Ayla dengan sangat pelan. Hatinya sangat sakit seperti dihantam beribu panah saat ini.

"Kamu seharusnya tidak menggantikan Mas sayang, seharusnya Mas yang berbaring disini. Seharusnya Mas sayang di hukum karena dosa-dosa Mas sama kamu, bukannya kamu yang sudah terlalu baik ini yang malah berbaring seperti ini!" lanjutnya dengan air mata deras, tangan bergetarnya mencoba menggapai wajah istrinya yang pucat tampak sangat damai dan teduh itu.

"I love you sayang," bisiknya lagi lalu mengecup seluruh wajah istrinya tanpa terkecuali.

Melepaskan Rindu

Semenjak kepergian sang istri, Arvan tampak selalu murung. Arvan setiap harinya hanya sibuk bekerja dan bekerja tanpa kenal lelah, ia mencoba menyibukkan dirinya agar tidak mengingat kepergian sang istri karena setiap mengingatnya hanya penyesalan dan perasaan menyesakkan yang menghampirinya.

Emosi Arvan pun tidak stabil, setiap ada pegawai yang berbuat kesalahan sekecil apapun pasti akan langsung ia pecat. Wajahnya tampak tambah datar dan dingin setiap saatnya. Bahkan, Evan asisten kepercayaannya itu juga bergidik ngeri tidak berani mengusik ataupun membantah setiap ucapan Tuannya. Evan baru kali ini melihat Tuannya bagaikan robot tanpa punya perasaan.

"Evan keruangan saya sekarang!" tegas suara seorang pria yang terdengar dingin, siapa lagi kalau bukan Arvan.

Belum sempat menjawab, Arvan sudah terlebih dahulu mematikan panggilannya.

Tok Tok Tok

"Masuk."

"Permisi Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya Evan pelan karena melihat wajah Tuannya yang tampak lebih menyeramkan dari biasanya.

"Batalkan semua jadwal termasuk rapat saya hari ini! Saya harus pergi sekarang," ujar Arvan tegas dengan raut wajah datarnya sembari menatap dingin Evan.

"Baik, Tuan. Kalau boleh tau Tuan hendak kemana?" tanya Evan karena khawatir jika Tuannya itu pergi ke tempat yang bisa membahayakan Tuannya.

"Istriku," jawab Arvan singkat lalu menyelonong pergi dari tempat itu meninggalkan Evan sendiri.

"Ha? Maksudnya Tuan ingin ke kuburan Nyonya?" gumam Evan sembari menatap ke arah pintu tempat Tuannya pergi.

Evan pun kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa ada pikiran lain sedikitpun.

Sementara di dalam mobil, Arvan mengemudikan mobilnya dengan keadaan kalut. Arvan sudah berusaha menghabiskan waktunya untuk bekerja agar tidak selalu mengingat istrinya dan akan diliputi rasa penyesalan lagi, tapi mau bagaimanapun ia mencoba menghilangkan pikiran mengenai istrinya itu tetap saja kenangan itu tidak bisa enyah dari otaknya.

Arvan pun mulai menancapkan gasnya lebih kencang lagi dengan perasaannya yang bertambah kalut, kenangan kejadian mengerikan itu yang membuatnya harus terpisah selamanya dengan istrinya itu masih berseliweran berputar bak film di otaknya.

"Tuhan apakah tidak ada kesempatan buatku untuk meminta maaf dan memperbaiki segala kesalahanku selama ini? Apakah aku sudah terlalu banyak melakukan dosa sehingga ini semua karma untukku?" lirih Arvan dengan mata berkaca-kacanya.

Arvan adalah tipe pria yang sulit untuk menangis tapi entah kenapa jika menyangkut istrinya itu apalagi mengingat kepergian istrinya semua penyebabnya adalah dirinya membuat air mata yang sudah lama tidak keluar dari pelupuk matanya akhirnya luruh juga bagaikan air terjun deras.

"AHHKK SH*TT," teriak Arvan sembari mencengkram kemudinya dengan keras. Ia merasa frustasi rasanya.

Arvan yang tidak dapat terkontrol itupun tidak memperhatikan jalanan lagi hingga terdengar suara kencang bunyi dua kendaraan bertabrakan dengan kencang.

BRAKKK

Mobil Arvan menabrak truk yang tengah membawa pasir dengan kencang hingga membuat mobil Arvan terguling-guling di jalanan yang tampak lenggang itu.

Pukk

"Tuan kenapa? Kok melamun terus?" tanya Evan heran.

Arvan yang sedari tadi larut mengingat kejadian yang pernah di alaminya sebelum diberikan kesempatan kedua itu pun kini tersadar saat merasakan pundaknya ditepuk serta mendengarkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Evan.

"Ekhem, saya tidak kenapa-kenapa," jawab Arvan dengan menetralkan kembali dirinya yang sedari tadi larut dalam pikirannya.

Arvan melirik Evan sejenak lalu menutup laptopnya sembari berkata "Kosongkan semua jadwalku hari ini!" tegasnya lalu berdiri memperbaiki jas kerjanya yang tampak sedikit kusut.

"Loh? Ada apa Tuan?" tanya Evan heran karena merasa tumben saja Tuannya tidak gila kerja.

"Cerewet!" cibir Arvan dengan lirikan sinisnya. Tanpa berkata lagi Arvan langsung menyelonong pergi begitu saja meninggalkan Evan, sepertinya baik di kehidupan sebelumnya dan sekarang Arvan tetap saja selalu menyelonong pergi tanpa memberikan jawaban memuaskan atas pertanyaan dari Evan.

Evan hanya bisa mendengus kesal dan menghela nafas melihat kelakuan Tuannya yang menurutnya seenak jidat.

"Mentang-mentang bos, huh!" gerutu Evan, tapi walaupun diperlakukan seenaknya sepeti itu Evan tetap melaksanakan sesuai perkataan Tuannya yang ingin semua jadwalnya di kosongkan khusus hari ini.

Sementara Arvan tengah menatap ponselnya dengan senyum-senyum sendiri melihat wallpaper ponselnya yang kini sudah berganti menjadi wanita cantik dengan rambut panjangnya. Wanita itu tampak tersenyum manis menghadap ke bunga-bunga di depannya. Rambut panjangnya yang bergelombang tampak berterbangan karena angin.

Ya, foto itu adalah foto Ayla yang Arvan punya satu-satunya itu pun yang Arvan dapatkan secara diam-diam tanpa sepengetahuan pemilik tubuh yang difoto.

"Tolong lebih cepat sedikit pak!" perintah Arvan ke supir yang membawa mobilnya karena sudah merasa tidak sabar untuk bertemu kembali dengan istrinya itu. Ia berjanji untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untuknya.

Beberapa menit berlalu hingga mobil yang ditumpangi Arvan itu pun sampai di Mansion miliknya yang tampak megah dan sangat luas itu. Bangunannya tampak klasik dan elegan, halamannya begitu luas bahkan, terdapat banyak bunga tulip cantik berwarna-warni. Di tempat itulah Ayla di foto sesuai yang terdapat di ponsel milik Arvan tadi. Terdapat juga pohon-pohon yang tampak menambahkan kesejukan, bukan hanya itu saja terdapat sungai-sungai kecil dan air mancur di Mansion milik Arvan itu. Jadi, sudah sangat jelas seberapa megah dan luasnya Mansion milik Arvan itu.

Baru saja supir menghentikan mobilnya, Arvan sudah menyelonong pergi karena sudah tidak sabar untuk melihat sang istri. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri istrinya masih hidup dan masih sehat.

Saat masuk Arvan langsung di sambut oleh para asisten rumah tangga menatapnya dengan hormat. Tapi, Arvan tidak memperhatikan semuanya bahkan menoleh saja tidak. Saat ini mata Arvan hanya terpaku pada satu sosok yang sangat ingin ia lihat sedari tadi dengan mata kepalanya sendiri. Sosok itu berdiri tidak jauh darinya, sosok itu menyambutnya dengan senyum manis serta lesung pipinya yang tampak di kedua pipinya membuatnya tampak menawan di mata Arvan, entah kenapa di penglihatan Arvan seperti ada cahaya yang menyinari sekeliling tubuh sosok cantik itu. Perutnya pun terasa tergelitik, seperti ada kupu-kupu yang berterbangan dan jantungnya pun ikut terpacu kuat melihat sosok di depannya itu.

"Mas udah pulang? Mas mau makan atau mandi dulu?" tanya sosok cantik itu yang tak lain adalah Ayla istri dari Arvan.

Suaranya terdengar lembut di telinga Arvan. Melihat senyum itu kembali juga membuat bibir Arvan ikut melengkung tersenyum menatap Ayla istrinya.

Ayla mendekati suaminya lalu mengambil tas kerja milik Arvan dengan senyum manis yang masih terus terpampang di wajah cantiknya.

Bukannya menjawab pertanyaan yang di lontarkan Ayla, Arvan malah melamun dan tak lama saat Ayla ingin mengambil tas kerjanya Arvan langsung memeluk kencang Ayla melepaskan rindunya yang terasa menggebu-gebu sedari tadi ia tahan.

*

*

*

*

*

Waktu mengajarkan kita arti kehidupan sebenarnya. Di dunia nyata mungkin saja akan ada yang diberikan kesempatan terbaik untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan, tapi semuanya punya jalan ceritanya masing-masing.

Setiap masa lalu yang terlewati akan memberikan pelajaran terbaik agar kita menjadi orang yang lebih baik dari diri kita sebelumnya.

Penyesalan selalu akan ada di akhir, jadi pikirkan lah matang-matang sebelum mengambil langkah. Jangan sampai apa yang kita putuskan, langkah yang kita ambil malah ternyata bertaburan beling dan kerikil tajam yang nantinya akan menusuk diri kita sendiri dan meninggalkan penyesalan terdalam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!