NovelToon NovelToon

SUAMI BUCIN STARLA

HUJAN DESEMBER

“Bu, Starla berangkat, ya!”

“Tara belum datang. Kalian nggak jalan bareng?” tanya wanita setenga baya dengan shall berwarna merah pada leher.

“Tara lagi ke Surabaya. Makanya shift dia aku yang gantikan selama seminggu,” ujar gadis itu sambil memakai sneakers di depan teras rumah.

“Apa kamu nggak akan kecapean masuk dua sift selama satu minggu?”

Gadis itu tersenyum, ia menyemprotkan cairan desinfektan pada tangannya, setelah selesai memakai sepatu. “Nggak apa-apa, Bu. Lagian ini masih liburan semester.”

“Ya, sudah. Kamu hati-hati, ya. Sampaikan salam Ibu untuk Lani, dia sudah lama tidak ke rumah.”

Mengangguk, dan mencium punggung tangan Ibunya, gadis itu pun segera keluar dari pekarangan rumah yang sangat sederhana.

Starla Meisya.

Gadis sembilan belas tahun yang sebentar lagi akan memasuki perkuliahan semester dua. Bercita-cita ingin menjadi penulis besar seperti Tere Liye, itu lah yang membuat gadis dengan bandana putih itu mengambil Sastra Indonesia.

“Anakmu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan pemberani, Kal.” Devita Maharani, memandang kepergian putri semata wayangnya dari teras rumah.

Keluar dari gang rumah yang sempit, Starla berjalan menuju halte yang tidak jauh dari gang. Ia sudah memesan ojol.

Jalanan malam itu terlihat lenggang, mungkin juga karena hujan yang baru reda setenga jam yang lalu.

Byurrr!!!

Starla menganga tak percaya hoodie miliknya basah kena cipratan air dari kubangan besar di depannya. Ia mengira pemilik motor akan terus jalan begitu saja, namun dia salah.

“Hoodie lo basah.” Suara bass yang terkesan datar dari balik helm fullface itu membuatnya terhenyak. Suaranya bikin pengen ngajak nikah ya, La.

***

“Assalamualaikum.”

Anak gadis yang memangku cemilan di ruang tengah itu mendongak. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

“Wa’alaikumsalam, Mi.”

“Kakak mana?”

“Habis sholat belum turun. Ketiduran kali,” jawabnya.

“Mami …,”

Helsa melempar pandangannya ke sumber suara. Sepertinya anak sulungnya itu akan keluar. Hoodie hitam polos, celana pendek hitam nevada, sepatu converse berwarna marun, dan juga helm full face yang terselip di pergelangan tangan kanan nya. Azlan Devandra Van Brawijaya.

“Mami!!” sekali lagi ia memekik, dan langsung mencium pipi wanita yang sudah melahirkannya itu.

“Mau kemana?” Helsa menyugar surai hitam anaknya.

“Main.”

“Besok Papi pinjam Jeep ya?” ujar pria berkemeja biru langit dari pintu yang terhubung antara garasi dan ruang tengah.

“Nggak dulu, Pi. Terakhir, Cemara harus keringatan dorong mobil sampai POM.”

“Iyah ih. Papi habis make mobil nggak diisi bensinnya,” omel Cemara.

“Namanya juga orang tua, suka lupa,” celetuk Helsa menyindir suaminya.

“Iya deh, yang masih tujuh belas panas,” balas Adryan.

Kalau Devan terus disini, perdebatan itu akan menjadi panjang dan berakhir nostalgia. Papinya suka bernostalgia soal Maminya.

“Devan pamit,” ucapnya seraya mencium punggung tangan orang tuanya.

“Pulangnya jangan kemalaman!” teriak Helsa ketika Devan sudah berlenggang menuju garasi.

***

Kebebasan yang diberikan Adryan dan Helsa benar-benar membuat Devan tidak merasa dikekang. Dunia malam sudah menjadi makan-minumnya setiap hari. Namun, satu hal yang selalu Adryan tegaskan padanya. “No having ***, smoking, and drugs.”

Malam itu dengan ninja hitam miliknya, ia memenuhi panggilan teman-temannya di Markas. Itu bukan markas geng motor, hanya sebuah komunitas biasa dengan 150 jiwa di dalamnya. Acme, nama komunitas itu.

Brum….

Byur ….

“Sial!” umpatnya dibalik helm itu. Devan menghentikan motor dan mendorong pelan ke belakang.

Penerangan di jalan itu membuatnya tidak melihat dengan jelas bagaimana wajah korban cipratan air. Yang Devan tau, dia seorang perempuan.

“Hoodie lo basah,” katanya. Ia mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah.

“Ini apa?” tanya gadis itu.

“Ganti rugi hoodie lo,” katanya lagi, menarik tangan gadis itu dan menaruh uang pada telapak tangannya.

Setelah memberikan uang, ia menyalakan kembali mesin motor dan meninggalkan gadis itu sendiri di halte.

Starla tersadar, dan memandang kepergian laki-laki pemilik ninja hitam itu.

“Ya Allah, susah banget minta maaf.”

STARLA MEISYA

“Diva, semakin hari lo semakin cantik. Apalagi kalau kacamatanya dilepas.”

“Mereka siapa?” Starla memandang lurus empat laki-laki yang sedang menggodai gadis nerd berkacamata bulat. Oh, lebih tepatnya, hanya satu diantara mereka.

“Lo nggak kenal mereka siapa, Tang?” tanya sahabatnya, Kiki. Kiki Rahmawati, lebih lengkap. Mereka mengenal sejak hari pertama masa ospek.

Starla mendengus sebal, “Ki, panggil Starla aja!”

“Gue lebih suka panggil lo Bintang,” pungkas Kiki.

“Hm, terserah kamu deh. Yang aku nanya sekarang, mereka itu siapa?” Mata Starla mengerling pada keempat laki-laki itu.

“Acme,” bisik Kiki.

“Apa itu Acme? Mereka empat orang dengan satu nama yang sama?” tanya Starla dengan tatapan yang polos dan itu terlihat sangat menggemaskan.

“Starla Meisya, sekalipun anak kembar pasti namanya dibedakan. Iya kali mereka namanya sama,” gerutu Kiki.

“Ya kamu kalau jelasin itu yang benar, jangan setengah-setengah.”

“Acme itu nama komunitas, dan mereka bagian dari Acme. Dan lo lihat cowok dengan mata abu-abu itu, cowok blasteran Amerika itu namanya Yehezkiel. Dia pemimpinnya,” jelas Kiki.

“Oh, dia anak yang punya Yayasan Palm,” imbuh Kiki.

Starla mendengar dengan jelas semua penjelasan sahabatnya, namun matanya tak lepas dari perbuatan salah satunya. Kasihan gadis itu, pikirnya.

“Dan yang gangguin-” Kiki terperangah melihat Starla sudah disana. Lebih tepatnya dia berdiri tepat di hadapan Juna. Juna Fransisco Emmerick.

“Astaga, Starla, baru juga mau gue nasihati,” omel Kiki.

***

“Hai, cantik. Lo mau juga kayak Diva, hm?” tanya Juna.

“Kamu nggak punya lawan yang sepadan sampai harus gangguin dia?” balas Starla, “emang salah dia apa sama kamu?”

“Wih, maba ni kayaknya,” sambung laki-laki disamping Juna. Namanya Darren. William Darren Jonathan, si playboy dari fakultas teknik.

“Mata kamu nggak usah jelalatan!” tegur Starla pada Darren.

“Udah cantik, berani juga lo ya,” ungkap Darren.

“Anak Sastra lo?” Devandra buka suara akhirnya.

Starla mengangguk, “bilangin sama dua teman kamu itu nggak usah ngerjain orang.”

“Jaminan apa yang bakal lo kasih kalau gue bisa lolosin nerd satu ini?” Devan menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Starla, jempol kanan nya mengusap nakal bibir bawahnya. Aish, Starla gugup melihat tingkah kakak tingkatnya ini.

“Menarik,” batin Devan.

Starla tak tahu harus menjawab apa. Ia takut salah bicara dan akan merugikan dirinya sendiri. Tidak-tidak. Starla tidak ingin berurusan dengan mereka.

“Nggak pakai jaminan.” Starla memperhatikan laki-laki yang juga masih menatapnya.

Mahasiswa dengan tato pada tangan dengan gambar mawar dan beberapa gambar lagi, dan pada lehernya yang hanya sebait kalimat yang entah apa tulisannya. Starla menerka pasti dibalik kaos hitam yang dikenakannya, masih ada tato lagi. Gila juga sih.

“Udah puas lihatnya?” goda Devan yang langsung membuat Starla tersentak.

“Eh, nggak kok. Aku cuma-ehm,” Starla mulai mencari-cari alasan apa yang tepat untuk menutupi salah tingkahnya sekarang. “Aku cuma-”

“Mau lihat yang bagian mana lagi?” tantang Devandra, “biar gue buka sekarang.”

“Devan anjir,” umpat Juna disampingnya.

Yehezkiel, si dingin dan ketus itu hanya menarik senyum tipis melihat Starla sudah keringat dingin di tempat.

“Mau lihat yang mana lagi?” tanya Devan sekali lagi. Ia bangkit dari kursi. Tinggi Starla hanya 150cm membuat laki-laki itu sedikit menundukkan kepalanya.

“Takut, hm?”

Starla memberanikan diri untuk membalas tatapan itu, “nggak! aku nggak takut.”

Sekarang semua mata di kantin itu menatap dua anak manusia yang saling melempar tatapan yang sulit diartikan. Yehezkiel maju satu langkah dan membisikan sesuatu pada Devan, dan muncullah seringai nakal dari bibir laki-laki tersebut.

“Selamat lo hari ini. Ada hal yang lebih penting dibandingkan cewek tepos kayak lo,” sindir Devan. Keempat lelaki itu berbalik, hendak meninggalkan kantin sebelum akhirnya Starla kembali bersuara.

“AKU NGGAK TEPOS, YA!” teriak Starla begitu saja. Gadis itu pun langsung membekap mulutnya mendengar tawa kencang dari penghuni kantin.

Devan terkekeh mendengar ucapan yang menurutnya terlalu frontal. Ia balik, kembali menghampiri Starla. “Mau gue buat berisi?”

***

“DASAR COWOK NYEBELIN!” NAMANYA SIAPA SIH?”

Starla meraung di parkiran kampus. Beberapa orang disana memperhatikan tingkah anehnya, hanya Kiki yang masih bisa tertawa melihatnya.

“Devandra,” jawab Kiki yang mulai memakai helm.

“Siapa?”

“Azlan Devandra. Anak salah satu donatur di kampus ini,” sahut Kiki, “pakai helm lo.”

“Aku nggak peduli mau dia anak donatur. Cowok rese mesum,” tanda Starla. Sambil marah-marah, tangannya sibuk memakai helm.

“Awas aja kalau aku ketemu dia lagi.”

“Ini kenapa juga susah banget helmnya,” gerutunya kesal.

“Kenapa kalau ketemu gue lagi?”

***

“Saya tunggu makalah kalian dalam dua hari. Siapkan juga power point untuk presentasi nanti. Deadline jam sembilan malam,” cetus dosen laki-laki yang membawa mata kuliah Matematika bisnis. Semua mahasiswa memberi salam setelah beliau keluar.

“Devan…,” panggil seorang gadis yang sedang berdiri diambang pintu kelas.

“Why?” Devan menghampirinya.

“Jangan ketus gitu. Tadi kamu ngapain di kantin Sastra dan siapa cewek itu?”

Sheren Abimana. Gadis bersurai pendek itu menatap selidik kekasihnya. Tadi sesaat selesai kelas siang, ia mendapat laporan bahwa kekasihnya itu menggodai salah satu anak Sastra.

“Buka siapa-siapa.” Devan melengos, tatapannya jatuh pada Darren yang akan menghampirinya. “Lo pulang duluan aja. Gue nggak bisa anter.”

“DEVANDRA!” Sheren berteriak karena Devan malah menghampiri Darren. Lelaki itu selalu mengabaikannya.

Devan sudah bersama Darren, obrolan penting sore itu harus dihentikan tatkala matanya menangkap seorang gadis yang mencak-mencak sendiri di tengah parkiran.

Lucu sekali, pikirnya.

“Nanti malam Yehezkiel ketemu calon istrinya. Jangan lupa ngumpul jam delapan di markas,” kata Devan, “ada hal penting yang mau gue selesaikan sekarang.”

Darren memiringkan kepalanya melihat kemana arah sahabatnya pergi. “Brengsek!”

Devan berjalan cepat menuju parkiran, ia mendengar celotehan gadis di depannya.

“Aku nggak peduli mau dia anak donatur. Cowok rese mesum.”

“Awas aja kalau aku ketemu dia lagi.”

Sedangkan sahabatnya, Devan pun tak tahu siapa namanya, membungkam mulut setelah mendapati dirinya sudah dibelakang Starla.

“Ini kenapa juga susah banget helmnya.” Devan membalikkan tubuh mungil mahasiswi yang tubuhnya seperti bocah SD.

“Kenapa kalau ketemu gue lagi?” Tangan kekar itu mengaitkan retention system atau tali helm yang sejak tadi menyusahkan gadis tersebut.

“Kamu-” Starla tergagap mendapati Devan tepat di depannya, memasangkan pengait helm padanya.

“Starla Meisya. Anak beasiswa dari Fakultas Sastra Indonesia. Bekerja part time di salah satu tokoh bunga dan juga restoran makanan siap saji yang tidak jauh dari kampus,” sebut Devan yang membuat Starla langsung membisu. Begitu juga dengan Kiki.

Devan menyebutnya secara lengkap.

“Lo cukup hebat untuk ngelawan orang yang bisa dengan gampang cabut beasiswa lo!”

LASAGNA DAN KAMU

"Starla Meisya," sebut Devan.

Hari itu tidak ada yang ingin Devan lakukan selain mengingat gadis yang sudah berani mencegat Juna. Berani sekali dia. Belum lagi dia juga mengumpat Devan di area parkiran kampus.

"Starla Meisya. Cantik," gumam Devan.

Sedang asyik bergelayut dalam pikirannya, samar-samar terdengar suara berisik dari lantai satu. Siapa?

Hari sudah sore. Papi dan Maminya mungkin sedang terjebak macet di jalan.

"Ebuset! Ini rumah atau asrama putri?" pekik Devan dari lantai tiga.

Segerombolan gadis di ruang tengah menghentikan latihan menari karena mendengar suaranya.

"KAK DEVAN!!!" teriak gadis-gadis itu, kecuali Cemara.

Devan membalas dengan lambaian ala bangsawan. Gadis-gadis SMA itu teman-teman Cemara dari sanggar SMA Pertiwi. Mungkin hampir setiap hari rumahnya ramai dengan Cemara yang membawa teman-temannya itu.

Devan dan Cemara jarak usianya cukup jauh, tujuh tahun. Dan sekarang Devan duduk di bangku kuliah semester empat, sedangkan Cemara menduduki kelas dua SMA.

"Lanjut!" balas Devan sedikit berteriak.

Begini kalau punya adik perempuan. Cuci mata lihat daun muda. Tapi, sayang, sepertinya gadis mandiri bernama Starla lebih menarik.

Ting …

Menatap notifikasi pesan yang baru masuk, Devan lebih bersemangat lagi. Azka Pramudya. Laki-laki bangsat satu ini tak henti mencoba adrenalin nya di jalanan.

***

"Malam ini Cafe dibooking untuk 150 orang. Jadi, saya minta kamu untuk tidak pulang dulu, Starla. Shift pagi pun akan datang sebentar lagi," ujar manager Cafe.

Starla menduduki kursi di salah satu meja. Padahal dia sudah membayangkan kasur empuk di rumahnya, dengan Ibunya yang mengusap rambutnya agar tertidur lebih cepat.

Starla mengeluarkan ponsel, mengirim pesan untuk Ibunya. Malam ini dia akan pulang lebih larut dari biasanya.

Tepat pukul delapan malam, segerombolan motor besar memasuki parkiran restoran. Waiters Hello You Cafe sudah bersiap melayani para lelaki itu.

"Selamat datang di Hello You Cafe, kak," ucap manager pada beberapa yang sudah masuk.

Dari kasir, tatapan mata Starla bertumbuk dengan laki-laki berkulit putih pucat.

Azlan Devandra.

***

Deru motor saling bersahutan di ujung jalan Cendana. Tepatnya di simpang tiga menuju perumahan Cendana. Puluhan motor sedang beradu kecepatan. Balapan ilegal yang dilakukan Geng Delta mengundang banyak pasang mata menyaksikan aksi tersebut.

Aska Pramudya, laki-laki dengan scarf hitam itu duduk di atas motor ninja, menyaksikan aksi yang dilakukan beberapa anggotanya bersama lawan. Ada tujuan lain Aska mengadakan balapan ini. Apalagi kalau bukan mengundang amarah anak Acme. Pasalnya area Cendana adalah kawasan yang dipagar mati oleh Acme untuk tidak dilintasi Geng Delta.

"Akhirnya, masuk perangkap juga," seru Aska.

Deru motor dari arah berlawanan membuat semua anak Delta menghentikan aksi mereka. Aska turun dari motor dan berdiri tepat di tengah jalan.

Disaat yang bersamaan, Yehezkiel turun dari atas ninja. Mereka saling berhadapan dengan tatapan membunuh.

"Nggak sia-sia gue buang lima puluh juta cuma buat mancing lo datang," celetuk Aska.

"Cari mati lo?" Bukan Yehezkiel, Juna maju dengan gagah, namun langsung dicegah Yehezkiel.

"Mau lo apa?" tanya Yehezkiel, masih tenang.

"Mau gue, lo buka suara kalau kematian Bian memang ada campur tangannya sama geng lo itu. Mau gue, lo mengaku kalau lo yang jebak Bian malam itu," tukas Aska menatap tajam pada Yehezkiel.

"Gue nggak sepicik lo, Azka Pramudya," tunjuk Yehezkiel.

"Ok, gue mau Devan balapan sama Lintar," Aska menatap nyalang Devan yang masih tetap diatas motornya, "Devan kalah berarti Porsche hitam lo buat gue."

Devan berdiri, menantang Aska dengan tatapan tajam, "kalau Lintar kalah, gue mau seratus juta dari lo."

Aska terkekeh, "bangkrut perusahaan nyokap lo? Kenapa nggak jual aja rumah lo yang kayak istana itu?"

Darren mendekati Devan, "kenapa jadi seratus juta? diusir lo dari rumah?" bisik Darren, namun tidak Devan tanggapi.

Yehezkiel mengabulkan permintaan Aska, lantas Devan segera menuju motornya, begitu pun dengan Lintar.

"Dan satu dari gue, jangan jadikan Bian sebagai alat untuk balas dendam omong kosong lo itu," tukas Yehezkiel.

Aska menyeringai kecil, "lepasin Dania buat gue, dan gue bakal tutup kasus kematian saudara gue," bisik Aska di hadapan wajah Yehezkiel.

"Bahkan dalam mimpi pun tidak akan!"

Suara bisingnya dua motor itu pertanda bahwa balapan sebentar lagi dimulai. Sepanjang lintasan Cendana dipenuhi ratusan anak muda yang siap menyaksikan dua joki terbaik dari dua geng tersebut. Devan menutup kaca helm fullface nya, menoleh ke samping Lintar yang menatap lurus ke depan.

Seorang wanita cantik mengambil posisi di depan garis start dengan pakaian kurang bahannya, bersiap memberi aba-aba kepada Devan dan Lintar. Dalam hitungan ketiga, bendera balap tersebut diangkat tinggi wanita itu.

Dua motor ninja itu melaju tinggi meninggalkan garis start, dengan Devan yang memimpin kecepatan. Lintar terus mengejar ketertinggalannya.

Demi apapun Devan memang pantang kalah dalam balapan. Namun Lintar tidak akan menyerah begitu saja.

Dua lap Devan unggul. Saat mendekati simpang perumahan Cendana, seorang gadis cantik berhasil membuat Devan gagal fokus, dan lebih parahnya Lintar mengambil kesempatan untuk meninggalkan Devan.

Bukannya segera sampai tujuan, motor ninja yang dikendarai Lintar menghantam sebuah mobil Alphard putih. Alhasil benturan keras itu membuat Lintar terhempas cukup jauh dari lokasi, dan mobil tersebut menabrak sebuah Pom mini disana. Kebakaran terjadi pada mobil tersebut, api membakar pom tersebut.

"Cemara!" teriak Devan saat gadis itu mencoba untuk mendekati mobil tersebut.

***

"Itu cewek bukannya anak Sastra siang tadi, Dev?" Juna memastikan.

Darren menyipitkan mata, tahu maksud sahabatnya. "Dev, you crazy!"

Tatapan Starla masih tertuju padanya. Sampai akhirnya Devan menggodanya dengan satu kedipan mematikan. Duh, Starla hampir menjatuhkan gelas disana.

Devan nyaris tertawa. "MALAM INI GUE YANG TRAKTIR. PESAN APAPUN ITU!"

Tatapannya jatuh pada manajer wanita yang usianya diperkirakan seperti sang Mami. "Untuk meja nomor sepuluh, saya mau cewek rambut hitam panjang itu yang urus."

Starla mendelik ketika semua mata tertuju padanya.

"Aku di nomor lima!" seru Starla.

"Oh, ok. Bintang satu untuk Cafe ini," ucap Devan mengancam.

"Starla," perintah Manajer itu.

Ingin Starla berteriak sekarang. Apa maksud laki-laki bertato itu. Mau tidak mau, Starla menjalani perintah itu.

Tersenyum kemenangan. Devan pun menghampiri mejanya.

"Udah lo anter Cemara?" tanya Yehezkiel saat Devan baru duduk di sampingnya.

Balapan itu akhirnya berakhir tanpa ada pemenang. Devan mengantar Cemara pulang setelah menyidik gadis kecilnya itu. Awas jika dia berbohong.

"Lo bukannya malam ini harus ketemu cewek yang dijodohkan Papa lo itu?"

"Gue belum siap."

"Om Dilan kayak nggak ada kerja aja main perjodohan," celetuk Darren.

"Dev, kalau lo dijodohkan gimana?" tanya Juna.

"Mami nggak akan jodohkan gue walau perusahaannya diambang bangkrut. Papi gue banyak duit tanpa perusahaan itu," ujar Devan.

Ketika banyak berbincang, Starla datang dengan buku menu. Gadis itu nampak biasa saja, namun jantungnya berdegup kencang.

"Hai, cantik. Ketemu lagi, ya kita."Juna mengedepankan mata, "apa ini yang namanya jodoh?"

Starla ini masih di Cafe. Kamu harus selalu tersenyum.

"Juna," panggil Darren, memberi kode melalui ekor mata. Devan tengah memperhatikan Starla.

"Holyshit."

Yehezkiel, Darren , dan Juna mulai memesan beberapa menu disana.

Giliran Devan, sepertinya ia bingung ingin memesan apa. Melirik sekilas pada Starla.

"Nggak ada yang enak. Nggak ada menu yang lain?" tanya Devan.

"Lasagna menu favorite disini kak," jawab Starla.

"Kentang saus keju juga tidak kalah enak," imbuh Starla.

"Ok."

"Lo alergi keju, Dev," peringat teman-temannya.

Devan tidak menanggapi. "Gue mau."

Tatapan pria itu tak lepas dari waiters Cafe tersebut. "Gue mau lo dan Lasagna malam ini."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!