Brakk.
Dan terjadi lagi, suara piring pecah setiap kali aku pulang bekerja. Entah apa yang dilakukan oleh istriku ini.
"Ainun, Ainun. "
Wanita berparas cantik dengan kedua bola mata berwarna coklat itu, menghampiriku. Ia menegakan wajahnya.
"Apa?"
Berkacak pinggang layaknya seorang bos. Saat menghadap ke arahku.
" Ambilkan aku air minum!" Perintahku padanya, dimana aku duduk dengan santainya setelah pulang kerja.
Namun yang kuhadapi saat ini, Ainun malah duduk di sampingku." kenapa kamu malah duduk, aku suruh kamu ambilkan air minum. "
Istriku menatap sekilas kearahku, ia tetap saja diam, meraih remot yang ada di atas meja, menyalakan tv dengan membesarkan volume.
"Ahk, kamu ini kenapa?"Menutup telinga dengan kedua telapak tangan.
"Ahk, bisa tidak volume suaranya dikecilin. "
Istriku tetap saja diam, mengabaikan perkataanku.
Kesal, beranjak berdiri, aku mulai mengambil air minum untuk segera membasahi tenggorokan yang terasa kering ini.
Melewati tumpukan baju dan piring kotor membuat aku bergidik ngeri. " Si Ainun ini kerjaan ngapain di rumah, baju, piring kotor. Ihh. "
Meletakan gelas kaca membuat aku membalikkan badan, dan, " Hah. "
Ainun tiba tiba saja ada didepanku, ia menatap tajam ke arah wajah, membuat aku membulatkan kedua mata berusaha tegas.
"Kamu dirumah ngapain aja kerjanya, piring kotor berserakan, sampah, belum cucian. "
Brak ….
Tangan lembut Ainun yang biasa membelaiku, kini memukul meja dengan begitu keras, membuat aku terkejut dan diam seketika.
"Papah, papah. "
Panggilan ketiga anak anakku yang masih kecil kecil membuat aku tersenyum lebar, wajah Ainun yang terlihat garang seketika berubah seperti bidadari.
"Papah, pulang bawa martabak kan?"
Aku memukul kepalaku, lupa dengan pesanan si sulung yang memang dari kemarin menginginkan martabak.
"Denis, maafin papah ya. Papah lupa, beliin martabak untuk kamu, tadi kerjaan di kantor banyak, papah kelelahan. Jadinya kelupaan deh. "
Denis memperlihatkan raut wajah sedihnya, membuat bibir mungil itu seketika mengkerut.
Tangan kekar ini kini mencubit pipi Denis, membuat lekuk senyum tergambar dari bibirnya.
"Dimaafin nggak?"
Denis menganggukkan kepala, membuat aku mengusap kepalanya.
"Denis sekarang kamu tidur ya. "
Denis menurut pada istriku, ia pergi dengan menundukkan kepala, tubuh yang terlihat lunglai.
Anak kembarku yang berumur dua tahun, mulai memegang kedua kakiku, terlihat mereka ingin aku gendong. " Hey, Kania, Kayla. Sayang kalian kenapa. "
Mereka merengek, menangis menghentakkan kaki berulang kali. " Ayolah nak, papah cape, kalian sama mama dulu ya. "
Aku mulai meninggalkan keduanya pergi, tanpa melirik ke arah istriku yang terlihat menangkan keduanya.
"Siapa suruh leha leha, suami capek pulang kerja dibiarkan gitu aja. " Gerutu aku di dalam hati.
Aku mulai masuk ke dalam kamar, melepaskan seluruh kain yang menempel pada badan ini.
Mengambil handuk untuk segera mandi.
Baru saja menyalakan keran air, tiba tiba, " Loh samponya habis, gimana ini. "
Aku mulai keluar dari kamar mandi, mencari keberadaan istriku, dimana ia baru saja keluar dari kamar anak anak.
"Kamu ini gimana sih, masa di kamar mandi. Tidak ada sampo sama sekali. "
Kedua mata istriku membulat, terlihat napasnya naik turun, " Kamu kan bisa pake sabun sementara waktu. "
"Apa, gila kamu. Masa ia pakai sabun, ngaco. "
"Aku nggak sempat beli sampo, kamu beli saja sendiri. "
"Hey, Ainun, akhir akhir ini kamu kenapa sih, sifatmu berubah drastis. "
" kamu pikir saja sendiri. "
Ainun pergi begitu saja, dimana ia masuk kembali ke kamar anak anak. Aku yang belum tahu pasti dengan nasibku ini, hanya diam mematung.
"Ainun, Ainun. "
Beberapa kali memanggil namanya, ia tetap mengabaikanku.
Ada apa dengannya, kadang marah marah, kadang lembut. kenapa coba dengan dia aneh. Sekali.
********
Aku mulai melangkahkan kaki kembali masuk ke dalam kamar mandi, untuk segera mencuci rambutku kembali. Menatap ke arah sabun mandi yang tersimpan rapi, mengambilnya.
Mau tidak mau aku mencuci rambut dengan sabun, walau rasanya tak nyaman tetapi harus bagaimana lagi?
"Si Ainun ini jadi wanita tidak bisa diandalkan bisa bisanya membuat suami geram dan kesal."
Menghela napas aku berusaha tetap sabar menghadapi perubahan istriku akhir akhir ini.
Keluar dari kamar mandi, aku tak melihat istriku datang ke dalam kamar ini.
"Ternyata dia tidak balik lagi ke kamar?" Menghela napas. Saat melemparkan handuk, tiba tiba perutku mengeluarkan bunyi yang sangat keras.
" Sepertinya aku lapar. "
Keluar dari dalam kamar, aku melihat kamar anak anak masih tertutup rapi, sepertinya Ainun tidur di kamar anak anak.
Berjalan perlahan, aku mulai membuka tudung saji, membayangkan nikmatnya makan malam. Di saat perut sedang lapar.
Dan ....
Sialnya tak ada makanan sedikitpun, membuat aku mengepalkan kedua tangan, mencoba tetap tenang. Berjalan, melihat pada rak makanan, " Telor, nggak ada. Mie pun nggak ada. "
Mengusap kasar wajah, bukannya baru kemarin aku memberinya uang lima puluh ribu. Memikirkan hal itu, membuat perut kembali berbunyi, aku mulai melangkahkan kaki, berniat menemui istriku.
Membuka pintu kamar anak anak, kulihat istriku sedang tertidur nyenyak, " enak ya, jadi istri. Bisa tidur nyenyak gitu, mana kamar anak berantakan lagi. "
Aku yang tak ingin ambil pusing, menutup kembali pintu kamar anak anak, berjalan keluar rumah untuk mencari makanan hangat, yang bisa membuat perutku ini diam tak mengeluarkan suara lagi.
"Makan apa ya, mm. Nasi goreng, ayam goreng. "
Berjalan menuju penjual kaki lima, aku duduk memesan satu porsi nasi goreng.
"Satu mang. "
Bau wangi dari nasi goreng itu membuat aku tak tahan ingin menyantapnya. Menunggu, hingga pesananku datang.
Aku melahap nasi goreng yang masih mengeluarkan asap itu dengan begitu nikmatnya, tak perduli akan istriku yang tak bisa mengurus rumah dan mengenyangkan hati suami.
Siapa suruh kerjaanya marah marah. Menggerutu kesal dalam hati sampai sosok penjual nasi goreng datang.
" Tumben sendiri, anak anak sama istri nggak di bawa Mas Reza. "
"Oh mereka sudah tidur, jadi nggak ikut. "
"Mm, oh ya. Hebat juga ya istri Mas Reza bisa ngurus tiga anak yang masih kecil kecil, belum ngurus rumah. Bangga punya istri yang full jadi irt. "
Mendengar pujian untuk istriku, dari pejual nasi goreng membuat aku tiba tiba tersedak.
" Aduh Mas Reza pelan pelan kalau makan. "
Aku tersenyum, terburu buru meminum air yang disediakan penjual nasi goreng itu.
Seketika perkataan yang aku pendam kini terlontar begitu saja, dengan rasa kesal aku berucap. " Hebat apanya punya istri yang kerjanya jadi IRT doang. Apa yang dibanggakan kerjanya cuman leha leha doang, rumah tetap saja berantakan. Yang bangga itu punya istri kerja di luar bisa ngurus suami, ngurus anak ngehasilan duit lagi, itu baru dibanggain. Irt dibanggain. "
Penjual nasi goreng itu malah mengusap dada bidangnya, membuat aku mengerutkan dahi, berkata dalam hati, " emang aku salah ngomong ya?"
"Hah, kenyang." Mengusap pelan perut buncit setelah menikmati nasi goreng dari pedagang kaki lima, aku beranjak pulang untuk mengistirahatkan tubuhku karena besok hari weekend, dimana seorang ayah harus meluangkan waktu untuk me time.
Bukan istri saja yang me time setiap hari, yang kerjaannya hanya leha leha dan tiduran.
Membuka pintu rumah, aku melihat Ainun keluar dari kamarnya, ia berjalan ke dapur membuat aku tersenyum sinis.
Masuk ke dalam kamar, tak memperdulikan dia sama sekali. Melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Tak terasa, nongkrong dari jam tujuh malam sampai jam segini, membuat kedua mata terasa berat, ingin menutup saat itu juga.
Untuk segera masuk ke dunia mimpi.
Suara piring dan juga air mengalir membuat tidurku terasa tak nyaman, " si Ainun ini ada aja kerjaannya." Bangkit dari tempat tidur, aku mulai melihat Ainun di dapur.
"Malam malam begini, sedang apa dia. "
Mengintip dari balik tembok, Ainun sedang membereskan piring kotor, mencuci baju. Begitupun dengan memasak.
Aku mulai berjalan ke arahnya, ia terlihat sibuk dengan rutinitasnya. " Kamu bisa tidak ngerjain sesuatu itu pagi aja, jangan malam begini, kamu lihat nggak jam berapa sekarang? Waktunya istirahat, tidur."
Membulatkan kedua mata ke arahku, terlihat bawah mata Ainun terlihat begitu hitam membuat aku berkata. " Apa, mau marah. Urus tuh wajah udah kaya mak lampir."
Istriku hanya diam, aku melihat ia mengepalkan kedua tangan.
Ainun terlihat menghela napas, mengambil sampah yang sudah menggunung tinggi, membawa pergi sampah itu dari hadapanku.
"Heh, kalau suami bicara itu dengar, bukan malah pergi begitu saja. "
Ainun tak menjawab perkataanku, ia pergi dengan langkah yang begitu cepat. Membuat aku menggerutu kesal.
"Kenapa sih dengan dia. "
Brakk, brakk. Mendengar suara gebrakan dari luar rumah, membuat aku berlari melihat apa yang terjadi.
Ternyata istriku sedang kewalahan mengambil air galon yang masih berada diluar, " Lemah banget kamu, ngangkat galon segitu aja."
Istriku menurunkan air galon itu, menendangnya hingga pecah.
"Ainun, gila kamu. Nanti kita minum air apa?"
Ainun tiba tiba mengacak rambutnya dengan kasar, " Mas, bisa tidak kamu itu jangan berisik. Aku pusing dengernya, aku capek. Lelah seharian mengurus rumah, anak dan keperluan kamu. Bantulah sedikit."
Mengerutkan dahi, melihat kemarahan-nya membuat aku berucap. " Aku juga capek kerja."
Mengacak kasar rambut, aku mulai meninggalkan istriku masuk ke dalam kamar. Membiarkan dia berdiri sendirian di ruang tamu.
*****
Brakk ....
Menutup pintu dengan begitu keras, aku mulai merebahkan tubuhku di atas kasur.
Dimana sosok wanita yang aku nikahi selama sepuluh tahun ini, mengetuk ngetuk pintu.
"Mas, buka. "
Aku mulai menutup kedua telinga dengan bantal, segera tidur.
"Mas."
********
"Ahk."
Berteriak, dimana aku terbangun dari tidurku. Melihat jam, sudah menunjukkan pukul lima pagi. Melangkahkan kaki, sesekali menguap.
"Ahk, sekarang libur ya. Bisa santai. "
Membuka pintu kamar, melihat semua sudah tampak rapi, aku mulai duduk di atas sopa, memanggil istriku.
"Ainun."
Panggilan dariku tak di dengar olehnya, " Ainun. "
Bangkit dari atas sopa, Ainun terlihat sedang menyuapi anak kembarku.
"Kamu dengar tidak panggilan dariku?"
Ainun menatap ke arahku sekilas, ia kini memalingkan wajahnya, " kamu tidak lihat aku sedang apa?"
Perkataan Ainun membuat aku mengerutkan dahi, " Hey, aku suruh kamu loh, buatkan aku kopi. Bukan melayaniku di ranjang. "
Ainun bangkit dari tempat duduknya, ia menghentikan suapannya. Berjalan ke arahku, Ainun memberikan piring kepadaku.
"Apa maksud kamu, Ainun?"
"Suapin anakmu, biar aku buatkan kopi," nada suara istriku terdengar ketus, membuat aku mendelik kesal. Membiarkan si kembar merengek meminta makan pada ibunya, biar tidak jadi kebiasaan.
"Sebentar sayang." Teriakan istriku terdengar nyaring pada telinga ini, membuat aku merasa tak nyaman.
Ia berjalan terburu buru dengan membawa gelas berisi kopi, " Ini. " Memberikan padaku, hingga kopi itu sedikit tumpah ke atas meja.
"Kamu ini kalau kerja bisa becus sedikit tidak, bikinin kopi sampe tumpah tumpah begini. "
Istriku malah membulatkan matanya, mengambil piring diatas meja, untuk kembali menyuapi si kembar.
Bibir tipis yang biasa tersenyum kini berubah mengkerut, istriku terlihat seperti orang asing. Kerjaannya marah marah, setiap kali bertengkar selalu menyalahkan aku.
Sekarang Ainun benar benar berubah.
"Sayang, ayo makan. " Si kembar tampak ceria, mereka begitu bahagia. Saat istriku menyuapi dengan mengajak mereka bermain.
Saat tangan ini mulai memegang gelas, aku lupa jika kopi hangat ini masih memperlihatkan asap yang mengepul keluar.
"Aa, panas. Panas. "
Mengibas ngibaskan tangan karena kepanasan, Ainun perlahan menatapku sekilas.
"Kalau bikin kopi pake gelas yang ada kupingnya biar aku gampang minum. "
Ainun terlihat mengabaikan perkataanku.
Mengangkat gelas dengan perlahan menuju ke bibir, syrup …. " Ahk, kopi apaan ini?"
Aku menatap ke arah Ainun, dimana ia tersenyum tipis, " Heh, kamu masukkan apa ke dalam kopiku?"
"Gula habis, jadi aku ganti pake garam!" jawabannya dengan begitu santai.
"Apa, ya kenapa kamu tak beli. Pantas saja rasanya nggak enak. "
Ainun berdiri, ia menaruh piring yang sudah tak tersisa nasi sedikitpun. Menyodorkan tangan ke arahku, " uangnya mana?"
Mengerutkan dahi, aku berdiri. " Bukannya kemarin sudah aku kasih uang lima puluh ribu, masa habis dalam sehari?"
Ainun tersenyum tipis, " Mas, uang lima puluh ribu itu mana cukup untuk beli beras, minyak, gula. Gas, lauk pauk untuk anak anak. Belum kopi kamu!"
" Pasti cukuplah, kamunya saja yang boros. Ini."
Aku mulai menyodorkan Uang dua puluh ribu pada istriku, " Ini jatah dapur."
Istriku melemparkan uang dua puluh ribu itu ke hadapanku, " Mas, uang segini mana cukup, membeli pampers si kembar juga nggak cukup, kamu ini gila ya, mas. "
"Kamu bilang aku gila, mana ada. Kamunya saja yang tak bisa mengatur uang, makanya jadi istri tuh jangan kerjaannya minta doang. Inisiatif dong. Cari kesibukan yang menghasilkan uang."
"Mas, boro boro aku bisa cari uang, kamu tahu sendirikan anak kita ada tiga, masih kecil kecil. Mana bisa aku melakukan semua itu, kalau kamu hanya memberiku uang lima puluh ribu seharinya."
"Ahk, pasti jawabanya uang. Kamu pikir lah pake otak. Di luar sana banyak istri yang nggak bergantung pada suami, mereka mandiri bisa mengurus anak, bisa cari duit. Lah, kamu. Contoh tuh si Sari, tetangga kita. "
Aku menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki, istriku terlihat dekil.
"Oh jadi itu yang kamu mau. "
"Ya."
"Baik kalau begitu. Aku akan menjadi wanita yang kamu inginkan. "
Istriku kini menggendong si kembar, membawa keduanya, ke kamar mandi.
"Ainun, aku berangkat kerja dulu. "Teriakanku tak dijawab sama sekali. Olehnya, membuat aku pergi dengan membanting pintu cukup lumayan keras.
Brakk ....
" Gimana mau bahagia, punya istri kerjaanya membantah, di kasih duit kurang mulu bilangnya. Ngerjain kerjaan rumah nggak becus. "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!