NovelToon NovelToon

My Beloved Rayshiva

Bagian 1

Salon Putri Ayu, Kota J

Salim, sopir keluarga Daniswara menepikan mobil sedan yang dikemudikannya di depan sebuah salon pengantin bernama Putri Ayu. Ini adalah kali ketiga Kana Levronka, putri tunggal Aris Daniswara yang merupakan salah satu pengusaha terkaya di kota J, mengunjungi salon tersebut bersama ibunya untuk mengepas gaun pengantin. Sama seperti dua kedatangan sebelumnya, Kana memasang ekspresi tak senang, mukanya ditekuk dan ogah-ogahan turun dari mobil.

Bahkan ketika pegawai salon memperlihatkan pakaian pengantin berbentuk A-line pilihan Kana beberapa hari lalu yang ukurannya sudah disesuaikan pun tidak membuat Kana tertarik. Ia hanya mengangguk singkat lalu kembali fokus pada layar ponselnya.

“Kana, udahan dong main hp-nya,” tegur Indah, mama Kana, “coba dulu baju pengantinnya supaya dilihat sudah pas atau belum.”

Kana menghela napas. Ia sama sekali tidak bersemangat dengan pernikahan yang akan dilaksanakan seminggu lagi, padahal itu adalah pernikahannya sendiri. Bagaimana bisa bersemangat jika pernikahan tersebut bukanlah hal yang ia inginkan.

Mungkin, sepuluh tahun lalu Kana menginginkannya, tapi sekarang tidak lagi. Tidak, setelah Kana tahu bahwa Rayshiva Paramayoga Hauf atau biasa dipanggi Ray, yang merupakan cinta pertamanya itu tidak seperti yang ia impikan.

Ray memang tetap ganteng, bahkan sepuluh kali lebih ganteng dibandingkan pemuda yang ditemui Kana sepuluh tahun lalu. Ray bertubuh tinggi, di atas 180 cm, tegap dan berwajah tampan. Seakan semua kelebihan tersebut tidak cukup, Ray juga berasal dari keluarga kaya raya. Ray punya semua material untuk calon pacar atau suami sempurna. Pokoknya, hidup dengan Ray pasti akan sempurna. Itu yang dulu Kana pikir.

Namun, sekarang Kana tidak menemukan kesempurnaan itu dalam diri Ray. Bagaimana bisa ia mendapatkan kehidupan pernikahan sempurna jika pria yang menjadi pasangannya tidak sempurna.

Ya, Ray punya satu kekurangan yang Kana anggap fatal, yaitu Ray hanya memiliki satu tangan. Sebuah kecelakaan yang dialami Ray tiga tahun lalu membuat pria itu kehilangan sebelah tangannya. Pria yang Kana idamkan sebagai suami sempurna, kini tidak lagi sempurna, dan Kana kehilangan keinginan untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan pria itu. Andai bisa Kana ingin lari dari pernikahan yang sudah diatur untuknya sejak sepuluh tahun lalu itu.

“Kana!”

Panggilan mamanya membuat Kana berdiri dan menghampiri pegawai salon yang menunggu dengan sabar.

“Silakan, di sebelah sini.”

Kana mengikuti pegawai salon yang membawanya memasuki ruang ganti. Kemudian ia mencoba gaun yang sebelumnya sudah dicoba beberapa hari lalu. Semula gaun itu kebesaran di bagian pinggang, tapi setelah disesuaikan ukurannya gaun putih gading itu melekat sempurna di tubuh Kana.

Sembari mematut dirinya di depan cermin, Kana berpikir bahwa gaun itu akan membuat acara resepsi pernikahannya sempurna, apalagi dengan make up dan tatanan rambut yang tepat, maka semua akan terasa lengkap.

“Anda membuat gaun ini terlihat luar biasa,” puji pegawai salon sembari menatap kagum pantulan Kana di cermin. “Kami punya tiara yang cocok untuk gaun ini, akan saya ambilkan.” Pegawai salon itu berlalu, membiarkan Kana sendiri di ruang ganti.

“Kana.”

Suara mamanya terdengar dari luar ruang ganti. Karena hafal tabiat sang mama yang tidak akan berhenti memanggil, kecuali ia muncul di hadapan wanita yang melahirkannya 27 tahun lalu itu, Kana melangkah ke luar ruang ganti. Ia berdiri di depan sebuah podium kecil berbentuk lingkaran dengan cermin berbentuk setengah lingkaran di bagian belakangnya.

Kana memasang senyum terbaik, karena tahu mamanya akan cerewet jika ia memasang wajah cemberut, lalu berbalik ke arah depan di mana ia yakin mamanya sudah menunggu.

Namun, bukan hanya Indah yang menunggu Kana di sana, ada seorang pria berambut panjang sebahu sedang bersama Indah.

“Kau terlihat sangat cantik ketika tersenyum.”

Ucapan pria itu membuat senyum Kana memudar. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya tak senang.

“Sama sepertimu, mencoba pakaian pengantinku,” sahut pria itu disertai senyum yang mampu membuat para wanita meleleh. Dulu, Kana juga termasuk wanita-wanita yang dibuat meleleh oleh senyuman itu, tapi sekarang tidak lagi.

Kana tidak akan terbuai pada senyum malaikat, wajah tampan yang terlihat maskulin, maupun rambut panjang yang mengikal sepanjang bahu milik pria itu. Tidak, Kana berjanji pada dirinya tidak akan terbuai, apalagi sampai jatuh cinta lagi. Karena ia tidak akan jatuh cinta pada pria tak sempurna itu. Di luar sana banyak pria dengan fisik sempurna yang menyukai Kana, kenapa ia harus terjebak dengan pria ini? Sungguh tidak adil!

Kana memberikan Ray tatapan menusuk, tapi pria itu mengindahkannya. Malah sibuk memuji Kana di depan Indah.

“Kana pasti akan membuat banyak wanita iri karena terlihat begitu cantik.”

“Kana yang dipuji, tapi Mama yang merasa malu.”

“Kenapa? Bukankah kecantikan Kana juga menurun dari Mama?”

Rasanya, Kana ingin muntah mendengar Ray memanggil Indah dengan sebutan Mama. Mereka bahkan belum menikah, tapi pria itu sudah menyebut orangtuanya Papa dan Mama, juga memberikan panggilan sayang pada Kana padahal jelas tahu kalau Kana tidak setuju untuk menikah.

Kana memandangi Ray, jika dilihat dari wajah Ray memang terlihat tampan. Sangat tampan bahkan, mirip Jerry Yan, salah satu aktor favorit Kana. Ray juga bertubuh tinggi dan atletis, apalagi rambut gondrong pria itu, membuat banyak wanita klepek-klepek.

Namun, kalau sudah melihat sisi kiri tubuh Ray, banyak wanita pasti mundur perlahan. Kana yakin 9 dari 10 wanita akan menolak menikahi Ray setelah melihat bahwa tangan kiri pria itu tidak ada. Siapa juga yang mau punya suami tidak sempurna? Meskipun Ray punya segala yang diinginkan oleh wanita, tapi satu kekurangan itu tetap menjadi nilai minus yang membuat banyak wanita akan mundur, termasuk Kana.

Sekali lagi Kana merutuki keputusan ayahnya untuk tetap melanjutkan perjodohannya dengan Ray, bahkan setelah tahu Ray kehilangan satu tangan. Harusnya pertunangan mereka dibatalkan. Kecacatan Ray sudah cukup menjadi alasan.

Kana benar-benar heran apa yang membuat kedua orangtuanya mau memaksanya menikah dengan Ray. Tidak mungkin karena kekayaan, karena jumlah kekayaan keluarga Daniswara tidak kalah dengan yang dimiliki oleh keluarga Hauf.

“Bukankah kau sendiri yang bilang kalau tidak akan mau menikah kecuali dengan Ray, dan ayah sudah mengabulkannya. Jadi, tepati janjimu, Kana.”

Ucapan ayahnya kembali terngiang di ingatan Kana. Membuat Kana begidik. Andaikan ia tidak pernah meminta untuk dijodohkan dengan Ray sepuluh tahun lalu, mungkin keadaannya tidak akan semenyedihkan saat ini.

“Hanii, kau baik-baik saja?”

Hanni, panggilan dalam bahasa Jepang yang berarti sayang atau honey itu memang terdengar manis, apalagi diucapkan dengan begitu lembut. Hanya saja, yang mengucapkannya adalah orang yang salah. Kana tidak suka Ray memanggilnya begitu. Jadi, ia melengos, tak menjawab pertanyaan Ray dan kembali masuk ke ruang ganti.

Bahkan saat pegawai salon datang membawa tiara dan veil, Kana mengabaikannya dan langsung berganti pakaian.

Bagian 2

Seminggu kemudian:

Pagi ini adalah saat yang Kana nantikan, bukan karena ia ingin segera menjadi istri dari Rayshiva Paramayoga. Namun, karena ingin melaksanakan rencana yang sudah disusunnya selama seminggu penuh.

Kana merencanakan pelarian tepat di hari pernikahannya, sebelum ijab diucapkan Kana akan melarikan diri. Setelah seminggu penuh berakting sebagai calon mempelai penurut, Kana tidak berkeinginan muncul di upacara pernikahan yang diatur oleh orangtuannya.

Beruntung, selama seminggu terakhir ia tidak bertemu lagi dengan Ray karena orangtuanya percaya kedua calon mempelai tidak boleh bertemu seminggu sebelum pernikahan sehingga semakin mudah berakting menjadi calon pengantin penurut. Karena sikap penurutnya pula, tidak ada pengawasan penuh terhadap Kana. Ia hanya ditemani sepupunya Melisa yang berulang kali mengatakan bahwa Kana beruntung bertemu pria seperti Ray.

Ingin sekali Kana mengatakan, “Silakan, kau saja yang menikah dengan Ray.”

Namun, ia tidak bisa mengatakannya. Kana berpura-pura bahagia dengan rencana pernikahannya, bahkan bersemangat mengikuti acara pesta gadis yang diatur Melisa. Meskipun tidak menyukai calon suaminya, setidaknya Kana bisa menikmati pesta menyenangkan bersama teman-temannya sebelum melarikan diri ke tempat yang jauh.

Kana sadar bahwa jika melarikan diri, ia akan kehilangan kehidupannya yang sekarang. Tidak ada lagi kartu debit maupun kredit yang dapat digunakan sesuka hati, maupun mobil mewah, tempat tidur nyaman, dan berbagai fasilitas lainnya. Ia harus bertahan dengan sedikit uang tunai yang sudah disimpannya dan harus mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya.

Untuk sementara Kana harus melakukan semua itu. Nanti, jika kemarahan orangtuanya sudah mereda, ia akan kembali. Kana yakin kesalahannya akan dimaafkan, karena ia adalah anak semata wayang orangtuanya. Pasti orangtuanya tidak akan menyimpan kemarahan terlalu lama dan mengerti situasinya.

Kana mematut penampilannya di depan cermin, dengan kemeja putih dan rok hitam di bawah lutut yang digunakannya, ia akan menyelinap keluar dari kamar, pergi melalui pintu belakang, dan naik ke mobil Denish yang sudah menunggu.

Setengah jam lalu Denish sudah mengiriminya pesan bahwa akan sampai dalam lima belas menit. Sekarang pria yang sudah mengagumi Kana sejak setahun lalu itu pasti sudah sampai. Denish adalah putra dari rekan bisnis ayahnya, pria itu sudah pernah menyatakan cinta pada Kana, tapi Kana tolak karena tidak terlalu suka wajah manis milik Denish.

Namun, kini Kana terpaksa berpura-pura menerima pria itu agar bisa mendapatkan bantuan melarikan diri. Denish sudah memesankan tiket pesawat ke Swiss untuk Kana dan mengatur transportasi hingga ke bandara. Bahkan Denish sudah mengatur tempat tinggal Kana selama di Swiss. Setidaknya, pelarian ini tidak akan benar-benar membuat Kana menderita.

Kana meraih gantungan berisi pakaian yang akan digunakannya sebagai baju ganti. Lapisan bagian luar menutupi pakaian tersebut dan itu merupakan kamuflase yang bagus. Kana mengenakan masker dan rambut palsu sehingga terlihat seperti pegawai event organizer, tidak akan ada yang menyadari bahwa ia sebenarnya adalah calon mempelai, kecuali jika bertemu salah satu keluarganya.

Jadi, Kana bergegas mengendap-endap sementara belum ada yang datang ke kamar untuk mengecek keadaannya. Untung tadi ia meminta Melisa membelikannya bubur ayam di tempat yang cukup jauh sehingga akan memakan waktu hingga sepupunya itu kembali, dan MUA baru akan datang setengah jam lagi untuk mendandaninya.

Waktu yang dimiliki Kana tidak banyak, sebelum Melisa kembali ia harus sudah dalam perjalanan ke bandara.

Melangkah cepat keluar dari kamar, kemudian menuruni tangga dan langsung mengarah ke dapur. Di kejauhan, ia mendengar suara mamanya yang sedang berbicara dengan staf EO, ada rasa bersalah muncul. Namun, segera ia enyahkan. Mamanya pasti akan mengerti, karena seumur hidup terlalu lama untuk dihabiskan dengan orang yang salah, terlebih lagi seseorang yang cacat.

Kana mempercepat langkah, melewati dapur yang sibuk, kemudian berada di halaman belakang. Ia benar-benar beruntung, karena orang-orang terlalu sibuk sehingga tidak sempat memerhatikannya. Bahkan ketika berpapasan dengan sesama staf EO tidak ada yang menegurnya. Sepertinya, semua orang terlalu sibuk memenuhi keinginan Aris dan Indah Daniswara yang ingin pernikahan putri mereka sempurna.

Sebelum keluar dari pintu pagar belakang, Kana memandang rumahnya sekali lagi. Ada rasa sedih ketika harus meninggalkan rumah itu, tapi segera ditepisnya perasaan itu. Ia telah mengambil keputusan tepat dengan lari dari pernikahan yang dipaksakan untuknya.

Kana langsung menemukan mobil Denish, sebuah sedan hitam yang tampak mewah. Dalam hati ia merutuk sifat Denish yang suka pamer, bahkan ketika hendak membawanya kabur pria itu masih memamerkan kekayaan padahal Kana sudah berpesan agar membawa mobil yang tidak menarik perhatian.

Tidak ingin membuang waktu dengan mengomel, Kana bergegas menghampiri mobil dan naik ke kursi belakang. Ia tidak mengenali pria yang duduk di belakang kemudi, tapi jelas bukan Denish. Sepertinya Denish mengutus sopir untuk membantu pelarian Kana. Denish ingin main aman, dan Kana tidak ingin ambil pusing. Lagi pula, sekarang sudah tidak sempat memprotes. Hal terpenting adalah segera sampai ke bandara.

“Apa Denish menunggu di bandara?” tanyanya pada sopir tersebut.

Pria itu hanya memberi anggukan singkat.

“Ya sudah, cepat jalan.”

Jantung Kana berdebar kencang sementara mobil melaju. Ia tidak memerhatikan ke depan, tapi sibuk meliha ke belakang, memastikan belum ada yang berlari muncul dari pagar untuk mengejarnya.

“Aku akan ganti baju,” ujar Kana setelah mereka berada cukup jauh dari rumahnya, “Jangan mengintip!” Ia memperingatkan. Meskipun jendela mobil dipasangi kaca yang membuat orang di luar tidak bisa melihat ke dalam, tapi sopir di kursi depan masih bisa melihat saat Kana berganti pakaian.

Walaupun memakai kamisol serta celana selutut di balik pakaian penyamarannya, Kana tetap tidak mau orang tidak dikenal mengintipnya berganti pakaian. Jadi, ia memaksa sopir menutup spion atas sebelum berganti pakaian.

Tidak sampai lima menit, Kana sudah melepas seragam staf EO dan memakai kaos oversize beserta celana olahraga. Untuk pakaian yang akan digunakan sesampainya di Swiss sudah diatur oleh Denish. Sekarang hanya perlu sampai ke bandara.

Kana memandang ke luar jendela dan menyadari mereka belum memasuki jalan tol ke bandara. “Tunggu, ini bukan jalan ke bandara,” protes Kana.

“Memang bukan, kita akan ke bandara setelah menjemput penyelamatmu.”

Penyelamat? Terlalu berlebihan jika Denish disebut penyelamatnya, karena yang dilakukan pria itu tidak lebih dari mengikuti rencana Kana. Bisa dikatakan Kana menyelamatkan dirinya sendiri, dengan bantuan Denish. Namun, ia tidak mau protes sekarang. Biarkan saja Denish berpikir sebagai penyelamat Kana untuk sementara ini, yang penting ia bisa kabur.

“Di mana?” tanya Kana.

“Dia menunggu dengan tidak sabar di rumah,” jawab sopir, “sebentar lagi kita sampai.”

Jawaban sopir Denish sungguh membuat penasaran, tapi Kana enggan bertanya lebih jauh. Ia membiarkan perjalanan berlanjut dalam keheningan. Keheningan yang membuat kantuk menghinggapi Kana, bahkan belum sampai lima menit ia sudah tertidur. Semalam Kana nyaris tidak tidur sehingga membuatnya terlelap di waktu genting.

“Kita sudah sampai.”

Ucapan sopir yang cukup nyaring membuat Kana terbangun karena terkejut. Kepalanya langsung terasa sakit karena dibangunkan dengan cara kurang menyenangkan. Nanti ia akan melayangkan protes pada Denish mengenai pelayanan sopir tersebut.

Kana mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengusir kantuk sebelum akhirnya melihat ke luar jendela. Seketika ia menelan saliva, matanya tak berkedip memandang rumah besar yang terlihat dari jendela mobil.

Ia mengenali rumah itu, karena sering datang bertandang sejak masih kecil. Seringkali diajak orangtuanya, dan beberapa kali datang hanya untuk menemui cinta pertamanya sepuluh tahun lalu.

“Selamat datang di kediaman Keluarga Hauf, Calon Kakak Ipar.”

Kepala Kana tertoleh ke arah kursi pengemudi. Wajahnya seketika memucat setelah sopir membuka masker. Sopir itu ternyata Ragnala Sayudha, adik dari pria yang akan dinikahinya.

Bagian 3

“Hanii.”

Sapaan santai dari Ray tidak mengurangi ketegangan suasana yang Kana hadapi. Selepas Ragnala atau Nala turun dari mobil, Ray masuk dan duduk di samping Kana. Pria itu terlihat tenang, bahkan menyapa dengan santai, membuat kegugupan Kana makin meningkat.

Banyak tanya berkecamuk dalam pikiran Kana, mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa rencana pelariannya bahkan berakhir di depan rumah calon suami yang hendak ditinggalkannya. Apakah semua ini kebetulan, atau rencananya memang sudah diketahui sejak awal? Kana benar-benar tidak bisa menemukan jawabannya.

“Aku tahu kau bingung.”

Kana tidak berani mengarahkan pandangan ke pria di sampingnya. Namun, ia menanti lanjutan kata-kata Ray. Sepertinya, Ray lebih memahami situasi saat ini dibandingkan dirinya.

Tepat saat Ray hendak melanjutkan, handphone Kana bergetar, panggilan masuk dari Denish.

“Jawab saja,” ujar Ray menjawab keragu-raguan Kana untuk menjawab telepon tersebut.

“Kau di mana?” Pertanyaan beserta protes dari Denish terdengar di seberang line. “Aku sudah menunggumu lebih dari satu jam, tapi kau belum muncul juga. Apa kau berniat membodohiku?”

Denish benar-benar egois, bukannya khawatir terjadi sesuatu pada Kana, pria itu malah khawatir dibodohi. Jika benar peduli padanya, Denish pasti akan bertanya ada apa, bukannya malah protes dan menuduhnya.

“Kalau kau tidak muncul juga, aku pulang saja. Sepertinya, kau lebih memilih menikah dengan pria bertangan satu itu dibandingkan pergi denganku?”

Hati-hati Kana melirik Ray yang duduk di sampingnya. Pria itu terlihat tidak terganggu padahal mendengar suara Denish yang berteriak di telepon.

“Kana, Sayang. Kau tidak benar-benar memilih pria cacat itu, kan? Kau masih ingin pergi denganku, kan?”

Sekarang suara Denish terdengar merayu, membuat Kana merasa pria itu benar-benar tidak bisa dipegang ucapannya dan tidak punya pendirian. Rasanya, ia ingin berteriak agar Denish pulang saja. Lagi pula, rencananya sudah hancur berantakan, karena ia naik mobil yang salah. Harusnya, Kana naik mobil Denish, bukannya mobil Nala.

“Maaf, Denish, sebaiknya kau pulang saja, aku─”

“Kau benar-benar memilih pria itu?! Aku tidak habis pikir! Bukannya kau yang bilang tidak bisa menikah dengannya dan meminta bantuanku. Jadi, kau mempermaikanku. Dasar ja*an*!”

Kana belum sempat membalas, karena ponselnya direbut oleh Ray.

“Sebaiknya, kau pulang dan pastikan tidak pernah berhubungan lagi dengan Kana. Karena dia akan menikah denganku, seseorang yang tidak akan menyebutnya dengan sebutan kasar sepertimu. Jika kau masih mengganggu Kana, kau akan mengenal siapa Rayshiva Paramayoga Hauf sebenarnya.”

Setelah mengucapkan kalimat panjang yang ditutup dengan ancaman tersebut, Ray mematikan sambungan dan mengembalikan handphone Kana.

Untuk sesaat Kana hanya bisa memandangi Ray tanpa bisa berkata-kata. Ray membelanya, hal ini benar-benar tidak Kana sangka. Kana pikir Ray akan marah karena ia coba melarikan diri, tapi pria itu malah terlihat santai. Kemarahan Ray baru terlihat ketika Denish menghina Kana.

“Sudah siap masuk ke dalam?” tanya Ray kemudian.

Kana menggeleng. Ia benar-benar tidak siap masuk ke rumah keluarga Ray, pasti di sana sudah berkumpul keluarga Ray dan keluarganya juga.

“Kau ingin penjelasan?”

Kana mengangguk, kepalanya kembali tertunduk.

“Aku sudah tahu kau berencana kabur, Jadi, kusiapkan rencana antisipasi,” kata Ray.

“Dari mana kau tahu?” Kana tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dalam hati ia bertanya-tanya bagaimana bisa Ray mengetahui rencananya. Kana tidak memberitahu siapapun, kecuali Denish. Apa Denish membocorkannya? Tidak. Dari kata-kata Denish tadi sepertinya pria itu tidak membocorkan rencana mereka pada siapapun.

“Kau yang membocorkannya.” Kata-kata Ray menjawab pertanyaan di kepala Kana.

“Ba-bagaimana bisa?” Kana semakin kebingungan.

Ray tertawa kecil dan Kana dibuat takjub oleh tawa tersebut, karena sebelumnya tidak pernah melihat Ray tertawa. Tersenyum pernah, tapi tawa Ray tak pernah Kana lihat dan dengar. Ternyata tawa Ray sama damage-nya dengan senyum pria itu yang membuat jantung wanita berdebar-debar.

“Kau ini polos sekali, makanya rencanamu bocor tanpa kau sadari.”

“Bagaimana bisa kau tahu?” Kana menuntut penjelasan.

“Seminggu terakhir kau terlalu penurut, tidak ada protes, dan sikapmu terlalu baik. Itu sudah cukup membuatku curiga.”

Kana memberengut. Bagaimana bisa sikap kamuflase yang disengaja Kana untuk menutupi rencananya malah membuat rencana itu terbongkar.

“Sebelumnya, kau selalu menentang pernikahan ini, tapi tiba-tiba bersikap penurut. Bukankah itu mencurigakan?”

Kana memelototi Ray. “Jadi, kau memata-mataiku?”

“Tentu saja, aku tidak ingin pengantinku kabur.”

“Aku tidak mau menikah denganmu!”

“Tapi aku mau.”

Kata-kata Ray membuat Kana naik pitam. “Kau tidak boleh memaksakan kehendakmu padaku. Kau tidak bisa memaksaku menikah denganmu!”

“Kenapa tidak? Kau sendiri melakukannya kepadaku sepuluh tahun lalu. Kau memaksaku menjadi tunanganmu, memaksaku berjanji hanya akan menikah denganmu. Yang kulakukan sekarang hanya menagih janji itu. Apa kau akan mengingkari janjimu?”

“Tapi janji itu dibuat sebelum─”

“Sebelum aku jadi pria cacat yang tidak layak untukmu?” Ray melanjutkan kalimat Kana.

“Bu-bukan begitu maksudku. A-aku─”

“Aku mengerti,” ujar Ray, “sepuluh tahun yang lalu kau menganggapku layak, tapi sekarang aku tidak layak lagi.”

Kana menggigit bibir. Apa yang dikatakan Ray benar sehingga tidak ada balasan bisa ia berikan. Kana memang merasa Ray yang sekarang tidak layak untuknya. Seharunya, jika Ray mengerti hal itu, pria itu akan membatalkan rencana pernikahan mereka.

“Meskipun aku tahu tidak layak untukmu, tapi aku tetap ingin kau menjadi istriku. Jadi, hari ini kita akan tetap menikah, entah kau bersedia atau tidak.”

Belum sempat Kana membalas ucapan Ray, pria itu sudah membuka pintu dan beranjak turun. Kemudian Ray mengatakan satu kalimat lagi sebelum turun, “Kalau kau masih punya hati, kau tidak akan mengikari janjimu.”

Kana duduk lama di dalam mobil setelah kepergian Ray. Ia memikirkan banyak hal. Salah satunya janji yang dibuatnya sepuluh tahun lalu.

Sepuluh tahun lalu, Kana jatuh cinta pada Ray yang tampan dan memesona. Meskipun Ray lebih tua lima tahun darinya, Kana tetap nekad menyatakan cinta, bahkan terang-terangan mengejar Ray. Puncaknya, Kana merengek pada ayahnya untuk menjodohkan dirinya dengan Ray.

Karena terlalu sayang pada putrinya, akhirnya Aris mengatur perjodohan dengan keluarga Hauf. Kana tidak tahu bagaimana caranya hingga akhirnya perjodohan itu terjadi. Kana sangat senang bisa mendapatkan Ray, tapi Ray tidak. Saat itu, Ray mengajukan syarat bahwa mereka akan menikah sepuluh tahun kemudian.

Lalu Ray pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Kana kehilangan kontak dengan tunangannya itu. Mulanya, Kana sedih karena berpisah dengan Ray, tapi lama-lama terbiasa dan mulai melupakan Ray. Bahkan Kana merasa janji yang diucapkan waktu itu tidak lagi berlaku.

Hingga Ray datang kembali dalam kehidupannya beberapa bulan lalu dan janji itu kembali mengemuka. Bukannya Kana tidak mau menepati janji. Andai saja keadaannya berbeda, mungkin ….

“Kalau kau masih punya hati, kau tidak akan mengikari janjimu.”

Kata-kata terakhir Ray padanya kembali terngiang.

“Anggap saja, aku tidak punya hati,” kata Kana setelah memantapkan diri untuk menolak pernikahan dengan Ray.

Namun, penolakan Kana hanya tinggal penolakan. Ketika ayahnya datang dan membuka pintu mobil, kemudian berkata, “Kau harus menikah dengan Ray, jika tidak kau akan kehilangan ayahmu ini untuk selamanya.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!