NovelToon NovelToon

DIBALIK PENYAMARAN SANG CEO

Santai

Seorang pria sedang merebahkan diri di atas kasurnya. Pria itu tampak sedang menikmati alunan musik yang terdengar di telinganya. Ia bersantai ria di siang ini. Tapi sayang, harus terhenti karena suara ketukan di pintu kamarnya.

"Siapa?!" tanyanya seraya berseru dari dalam.

"Tuan Muda, Tuan Besar memanggil Anda. Tuan diminta untuk segera menemuinya." Seseorang yang mengetuk pintu itu pun mengabarkan.

"Dia sudah pulang?!" tanya pria yang malas-malasan.

"Tuan Besar menunggu di ruang kerjanya. Sedang Nyonya masih ada pertemuan," cetus seseorang yang mengetuk pintu.

"Baiklah. Nanti aku menyusul," katanya lalu mendengarkan lagu kembali.

"Baik, Tuan." Seseorang itu pun berpamitan.

Ialah Hyung, putra tunggal dari pasangan bos besar sebuah perusahaan literasi ternama. Tapi ia terlihat malas untuk menemui ayahnya. Padahal pengawal sang ayah sudah meminta untuk segera menemuinya. Tapi Hyung tetap malas-malasan. Ia lebih suka berdiam diri di dalam kamar sambil mendengar lagu kesukaan.

Beberapa menit kemudian...

Siang ini keadaan rumah besar begitu sepi. Maklum, rumah seluas lapangan sepak bola itu tidak ada yang mengisi. Hanya ada pelayan dan juga beberapa penjaga. Sedang pemilik asli dari rumah itu melalang buana.

Kini pria bersweter cokelat itu mendatangi ruang kerja ayahnya. Ia tampak malas-malasan ke sana. Tapi pengawal sang ayah sudah berulang kali mendatanginya. Alhasil ia pun menemui ayahnya segera. Pintu ruang kerja itupun terbuka. Hyung segera menghampiri ayahnya.

"Lama sekali. Kamarmu ke ruangan ini tidak dari Amsterdam ke Barcelona," sindir sang ayah kepada putra satu-satunya. Ia masih menulis sesuatu di atas meja kerjanya.

Pria bersweter cokelat itu duduk di kursi, di depan meja kerja ayahnya. "Ada apa? Mengapa memanggilku?" Hyung segera menanyakannya.

Sang ayah meletakkan penanya. "Kau sudah satu tahun menganggur. Tidak ada niat untuk bekerja?" tanya pria berkaca mata itu.

Hyung mengembuskan napas malasnya. "Ayah sudah kaya. Untuk apa aku bekerja?" Hyung menjawabnya.

Sang ayah menghela napas. Ia menyandarkan punggung di kursinya. "Jadi kau ingin hidup dengan meminjam kaki ayah terus? Usiamu sudah dua puluh delapan tahun. Kau harus segera bekerja untuk masa depanmu. Karena ayah tidak bisa selamanya bekerja untukmu." Sang ayah menuturkan.

Hyung mengerti apa maksud perkataan ayahnya. Tapi ia masih malas untuk memenuhi permintaan ayahnya. "Apakah ini ancaman untukku?" Ia menanyakannya.

Sang ayah mendekatkan wajahnya. "Suatu saat kau akan berkeluarga. Punya anak dan membutuhkan biaya hidup yang banyak. Ayah akan segera membuka cabang baru. Jadi alangkah baiknya kau mempersiapkan diri untuk memimpin di cabang lama." Sang ayah menuturkan tujuannya.

Hyung mengerutkan bibir. Ia ingin menolak. "Bagaimana jika aku tidak mau?" Ia merasa keberatan.

Sang ayah tersenyum menyeringai kepada putranya. "Semua fasilitasmu akan dicabut. Kau akan jadi gelandangan di luar. Jadi pikirkan baik-baik hal itu, Putraku." Sang ayah menekankan nada bicaranya dengan intonasi yang mematikan.

Hyung pun menelan ludahnya. Ancaman sang ayah seperti akan benar-benar diwujudkan. Ia pun berpikir cepat mengenai hal ini. Ia tidak ingin benar-benar terjadi. Menjadi gelandangan tak berarah di luar sana.

"Baiklah. Tapi beri aku waktu satu bulan untuk mempersiapkan diri," pinta Hyung kepada ayahnya.

"Itu tidak masalah." Ayah Hyung pun tidak keberatan dengan permintaan putranya. Ia tersenyum penuh makna kepada putra tampannya.

Persiapan Menjadi Pimpinan

Sang ayah pun mengakhiri pembicaraannya. Sedang Hyung tahu apa yang harus dilakukannya. Saat itu juga sang ayah menyerahkan beberapa dokumen untuk dibaca. Pada akhirnya pria pemalas itu menerima pekerjaan dari ayahnya. Memimpin sebuah perusahaan literasi besar.

.........

...Hyung...

.........

Malam harinya...

Ah, aku malas sekali. Sungguh malas mengenakan pakaian yang merepotkan ini.

Malam telah datang. Bintang-bintang pun bertaburan di langit malam. Mereka menjadi saksi kemalasan Hyung saat diminta mengenakan pakaian formal oleh pelayan kediaman ayahnya. Ia pun merasa frustrasi dan ingin segera melarikan diri. Tapi jadwal penerbangan sudah ditentukan sang ayah. Hyung harus berangkat esok pagi juga. Sehingga mau tak mau ia harus menyiapkan perbekalan malam ini.

"Sudah-sudah. Sudah cukup. Siapkan saja beberapa pakaian. Aku mengantuk." Hyung pun lekas pergi meninggalkan ruangan fitting baju.

"Tapi Tuan Muda--"

Hyung pun segera mengangkat tangannya agar pelayan tak lagi bicara. Pelayan di kediaman sang ayah pun hanya bisa berdiam diri saja. Ia tak mampu melawan perkataan tuannya. Sementara Hyung lekas menuju kamarnya. Ia ingin beristirahat segera.

"Hah ...."

Tak lama ia pun sampai di kamarnya. Hyung segera duduk di pinggir kasur lalu mengambil sesuatu dari dalam laci meja kecilnya. Sebuah arloji pun ia buka.

"Nenek, masa itu sudah tiba. Ayah memintaku untuk berangkat besok pagi. Dia benar-benar tak bisa melihatku menganggur lama di sini."

Hyung pun berbicara kepada foto mendiang neneknya yang ada di dalam arloji tersebut. Yang mana Hyung kecil berfoto bersama neneknya. Hyung pun memeluk arloji itu. Ia merindukan sang nenek yang menyayanginya.

Enam tahun lalu...

Hyung sedang asik mencuci piring di dapur kediaman neneknya. Hari yang beranjak siang membuat Hyung harus cepat-cepat merapikan rumah. Dan kini ia sedang membilas piringnya. Namun, tak lama sang nenek pun memanggilnya.

"Hyung! Cepat ke sini! Bantu nenek mengangkat akar pohonnya!"

Dan begitulah yang dikatakan sang nenek kepadanya. Padahal pekerjaan mencuci piring belum selesai juga ditangani olehnya.

"Iya, Nek! Tunggu!"

Hyung pun dengan terburu-buru membilas cucian piringnya. Ia segera meletakkan ke rak lalu mencuci tangannya. Ia lekas berjalan ke halaman belakang rumah untuk membantu neneknya.

"Matahari sudah terik. Cepat pindahkan akar pohon ini ke potnya. Tata dia di sana. Yang rapi ya." Begitulah yang sang nenek katakan kepadanya.

"Baik, Nek." Hyung pun menurutinya.

Nenek Hyung adalah ibu kandung dari ayah Hyung sendiri. Namun, sejak kecil Hyung tinggal bersama neneknya. Sang ayah maupun ibu Hyung sibuk merintis bisnis dari kota ke kota. Alhasil Hyung tidak ada yang menjaganya. Hyung pun dititipkan kepada neneknya. Karena jika menyewa pengasuh, ibu Hyung tidak percaya anaknya akan terjaga. Dan kini sudah dua puluh tahun berlalu saja. Hyung pun sudah dewasa.

Hyung sendiri adalah seorang pemuda yang lembut hatinya. Ia sudah terbiasa bekerja rumahan untuk membantu neneknya. Hyung pun mengemban pendidikan di universitas ternama. Tentunya dengan biaya dari sang ayah. Tapi untuk bertemu dengan ayahnya sendiri, Hyung mengalami kesulitan. Apalagi dengan ibu yang sibuknya luar biasa. Hyung terbiasa tanpa orang tua.

Dia sudah dewasa sekarang.

Sang nenek pun melihat kegigihan Hyung yang membantunya. Ia merasa bangga mempunyai seorang cucu seperti Hyung. Rajin dan juga bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Curhatan Nenek

"Nenek, apakah harus langsung disiram pohonnya?" tanya Hyung ke neneknya.

"Tidak perlu. Nenek baru saja memberinya pupuk. Tanahnya juga masih basah. Biarkan saja di situ. Sekarang masaklah untuk makan siang kita," pinta neneknya.

"Baik, Nek."

Hyung mengangguk. Ia lekas mencuci tangannya lalu kembali ke dapur. Hyung akan memasak makan siang hari ini. Sang nenek pun lekas membersihkan diri. Pekerjaan di taman belakang rumah sudah selesai. Waktunya untuk bersantai.

Malam harinya...

Rintik hujan mulai turun membasahi dedaunan di taman. Hyung pun sedang giat belajar di dalam kamarnya. Sebentar lagi ujian akhir akan segera tiba. Sang nenek pun membawakan secangkir susu dan juga roti basah untuk cucunya.

"Kapan kau mulai ujian?" tanya sang nenek seraya meletakkan susu dan roti ke meja di sebelah Hyung.

"Lusa sudah ujian, Nek. Doakan aku ya," pinta Hyung.

Sang nenek duduk di pinggir kasur cucunya. Di tengah kamar sederhana dengan perabotan seadanya. "Nenek selalu mendoakanmu. Kau harus jadi orang sukses suatu hari nanti. Tanpa perlu mengandalkan ayahmu lagi." Sang nenek berdoa untuk Hyung.

Hyung meletakkan penanya. Ia merasa sang nenek ingin bicara lebih lanjut. Ia pun memutar kursi belajarnya ke arah sang nenek.

"Nenek pasti merasa kesepian. Tapi bukannya ada aku, Nek?" Hyung ikut merasakan apa yang neneknya rasakan.

Sang nenek menghela napasnya. "Sejak kakekmu meninggal, nenek merasa dunia ini begitu sepi sekali. Terlebih ayahmu tidak bisa sering ke sini. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Begitu juga dengan ibumu yang amat terobsesi menjadi orang kaya. Nenek seperti tidak mempunyai teman untuk bercerita." Nenek mencurahkan isi hatinya.

Hyung merenungi hal ini. Ia lalu pindah duduk ke dekat neneknya. "Tapi bukankah Nenek bisa bercerita padaku?" tanya Hyung lagi.

Sang nenek menunduk. Ia tampak merenungi sesuatu. "Nanti jika waktunya sudah tiba, carilah wanita yang setia. Jangan mau senangnya saja. Tapi jangan juga terlalu terobsesi dengan dunia. Yang biasa-biasa saja." Sang nenek berpesan.

Saat itu juga Hyung menelan ludahnya. Ia melihat raut wajah nenek yang berubah sedih seketika. Hyung pun memeluk neneknya.

"Aku belum memikirkan hal itu, Nek. Aku masih ingin menyelesaikan studiku. Aku ingin S3." Hyung menuturkan.

Sang nenek mengusap wajah cucunya. "Nenek yakin suatu saat kau akan menemukan seorang wanita yang bisa menyayangimu apa adanya. Yang mau menerima kekuranganmu dan juga mensyukuri kelebihanmu. Carilah wanita yang penyayang terhadap keluarganya. Terutama ibunya. Karena jika dia sayang kepada ibunya, maka dia bisa menyayangimu dan juga anak-anakmu. Terlebih dia juga menyayangi keluargamu dan juga kedua orang tuamu." Sang nenek berkata lagi.

Hyung melepaskan pelukan. "Nenek mengapa berkata seperti itu?" Hyung tak mengerti.

Nenek Hyung tersenyum kecut. "Nenek ini tidak selamanya bisa bersamamu. Suatu saat nenek akan pulang dan menemui kakekmu di sana. Jadi nenek berpesan dari sekarang," tutur neneknya lagi.

Hyung memasang wajah cemberut. "Aku tidak mau mendengar yang aneh-aneh, Nek. Lebih baik Nenek beristirahat saja. Sudah lekas tidur sana!" Hyung pun meminta neneknya beristirahat segera.

"Hah, dasar anak muda."

Sang nenek pun diusir oleh cucunya. Ia kemudian segera pergi dari kamar Hyung. Terlihat Hyung yang memasang wajah cemberut kepada neneknya. Sedang sang nenek tertawa lalu menutup pintu kamar cucunya.

Cucuku, kau sudah besar. Kau harus bisa mandiri sekarang.

Nenek Hyung pun kembali ke kamarnya. Menutup malam dan membiarkan sang cucu belajar. Ia berdoa yang terbaik untuk cucu semata wayang, Hyung seorang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!