NovelToon NovelToon

Dicintai Serigala Bunian

1. Prolog (POV Runi)

"Saat ini, kamu adalah istriku, Runi! Kamu tidak bisa lari lagi dariku!" Kuat dan menggelegar, suara membahana itu terdengar begitu menuntut bagiku.

"Bagaimana bisa?" aku mengernyitkan keningku, sama sekali tak mengerti apa yang ia katakan baru saja.

"Darahmu mengalir dalam nadiku. Begitu pula separuh mustikaku bersemayam dalam tubuhmu, Runi. Perjanjian darah yang kita lakukan sudah cukup menjelaskan segalanya."

"Aku tidak pernah memintanya, Candra! Aku tidak pernah memintamu untuk melakukan perjanjian bodoh itu!" lirih dan bergetar, aku mulai bersuara. Kutatap manik matanya yang berpijar merah dengan begitu lekat. Jujur, aku bisa melihat cinta yang begitu besar di dalamnya.

"Perjanjian bodoh kamu bilang? Dengar, Runi! Itu bukan perjanjian biasa. Yang aku lakukan padamu adalah sebuah perjanjian darah! Aku hanya sedang menyelamatkan nyawamu!" Frustasi, dia menatapku dengan sorot mata yang terluka. Pijar merah dalam manik matanya terlihat begitu redup dan merana.

"Aku juga sama sekali tidak pernah memintamu untuk menyelamatkanku! Lalu, kenapa kamu tidak membiarkanku mati saja?" teriakku dengan berapi-api. Air mataku luruh demikian derasnya. "Aku lebih baik memilih mati saat itu, Candra! Aku sudah kehilangan segalanya. Suamiku, juga janin yang sedang bertumbuh dalam rahimku. Semua hilang! Semua pergi meninggalkanku!"

***

Ya, sudah seharusnya aku mati saat Aswini, ibu mertuaku, dan Widuri, kekasih gelap suamiku, merencanakan sebuah rekayasa pembunuhan untukku. Bahkan aku tak tahu di mana rimbanya keberadaan Raka, suamiku pada saat itu.

Aku benar-benar dalam keadaan tak berdaya, sepi, sendiri, dan terluka. Perih menyayat dengan kesadaran yang sudah berada di awang-awang. Nafas yang begitu berat dan sesak hingga rasanya tak ada lagi udara yang diijinkan masuk ke dalam paru-paruku. Seluruh tulang dan sendiku seakan hendak terlepas dari tubuhku. Bau anyir menyeruak yang kuyakini adalah bau darahku sendiri. Nyawaku seakan sudah berada di ujung tanduk dan rasanya mungkin hanya dalam sepersekian detik lagi ia akan terlepas dari raga ini.

Hingga di detik berikutnya, seseorang yang tak kukenal datang. Ia datang, mengungkung tubuh tak berdayaku di bawah tubuhnya yang besar dan kekar. Aku bahkan mengira dirinya malaikat maut, saking hilangnya sadarku.

Ia mendekat, pijar berwarna merah terang terlihat di mata elangnya. Namun, dari pandangku yang amat terbatas, bisa kulihat sorot yang ia tampilkan begitu sayu dan redup.

Ya, ia menangis.

Mata berpijar merah itu mendekat. Dalam kesadaran yang sudah begitu tipis, aku bisa merasakan lembut bibirnya menyapa bibirku.

Apa yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar nalarku. Sebuah cahaya keperakan berpendar silau muncul di antara dua bibir kami yang saling bertemu. Aku tak tahu dari mana asalnya, namun dalam kesadaranku yang berada di awang-awang, aku hanya melihat secercah cahaya. Dan setelah cahaya itu hilang entah ke mana, kedua mataku membuka sempurna.

Rasa hangat menyelimutiku. Deraan rasa sakit, perih, dan sesak perlahan sirna dari tubuhku. Tulang belulang dan persendian yang tadi kurasa berantakan, kini tak kurasakan lagi nyeri dan linunya.

Aku mengerjapkan kedua mataku begitu sadar sepenuhnya. Lalu tepat di hadapanku, mungkin hanya sejengkal jaraknya dariku, seraut wajah tampan yang tak kukenal sama sekali, dengan gores rahang yang tegas sedang menatapku dengan ekspresi penuh kekhawatiran.

"Siapa kamu?" pertanyaan itu yang justru pertama kali aku ucapkan. Lalu, dia yang terkejut segera menjauhkan diri dariku.

"Maaf," ucapnya seraya tertunduk.

Aku yang baru menyadari apa yang ia lakukan baru saja kepadaku, mulai tersulut emosi. Aku mengangkat tangan kananku ke udara, lalu kukumpulkan seluruh kekuatanku di sana.

'Plaaaak!!!'

Satu tamparan keras berhasil kudaratkan di wajahnya. Cambang tipis yang sedari tadi kulihat membingkai wajah tampan itu, kini bisa kurasakan dengan indera perabaku. Sedikit kasar, namun, ah ... Entahlah!

"Apa yang kamu lakukan kepadaku?!" Tanyaku dengan nada tinggi. Aku sangat kesal. Aku melotot padanya, menunjukkan seberapa jengkel aku padanya.

"A-aku ..." Dia terbata, tak bisa menjawab apa pertanyaanku.

"Apa kamu menciumku?" Tanyaku dengan pipi yang kurasakan memerah. Aku merasa sangat malu sekarang. Lalu aku kembali melanjutkan omelanku padanya, "Hih! Dasar cowok mesum!"

Tanpa muduga, ia menyengir lebar. Menggaruk belakang kepalanya, ia berkata kepadaku. Mungkin ia ingin memberikan alasan. Namun sepertinya ia tak bisa menyelesaikan apa yang ia katakan. Ucapannya terputus. "Maaf. Aku cuma ... "

"Nggak usah cuma-cuma! Bisa pergi nggak dari atasku?!" Kuusir dirinya yang meskipun sudah menjauh dariku, namun tubuhnya masih jelas berada di atasku.

"Hahaha. Ah, iya. Maaf!" Ih, gila! Sudah kepergok mesum seperti itu, dia masih saja melucu. Apa dikira aku senang dengan leluconnya?

Dia segera menyingkir. Aku bangkit dengan marah. Kutepuk kedua tanganku dan aku kibaskan bajuku membersihkan debu dan tangan yang menempel di sana.

"Pergi!" Usirku melotot. Aku segera pergi dari hadapannya, namun langkah kakinya yang besar dan panjang segera menyusulku.

"Runi!"

Panggilannya sontak membuat langkahku terhenti. Aku menoleh padanya dan bertanya,

"Bagaimana kamu tahu namaku? Kita bahkan belum pernah bertemu, bukan?"

Ia tersenyum. Senyum paling menawan yang pernah kulihat.

"Aku sudah mengenalmu lama, Runi," ucapnya dengan senyum terkembang di bibirnya. Ia mengurkan tangan kepadaku dan mulai menyebut namanya. "Candra."

***

Satu kalimat yang akhirnya terlepas dari mulutku yang hina ini, berhasil melukai hatinya begitu dalam. Aku tahu dari pijar mata merahnya yang meredup.

"Aku tidak pernah memintamu menyelamatkanku!"

Manik mata dengan sorot mata berwarna merah terang itu menatapku dengan sendu. Binar matanya seakan menusuk ke dalam sukma, menel4njan9i kejujuran dalam diriku.

Lalu, bagaimana denganku? Masih sanggupkah aku menyakiti hatinya?

Tidak, tentu tidak. Aku bagaikan orang linglung yang terkatung-katung dalam kebodohan. Kebodohan atas ketidakjujuran yang aku munculkan sendiri. Bimbang, gundah, dan gulana. Aku sendiri tak tahu, siapakah gerangan sosok yang nantinya akan menjadi jawaban atas segala doaku.

Ya, aku tahu, besar harapnya terhadapku. Aku juga tahu betapa besar binar cinta yang ia tawarkan kepadaku. Hanya saja, meskipun berkali tanya ia lontarkan, namun hatiku tetap berkata, 'Raka'.

"Aku tahu." Candra tersenyum pahit. Ia mengambil nafas panjang dan dihembuskannya perlahan. Ia meraih tanganku yang menggantung di udara, lalu dibawanya ke depan dada. Ia melanjutkan kata-katanya dengan nada bicara yang begitu lirih. Suaranya pun bergetar. "Kembalilah padanya, Runi. Aku tahu kamu masih mencintainya."

"Aku mencintaimu. Sungguh, aku sangat mencintaimu. Tapi aku tahu, hatimu masih untuk Raka." Suara syahdunya sukses memporak-porandakan jiwaku. Kurasakan, mataku kembali memanas. Aku bahkan tak bisa menahan bulir kristal yang mulai turun membasahi pipiku.

Hatiku remuk redam, hancur berkeping-keping. Apa yang Candra katakan menyayat hatiku. Bukan, bukan karena terluka karena ucapannya. Tetapi aku justru yang menyakiti hatinya dengan begitu dalam.

Dan kebodohan akal ini membuatku tetap bungkam. Lidahku seakan tercekat. Suaraku tertahan di tenggorokan.

Candra Geni. Nama sesosok makhluk pelindung bagiku. Dia yang telah menyelamatkanku dari bengisnya ibu mertua dan kekasih gelap suamiku.

Candra.

Namanya sanggup meruntuhkan tembok dingin hatiku. Benteng kokoh yang kubangun untuk melindungi diriku dari bujuk rayu lelaki, termasuk Raka, suamiku sendiri. Hanya dia yang bisa menghancurkannya.

"Tatap mataku, Runi." Suara lembut itu kembali membuat desiran aneh di dadaku. Mau tak mau, kupalingkan wajahku ke arahnya. Dan mataku terasa begitu panas saat melihat gurat kepedihan dalam sorot matanya.

"Apa di hatimu tidak ada setitikpun cinta yang tersisa untukku? Jika memang tidak, maka tak apa. Pergilah, kembalilah padanya."

***

2. Bujukan Ibu Mertua

"Raka, apakah kamu masih ingat dengan Widuri?" Sayup-sayup terdengar suara Aswini, ibunda Raka, yang sedang bertanya kepada seseorang di ruang sebelah.

Runi yang tengah mencuci piring di dapur rumah Raka, mengecilkan aliran air yang tengah ia gunakan untuk membilas perkakas dapur mertuanya. Ia juga menajamkan pendengaran. Di rumah ini hanya ada dirinya, Raka suaminya, dan juga ibunda Raka. Lalu, kepada siapa pertanyaan tersebut dilontarkan?

Jika pertanyaan itu tertuju untuk Raka, mengapa harus membahas nama seseorang yang terdengar seperti nama seorang wanita, sementara ada dirinya di rumah ini yang berstatus sebagai menantu keluarga ini?

Sekian detik berlalu namun Runi tak jua mendapatkan jawaban. Ia hampir mengabaikan percakapan tersebut, namun suara seseorang yang ia cintai kini terdengar begitu lirih, terdengar seperti suara orang yang tengah tertegun.

"Wi-widuri?"

"Ya, Widuri. Putri sulung bos kamu, Pak Baskara, juragan sawit di desa Merbayu. Mama yakin kamu masih ingat padanya."

"Di-dia kembali, Ma?" Suara lirih Raka membuat jantung Runi seakan berhenti berdetak.

Mengapa suaminya itu terdengar begitu terkejut? Siapakah sosok Widuri? Kembali dari mana? Kisah apa yang pernah terjalin antara Raka dan Widuri?

"Dia cantik, kaya, dan berpendidikan. Jauh lebih bermartabat daripada wanita miskin pilihan kamu, si Runi itu. Sudah miskin, bodoh, keras kepala pula!"

Deg!

Dunia Runi serasa berhenti berputar tatkala mendengar namanya disebut. Di ruang sebelah, calon ibu mertuanya tengah membicarakan dirinya kepada Raka. Apa yang salah dengan dirinya? Mengapa ia terdengar buruk sekali? Dan mengapa dirinya dibanding-bandingkan dengan wanita lain? Dan terlebih, wanita masa lalu Raka?

"Jangan bandingkan Runi dengan wanita lain, Ma. Dia adalah istriku. Biar bagaimanapun, Runi adalah wanita yang sekarang ada di sisi Raka." Kali ini, suara teduh Raka, suami Runi, terdengar. Sebersit senyum tipis muncul di bibir Runi karena ia mendengar sang suami membelanya.

"Cih!" Terdengar Aswini berdecih, membuat hati Runi serasa tercubit. "Istri apa? Istri yang sama sekali tidak pernah mama restui. Bahkan jika dia mengandung anakmu pun, mama tidak akan sudi menganggapnya sebagai cucu mama!"

Runi mendesah pelan. Sejak ia menikah dengan Raka satu tahun yang lalu, Aswini memang terlihat sangat tidak menyukai dirinya. Bahkan Aswini pun sudah terlihat begitu membenci Runi jauh sebelum mereka berpacaran, yaitu sekitar dua tahun yang lalu. Untuk alasan apa, Runi tidak tahu dengan pasti. Namun yang jelas, ia memang memilili banyak sekali kekurangan. Ia adalah seorang gadis yatim piatu, miskin, dan tidak memiliki apa-apa. Ia juga tidak memikiki siapapun sebagai wali. Hanya cinta dan perjuangan Raka saat itu padanya lah, yang membuat dirinya yakin untuk menerima keseriusan Raka, sehingga mengabaikan penolakan calon ibu mertua dan kakak iparnya.

"Dia memang wanita sederhana, Ma. Tetapi entah bagaimanapun keadaannya, Raka tetap mencintai Runi apa adanya."

Nyes. Sekeras apapun ucapan Aswini yang tertuju untuk menyudutkannya, asalkan Raka membelanya, tentu saja bukan menjadi soal bagi Runi.

"Meskipun demikian," Aswini bicara dengan nada teramat rendah. "Sejujurnya, mama berharap agar kamu segera mengakhiri pernikahan kalian, Raka. Sekuat tenaga mama berusaha merestui kalian, tetapi tidak bisa! Di mata mama, dia bukanlah wanita yang terbaik untuk kamu. Dia hanya akan menjadi parasit yang nantinya akan menggerogoti kehidupan kamu!"

Detik ini juga, Runi ingin sekali segera menghambur ke sana. Ia ingin menyerobot masuk ke ruang keluarga di mana ibu dan anak itu tengah berkumpul untuk menyuarakan isi hatinya. Ia ingin protes pada ibu mertuanya yang sangat keterlaluan itu, karena telah dengan tega mengabaikan eksistensinya di sini. Namun, kakinya terasa kaku. Lidahnya juga terasa tercekat di tenggorokan. Ia tidak memiliki keberanian yang cukup besar untuk membela dirinya. Dan sejujurnya, ia masih berharap agar sedikit kalimat yang terucap dari Raka bisa sedikit membelanya.

"Mengapa sih sampai sekarang Mama belum bisa menerima Runi menjadi istri Raka?" Tandas Raka geram. Tambahnya, "Raka sangat mencintai Runi, Ma. Raka tidak akan pernah membatalkan pernikahan kami!"

"Coba tanyakan dulu pada hatimu yang paling dalam, Raka!" Masih tak mau kalah, suara Bu Aswini terdengar begitu menggelegar. "Apakah kamu sama sekali sudah tidak mencintai Widuri lagi?!"

Hening merayap. Bahkan keran air yang Runi gunakan untuk membasuh piring dan gelas di tempar cuci piring milik ibunda Raka itu sudah Runi matikan sedari tadi sementara tangannya masih berlumuran busa sabun pencuci piring. Ia ingin menguping pembicaraan itu. Ia ingin mendengar pembelaan Raka untuk dirinya! Ia ingin memastikan Raka benar-benar setia padanya, dan hati raka hanya untuknya! Dan ia percaya, Raka akan selamanya memilih dirinya meskipun seribu wanita cantik datang menggoda Raka.

"Tapi Raka sudah memilih Runi, Ma! Raka tidak akan pernah meninggalkan Runi!" Seru Raka dengan nada sedikit tinggi. Dan rupanya, seruan Raka berhasil membuat Aswini naik pitam.

Ia berseru, "Kamu itu ya, dari kecil sampai sekarang belum pernah membangkang perintah mama sama sekali. Lalu apa ini? Hanya gara-gara wanita miskin tidak berguna itu, kamu sudah berani melawan mama, hah?! Terus saja membangkang mama!"

"Bukan begitu, Ma!" Suara Raka mulai terdengar panik.

Aswini tak peduli. Ia masih melanjutkan omelannya pada putra bungsunya, "Bahkan kamu tahu wasiat papa kamu sebelum meninggal, 'kan? Nikahi Widuri! Tapi apa yang terjadi? Kamu malah memilih wanita miskin pembawa sial itu!"

Hening sejenak. Runi tahu, Raka, suaminya, sedang berusaha membantah perkataan ibunya sendiri. Membantah orang tua di saat martabat pasangan sedang dipertaruhkan, bukanlah sebuah kedurhakaan.

"Tapi itu sebelum Widuri pergi meninggalkan Raka, Ma! Sekarang sudah ada Runi. Dan Raka ..." hening sejenak menyapa sebelum Raka kembali melanjutkan, "Raka tidak akan pernah mencampakkan Runi apapun yang terjadi. Dia yang selama ini ada di sisi Raka, bahkan saat Raka tengah terpuruk karena kehilangan Widuri."

Deg! Runi seolah tertampar. Jadi, ia hanya menjadi pelampiasan di saat Raka tengah terpuruk ditinggalkan oleh wanita bernama Widuri? Oh, tidak! Betapa tidak beruntungnya dirinya!

"Mama sudah bertemu dengan Widuri, Raka," tukas Aswini tanpa mengindahkan perkataan putranya. "Dan coba tebak apa yang sebenarnya terjadi? Dia masih sangat mencintai kamu. Mama mendengar pengakuannya dengan telinga mama sendiri."

Kedua tangan Runi mengepal. Wajahnya terasa panas dan matanya mulai berkaca. Kenyataan apa ini? Mengapa terasa begitu menyakitkan untuknya?

Kali ini, ia betul-betul menginginkan Raka agar kembali membelanya. Tidak peduli seluruh dunia mencercanya, asal tidak dengan suaminya itu. Namun nyatanya, hening. Raka terdiam seribu bahasa. Apakah Raka mulai terpancing ucapan ibunya?

"Cobalah untuk kembali menjalani hubungan dengan Widuri, Raka. Mama yakin, kalian masih saling mencintai." Pelan dan pasti, suara Aswini kembali terdengar.

Deg! Apa-apaan ini? Mengapa mertuanya sejelas itu menyuruh Raka mendekati Aswini kembali dan menyuruh untuk mengabaikan istrinya sendiri? Perintah macam apa ini?

Amarah Runi bergelora. Siapakah sosok Widuri? Apakah wanita itu adalah masa lalu Raka yang belum usai? Sebersit asa muncul di benak Runi, berharap Raka berkenan membelanya. Ia masih sangat yakin, Raka tidak akan mungkin mengabaikannya.

Tapi apa yang terjadi? Sekian lama Runi menunggu pembelaan Raka untuknya, namun hanya hening yang tercipta di ruang sebelah. Raka tak jua melontarkan pembelaan untuknya, atau bahkan penolakan atas saran sang ibunda. 

Sebenarnya, apakah yang terjadi? Apakah Raka tengah terbujuk oleh ucapan ibundanya untuk kembali mempertimbangkan Widuri? Dan mungkin, meninggalkan Runi?

***

3 . Pertanyaan di Benak Runi

Saat pulang berboncengan dengan Runi ke rumah mereka di desa Merbayu, Raka banyak termenung. Demikian juga dengan Runi yang tidak berani menanyakan apapun. Ia berusaha bersikap wajar seolah tidak terjadi apa-apa. Ia hanya berharap, Raka hanya memandang satu wanita di dunia ini, yaitu dirinya. Ia juga yakin, bahwa apa yang Aswini sampaikan tadi sore hanya serupa angin lalu di telinga Raka.

"Kok sepertinya lelah sekali, Mas?" Runi duduk di sebelah Raka saat mereka tiba di rumah. Lalu di dalam kamar, ia memberi beberapa pijitan lembut di bahu suaminya. Raka tak mengelak, namun tak jua menjawabnya. Dia hanya memberikan diamnya sebagai jawaban atas ribuan tanya yang bersarang di benak Runi.

"Tadi waktu aku sedang mencuci piring di belakang, kamu dan ibu membicarakan apa?" Tanya Runi, penasaran dengan jawaban apa yang akan diberikan omeh Raka untuknya. Namun Runi harus menelan kecewa karena Raka tak jua menjawabnya. Lama tak terdengar balasan, Runi bertanya lagi untuk mencoba memancing Raka bicara.

"Ah, tidak ada apa-apa. Tak usah dipikirkan, sayang," sahut Raka setengah melamun.

Runi masih memijit pelan pundak Raka, namun entah mengapa, Raka meletakkan tangannya di sana dan menurunkan tangan Runi, seolah menepisnya untuk segera menyingkir dari sana.

Runi tertegun hingga tangannya mengambang di udara untuk sesaat. Tidak biasanya Raka mengabaikannya seperti ini.

Raka yang baru saja menepis tangan Runi tanpa sadar melihat perubahan ekspresi di raut wajah Runi yang terlihat terkejut. Ia segera menyunggingkan senyum tipisnya. Mengangkat tangan kanannya, lalu diusapkannya ke wajah Runi dengan lembut.

Raka berkata lembut dengan menepis perasaan bersalah."Sudah malam. Tidurlah dulu, Sayang."

Runi tersenyum pahit. Tidak seperti yang ia harapkan, Raka tidak jujur padanya. Bahkan jika Raka bercerita tentang hasil pertemuan dengan Aswini yang membuat gundah hatinya, mungkin Runi bisa memaklumi. Tetapi nyatanya tidak. Raka memilih untuk memendam informasi dari ibunya, tentang wanita bernama Widuri. Dan justru, bungkamnya Raka semakin membuat Runi bertanya-tanya. Mengapa Raka harus diam jika memang Widuri bukan siapa-siapa bagi suaminya itu? Apakah itu artinya, Widuri adalah sosok yang istimewa bagi Raka?

"Apa yang terjadi padamu, sayang? Kenapa kamu diam saja?" Tanya Raka yang mungkin sudah menyadari perbedaan sikap Runi semenjak pulang dari kediaman sang ibunda.

Runi, yang memang tidak mau membuat keributan, hanya menggeleng pelan. Ia menyunggingkan senyum tipis yang menipu, seolah ingin menunjukkan pada Raka bahwa dirinya baik-baik saja. "Tidak ada apa-apa, sayang. Aku hanya sedikit lelah."

"Kalau begitu, mau aku pijit? Kemarilah, sayang!" Raka tersenyum lembut sembari menepuk ranjang di sebelah Runi, meminta istrinya datang mendekat. Entah betul akan memijat tubuh Runi, atau justru meminta yang lainnya.

Runi menghela nafas panjang. Ia hembuskan perlahan, namun dadanya terasa begitu sesak begitu udara di paru-parunya itu ia keluarkan secara perlahan. Namun meskipun hatinya merasa kalut, setengah hati, ia turuti panggilan Raka untuk mendekat. Ia meletakkan bobot tubuhnya membelakangi tubuh suaminya.

"Kenapa diam saja, Runi sayang?" Tanya Raka dengan tangan melingkar di perut Runi. Hembusan nafasnya terasa memburu di ceruk leher Runi, seolah menuntut haknya malam itu. Betul saja, bukannya memijiti tubuh Runi, namun justru tangan Raka menggerayang kesana dan kemari.

Dan yah, Runi pun terbuai. Sebelum malam itu berlalu dalam sepi yang mencekam, pelukan Raka masih menghangatkan raga Runi. Belaian bibir Raka masih saja membuatnya terlena. Sentuhan demi sentuhan yang Raka berikan juga baru saja membuainya. Namun, jiwa Runi serasa hampa, seolah-olah cinta Raka telah menguap, bersamaan dengan rasa percayanya yang terkikis oleh seribu tanya.

Siapakah Widuri?

Apakah hubungan antara Widuri dengan Raka di masa lalu?

Apakah betul mereka dulu pernah saling mencintai?

Benarkah Widuri masih mengharapkan suaminya?

Bagaimanakah perasaan Raka saat ini terhadap Widuri?

Mengapa Raka tidak menolak mentah-mentah perintah ibunya?

Dan ... Mengapa Raka tidak jujur padanya?

***

Setelah pembicaraan dengan sang ibunda, Raka mulai mempertimbangkan bujukan ibunya untuk bertemu dengan Widuri. Tidak sulit untuk membuat alasan kepada Runi, karena ia juga terbiasa singgah ke manapun setelah pulang bekerja di perkebunan sawit milik Pak Baskara, ayah Widuri. Dan tidak setiap hari juga ia harus pulang tepat waktu.

Awalnya, Raka merasa ragu untuk mengiyakan permintaan ibunya. Ia takut hatinya goyah untuk mempertahankan cintanya kepada Runi. Karena sejujurnya, kisah antara dirinya dengan Widuri belumlah usai. Widuri pergi empat tahun yang lalu tanpa sepatah katapun dengan alasan untuk menempuh pendidikannya jauh ke luar kota meninggalkan Raka. Padahal sejatinya Raka tahu, Widuri tengah mengejar cinta yang lain, membuat cinta Raka padanya hanya bertepuk sebelah tangan dan kandas sebelum berkembang.

Namun nyatanya, setitik rindu ternyata masih ada untuk Widuri. Raka masih menginginkan Widuri. Bahkan setelah empat tahun berlalu, saat-saat menanti waktu pertemuan dengan wanita masa lalunya itu masih membuat hati Raka kembali berdebar dengan begitu gilanya.

Lalu di suatu sore, waktu pulang bekerja telah datang saat cahaya keemasan mulai menyapa. Hembusan angin sejuk mulai membelai dalam senja yang menawan. Matahari sudah sangat condong ke arah barat, bahkan akan segera masuk ke peraduannya. Raka keluar dari pintu keluar perkebunan sawit Pak Baskara tempatnya bekerja dengan langkah ringan, meskipun jantungnya berdebar tak karuan.

Dan yah, itulah dia. Berdiri di sana, sesosok wanita berambut sebahu melambai kepadanya di pintu gerbang. Menjemputnya! Gaun merahnya berkibar tertiup angin, tubuh indahnya tersinari cahaya mentari sore hari yang melukiskan sebuah siluet cantik di bebatuan. Bibir cantiknya melengkung keluar, menyungging senyum yang nyatanya hingga detik ini belum bisa Raka lupakan sepenuhnya.

Ah, Widuri! Senyum itu sama seperti empat tahun yang lalu saat masih memadu kasih dengan Raka di desa ini.

Raka tak bisa mengabaikan senyum itu. Dengan gugup, ia pun memantapkan langkahnya untuk mendekati sosok cantik bergaun merah itu.

"Hai, a-apa kabar?" Tanya Raka berbasa-basi.

Widuri mengawali jawabannya dengan senyuman manis. "Kabar baik. Kamu?"

"Yah, beginilah," sahut Raka seraya mengedikkan kedua bahunya. Ia melanjutkan, "Tidak ada perubahan. Masih jadi pekerja yang sama di perkebunan ayah kamu."

"Ck, dasar merendah," Decak Widuri sebal. Ia tahu dengan pasti bahwa Raka adalah salah satu pegawai kepercayaan ayah Widuri yang bertugas untuk membukukan omset perkebunan.

Decakan Widuri membuat Raka salah tingkah. Widuri tersenyum dan bertanya, "Kamu tidak ingin tahu bagaimana kabarku?"

Raka mengusap tengkuknya seraya menyengirkan giginya yang rapi. Gestur ini biasa terlihat saat seseorang tengah merasa salah tingkah.

Ucapnya, "Maaf. A-aku terlalu gugup sampai lupa menanyakan kabarmu. Em, kamu bagaimana kabar?"

"Baik, baik sekali bahkan," sahut Widuri seraya tersenyum lebar. Ia merasa Raka sangatlah lucu, karena kesalahtingkahan pria itu terlihat begitu menggemaskan di matanya.

"Mau mampir ke cafe sebelah dulu?"Tawar Widuri.

Raka pun mengangguk. "Boleh," sahut Raka dengan senyum terkembang lebar di bibirnya

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!