"Bunuh dia, lalu buang ke laut! Jangan meninggalkan jejak sedikit pun!" Perintah itu jelas di dengar dua orang pria dengan penutup tengah wajahnya.
Gerimis malam itu menjadi saksi keduanya harus membereskan pekerjaan dengan imbalan yang besar.
Setelah mengangguk mengerti keduanya pun bergegas masuk guna menjalankan misinya. Satu senyum puas melengkung di bibir wanita itu sebelum dia kembali ke kamarnya.
Tanpa terbebani oleh nuraninya, wanita itu merebahkan dirinya di samping suami. Menatap jarum jam yang berdetak di dinding kamar. Dalam hati menghitung mundur serta menerka-nerka sudah sejauh mana tugas itu mereka lakukan.
Seolah alam semesta mendukung, rinting hujan dan guntur yang sesekali menyapa, membuat kegaduhan yang sempat terjadi tidak jauh dari kamar mereka bisa tertutupi. Tidak ada suara yang membangunkan Ben malam itu. Mungkin juga pengaruh susu hangat yang dia minum sebelum tidur, pemberian sang istri tercinta.
Sayup-sayup terdengar langkah beberapa kali menuruni anak tangga dan itu menyatakan kalau semua pekerjaan sudah selesai ditutup oleh senyum penuh kemenangan di bibir Mita.
***
"Bangun'lah Saka! Sampai kapan kau akan begini? Kau seperti kalong, tidur di terang hari dan berkeliaran dikegelapan malam!" Pekik Ros, wanita berusia 65 tahun yang sudah jemu mengurus cucunya. Kalau bukan karena terlanjur sangat menyayangi pria itu, dan kebetulan menjadi satu-satunya anggota keluarga, mungkin Ros sudah mencampur sianida ke minuman cucunya itu.
"Pergi'lah my Lady! Biar 'kan aku tidur sebentar lagi. Oma tahu aku baru tidur dua jam!" Jawabnya lantang.
Rutinitas setiap pagi yang tidak pernah terlewatkan, bahkan saking sudah biasanya, ada kalanya Ros yang sedang ikut Yoga bergegas keluar dari ruangan di salah satu rumahnya.
"Oma, kita belum selesai olahraga," ujar instruktur Yoga yang begitu seksi. Ros mempekerjakan Tania, karena ingin memiliki tubuh indah nan kencang seperti gadis 23 tahun itu.
"Kau tunggu dulu di sini. Ada tugas harian yang belum aku lakukan," ucap Oma Ros keluar.
"Ayo'lah, Saka, buat diri mu berguna yang hidup ini! Jangan makan tidur saja kerjamu!" Umpat wanita itu mencubit pinggang Saka yang berbaring telungkup.
Sayang wanita itu hanya mendapat sedikit bagian yang bisa dicubit karena Saka memiliki tubuh atletisnya, yang walau hidup bak zombie, adakalanya melakukan olahraga raga di ruang gym yang ada di rumah mewah itu.
"Baiklah, sudah 10 menit, cukup untuk hari ini!" Ucap Oma Ros keluar dari kamar cucunya. Walaupun lagi-lagi ritualnya tidak membuahkan hasil, tapi Ros akan tetap melakukan hingga terjadi keajaiban.
Saka Mahesa, cucu satu-satunya keluarga Mahesa, sekaligus pewaris tunggal Mahesa grup, adalah pria yang sangat perfeksionis dulunya. Hidupnya teratur dan juga penuh semangat. Pekerjaan keras dan selalu membuat bangga Oma Ros.
Namun, semua citra baik itu harus terampas karena seorang wanita. Saka berubah menjadi zombi setelah kepergian wanita yang paling dia cintai, wanita yang berhasil masuk ke dalam hatinya, dan menjadi cinta pertamanya. Wanita itu pergi untuk selamanya, direnggut oleh kecelakaan tunggal di jalan raya.
Sejak itu dunia Saka hanya ada kegelapan. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menepati janjinya pada Airin kala itu. Seharusnya Saka yang menjemputnya, tapi Airin bersikeras untuk mendatangi Saka saja ke Bandung, lalu terjadilah kecelakaan itu.
Pernikahan yang akan dilangsungkan bulan depan akhirnya kandas. Saka berubah menjadi pria gila yang suka marah-marah dan berusaha untuk menghancurkan dirinya.
Tahun berganti, tapi kesedihan akan kepergian Airin tidak juga sirna. Berulang kali Saka membiarkan nyawanya dalam bahaya, dengan banyak meminum obat tidur dan penenang atau pun mencekoki mulutnya dengan berbotol-botol minuman keras, berharap dirinya bisa menyusul Airin ke alam baka.
"Oma, saran aku nih, ya, lebih baik Oma menjodohkan mas Saka, dengan begitu dia akan kembali jadi mas Saka yang dulu," ucap Tania mengambil tempat di samping Oma Ros setelah mereka selesai yoga.
Hal itu bukan tidak pernah terpikirkan oleh Oma Ros, tapi Saka tidak mau untuk bertemu dengan calon yang dipilihnya.
"Dia tidak akan mau. Oma sudah pernah memilihkan calon untuknya, tapi untuk bertemu saja dia tidak sudi," jawab Oma Ros menghela napas berat. Entah sampai kapan cucunya itu akan hidup dalam kesedihan.
"Gimana, kalau sama aku aja Oma?" Malu-malu Tania menyodorkan dirinya. Sejujurnya, sudah sejak Tania menyimpan perasaan pada Saka, tapi tidak sekalipun pria itu menoleh padanya, bagaimanapun dia mencoba menebar pesona di depan pria itu.
"Kau?" Satu alis Oma Ros naik ke atas, mengamati Tani seolah ini adalah pertemuan mereka saja. Tania tersenyum, mencoba mengambil hati Oma Ros. Tania tahu kalau semua kunci untuk mendapatkan Saja ada di tangan neneknya ini.
"Sebaiknya kau fokus saja pada gerakan yoga yang baru, karena aku sudah bosan dengan gerakan yang itu-itu saja!"
"Cepatlah Tuti, kita harus bergegas, kenapa langkahmu seperti kura-kura saja?" Oma Ros mengentikan langkahnya, lalu menoleh kebelakang sembari menunggu pelayanannya itu sampai di depannya.
Di tengah rasa lelah mengikuti sang majikan, Tuti yang berjalan tergopoh-gopoh, hanya bisa menyusul dengan senyumannya. Dia sendiri tidak tahu mengapa majikannya itu pagi ini ingin pergi ke pasar.
Pukul enam pagi, yang biasanya Oma Ros turun untuk jalan pagi di komplek perumahan, tiba-tiba saja mengetuk pintu kamar Tuti, meminta gadis itu membawanya ke pasar.
"Sebaiknya, mulai besok kau ikut Oma untuk yoga dan senam aerobik, biar kamu sehat dan gak lelet!" hardik Oma Ros setelah Tuti sampai di depannya.
Gadis itu hanya meringis. Wanita asal Kebumen itu sudah lama bekerja dengan keluarga Daslan, kurang lebih 5 tahun, sejak wanita itu kabur dari rumah mertuanya setelah suaminya meninggal.
"Oma, sebenarnya kenapa, sih, semangat amat ke pasar. Kita mau beli apa? Memangnya Oma mau masak apa?"
"Hari ini Saka ulang tahun, Oma mau masak makanan kesukaannya," jawab wanita itu mulai melanjutkan perjalanannya.
Tuti hanya bisa mangut, mengikuti kemana Oma Ros pergi.
"Lepaskan, saya bukan pencuri, Pak. Saya juga gak tahu kenapa dompet istri Bapak ada di dekatku."
"Gak usah bohong! Mana ada pencuri yang mau ngaku! Udah, Mas, bawa aja ke kantor polisi!" tegas Wanita yang baru saja dicuri dompetnya.
Keributan itu membuat perhatian Oma yang sedang membeli bumbu masak di dekat situ, merasa penasaran ingin melihat apa yang terjadi. Berpuluh orang sudah membentuk lingkaran, mengelilingi si tersangka dan si korban.
"Ada apa ini?" tanya Oma yang menerobos lingkaran. Dia selalu penasaran setiap ada keributan di dekatnya, istilah zaman sekarang sering dibilang kepo.
Selain memiliki jiwa muda, Oma juga memiliki insting seorang detektif, ingin memecahkan teka-teki di sekitarnya. Hal itu terjadi setelah Oma sering nonton anime detektif Conan dan juga film Sherlock Holmes.
"Ini Bu, ada pencuri yang sudah mengambil dompet Ibu ini," terang salah satu manusia yang ikut melihat kehebohan itu.
Lama Oma Ros memperhatikan wajah ayu wanita itu, begitu cantik, kulit sehat, walau saat ini tampilannya sangat kumal dan kotor.
"Aku bukan pencuri, Bu. Aku bersumpah demi almarhumah mamaku," ucap tegas. Dia tidak menangis, walau dalam hati takut setengah mati. Begitu banyak orang mengelilinginya, menatap penuh cemooh yang hanya tinggal menunggu aba-aba, maka semua orang itu akan dengan senang hati menghajarnya.
Dia sudah sering lihat bagaimana orang-orang menghajar seorang pencopet yang tertangkap, sangat mengerikan bahkan dulu sempat masuk berita perampok itu dibakar hidup-hidup.
Dia takut. Sungguh, tapi pesan ibunya yang selalu dia ingat, jangan pernah gentar, jangan pernah menundukkan kepalamu kalau kau tidak salah!
Jadi, sekarang, dengan sisa tenaga dia coba untuk bertahan, membela dirinya.
"Alah, bohong itu, Bu! Jelas-jelas dompet saya ada di dekat dia duduk sekarang. Saya baru aja lewat dari depan dia, pas menoleh lihat dompet saya!" bantah wanita pemilik dompet itu masih tetap yakin kalau wanita itu lah pencuri dompetnya.
"Udah, hajar aja!" sambar wanita bertubuh gemuk yang sejak tadi sudah pasang ancang-ancang ingin memukul gadis malang itu.
"Iya, hajar!"
"Botak rambutnya!"
"Patahkan tangannya biar gak mencuri lagi!"
"Bakar aja, biar mampus!"
Semua teriakan itu sahut-sahutan menggema di tempat itu. Kerumunan itu semakin membludak karena teriakan para manusia maha benar.
Oma terus menatap mata indah milik gadis itu. Ada riak air mata, ketakutan, tapi dia tetap berusaha untuk tegar, tidak mengemis minta pengampunan, karena memang dia tidak salah.
"Kelamaan, udah kita telanjangi saja dia!" teriak seorang pria dari arah lingkaran manusia.
"Tunggu!" suara Oma begitu tegas. Pengamatannya sudah rampung. Dia yakin seratus persen, gadis itu bukan pencuri!
"Anda bilang kalau dompet Anda dicuri gadis ini, dan Anda baru saja lewat di depan dia, lalu melihat ke belakang, dan menemukan dompet Anda di dekat kakinya?"
"Iya benar, Bu," sahut wanita itu mantap.
Oma Ros manggut-manggut. "Begini, kalau memang ketika Anda lewat dari depannya, dan seketika itu juga menoleh ke arahnya, melihat dompet Anda di dekat kakinya?"
Lagi-lagi wanita itu mengangguk.
"Bagaimana mungkin, saat Anda baru saja lewat dari depannya, dia sudah mengambil dompet Anda dan persekian detik mengambil dompet Anda? Hanya pencuri bodoh yang sudah mencuri, membuang bukti curian di dekatnya."
Semua orang bungkam. Masuk akal juga. Tapi melihat wajah-wajah manusia itu tidak puas, Oma Ros melanjutkan kalimatnya.
"Kalau memang kalian masih ragu, Tuti akan menggeledahnya. Berdiri!" perintah Oma Ros pada wanita itu.
Tuti segera maju dan memeriksa tubuh gadis itu, tidak ditemukan uang atau apapun benda berharga. Hanya ada kalung yang melingkar di lehernya.
"Bagaimana?" serang Oma pada wanita yang sudah kehilangan dompet itu.
Kini semua orang berubah, mempercayai gadis itu dan tanpa mengatakan apapun lagi segera membubarkan diri.
"Terima kasih, Bu," jawab wanita itu mencoba tersenyum.
"Kau mau pulang kemana?" tanya Oma saat melihat gadis itu berdiri.
"Aku... Aku gak punya tujuan. Aku sebatang kara," ucapnya menunduk.
"Kau mau bekerja di rumah Oma?"
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan jejaknya?" tanya Candra yang duduk di kursi rodanya, menatap jauh ke depan dengan mata nanar nya. Sedih dan remuk jantungnya kala mengingat setiap putrinya itu.
Putri yang paling dia sayangi, sekaligus satu-satunya anak yang dia dapatkan dari istri pertamanya. Dia sangat mengenal karakter putrinya itu, seakan masih tidak bisa dipercaya atas apa yang dilakukan Nara.
"Saya minta maaf, Tuan. Saya belum berhasil menemukan jejak non Nara. Bahkan pria yang dikatakan lari dengannya juga tidak berhasil saya temukan. Data yang diberikan soal pria itu memang terdaftar di kampus tempat non kuliah, hanya saja pria itu sudah lama keluar dari sana," terang Toni, asisten sekaligus kepercayaan Candra.
Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas, lalu menyuruh Toni untuk pergi meninggalkannya.
Hatinya sakit karena putrinya lebih memilih pria yang tidak jelas, hanya memanfaatkan uangnya dan yang paling membuat Candra kecewa pada Nara, dia membawa kabur uang dan juga perhiasan peninggalan ibunya yang seharusnya nanti akan diberikan saat Nara menikah.
"Mas, kau masih di sini? Ayo kita masuk," ucap Mira menyentuh kedua pundak Candra, membuyarkan lamunan pria itu akan kenangan Nara.
"Aku masih mau di sini, sebentar lagi saja!"
Mira terdengar menghela napas, lalu beranjak ke depan Candra, menunduk di hadapan pria itu. "Jangan dipikirkan lagi, dia sudah tenang di alam sana," jawab Mira tahu kalau suaminya itu sedang memikirkan putri tirinya itu, dan Mira tidak suka, seolah dunia suaminya hanya berfokus pada Nara saja.
"Aku yakin dia masih hidup!"
Kembali Mira menghela napas. Cukup sudah dia mendengar keluhan suaminya itu. "Ayo, kita masuk, angin di luar semakin kencang."
Mira segera mendorong kursi roda suaminya. Sebulan sudah suaminya hanya menghabiskan hari-hari di rumah, tidak pergi ke kantor atau melakukan kegiatan apapun. Bahkan untuk bergerak saja dia malas, meminta asistennya menyiapkan kursi roda untuknya.
Candra tidak menolak Mira mendorongnya masuk. Dia tidak ingin membuang tenaga untuk mendebat istrinya itu.
***
"Kau mau kemana? Ini masih terlalu siang untuk pulang," ucap Bima menahan tangan Saka yang sudah berniat berdiri.
"Kau lihat sendiri, sejak tadi Ratu dunia itu sudah menghubungiku berulang kali!" jawab Saka menghentak tangannya.
"Semua orang di sekitarmu padamu, kau terkenal pria bertangan dingin, sombong dan tidak punya hati, tapi siapa sangka, seorang Saka Mahesa takut pada neneknya?" celetuk Revan yang juga menjangkit pada Bima.
Saka mengabaikan kedua temannya yang sedang menertawakannya. Semua yang mereka katakan benar adanya. Kadar keberanian terbesar Saka melawan neneknya hanya sebatas tidak pergi ke pertemuan yang sudah diatur wanita itu untuk menjodohkannya dengan wanita yang disarankan teman-temannya.
Biasanya dia juga akan mengabaikan permintaan neneknya yang memaksa pulang, tapi kali ini, neneknya mengancam akan berendam di bak mandi kamarnya dengan air dingin sampai pagi kalau dirinya tidak pulang juga.
***
Saka tiba di rumahnya, terlihat pagar tidak dikunci, satpam rumah juga tidak ada pada posnya.
Setelah memarkir mobil di garasi, Saka berjalan melintasi halaman yang sangat luas hingga sampai di depan rumah.
Keningnya mengernyit, suasana tampak gelap, lampu di ruang tamu begitu gelap. Sunyi dan tidak ada tanda ada orang di rumah itu. Tiba-tiba saja pikiran Saka memikirkan hal mengerikan hingga membuat wajahnya berubah penuh ketakutan.
Bergegas dia membuka pintu, dengan hati-hati masuk ke dalam rumah. Tepat saat langkahnya sudah berhenti di tengah ruangan tengah, lampu menyala dan semua ruangan mendadak terang benderang.
"Selamat ulang tahun," teriak Oma Ros lalu disambut dengan tiupan panjang terompet.
Lalu bunyi terompet sahut sahutan di ruangan itu, memekakkan telinganya. Satu persatu diamatinya wajah orang yang berada di sekelilingnya. Semua pelayan bahkan satpam berada di ruangan itu, ikut berpartisipasi memberinya kejutan atas komando sang nenek.
"Pakai ini, lalu kita akan potong kue!" ucap Oma Ros memasangkan topi ulang tahun berbentuk kerucut.
"Oma, aku gak mau!" tolak Saka menghindar.
"Oma bilang pakai!" perintah Oma yang akhirnya buat Saka mengalah. Wanita itu mengajak Saka mendekat ke meja yang sudah tersedia kue ulang tahun yang besar.
"Buat permohonan mu!" perintah Oma Ros. Saka yang ingin semuanya berlalu dengan cepat mengikuti kemauan neneknya. Menutup mata, tapi tidak memohon apapun.
"Semoga kau segera bertemu dengan jodohmu," bisik Oma mewakili Saka, dan tepat saat pria itu membuka mata, dia melihat seorang wanita berdiri di depannya dengan bibir tersenyum melihat ke arahnya.
"Siapa dia, Oma?" tanya Saka memicingkan mata. Oma Ros mengikuti arah pandangan Saka, lalu tersenyum.
"Dia Zee. Cantik, kan? Pelayan baru di rumah ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!