Angin malam yang berhembus cukup besar, membuat beberapa penduduk kerajaan berlari ke luar. Begitupun dengan seorang pria tampan bermata biru, sang penguasa Kerajaan Royaley sedang dibawa lari dalam perlindungan kereta kuda oleh seorang penasehat sekaligus pelayan pribadinya.
Dalam kecemasannya, Xavier Leander, tiga puluh tahun, pria gagah dan perkasa sedang menggenggam erat pedang berharganya. Ia merasa takut jika terjadi sesuatu dengan wilayahnya. Namun, menyelamatkan diri dalam badai besar jauh lebih berharga daripada mati konyol dengan sia-sia.
"Kenapa tiba-tiba saja ada badai besar? Apa mungkin alam semesta marah karena aku berbohong akan datangnya titisan Dewi Yunani di dalam kerajaan ku? Jika mungkin karena itu, tolong maafkan aku, alam semesta," batin Xavier yang hanya bisa memandang ke depan dengan penuh harapan.
Mereka terus bergerak tanpa tahu tujuan, hingga Xavier melihat sebuah cahaya kecil dari arah lautan.
"Baron, kita sekarang menuju ke laut," perintahnya kepada seorang penasehat hukum kerajaan sekaligus teman baiknya.
"Untuk apa, Baginda Raja? Di laut juga pasti badai nya jauh lebih besar. Lebih baik kita berlindung di dalam gua saja," bantahnya.
"Ini perintah, lakukan saja," tegas Xavier tanpa mau tahu. Terlebih ia semakin ingin tahu dengan cahaya kecil yang sedang terlihat.
"Baik, Baginda."
Semakin mendekat, hingga mereka melihat seorang bule cantik sedang tergeletak tanpa tersadar. Kulit putihnya yang bersih bercahaya membuat Xavier semakin yakin jika yang sedang ia temui bukanlah seorang wanita biasa, namun memiliki keturunan dari sang Dewi Yunani. Apalagi di saat melihat kalung liontin dengan serpihan mahkota yang terlihat bercahaya dalam kegelapan.
"Pythia Andromeda Alexa, nama yang indah," gumam Xavier saat ia memeriksa sebuah tas ransel yang masih tersangkut di leher wanita itu. "Sepertinya titisan sang dewi benar-benar ada seperti di dalam ramalan. Baron, bawa dia ke dalam kereta."
"Baik, Baginda."
Senyuman manis terlihat jelas di sudut bibir Xavier, ia mulai mengira yang bukan-bukan. Padahal, Pythia Andromeda Alexa. Akrab disapa dengan Pythia, bule cantik dua puluh lima tahun, dan seorang mahasiswi semester akhir dari Eropa. Ia sedang melakukan tugas penelitian akhir di dalam sebuah kapal, hingga tidak terduga mengalami kecelakaan sampai akhirnya terdampar.
Membawa Pythia ke dalam sebuah kastil pendeta dengan pondasi yang jauh lebih kokoh dan telah dibangun berabad-abad lamanya, hingga mereka percaya, bangunan tersebut bisa melindungi dari badai besar. Merasa ketakutan jika sewaktu-waktu badai besar kembali datang. Pandangan mata terus terpasang ke arah Pythia sembari berusaha membangunkan wanita itu.
Hingga air ke luar dari dalam mulut wanita itu, tepat ketika Xavier memberikan nafas buatan dengan mengecup bibirnya.
"Baginda Raja Xavier, kita tidak tahu siapa wanita ini. Jadi, kenapa dia kita tolong? Bagaimana kalau sebenarnya dia ini penyusup?" tanya Baron yang harus selalu was-was demi keselamatan dan perlindungan rajanya.
"Tutup mulutmu, Baron. Dia tidak terlihat seperti setan ataupun penyihir, kan? Lebih baik hidupkan api unggun. Kita akan bermalam di kastil pendeta malam ini," perintah Xavier.
"Tapi, Baginda -"
"Hentikan, Baron. Apa kau ingin menentang diriku?"
"Ti-tidak, Baginda." Baron menundukkan kepalanya dalam rasa ketakutan.
"Ya sudah. Pergilah untuk menghidupkan api unggun, lalu tinggalkan aku berdua bersama wanita ini di sini."
Perlahan Pythia mulai tersadar, dan samar-samar menatap wajah seorang pria di dalam kegelapan. Ia merasa sangat takut, hingga berusaha berlari.
"Hei, tenanglah. Kau aman di sini bersamaku," ucap Xavier sembari menggenggam tangan Pythia dengan erat.
"K-kau siapa? Lalu kenapa semuanya gelap? Di mana ini?"
"Kita di dalam kastil, tunggu sampai api unggun hidup baru kita bisa saling melihat. Katakan siapa namamu?"
"Namaku? Siapa namaku?" tanya Pythia saat ia mulai tidak lagi mengenal dirinya sendiri.
"Sepertinya dia hilang ingatan, mungkin terjadi sesuatu saat ia terdampar. Pasti dia sudah melakukan perjalanan jauh hanya untuk memberikan kebahagiaan di dalam kerajaanku," batin Xavier dengan kepercayaannya kepada sebuah ramalan.
"Aku tahu siapa dirimu. Kau sebenarnya seorang titisan dewi, benarkan? Tapi, aku melihat namamu di dalam tas ransel itu. Pythia Andromeda Alexa, itu dirimu. Jadi sekarang aku akan memanggilmu Dewi Pythia," jelas Xavier.
"Dewi Pythia?"
"Ya, nama yang indah seperti dirimu. Bahkan aku tahu artinya karena kau akan membawa cinta dan kebahagiaan dalam duniaku, Dewi Pythia."
"A-aku Dewi Pythia?" Ia terlihat sangat kebingungan sembari terus berusaha mengingat semua ingatannya. Namun justru, rasa pusing membuat kepalanya kesakitan.
Cahaya terang mulai terlihat saat api unggun sudah menyala, dan kehangatan mulai tiba. Namun, Xavier baru tersadar jika wanita itu membutuhkan kehangatan dari pelukannya.
"Bajumu basah kuyup, aku akan menghangatkan tubuhmu. Jadi, pakailah jubahku."
"Tidak usah, nanti kau pun akan kedinginan."
"Akan lebih baik aku yang kedinginan daripada seorang dewi seperti dirimu, Pythia. Sini akan aku pakaikan," pinta Xavier dengan sedikit paksaan.
Pythia tidak menolak, terlebih ia masih bingung dengan semua ini selain membuatnya menerima setiap perlakuan manis dari Xavier.
Membuat Xavier segera menggantikan pakaian Pythia dengan membuka perlahan gaun putih yang sudah basah kuyup. Kulit putih bersih milik Pythia terlihat begitu indah, apalagi di dalam dunianya, Xavier belum pernah melihat seorang wanita cantik lengkap dengan rambut putih yang semakin menggoda.
"Dia sangat indah, dan bulatan besar itu jauh lebih indah," batin Xavier saat sebagai seorang pria normal yang tidak bisa melihat kesempurnaan seperti di depan matanya.
Memegang leher Pythia sesudah memasang jubahnya. "Kau masih kedinginan?"
"Hanya sedikit, tapi nanti pasti akan hilang."
"Aku akan memelukmu."
Perlakuan manis yang mulai Xavier perbuat saat berusaha memeluk sembari berusaha menyentuh. Tangannya mulai bergerak, ditambah hujan lebat di luar sana membuat suasana semakin bersahabat.
Hingga tubuh Xavier mulai terbuka polos, dan mulai memberikan kenikmatan sesaat sampai Pythia mulai mendesah di balik tubuhnya.
Perlahan Pythia meringis kesakitan ketika Xavier mulai membuka jalannya untuk masuk. Tersegel rapat mulai terlepas, hingga cakaran gigi yang tajam dari Pythia membekas di punggung Xavier dalam pelukannya.
"Malam ini kau akan menjadi milikku, Dewi Pythia, dan akan seterusnya menjadi milikku. Ramalan ini benar-benar nyata, maka aku akan merayakan pesta besar-besaran untuk menyambut mu datang," batin Xavier saat ia melihat mata Pythia terpejam dan terbuka ketika menerima sensasi dari hubungan ini.
Hingga membuat Pythia kelelahan, dan tertidur dengan lelap. Namun tidak dengan Xavier yang masih terus tidak ingin melewatkan keindahan di depan matanya.
Namun tiba-tiba, Baron masuk ke dalam kastil, sampai membuat Xavier dengan cepat menarik jubahnya demi bisa menutupi tubuh Pythia.
"Ada apa? Mengagetkan orang saja."
"Aku melihat dua kuda dan sebuah kereta kuda sedang menuju ke sini, Baginda Raja. Sepertinya pihak istana datang untuk mencari mu."
Xavier terdiam sembari menoleh ke belakang, batinnya berkata. "Tidak akan mungkin aku membiarkan Pythia dilihat dalam keadaan seperti ini."
"Ya sudah, kita akan bersiap untuk kembali malam ini juga. Tapi, apa badai besar sudah hilang?"
"Sudah, Baginda Raja. Hanya hujan lebat yang belum reda, tapi bagaimana dengan wanita itu?" tanya Baron saat ia merasa ada yang aneh ketika melihat jubah sang raja pada Pythia.
"Wanita itu seorang titisan dewi, jadi aku berpikir akan membawanya pulang ke istana. Maka selanjutnya akan menjadi urusanku," sahut Xavier dengan menatap tajam ke arah Baron.
"Baik, Baginda Xavier." Baron mengikut tanpa membantah, meskipun ia masih belum percaya sepenuhnya tentang kehadiran titisan dewi dari dalam diri wanita itu. Hingga membuat batinnya bertanya-tanya. "Mungkinkah itu benar? Jika memang mungkin, maka kenapa bisa wanita ini terdampar di tepian pantai? Sudah pasti dia memiliki kekuatan khusus yang tidak sama sekali kami memiliki. Tapi sudahlah, aku hanya cukup menjaga Baginda Raja jika wanita itu berbuat buruk."
Kereta lainnya beserta dua kuda, yang jelas-jelas berasal dari istana berhenti di dekat sebuah gua saat terlihat tenda milik Xavier ada di dekat.
Seorang wanita cantik dengan gaun biru muda turun dari kereta kuda dalam keadaan cemas. Ia langsung berlari memeluk Xavier dengan penuh kasih sayang.
"Kau baik-baik saja, Xavier? Aku merasa begitu takut kalau terjadi sesuatu padamu, harusnya kau ikut dengan keluargamu bukan menyelematkan diri seorang diri seperti ini," tanya Pandora yang memastikan keadaan sang raja.
Pandora Tessa, sang ratu sekaligus istri dari Xavier. Mereka belum lama ini menikah, tetapi tidak ada raut kebahagiaan dari wajah Xavier saat wanita itu datang mencarinya sampai-sampai pelukan tidak terbalaskan.
Jika selama ini, Xavier dan Pandora selalu menyembunyikan kebencian saat di depan banyak orang, namun sekarang dengan terang-terangan Xavier memperlihatkan rasa tidak sukanya terhadap sang istri yang tidak lain terjadi pernikahan karena perjodohan antara kedua pihak istana.
Hal itu membuat Pandora merasa terheran, terlebih keromantisan yang mulai hilang saat ia mendekati Xavier.
"Sang raja kenapa? Apa dia ingin seluruh penduduk tahu kalau aku dengannya tidaklah saling mencintai seperti yang orang lain duga?" batin Pandora dalam kebingungan.
Xavier ingin segera melangkah pergi masuk ke dalam gua, tetapi dengan cepat Pandora justru mengikuti langkahnya.
"Tunggu dulu, Xavier."
"Ada apa? Kenapa kau sampai mengikuti ku ke sini? Hanya ada Baron, jadi tidak perlu bersikap manis padaku," tanya Xavier dengan terang-terangan.
"Aku tahu itu, tapi bagaimanapun kau tetaplah suamiku. Meskipun sudah dua bulan kita menikah, dan sama sekali kau tidak menyentuhku. Tetap saja, aku berhak tahu keadaan dari penguasa istana, apa itu salah?" Pandora berusaha membalas sikap tak acuh yang selalu ia terima.
"Salah karena rasa cemas hadir di saat kau mencintaiku, tapi kita sama-sama tidak saling mencintai. Jadi, jangan berharap aku menyentuhmu di dalam pernikahan ini."
"Xavier, lalu kenapa kau memperlihatkan sikap buruk ini di depan orang lain? Kita sudah sepakat, bukan?"
"Tidak ada orang lain, selain hanya Baron yang tahu semuanya tentang kita. Jadi, tidak perlu bersandiwara. Sekarang pulanglah, aku akan pulang dengan kereta kuda ku sendiri," usir Xavier secara tidak langsung sembari ia berjalan ke arah Pythia yang masih tertidur pulas.
Tidak ada jawaban, namun Pandora hanya melihat. Sampai membuatnya bingung ketika ada wanita lain di dalam gua bersama dengan suaminya.
"Siapa dia? Apa kalian sudah bermalam di sini berdua?"
"Aku sudah bilang, ada Baron di sini. Jadi kami bertiga. Pandora, jangan terlalu bertingkah seolah-olah kau sedang pubertas. Pergilah, ini perintah sang raja," ketus Xavier dengan tegas.
Tidak mau tahu, Pandora akhirnya memilih pergi walaupun kecemasan di dalam hatinya semakin bertambah. Berbeda dengan Xavier yang perlahan-lahan mulai membangunkan tidur Pythia.
"Kau masih ingin tidur, Pythia?" tanya Xavier dengan penuh perhatian.
Wanita itu menguap sembari menjawab dengan anggukan kecil. Xavier mengerti. "Ya sudah, aku akan menggendong mu. Kita akan pulang ke istana."
"Apa? Istana?" Sontak membuat Pythia terkejut. Terlebih ia baru kali ini mendengar nama itu. "Apa istana itu seperti di dalam dunia dongeng?"
"Hei! Dongeng apanya? Ini kenyataan, Pythia. Ayolah kita pulang ke istana. Daripada terjadi sesuatu denganmu di sini, apalagi binantang buas biasanya sangat menyukai gua hangat seperti ini, bukan?"
"Baiklah, tapi aku bisa berjalan sendiri."
"Tentu, aku tidak akan memaksa menggendong mu jika kau keberatan."
Perlahan Pythia melangkahkan kakinya, namun ia merasa sedikit perih di bagian pinggang dan pahanya. Terasa aneh, tetapi tetap berusaha berjalan dengan biasa.
Langkahnya lain membuat Xavier menahan tawa sampai batinnya berkata. "Apa mungkin karena mahkota keperawanannya hilang? Sampai dia berjalan seperti anak kecil saja. Lucu sekali."
Di dalam perjalanan, Pythia hanya melihat gurun pasir yang luas setelah ia melewati lautan yang luas. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, namun ia sangat asing dengan tempat ini.
Hanya terlihat bayang-bayang kenangan dalam benaknya, saat mencoba mengingat tentang kejadian tersebut. Namun justru, bayangan lain yang samar-samar membuatnya semakin membingungkan.
"Sebenarnya siapa diriku? Bahkan namaku saja tidak lagi aku ketahui, dan tas ransel ini ... hanya ada sebuah buku catatan kecil, tidak adanya ponsel atau barang pengenal lainnya," batinnya sembari membuka tas miliknya yang masih tersemat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Xavier ketika melihat Pythia sibuk sendiri dengan tas ranselnya.
"Ya, aku baik. Tapi, wajahmu dan tempat ini sangat asing bagiku. Kau bisa memberitahukan sesuatu?"
"Aku hanya tahu jika dirimu sebagai titisan dewi bagi duniaku, jadi sekarang jangan pikirkan apapun dulu, oke?"
"Ya, baiklah. Tapi, Xavier, apa kau seorang peternak kuda? Kenapa banyak sekali kuda di sini? Bahkan tidak ada mobil satu pun."
"Tentu saja ada mobil, Pythia. Tapi, ini jalan gurun, jalan pintas yang menuju ke istanaku. Mobil hanya dipakai di jalan aspal. Nanti kau sendiri akan melihatnya. Tapi, bagi penduduk istana menunggangi kuda jauh lebih disukai daripada memakai mobil yang lebih rentan menimbulkan banyak polusi."
"Oh begitu, ya. Baiklah sambil menunggu aku akan tidur kembali."
"Tentu, lakukan yang kau inginkan, Pythia."
***
Memasuki aula pekarangan Kerajaan Royaley, para penduduk istana semuanya memberikan hormat dengan tertib saat sang raja mulai kembali, namun mereka kembali melanjutkan aktivitasnya yang berusaha gotong royong setelah badai besar menghancurkan beberapa tempat.
Namun tiba-tiba, seorang pendeta berjalan mendekat ke arah kereta kuda saat melihat seorang wanita dengan kulit putih bersih dan rambut pirang. Ia tercengang terlebih tidak ada satu pun diantara mereka yang berkulit seperti itu.
"Ada titisan dewi datang! Semuanya lihatlah!" Pendeta Zhong istana berteriak keras sampai membuat semua orang tersenyum bahkan ada yang tertawa gembira.
Begitupun dengan Xavier yang merasa bahwa ini menjadi sebuah kemenangan yang paling ia sukai. Lalu seorang wanita yang memegang penyapu mendekat.
"Hormat, Baginda Raja Xavier. Aku senang melihatmu kembali ke sini, tapi aku sendiri merasa sangat bahagia ketika ramalan yang pendeta katakan menjadi kenyataan. Apa benar wanita itu seorang titisan dewi yang nantinya akan membawa cinta serta kesejahteraan di istana kita?" tanya Cilo selaku sahabat baik dari sang raja sekaligus ia anak dari sang pendeta.
"Seperti yang kau lihat sekarang, Cilo. Dia akan menjadi istri kesayangan ku. Siapkan acara pernikahan serta pesta yang meriah untuk menyambutnya di istana kita!" perintah Xavier setelah berdiri di atas kertas kuda dengan penuh kebesarannya.
"Baginda Raja Xavier akan menikahi sang titisan dewi, siapkan semuanya dengan baik. Rentangkan karpet merahnya!" teriak Cilo dengan keras setelah mendapatkan persetujuan.
Pythia terbangun karena mendengar suara keributan, ia merasa heran ketika banyak orang terus tersenyum manis dan meminta berkat untuknya. Hanya bisa membuatnya tersenyum palsu, meskipun banyak pertanyaan yang berada di dalam benaknya.
Xavier segera menggenggam tangan Pythia untuk berjalan masuk ke dalam istana. Semua pedang milik pengawal istana diturunkan saat sang raja berjalan bersama titisan dewi yang mereka percayai.
"Inilah istana sederhana ku, Pythia. Sekarang semuanya akan menjadi milikmu," ucap Xavier.
"Mi-mi-milik ku? Sungguh semuanya? Hei! Xavier, aku sangat asing dengan tempat ini." Pythia mulai terbata-bata saat melihat istana mewah berwarna serba putih.
"Sekarang asing, tapi nanti tentu saja tidak. Ayo kita masuk ke kamarmu. Kau harus beristirahat agar besok pagi bisa segar saat menyambut perayaan untukku," pinta Xavier sembari merebahkan tubuh Pythia dengan menarik jubahnya.
"Perayaan untukku?"
"Ya, perayaan karena kita akan menikah. Setelah itu aku akan nobatkan dirimu sebagai permaisuri bagiku, Pythia."
"Ta-tapi, itu sungguh berlebihan, Xavier. Aku tidak mau itu semua, percayalah."
"Tidak lagi diragukan kalau Pythia benar-benar datang seperti di dalam ramalan. Dia bahkan sama sekali tidak tertarik dengan kekuasaan apalagi posisi menjadi permaisuri. Padahal, di luar sana banyak sekali wanita yang berlomba-lomba untuk menarik simpati ku," batin Xavier yang sama sekali tidak berpaling.
"Pythia, aku menginginkanmu saat ini. Setelah perayaan tiba, kita akan semakin berdekatan, tapi sekarang aku ingin dirimu lagi tepat setelah kita memasuki istanaku ini," ucap Xavier yang perlahan-lahan mulai membuka penghalang di tubuh Pythia.
"A-apa maksudnya?"
Tidak membuat Xavier menjawab, namun justru ia kembali merebahkan tubuh Pythia hingga membuat wanita itu kembali berteriak dengan ******* manja di balik dekapannya.
Untuk kedua kalinya, Xavier kini ingin memperlihat bahwa kekuasaannya ada di dalam istana dengan kembali merampas Pythia dengan penuh pesona.
Merenggut kembali sampai benar-benar tidak tersisa, sat kesucian Pythia telah berhasil lepas setelah kedua kalinya.
"Kau sangat indah, aku bisa semakin melihat dengan jelas keindahanmu di bawah cahaya lampu dan bulan secara bersamaan," bisik Xavier tepat ketika jendela kamarnya ia biarkan terbuka bebas, dan memperlihatkan sentuhan mesra di depan alam semesta.
"Ah ... Pythia, aku hampir tiba ...." Xavier mulai mendesah hingga membawa Pythia ke dalam pelukannya dengan erat.
"Apa yang ingin tiba, Xavier?" Pythia merasa aneh terlebih saat ditubuhnya sendiri seperti ingin mengeluarkan sesuatu. Bukan apa-apa, namun karena sebelumnya ia sudah melupakan segala hal tentang hubungan dewasa.
Meskipun begitu, sensasi yang Pythia rasakan dapat membuatnya cukup bahagia. "Apa barusan yang terjadi? Tempat tidurmu sampai basah."
"Itu hal yang wajar, Sayang. sekarang apa kau lelah? Jika ya, maka beristirahatlah," tanya Xavier tanpa lupa mengecup bibir wanita itu.
"Lalu kau ingin ke mana?"
"Aku ada urusan sedikit. Sudah ... jangan lagi banyak berpikir. Sekarang tidurlah, aku akan kembali setelah mengurus beberapa hal," ucap Xavier sembari menyelimuti tubuh wanita itu.
"Baiklah."
Pythia hanya menjawab dengan sekedarnya, namun semua itu membuatnya sama sekali tidak bisa tertidur. Ia berjalan ke arah lemari dengan perlahan-lahan saat kedua pinggangnya masih terasa sedikit lelah setelah melakukan pertempuran, dan melihat begitu banyak gaun indah yang setara dengan ukuran tubuhnya.
"Apa gaun ini memang disediakan untukku? Cantik sekali," gumamnya sembari mencoba salah satu gaun dengan warna kesukaannya yaitu hitam.
Bergerak ke arah jendela sebelah kiri, yang menembus langsung ke bawah istana, namun tidak jendela kanan yang menghadap ke arah lautan. Menatap banyak orang-orang unik yang sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang berbadan kerdil, ada yang terlalu tinggi, dan ada warna kulit yang hitam pekat.
"Istana ini unik sekali, mungkin aku akan betah untuk tinggal di sini."
Pythia mulai keluar dari kamarnya, ia merasa bosan jika harus berada di dalam ruangan serba putih. Namun kedatangannya yang memakai gaun hitam, justru membuat orang lain menatapnya dengan penuh kebencian.
"Kenapa dia memakai warna hitam? Jelas-jelas warna itu dikaitkan dengan kematian."
"Aneh, katanya titisan dewi. Padahal, sang dewi sangat menyukai warna cerah, kan?"
"Sudah jangan bergosip, nanti para kekuasaan istana akan mendengarnya."
Gunjingan orang-orang mulai terdengar, bahkan bukan lagi berbisik, tetapi berusaha keras bersuara demi bisa Pythia dengar. Ia menatap ke bawah gaunnya, terlihat tidak ada yang salah.
"Apa yang aneh dengan warna hitam ini? Aku sangat menyukai warna ini," gumam Pythia yang sama sekali tidak peduli dengan komentar mereka.
Sama sekali tidak peduli, hingga Pythia berpapasan dengan seorang wanita cantik lengkap dengan gaun biru muda serta memakai sebuah mahkota kecil di atas kepalanya.
Pandora Tessa menatap Pythia dengan penuh keheranan, ia melihat dari atas hingga ke ujung kaki sebelum akhirnya menahan tawa. "Apa kau tidak salah dengan kostum mu ini, Dewi Pythia?"
"Apa? Memangnya kenapa? Aku tidak berjalan telanjang, bukan? Lalu masalahnya di mana?" Pythia sedikit kesal dengan komentar, hingga ia berusaha membangkang.
"Memang tidak salah, tapi bukan berarti kau bisa memakai gaun apapun hanya karena untuk menutup tubuhmu ini. Dewi Pythia, sebentar lagi kau akan menjadi saudaraku, jadi berpakaian lah dengan layak karena sedikit saja kesalahanmu akan membuat seorang orang menatap."
"Begitu ya? Tapi mau bagaimana lagi? Aku sangat menyukai pakaian berwarna hitam, entah kenapa, tapi saat melihatnya justru keinginan untuk memakai jauh lebih besar."
"Aku tahu, Dewi Pythia. Meskipun begitu, tetap saja kau harus jaga image sebagai salah tahu orang terpenting di istana. Bukan sekedar menjadi saudaraku, tapi kau istri kedua suaminya nanti. Ayo aku temani untuk menggantikan gaunmu," ajak Pandora sembari tersenyum ramah.
"Um, baiklah," sahut Pythia dengan sangat terpaksa.
"Warna kulitmu semuanya akan cocok memakai gaun apapun, tapi tidak dengan hitam karena itu lambang dari sebuah duka. Dahulu jika ada yang memakai gaun tersebut, akan datangnya bencana besar. Untuk mengindari itu, pakaian warna lain, ya. Ambil ini merah sangat cocok untukmu," pinta Pandora yang terlihat sangat peduli.
"Bagus juga, tapi aku tidak terlihat seperti ibu tiri yang kejam, bukan?" tanya Pythia yang asal bicara.
"Bahasa apa itu? Memangnya ibu tiri selalu kejam, ya? Tentu saja tidak, Dewi Pythia. Lihat kau tampak anggun dan cantik sekali."
"Benarkah?"
Pandora menjawab dengan anggukan kecil sembari bertanya. "Tapi ngomong-ngomong, kau ingin pergi ke mana saat itu? Bukankah Xavier menyuruhmu untuk beristirahat?"
"Ya, tapi aku sangat bosan di sini apalagi tidak ada teman mengobrol satu pun. Apa kau mau menjadi teman mengobrol untukku? Bahkan aku belum tahu namamu."
"Tentu saja boleh. Namaku Pandora Tessa yang berarti tidak terkalahkan. Jadi, panggil aku Pandora, kau ingat?"
"Pan-do-ra! Oke, aku akan mengingatmu, teman," sahut Pythia sembari mengeja namanya.
"Ya sudah, ayo aku akan mengajakmu keliling istana," ajak Pandora seraya mengulurkan tangannya.
Uluran tangan diterima, membuat mereka berjalan bersama sampai membuat Xavier tersenyum senang melihat istri dan calon permaisurinya sangat akur.
"Wah ... Baginda, sepertinya badai besar tadi cukup membawa berlian yang berkali-kali lipat untukmu. Lihat saja, Ratu Pandora dengan lapang dada menerima kehadiran madunya. Memang kebaikan hati Ratu Pandora sudah tidak perlu dipertanyakan," puji Baron dengan penuh semangat.
"Kau benar, Baron. Aku beruntung mendapatkan Pythia, tapi jauh lebih beruntung saat kebesaran hati Pandora menerima kehadirannya."
"Selamat atas kemenangan mu, brother. Aku ikut senang dengan pencapaian serta keberhasilanmu membawa Dewi Pythia masuk ke dalam istana kita. Bahkan kedatangannya sampai terdengar cukup meriah." Terdengar sebuah pujian dari arah belakang.
Xavier dan Baron segera menoleh ke belakang, saat menyadari kedatangan Frederick. Adik angkat dari Xavier, diangkat sebagai adik ketika kedua orangtuanya telah tewas saat dimedan perang. Kesetiaan kepada sang raja hingga menjadikan Frederick sebagai saudara.
"Terima kasih banyak, brother. Jika sekarang aku, maka nanti dirimu akan membawa keberuntungan. Kapan kau akan menyusul ku menikah?" tanya Xavier tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun.
"Um, aku mungkin tidak akan menikah, Kak Xavier. Kau saja lebih dulu," sahutnya dengan santai.
"Loh? Kenapa? Menikahlah agar kita bisa menjodohkan pewaris kerajaan."
"Masih panjang karena aku juga sedang berkuliah untuk menjadi seorang pengacara istana. Tenanglah, Kak Xavier. Adikmu ini masih sangat betah sendiri," sahut Frederick yang lebih menginginkan mendapatkan jabatan serta gelar. Meskipun di dalam dunia paralel, namun kehidupannya masih berjalan seperti di dalam bumi pada umumnya.
"Ya sudah, itu urusanmu saja. Kalau begitu nanti bersiaplah, kita kan turun ke aula istana."
"Baik, Kak Xavier."
Senyuman Frederick seketika berubah ketika Xavier dan Baron meninggalkannya sendirian. "Aku cukup senang, tapi aku jauh lebih senang setelah berkenalan dan tahu tentang Pythia. Aneh, wanita itu tiba-tiba datang, tapi darimana asal mulanya berasal?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!