NovelToon NovelToon

Please Look At Me!

Chapter 1

Gadis itu melangkah memasuki ruang kelas yang mulai bising sejak tadi. Ini masih pagi hari, masih banyak waktu yang tersisa sebelum bel berbunyi, tapi sudah ada banyak murid yang mulai memenuhi ruang kelas. Mereka sedang mengklaim tempat duduk yang akan mereka tempati selama satu tahun ke depan.

Ini adalah awal Tahun Ajaran Baru, di mana para murid kembali masuk ke sekolah setelah berlibur cukup lama.Ini adalah awal dimulainya jenjang pelajaran yang baru untuk para murid dan memilih tempat duduk yang strategis bagi mereka adalah langkah awal dari semuanya.

Mereka adalah murid kelas VIII di SMP swasta yang paling terkenal di Kota itu. Orang-orang yang masuk di dalam merupakan orang-orang kalangan ekonomi menengah ke atas.

Para murid asyik bercengkarama satu sama lain, terutama dengan teman-teman mereka yang terpisah selama liburan. Mereka sangat senang akhirnya kembali bertemu di dalam ruang kelas saat ini. Tapi tak satu pun dari mereka yang menyambut kedatangan gadis itu, karena ia memang tidak memiliki teman dekat di kelas itu.

Tidak begitu banyak tempat kosong yang tersisa, ia memilih duduk di baris kedua dari belakang. Di belakangnya, ada dua bangku yang telah terisi oleh dua murid laki-laki. Mungkin kali ini ia juga tidak akan memiliki teman sebangku lagi seperti sebelumnya, karena jumlah murid di dalam kelas mereka ganjil. Ia sering sendirian.

Bukan berarti teman-teman kelasnya membencinya. Tidak. Mereka hanya tidak begitu akrab dengannya, apalagi gadis itu cukup pendiam.

Perhatian sebagian besar murid teralihkan pada sosok yang asing memasuki kelas mereka. Tidak ada yang pernah melihatnya sebelumnya. Ia mungkin saja adalah murid baru di dalam kelas itu.

"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya pada gadis itu.

Seisi kelas tiba-tiba penuh sorakan karena laki-laki itu meminta duduk tepat di samping gadis itu. Mereka sibuk menggoda keduanya.

Bukan tanpa alasan laki-laki itu bertanya canggung pada gadis yang hanya diam menatapnya itu. Ia tidak memiliki pilihan lain. Semua bangku telah terisi kecuali yang ada di samping gadis itu.

Meskipun ia merasa malu, ia tetap harus duduk di dalam kelas itu. Tidak ada pilihan lain baginya. Kecuali ia mau mengambil bangku dan meja lain dari luar kelas mereka untuk di masukkan ke dalam kelas itu. Tapi mana mungkin ada, kelas lain juga membutuhkan bangku bagi murid yang ada di kelas mereka.

Guru pun akan merasa aneh jika ada dua orang yang duduk menyendiri di dalam kelas itu. Pada akhirnya mereka akan tetap duduk di bangku dengan satu meja yang sama di dalam kelas.

Gadis itu menatap canggung ke arah sekelilingnya, berharap setidaknya ada satu tempat duduk yang kosong bagi laki-laki itu. Ia terlalu canggung untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya, apalagi orang itu adalah orang yang baru pertama kali ia lihat.

Nihil, tidak ada satu pun bangku kosong di dalam kelas itu. Semua bangku sudah terisi kecuali yang ada di sampingnya. Tatapan gadis itu beralih pada murid laki-laki yang sedang menatapnya untuk meminta persetujuan.

"I-iya," jawabnya canggung.

Laki-laki itu pun meletakkan tasnya di atas meja, lalu duduk di bangku yang berada tepat di sebelah kiri gadis itu. Setelahnya, tidak ada lagi interaksi di antara keduanya seolah-olah ada tembok tinggi yang memisahkan keduanya.

Tidak lama kemudian, ada beberapa anak laki-laki yang masuk ke dalam ruang kelas mereka. Salah satu di antara mereka memiliki wajah yang mirip dengan laki-laki yang duduk tepat di sebelah gadis itu. Sangat mirip sampai sulit untuk membedakan keduanya.

"Hai, bro!" sapa salah satu di antara mereka kepada laki-laki yang ada di sebelah laki-laki itu sambil berjabat tangan.

"Hahaha... kok kamu duduk sama cewek?" ejek salah satu di antara mereka setelah melihat gadis yang duduk di sebelah laki-lak itu.

"Tidak ada tempat kosong lagi."

Ali dan teman-temannya menatap gadis itu sejenak. Setelahnya, mereka mengobrol tanpa memedulikan tatapan dari murid-murid di dalam kelas mereka saat ini. Wajah-wajah yang penasaran dan ingin tahu.

Melalui obrolan mereka, gadis itu dapat menyimpulkan bahwa laki-laki yang duduk tepat di sebelahnya saat ini bernama Alan. Ia bukanlah murid baru. Ia sebenarnya kakak kelasnya, tapi cuti hampir satu tahun karena penyakit yang dideritanya.

Laki-laki yang berwajah sangat mirip dengannya dalah saudara kembarnya, Ali. Keduanya merupakan kembar identik sehingga wajah keduanya sangat mirip dan sulit untuk dibedakan.

Murid-murid lain yang masuk ke kelas mereka bersama Ali adalah teman-teman sekelas Alan dulu. Mereka cukup akrab sampai datang ke kelas adik kelas mereka untuk sekedar menyapa Alan yang baru saja kembali masuk ke sekolah setelah cuti karena sakit.

***

Ding...Dong...Ding....

Bel sekolah berbunyi pertanda jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Meskipun ini adalah hari pertama dalam Tahun Ajaran Baru, pihak sekolah tidak ingin para murid membuang-buang waktu mereka tanpa belajar sama sekali. Kegiatan belajar mengajar sudah dimulai di sekolah itu sejak hari pertama mereka selesai libur panjang.

Ali dan teman-temannya pamit meninggalkan Alan di dalam ruang kelas itu. Mereka akan kembali ke ruang kelas mereka karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai.

Para murid keluar dari kelas dan berbaris rapi di depan kelas sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Di luar sedang hujan sehingga kegiatan upacara yang biasanya dilakukan tiap senin pagi, kali ini terpaksa tidak dilaksanakan.

Guru-guru mulai berjalan ke kelas-kelas sambil membawa perlengkapan mengajar mereka. Ketika sampai di depan kelas yang akan mereka ajar, mereka akan mempersilahkan murid masuk satu per satu ke dalam kelas sesuai barisan mereka.

Setelah semua murid masuk ke dalam kelas, sang guru pun ikut masuk ke dalam kelas. Jam pelajaran pertama pun dimulai.

***

Canggung, itulah yang dirasakan oleh gadis itu saat ini. Ia dan Alan tidak berinteraksi lagi setelah laki-laki itu meminta izin untuk duduk di bangku yang berada tepat di sebelahnya. Mereka seperti dua orang asing yang menolak untuk saling kenal.

Gadis itu pun tidak ingin ambil pusing. Meskipun begitu, ia tetap merasa tidak nyaman, seakan-akan sedang duduk dengan orang yang paling membencinya di muka bumi ini. Ia tidak suka. Ia tidak menyukai keberadaan laki-laki itu di dalam kelasnya, apalagi duduk sebangku dengannya. Ia benar-benar tidak menyukainya.

Tatapan matanya beralih ke bangku yang tepat berada di belakang laki-laki itu. Di sana Gideon, laki-laki yang membuatnya tertarik saat berada di kelas VII sedang duduk. Keduanya tidak begitu akrab, meskipun mereka lulus dari Sekolah Dasar yang sama, bahkan berada di kelas yang sama pula.

Ia segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain begitu yang ditatap menyadari bahwa ia sedang di tatap. Gadis itu memalingkan wajahnya. Ia terkejut begitu mendapati Alan sedang menatapnya.

Gadis itu salah tingkah. Ia seperti ketahuan sedang melakukan tindak kejahatan saat ini. Ia mengalihkan pandangannya pada papan tulis yang ada di depan kelas dan berpura-pura tidak tahu apa yang baru saja terjadi.

Alan menatap gadis yang tampak salah tingkah itu. Tatapannya ia alihkan ke Gideon yang berada tepat di belakangnya saat ini, lalu kembali menatap gadis itu.

Chapter 2

Namanya Erina, murid kelas VIII SMP. Ia tidak begitu menonjol di dalam kelasnya, bahkan pesonanya tertutup oleh pesona murid-murid lain di dalam kelasnya. Ia juga tidak begitu pintar mengingat peringkatnya ada di peringkat enam belas di dalam kelasnya. Tapi itu sudah lumayan mengingat kelasnya adalah kelas unggulan di angkatannya, yang selalu dirombak tiap kali pengumuman nilai akhir keluar.

Hanya tiga puluh dua murid dengan peringkat tertinggi di angkatannya yang boleh masuk ke dalam kelasnya. Jadi ia tidak begitu berkecil hati dengan nilai yang ia peroleh.

Ada banyak murid yang berasal dari sekolah yang sama dengannya saat masih SD, tapi tidak ada yang begitu akrab dengannya. Di antara mereka semua ada dua orang yang dulu sekelas dengannya. Keduanya adalah murid laki-laki sehingga tidak begitu akrab dengannya.

Paras kedua murid itu terkenal tampan dan terkenal sampai ada adik kelas dan kakak kelas mereka yang menggoda keduanya dengan terang-terangan. Tapi tidak ada yang seperti itu di dalam kelas mereka.

Beda halnya dengan Alan yang menjadi pusat perhatian dan menjadi topik pembicaraan di antara murid-murid di dalam kelasnya. Ia yang baru dikenal sejak kemarin justru menjadi orang yang paling banyak mendapatkan perhatian di dalam kelas saat ini.

Tidak sedikit murid perempuan yang suka menggodanya dan mengatakan ingin berpacaran dengannya. Hal itu jujur saja membuat Erina cukup iri karena ia juga ingin mendapatkan banyak teman, tapi kesulitan karena mudah canggung ketika berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

Katakanlah ia pengecut, tapi rasa irinya itu membuat bibit kebencian yang tertanam di dalam hatinya yang ia arahkan kepada Alan, justru makin subur. Ia makin membenci laki-laki itu hari demi hari. Sialnya, ia justru duduk sebangku dengan orang yang paling ia benci di dalam kelas saat ini.

"Erina, pacaran, yuk!" goda Gideon dengan tatapan tengilnya ke arah gadis itu sambil mencolek lengan gadis itu berkali-kali.

Ia tahu bahwa laki-laki itu hanya bercanda, tapi tetap saja jantungnya berdebar karena ulah laki-laki itu. Ia tahu dan sadar ia tidak boleh memiliki perasaan lebih karena itu semua hanya candaan di mata laki-laki itu. Tapi jantungnya sulit untuk diajak bekerja sama.

"Erina," panggil Gideon dengan tengil sambil mencolek lengan kiri gadis itu.

Setelah puas bercanda, Gideon pergi mengobrol dengan teman-temannya yang lain sambil tertawa. Jantung milik gadis itu yang sebelumnya terus berdebar kencang kembali berdetak normal sama seperti sebelumnya. Ia sedikit merasa kecewa karena hanya dijadikan bahan bercandaan oleh laki-laki itu.

Ia menatap kepergian Gideon dalam diam. Ia cukup tahu diri bahwa ia tidak akan pernah pantas untuk disandingkan dengan laki-laki itu.

Ketika gadis itu mengalihkan tatapannya dari bahu Gideon yang telah menjauh darinya, tatapan matanya kembali bertemu dengan Alan yang tengah menatapnya dengan ekspresi mengejek saat ini. Ia benar-benar kesal karena sering ketahuan menatap ke arah Gideon oleh laki-laki itu.

Dengan cepat dan sedikit kasar, ia memutuskan tatapan keduanya dan beralih pada buku tulisnya. Gadis itu mulai menggambar pada halaman terakhir dari buku tulisnya. Gambarnya tidak terlalu bagus, tapi merupakan yang terbaik di dalam kelasnya selama ini.

***

Sebagian besar murid-murid di dalam kelasnya tengah mengerumuni Alan saat ini untuk sekedar mengajak laki-laki itu mengobrol bersama. Tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang tertarik untuk mengajak Erina ikut mengobrol bersama mereka. Mereka hanya penasaran dengan Alan, tidak dengan gadis itu.

Ia hanya berdiam diri di tempatnya sambil meletakkan kepalanya di atas meja. Ia menatap sesekali ke arah Alan.

Ia benar-benar iri dengan laki-laki itu. Alan hanya berdiam diri tapi orang-orang datang mendekat ke arahnya. Bahkan laki-laki itu tidak begitu pintar dan juga dia bukan yang tertampan di dalam kelas itu. Tapi ia seakan-akan memiliki magnet yang sangat kuat dan mampu menarik perhatian semua orang.

Tatapannya lagi-lagi bertemu. Ia kembali kesal. Ia membalikkan kepalanya jadi membelakangi Alan. Dia tidak suka bertatapan mata dengan laki-laki itu. Laki-laki yang senantiasa membuatnya merasa iri.

***

"Hari ini aku jadian sama Alan," ucap Maudy dengan nada centil sambil menggoda Alan.

Laki-laki itu tidak membalas perkataan Maudy karena ia tahu benar bahwa itu hanya sekedar bercanda. Ia hanya tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tatapannya beralih pada Erina yang saat ini tengah memunggunginya dan teman-teman sekelasnya yang lain. Gadis itu selalu sendirian. Ia benar-benar tidak memiliki teman di dalam kelas.

Ia berhenti menatap Erina dan melanjutkan obrolannya dengan beberapa teman sekelasnya. Lagi pula gadis itu juga tidak terlalu penting baginya.

Keduanya juga tidak cukup akrab meskipun mereka merupakan teman sebangku. Ada tembok besar dan tinggi yang tercipta di antara keduanya tanpa disengaja dan membuat hanya ada kecanggungan jika keduanya berinteraksi seperti ketika laki-laki itu meminta izin untuk duduk di bangku yang ada tepat di sebelah gadis itu.

Tentu tidak menyenangkan harus berlama-lama dengan orang yang selalu membuat suasana terasa canggung. Inilah sebabnya keduanya sangat minim interaksi. Mereka tidak memiliki niat untuk menjadi lebih akrab satu sama lain.

Ding...Dong...Ding....

Bel masuk telah berbunyi. Jam pelajaran akan segera dimulai. Murid-murid yang tadinya berkerumun di sekitar Alan kembali ke tempat duduknya masing-masing menyisakan laki-laki itu dan Erina yang masih duduk sambil memunggunginya.

Pelan tapi tetap terdengar, suara dengkuran halus yang keluar dari saluran pernapasan Erina. Laki-laki itu menahan tawanya saat melirik gadis itu dan mendapati ia tengah menggeliat karena merasa kurang nyaman. Ia tidak memiliki niat untuk membangunkan gadis itu meski jam pelajaran telah dimulai.

Seorang laki-laki bertubuh gempal, sedikit botak dan mengenakan kacamata tebal, masuk ke dalam ruang kelas mereka sambil membawa perlengkapan mengajarnya. Wajahnya yang tertekuk memberi kesan galak sehingga tidak ada yang berani bersuara ketika guru itu masuk ke dalam kelas.

Ia terus berjalan sampai di tempat duduk yang disediakan untuk guru di depan kelas. Proses belajar mengajar pun dimulai seperti biasa.

***

Gadis itu belum kunjung bangun dari tidurnya. Tidak ada siapa pun yang membangunkan gadis itu, termasuk Alan, teman sebangkunya.

Laki-laki yang duduk di belakang Alan, Gideon, tidak tega melihat gadis itu dalam masalah jika dibiarkan lebih lama lagi. Perlahan ia memajukan tangannya untuk menepuk punggung gadis itu, sayangnya tidak sampai. Ia menendang-nendang kecil bangku Alan.

"Psst... psstt... bangunin Erina," bisiknya.

Alan tidak ingin begitu peduli dengan gadis itu. Ia mengabaikan apa yang tengah dilakukan oleh Gideon. Ia juga tidak begitu peduli jika gadis itu terkena masalah nantinya.

Brukkkh....

Gideon menendang bangku Alan lebih keras karena laki-laki itu tidak mendengarnya yang sejak tadi meminta untuk membangunkan Erina yang duduk tepat di sebelahnya. Tubuh Alan sampai tersentak karena ulah Gideon.

"Apa itu?" tanya laki-laki bertubuh gempal yang sedang mengajar saat itu.

Ia menyipitkan matanya dan memandang tajam ke arah Gideon dan Alan. Ia baru akan menegur keduanya, tapi perhatiannya teralihkan pada Erina yang tengah tertidur.

"Itu siapa yang lagi tidur di belakang?? Enak sekali ya! Saya capek-capek ngajar dia malah tidur."

Deo yang ada di samping Gideon berdiri, sedikit memajukan tubuhnya untuk membangunkan Erina yang masih tertidur pulas. Alan hanya berdiam diri di tempatnya sambil menatap ke arah Erina, sama seperti semua orang yang ada di kelas itu saat ini.

Tidak butuh waktu lama untuk membangunkan gadis itu. Ketika ia bangun, ia terkejut karena ia tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Lebih terkejut lagi karena sudah ada guru yang berdiri di depan kelas saat ini dan tengah menatapnya dengan penuh amarah.

"Selamat pagi, Tuan Putri!" kata guru itu dengan mata terbelalak seperti ingin memakan gadis itu hidup-hidup.

"Bagus ya kamu!! Enak-enak tidur pas jam pelajaran saya!! Kurang ajar!! Keluar kamu!!" bentak guru itu.

Tidak ingin memperpanjang masalah, gadis itu pun menurut untuk keluar dari dalam kelas. Sekilas ia bisa melihat Gideon tengah menatap Alan dengan wajah kesal.

Chapter 3

"Kok kamu bisa ketiduran, sih?" tanya Tari.

Erina hanya terdiam menatap ke arah Tari. Ia juga heran kenapa tidak ada satu pun orang yang membangunkannya? Jujur saja, ia merasa sakit hati dengan perlakuan teman-teman sekelasnya.

"Nggak ada yang ngebangunin dari tadi?"

Gadis itu menggeleng. Ia juga tidak tahu kalau ia akan tidur dengan sangat lelap sampai jam pelajaran sedang berlangsung. Kalau ia tahu akan seperti itu jadinya, ia tidak akan tidur tadi.

Ia melangkahkan kedua kakinya kembali ke tempat duduknya. Ia menatap ke arah Alan dengan wajah datar. Menurutnya laki-laki itu pasti tahu kalau dia tadi tertidur tapi dengan tega tidak membangunkannya sama sekali padahal dia berada tepat di sebelahnya.

"Gimana?" tanya Gideon.

"Disuruh menghadap guru BK tadi," jawabnya.

Erina menjawab pertanyaan Gideon tanpa berbalik melihat wajah laki-laki itu. Gadis itu tidak menyadari ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh laki-laki itu. Ia memang suka mengusili Erina, tapi tidak setega itu membiarkan gadis itu terkena masalah padahal semua masih bisa dicegah, contohnya membangunkan gadis itu tadi.

***

Beberapa hari kemudian, suasana di dalam kelas sedikit berbeda. Erina tidak tahu sejak kapan suasana di dalam kelas berubah menjadi seperti itu.

Masih ada beberapa murid yang suka menempeli Alan dan mengajak laki-laki itu mengobrol. Tapi sudah tidak sebanyak sebelumnya.

Hal yang paling membuat gadis itu merasa heran adalah ketidak-akraban Gideon dan laki-laki itu. Padahal keduanya duduk berdekatan. Alan duduk tepat di depan Gideon, tapi saling menyapa pun keduanya enggan, seperti Alan dengan Erina.

Gadis itu tidak terlalu ambil pusing. Ia hanya berasumsi kalau Alan tidak begitu menyukai orang-orang yang duduk dekat dengan bangkunya.

"Tapi emang dia 'kan menyebalkan?"

Erina memasang telinganya begitu tidak sengaja mendengarkan Priska dan Elvira, teman sekelasnya, sedang bergosip. Ia sedang pura-pura tidur di saat dua orang itu tengah bergosip ria di sampingnya. Entah siapa yang mereka gosipkan saat ini.

"Ingat yang Erina diusir dari dalam kelas terus disuruh menghadap ke guru BK?"

Gadis itu makin memfokuskan pendengarannya begitu mendengar namanya disebut oleh kedua orang itu. Ia makin penasaran dengan kelanjutan cerita mereka.

"Oh, yang bikin Gideon jengkel setengah mati sama Dia?"

'Hah? Dia? Dia siapa? Apa hubungannya sama aku diusir dari kelas dan disuruh menghadap ke guru BK sama Gideon?' batinnya. Ia semakin penasaran dibuat dua orang itu.

"Iya, itu-" perkataan Elvira menggantung. Ia tidak melanjutkan perkataannya.

Erina yang penasaran ingin mendengarkan kelanjutan obrolan dua orang itu merasa aneh keduanya tidak melanjutkan obrolannya. Padahal ia sudah hampir mengetahui inti dari cerita mereka saat ini.

Perlahan gadis situ membuka kedua matanya. Ia melihat Alan yang baru saja duduk di atas bangkunya. 'Apa mungkin orang yang mereka maksud itu Alan?' batinnya.

Ia tidak tahu kebenaran dari cerita antara Priska dan Elvira sampai bel pertanda pulang sekolah berbunyi. Dua orang itu tidak melanjutkan cerita mereka. Erina makin penasaran dibuatnya, tapi ia tidak berani bertanya pada Priska dan Elvira. Apalagi ia tidak begitu akrab dengan keduanya.

***

Erina menatap Alan yang tengah menyalin tugas matematika yang entah ia dapatkan dari mana. Ia masih penasaran dengan cerita yang belum selesai ia dengarkan kemarin. Ia benar-benar curiga jika orang yang membuat kesal Gideon itu adalah laki-laki itu, tapi ia tidak berani untuk menanyakannya secara langsung.

"Apa lihat-lihat?" tanyanya ketus sambil menatap Erina dengan wajah datar.

Tidak ingin menjawab pertanyaan yang diberikan oleh laki-laki itu, ia memalingkan wajahnya dengan memutar malas kedua bola matanya. Ia benar-benar membenci laki-laki itu.

Meski tidak ditegaskan melalui perkataan, tapi ia merasa laki-laki itu terlalu bersikap waspada dengannya. Tidak hanya membuat batasan untuk sekedar berinteraksi dengannya, laki-laki itu sekarang seperti memiliki aura permusuhan dengannya.

Erina kesal setengah mati karena diperlakukan seperti itu oleh Alan, padahal ia tidak merasa pernah berbuat kesalahan pada laki-laki itu. Ia benar-benar tidak menyukainya.

Ia berbalik menatap ke arah Gideon yang saat ini tengah bercerita dengan Deo. Ia ingin menanyai laki-laki itu, tapi ia juga ragu. Ia dan Gideon terkadang seperti kucing dan anjing, bertengkar setiap kali bertemu. Meskipun pertengkaran itu bukanlah pertengkaran sungguhan.

Ia tidak pernah membenci laki-laki itu seperti ia membenci Alan. Justru ia pernah tertarik dengan laki-laki itu. Bahkan mungkin ia masih tertarik dengan laki-laki itu sampai sekarang.

Sadar ia tengah di tatap, Gideon balas menatap heran ke arah Erina yang masih menatapnya saat ini.

"Kenapa lihat-lihat? Kamu naksir sama aku?" ucapnya dengan senyuman usil.

Lagi-lagi gadis itu memutar malas bola matanya. Tingkah usil laki-laki itu terkadang membuatnya tersipu, tapi ia tidak ingin memperlihatkannya dengan jelas. Ia akan berpura-pura tidak tertarik dengan laki-laki yang sering kali mengusilinya itu.

Ia bisa mendengar dengan jelas tawa puas dari Gideon usai kembali mengusilinya. Ia tahu laki-laki itu memang suka mengusilinya dan tidak pernah serius dengan apa yang ia katakan terhadapnya. Ia tidak ingin berharap lebih pada laki-laki itu dengan memiliki perasaan lebih dalam dengannya. Ia cukup sadar diri dengan hal itu.

Ding... Dong... Ding...

Bel masuk telah berbunyi. Gadis itu bisa menatap sejenak ke arah Alan yang kelabakan karena belum selesai menyalin tugas matematikanya. Tidak mau pusing dengan urusan laki-laki itu, ia memilih ikut berjalan ke luar kelas dan berbaris dengan teman-teman sekelasnya yang lain di koridor kelas.

Alan muncul masih dengan tugas matematika miliknya dan entah milik siapa. Laki-laki itu masih melanjutkan membuat salinan tugas matematika ketika mereka tengah berbaris sambil menunggu guru yang mengajar di jam pertama menuju ruang kelas mereka.

***

Jam pelajaran berlangsung seperti biasanya. Alan sudah menyelesaikan salinan tugas matematikanya saat masih berbaris menunggu guru matematika yang sedikit telat dibandingkan biasanya. Mungkin Dewi Fortuna sendang berpihak pada laki-laki itu.

Saat ini jam pelajaran olahraga sedang berlangsung usai jam pelajaran matematika selesai. Alan yang tidak diizinkan untuk mengikuti pelajaran olahraga oleh dokternya, sedang duduk di pinggir lapangan sambil menatap teman-teman sekelasnya yang sedang berolahraga saat ini.

Tidak ada yang tahu apa sebenarnya penyakit yang diderita oleh laki-laki itu. Ia enggan untuk menceritakannya pada siapa pun, termasuk pada teman terdekatnya sekalipun di dalam kelas saat ini. Hal itu ia sembunyikan rapat-rapat seolah-olah itu adalah aib yang tidak boleh orang lain ketahui sampai kapan pun.

Erina sedang bermain bulu tangkis dengan Gideon, Leo dan Marson. Ia yang sering dianggap lebih kuat dibandingkan murid-murid perempuan lain di dalam kelasnya, memang biasa ikut berolahraga dengan teman-teman kelasnya yang laki-laki.

Apalagi sebagian besar murid-murid perempuan di kelasnya saat pelajaran olahraga terkadang lebih suka duduk dan bercerita di pinggir lapangan, dibandingkan ikut berolahraga. Hal ini membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain ikut berolahraga dengan teman-temannya yang laki-laki, meskipun terkadang terasa sedikit canggung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!