NovelToon NovelToon

Dewi Fortuna (Fake Marriage)

Bab 1. Bersembunyi

...Happy Reading...

...****************...

"Lari, Wi!"

Suara teriakan itu membuat seorang perempuan yang mengenakan baju pengantin berlari semakin kencang. Ia harus tega meninggalkan sahabatnya yang kini tengah ditawan. Perempuan itu terus berlari tanpa menengok ke belakang.

Dewi Anggraeni—perempuan berwajah cantik nan sexy itu dijodohkan oleh ibunya pada seorang juragan kaya untuk dijadikan istri ketiga. Alasannya cukup klasik, yakni sang ibu terlilit hutang banyak pada juragan yang sering bergaya nyentrik. Sang juragan yang terkenal doyan perempuan itu pun meminta Dewi untuk dijadikan istri. Dengan begitu hutang ibunya tidak perlu dibayarkan lagi.

Dewi tentu saja menolaknya, tetapi sang juragan yang mempunyai nama Juragan Rasim pun tetap memaksa. Jika ibunya tidak bisa membayar hutang itu pada batas waktunya, Dewilah yang akan menjadi penebusnya.

Dewi lari dari acara pernikahannya dibantu oleh sahabatnya, tetapi sayangnya anak buah juragan Rasim berhasil menjegal perjalanan mereka. Toni—sahabat Dewi, berusaha menghadang dan menyuruh Dewi untuk segera pergi.

Awalnya Dewi tidak ingin lari, tetapi sang ibu juga tidak tega melihat anaknya menangis terus saat didandani. Ibunya Dewi pun menyuruh Dewi lari bersama Toni. Sayangnya, sahabatnya itu harus tertangkap oleh mereka. Jika saja Toni tidak terus menerus menyuruhnya untuk lari, mungkin Dewi akan kembali.

"Lari, Wi! Jangan pedulikan aku! Aku akan baik-baik aja. Cepat lari!" Begitulah penggalan kata-kata Toni yang selalu terngiang di telinga Dewi.

"Maafkan aku, Ton. Mudah-mudahan kamu nggak diapa-apain sama anak buahnya juragan Rasim," ucap Dewi sambil terus berlari.

Di persimpangan jalan dekat dengan beberapa pertokoan, perempuan itu celingukan ke sana ke mari mencari tempat bersembunyi. Hingga indera penglihatannya menangkap sebuah mobil sedan mewah dengan pintu bagasi belakangnya yang terbuka. Tak berpikir lama, Dewi pun segera masuk ke dalamnya, lalu menutup pintu bagasi itu dengan perlahan tanpa suara.

"Sudah dimasukin semua ke bagasi, Pak?" Suara yang terdengar dari seorang pria membuat Dewi membungkam mulutnya dengan tangan. Sepertinya lelaki itu adalah pemilik mobil tersebut.

Dewi pun semakin menyudutkan tubuhnya pada bagian terdalam bagasi, serta menutup tubuhnya dengan beberapa barang yang ada di sana, lalu berdoa dalam hati, semoga lelaki itu tidak mengecek bagasinya lagi.

"Sudah masuk semua, Pak. Masih ada lagi?" Suara lelaki lain terdengar bertanya pada pemilik mobil tersebut.

"Nggak ada. Makasih, ya."

Do'a yang dipanjatkan oleh Dewi dikabulkan Tuhan, lelaki pemilik mobil tersebut tidak mengecek bagasinya lagi. Ia langsung masuk ke mobil dan duduk di depan setir kemudi. Hingga saat mobil itu berjalan, tubuh Dewi sedikit mendapat guncangan, tetapi beberapa menit kemudian ia merasa nyaman.

Dewi merasa dirinya telah aman dari kejaran anak buah juragan Rasim. Ia pun menghela napas lega. Terbesit dalam benaknya, sosok Toni yang tadi menyuruhnya pergi. Rasa takut pun kembali menghantui. Dewi takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Toni.

"Jika nanti mobil ini berhenti, aku akan segera pergi dan langsung mencari Toni," gumam Dewi bermonolog sendiri.

Helaan napasnya pun terdengar kasar. Ia merasa hidupnya begitu sial. Sedari kecil hidupnya selalu miskin, dan ia tidak tahu jika ibunya mempunyai hutang yang banyak pada juragan Rasim.

Namun, Dewi juga tidak bisa menyalahkan ibunya begitu saja. Ibunya bilang hutang itu bekas pengobatan bapaknya pasca kecelakaan, tetapi sayangnya sang bapak kini sudah meninggal. Pun dengan biaya sekolah Dewi hingga lulus SMA, uangnya pun berasal dari sana juga. Andai saja bapaknya masih ada, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya.

"Bapak, Dewi kangen bapak ...." Dewi berkata lirih mengenang almarhum bapaknya. Air matanya sudah mengalir di pipi, dan berhasil membasahi alas bagasi.

Malam yang semakin larut membuat Dewi menjadi mengantuk. Deraian air matanya pun mulai surut. Tubuhnya terasa lelah setelah kejar-kejaran dengan anak buahnya juragan Rasim. Tiba-tiba saja udara pun semakin dingin, membuat kelopak matanya tidak bisa dikendalikan lagi. Apalagi saat mobil mewah tersebut berjalan dengan lembut tanpa guncangan seperti mobil butut. Lama kelamaan kedua mata Dewi pun tertutup.

Dewi tertidur di dalam mobil yang melesat dengan kencang melewati beberapa perbatasan kota, karena tujuan mobil itu adalah Kota Surabaya.

Sedangkan di depan sana. Tepatnya di depan setir kemudi dari mobil yang Dewi tumpangi. Seorang pemuda tengah asyik mengobrol dengan keluarganya lewat sambungan telepon.

"Iya, Ma, iya. Ini aku lagi di jalan mau pulang ke rumah mama. Aku juga udah bawa oleh-oleh buat mama dan papa," tutur seorang lelaki yang mengobrol menggunakan hands free lantaran lelaki itu harus fokus mengemudi.

Devan Kusuma Wijaya, seorang anak dari konglomerat pemilik perkebunan agraria terbesar di Surabaya. Ia yang selama ini tinggal di ibu kota disuruh pulang oleh orang tuanya lantaran sudah lama Devan tak menemui mereka.

Bukannya tanpa alasan Devan malas pulang kampung. Ia bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat telinganya berdengung. Yakni, kapan hari pernikahannya akan berlangsung? Devan yang masih patah hati pun menjadi bingung.

Kini, tiba-tiba saja sang mama memintanya pulang dengan segera. Entah kejutan apa yang akan Devan terima setelah sampai di sana. Yang pasti kejutan yang berada di dalam bagasi mobilnya mungkin akan membuat kedua bola matanya hampir keluar dari tempatnya. Siap-siap saja!

"Masa oleh-olehnya buat mama papa aja, Mas Devan? Buat Vio nggak ada?" Suara rengekan manja terdengar menimpali obrolannya dengan sang mama di sambungan telepon tersebut. Tentu saja Devan kenal suara itu. Itu adalah suara adik kesayangan satu-satunya—Viona.

"Buat kamu juga ada, kok. Dasar gadis manja," ledek Devan pada adiknya itu. Sang adik yang masih duduk di bangku SMA itu pun terdengar bersorak kegirangan. Devan pun mengulas senyuman.

"Mas Devan pulang bawa istri, nggak?" Celetukan yang berasal dari suara adiknya itu membuat kening Devan berkerut, lalu menghela napas berat.

"Iya, nanti kalau nemu di jalan mas bawa pulang," jawab Devan dengan asal. Hal itu tentu mendapatkan semburan omelan dari sang mama di seberang.

"Hush! Istri, kok, nemu di jalan. Kalau bercanda jangan keterlaluan gitu, ah. Kalau kejadian gimana? Masa mantu mama dapat nemu di jalan," hardik sang mama membuat Devan tertawa kencang.

"Aku aamiin-kan aja, ya."

"Devan!" Sang mama menyentak di seberang mendengar perkataan Devan barusan.

Panggilan telepon itu pun berakhir saat Devan pamit pada sang mama, karena dirinya ingin fokus berkendara. Mobil mewah yang dikendarainya pun melesat di jalan raya, tanpa rasa curiga jika ada seseorang yang bersembunyi di dalam bagasinya.

...****************...

...To Be Continued...

Halo, pembaca tersayang akoh. Ketemu lagi sama novel baru. Semoga suka, jangan lupa like, komentar, favorit, dan bintang 5. Kopi tanpa gulanya juga nggak pa-pa, biar othor tambah semangat nulisnya 😅

Bab 2. Membawa Pengantin

...Happy Reading...

...****************...

Perjalanan dari ibu kota ke Surabaya memerlukan waktu kurang lebih 10 jam lamanya. Langit yang tadinya kelam kini terlihat menguning, karena sang fajar sudah siap menyingsing. Tiba di depan rumahnya, sudah ada Elena—sang mama yang menyambut kedatangan Devan. Sorot kerinduan terpancar dari kedua netranya yang legam.

"Ya, Allah ... akhirnya anak sulungku pulang juga," pekik Elena sambil merengkuh tubuh Devan agar masuk ke dalam pelukannya.

Devan membalas pelukan itu, hanya beberapa saat kemudian mengurai pelukan mereka. "Lebay, deh. Bukannya Devan suka pulang kalau lebaran, ya?" katanya. Tak ayal ucapan itu pun sukses membuat Devan mengaduh kesakitan, lantaran bahunya terkena serangan tangan dari sang mama yang gemas dengan kelakuan Devan.

"Masa pulangnya setahun sekali doang. Orang tua kamu masih hidup, Devan. Kamu nggak lupa, kan?" protes Elena sambil memasang wajah cemberut. Kedua tangannya pun dilipat di depan dada.

Devan menyengir kuda sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, "Udah, dong, Ma. Yang penting, kan, Devan udah pulang sekarang. Devan kangen Mama, kok," tutur Devan. Senyum Elena pun mengembang sempurna.

"Mama juga kangen kamu, Nak," ucap Elena.

"Devan nggak disuruh masuk, nih?" tukas Devan tidak mau memperpanjang perbincangannya dengan sang mama.

"Ah, iya. Ayo, masuk, Nak! Kamu pasti capek semalaman berkendara." Elena pun menggiring tubuh anaknya masuk ke rumah.

"Mas Devan!" Seorang gadis remaja berteriak dari atas tangga rumahnya. Secepatnya ia berlari menuruni anak tangga. Gadis itu tidak sabar untuk menemui sang kakak. Devan menyambut adik kesayangannya dengan merentangkan kedua tangan hendak memberikan pelukannya. Senyumnya tidak pernah pudar dari bibirnya. Devan begitu merindukan gadis manja yang menjadi adik kandungnya itu.

Devan sampai terhuyung ke belakang, karena gadis yang masih duduk di bangku SMA itu menghamburkan tubuhnya terlalu kencang pada tubuh Devan. "Vio, kangen sama Mas Devan," katanya manja.

Devan mendorong tubuh adiknya untuk memberikan sedikit jarak. "Mas juga kangen. Kamu apa kabar? Udah punya pacar berapa sekarang?" tanyanya menggoda sang adik.

"Masih sekolah nggak boleh pacaran!" tukas Elena dengan tegas.

Viona pun mencibir kakaknya, "Tahu, nih. Ngajarin yang nggak bener aja!" sungutnya. Padahal faktanya dia sudah punya pacar, tetapi tidak diketahui oleh orang tuanya. Devan pun tertawa, dan Viona memanyunkan bibirnya.

"Eh, oleh-oleh buat Vio mana?" tanya Viona bersemangat.

"Di bagasi. Ambil, gih!" titah Devan sambil memberikan kunci mobil pada Viona.

Viona pun meraih kunci mobil tersebut, lalu bergegas ke luar menuju mobil Devan, sedangkan Devan dan Elena duduk berdampingan di sofa ruang keluarga.

"Papa mana, Ma?" tanya Devan.

"Lagi mandi," jawab sang mama.

Devan hanya ber'oh' tanpa suara sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Berkendara semalaman membuat tubuhnya terasa letih dan lunglai. Ia memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing yang menderanya.

"Kamu pasti ngantuk, ya?"

Devan mengangguk menanggapi pertanyaan mamanya.

"Sebelum kamu istirahat, mama boleh bicara sebentar?" tanya Elena lagi.

Devan memicingkan kedua mata. Sepertinya ada perkataan serius yang ingin diucapkan mamanya.

"Boleh. Mama mau bicara apa?" tanyanya penasaran. Devan pun menegakkan badan.

"Gini ... tapi kamu harus janji nggak bakal marah sama mama."

"Iya, tentang apa dulu?" Devan semakin penasaran.

"Sebenarnya ... mama nyuruh kamu pulang karena ... besok kita mau melamar anak gadisnya Pak Utomo ...." Suara Elena tersendat karena takut anaknya akan tersinggung dengan usulan mereka.

"Apa, melamar? Buat siapa? Buat Papa? ... aduh!" Saking terkejutnya, Devan memotong perkataan Elena. Ia juga berhasil mendapatkan hadiah pukulan dari sang mama karena bicara sembarangan. Kali ini yang kena di bagian kepalanya.

"Enak aja kalau ngomong! Buat kamu, lah," sanggah mamanya.

"Hah! Buat aku?" Devan terbelalak mata sambil menunjuk hidungnya sendiri.

"Iya, buat siapa lagi. Memangnya mau sampai kapan kamu terus menjomlo kayak gini, hah? Mama udah pengen punya mantu terus punya cucu."

"Tapi Ma—"

"Nggak ada tapi-tapi. Pokoknya kamu harus setuju! Paling nggak, lihat calonnya dulu lah. Kali aja kamu suka," tukas Elena memotong perkataan Devan yang hendak menyanggahnya.

Namun, belum sempat Devan menanggapi perkataan sang mama, teriakan Viona membuat perhatian keduanya tersita.

"Mama, Papa ... Mas Devan pulang bawa pengantin!" Viona berteriak sembari menuntun seorang perempuan.

Keduanya pun beranjak berdiri memperhatikan kedatangan Viona yang diikuti oleh seorang perempuan yang dibalut pakaian pengantin lengkap dengan sanggul di kepalanya. Namun, sebagai seorang pengantin sungguhan, penampilan perempuan itu sungguh tidak memuaskan. Penampilannya begitu lusuh dan acak-acakan. Sanggulnya sudah miring ke kanan, riasannya juga sudah sedikit pudar. Baju yang dipakainya pun lecek dan berantakan.

Dua pasang mata milik Devan dan Elena memindai penampilan pengantin perempuan yang tak lain adalah Dewi Anggraeni. Perempuan itu yang bersembunyi di bagasinya Devan saat malam tadi. Dewi hanya bisa tersenyum kikuk sambil meremat jari.

"Dia siapa, Vio?" tanya Elena dengan kening berkerut dalam, sedangkan Devan masih terdiam.

"Namanya Mbak Dewi, Ma. Tapi Vio nggak tahu dia siapanya Mas Devan. Ditanya tentang itu malah diem aja dari tadi. Tanya Mas Devan aja, deh, soalnya ketemu di bagasi." Seperti orang linglung, Dewi masih diam saat Viona berkata seperti itu.

Kerutan di kening Elena semakin terlihat jelas. Perempuan yang sudah melahirkan Devan itu pun menoleh pada sang anak yang masih bergeming di tempatnya. Tatapan mata lelaki itu masih tertuju pada pengantin perempuan yang tengah tertunduk malu.

"Devan, dia siapa?"

Pertanyaan sang mama membuat Devan terjaga, lalu menoleh pada mamanya. Tatapannya terlihat bingung, tetapi sesaat pikirannya kembali mengingat perkataan Elena sebelumnya, jika besok dirinya akan dijodohkan dengan perempuan yang belum pernah ditemuinya.

Otak Devan berputar cepat mencari ide cemerlang, pandangannya pun beralih Dewi dan mamanya bergantian. Kemudian satu rencana pun berhasil ditemukan. Lelaki itu mengabaikan pertanyaan mamanya, lantas berjalan mendekati Dewi dengan senyum mengembang.

Dewi yang ketakutan tubuhnya sampai gemetaran. Ia yang tak lagi menunduk, kini menatap Devan. Keduanya pun terlibat adu pandang, membuat jantung Dewi berdebar begitu kencang.

Namun, tanpa disangka-sangka Devan malah memeluk tubuh Dewi. Dengan nada lembut dia pun berkata, "Aduh, Sayang. Kamu kenapa kamu bandel banget, sih? Sampai nekat ikut aku pulang dan sembunyi di bagasi. Aku, kan, udah bilang, tunggu di rumah dulu. Belum waktunya ngasih kejutan buat mama dan papa aku."

Tercekat, tentu saja. Dewi sampai ternganga dengan bibir sedikit terbuka. Entah setan apa yang merasuki lelaki tersebut. Dewi berusaha berontak, tetapi pelukan Devan semakin ketat membuat tubuhnya tidak bisa bergerak.

...****************...

...To Be Continued...

Apa rencana Devan, ya. Nantikan besok, ya 😂

Bab 3. Dewi Fortuna

...Happy Reading...

...****************...

Dewi masih mematung ketika Devan tak lekas melepaskan tubuhnya. Tubuhnya seperti kaku saat Devan memeluknya secara tiba-tiba. Hingga ia disadarkan oleh guncangan di bahunya, dan Devanlah pelakunya.

"Sayang, kamu baik-baik aja, kan, semalaman diam di dalam bagasi?" tanya Devan lagi. Kedua matanya menatap penuh ancaman, seolah menyuruh Dewi untuk mengikuti sandiwaranya.

Namun, sayangnya Dewi tidak paham. Perempuan itu masih saja diam. Ia sampai kesulitan menelan ludahnya lantaran ketakutan. Dewi gagal mencerna apa keinginan Devan.

Tidak ingin sandiwaranya gagal, Devan pun segera merangkul bahu Dewi lalu berkata, "Ma, kenalin ini istri aku."

Bukan hanya Elena dan Viona yang melongo takjub mendengarnya. Dewi pun menunjukkan reaksi yang sama. Kedua matanya terbuka sempurna diiringi kedua alis yang terangkat bersamaan. Kali ini Dewi tidak boleh diam. Perempuan itu pun segera meralatnya.

"Eh, tapi aku bukan—"

"Ayo, kita ke kamar! Kamu pasti capek dan pegal-pegal semalaman di bagasi, kan?" Devan langsung memotong ucapan Dewi yang hendak menyangkal, lalu menggiring paksa tubuh perempuan itu menuju kamarnya. Devan tidak akan membiarkan Dewi merusak rencananya barusan.

"Devan, tunggu! Jelasin sama mama dulu! Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau sudah menikah?" teriak Elena. Dadanya sedikit sesak melihat kelakuan anaknya yang tidak bisa ditebak. Elena jadi ingat percakapannya dengan Devan tadi malam perihal pengantin yang ditemukan di jalan. Apa mungkin ucapan itu jadi kenyataan? Devan benar-benar membawa pulang pengantin dari jalan? Oh, tidak. Pikiran Elena sontak menolaknya.

"Nanti aja Devan jelasinnya, Ma. Sekarang istri Devan lebih penting. Dia mau istirahat," seru Devan sambil terus berjalan.

"Heh, jawaban macam apa itu? Mama belum selesai bicara, Devan. Jelasin dulu!"

Suara jeritan Elena yang terus meminta penjelasan pun tak didengar oleh Devan. Lelaki itu terus melenggang pergi sambil membawa Dewi yang terus meronta minta dilepaskan. Namun, Devan tidak akan membiarkan Dewi terlepas dari genggamannya. Salah siapa? Kenapa perempuan itu tiba-tiba hadir saat ia butuh cara untuk menolak perjodohan yang diatur mamanya? Begitulah isi pikiran Devan.

Elena hendak mengejar, tetapi ditahan oleh Viona sambil menggeleng pelan. "Udahlah, Ma. Nanti aja ditanyanya. Kayak nggak tahu Mas Devan aja. Nanti Mas Devan marah, loh," sergah Viona membujuk mamanya. Elena pun tidak bisa apa-apa selain menghela napas pasrah.

...******...

"Ayo, masuk!"

Setelah berhasil membuka pintu kamarnya di rumah itu, Devan sedikit mendorong tubuh Dewi agar merangsek masuk ke dalamnya. Dewi tertegun sesaat dengan posisi membelakangi Devan. Pandangannya memindai ke sekitar ruangan.

Ia terpukau melihat kamar yang begitu luas dan perabotan di dalamnya yang terlihat berkelas. Sangat jauh dengan rumahnya yang serba terbatas.

Semenjak Dewi membuka mata dan mendapati dirinya berada di dalam mobil Devan, ia sempat terperangah dengan bangunan megah yang berada di antara hamparan perkebunan luas itu. Dewi sampai mengucek matanya berkali-kali, meyakinkan jika itu bukanlah mimpi.

Dewi yakin jika itu adalah rumah dari pemilik mobil yang dia tumpangi. Tak mau diinterogasi, Dewi pun berniat keluar secara diam-diam dari bagasi, tetapi tiba-tiba saja pintu bagasi itu terbuka sendiri.

Viona-lah yang membukanya. Keduanya sama-sama terkejut seperti melihat hantu saja. Saking terkejutnya, Dewi sampai tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menyebutkan nama ketika gadis muda itu bertanya siapa dia. Akhirnya dia menurut saja saat Viona memaksanya untuk masuk ke dalam rumah.

*

"Hoy, mau sampai kapan kamu membelakangi saya?"

Suara gertakan Devan membuat kesadaran Dewi kembali. Ia pun berbalik dan menghadap Devan lagi. Dilihatnya lelaki itu sedang melipat tangan di depan dada dengan memasang wajah garang. Ketakutan yang sempat terjeda pun kembali menyerang.

"Kamu si—"

"Ampun, Pak. Saya minta maaf sebelumnya. Saya memang salah, karena sudah masuk ke dalam mobil Bapak tanpa izin. Saya terpaksa melakukannya, Pak. Saya sedang dikejar-kejar sama orang, karena saya tidak mau menikah dengan dia."

Belum sempat Devan melanjutkan perkataannya, Dewi langsung berlutut dan mengakui kesalahannya. Devan mengernyitkan kening. Keduanya matanya dengan lekat memperhatikan sosok Dewi dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kamu kabur dari pernikahan?" tanya Devan memastikan lagi, dan dijawab anggukan kepala dari Dewi.

"Alasannya?"

Dewi sedikit ragu untuk berkata jujur, tetapi nasi sudah menjadi bubur, bagaimanapun caranya Dewi harus bisa kabur.

"Saya dijodohkan dengan bandot tua yang sudah beristri tiga. Saya tidak mau, makanya kabur," jawab Dewi apa adanya.

Mendengar itu Devan pun tertawa. Dari segi penampilan dan cara Dewi menjelaskan, sepertinya perkataan perempuan itu tidak perlu diragukan. Devan tertawa karena merasa mereka itu senasib dan seperjuangan. Sama-sama menolak perjodohan.

Merasa hawa canggung tak lagi menyelimuti, Devan pun membantu Dewi untuk berdiri. Sepertinya tepat membuat sandiwara dengan perempuan ini. "Bangun dulu!" titahnya di sela tawa. Nada bicaranya pun dibuat rendah, membuat ketakutan Dewi perlahan punah.

"Kenapa Bapak ketawa? Nasib saya sudah sial, jangan diketawain juga!" protes Dewi sambil mengerucutkan bibirnya.

Lain halnya dengan Devan. Kesialan menurut Dewi, tetapi keberuntungan menurut Devan. Bak Dewi Fortuna yang dikirimkan oleh Tuhan untuk memberikan pertolongan. Dengan adanya perempuan itu, perjodohannya akan terancam gagal tanpa adanya drama pelarian.

"Lucu aja. Kita senasib ternyata. Saya juga mau dijodohkan, dan saya juga nggak mau," kata Devan.

"Oh, jadi karena itu tadi Bapak—"

"Iya, saya cuma bersandiwara kalau kita sudah menikah, tapi kamu terlalu bodoh untuk mengikuti sandiwara saya," potong Devan seraya mencibir.

"Mana saya tahu. Kita, kan, baru ketemu. Lagipula atas dasar apa saya harus setuju ikut berbohong pada keluarga Bapak," balas Dewi sambil mengedikkan bahu.

"Atas dasar kamu telah lancang masuk ke dalam mobil saya tanpa izin," pungkas Devan. Dewi pun terdiam. Sepertinya dia telah mendapatkan masalah baru sekarang.

"Sekarang kamu bisa pilih, mau saya laporkan ke polisi atas tuduhan memasuki wilayah orang lain tanpa izin atau mengikuti sandiwara pernikahan palsu dengan saya?" lanjut Devan membuat pilihan yang tersirat sebuah ancaman.

Dewi tertegun. Pilihan Devan membuatnya bingung. Ia tidak mau masuk penjara, tetapi ia juga tidak mau bermain drama. Namun, pilihan bermain drama mungkin tidak terlalu merugikan baginya. Lebih baik dari masuk penjara atau menikah dengan bandot tua. Setidaknya Dewi bisa aman untuk sementara.

"Baiklah, saya setuju. Tapi sampai kapan kita bersandiwara jadi suami istri?" Akhirnya Dewi menyetujui.

Devan terdiam sejenak untuk berpikir. Ia memang berencana untuk berlibur selama sebulan penuh di rumah orang tuanya yang berada di Surabaya, pasca patah hati dari cinta pertamanya. Apakah Dewi mau bersandiwara selama itu?

...****************...

...To Be Continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!