Suasana sakral menyelimuti sebuah rumah yang nampak asri. Terdengar seorang pria tampan yang bernama Ringgo Dewangga sedang mengucapkan ijab kabul. Sementara di belakangnya ada seorang wanita yang cantik yang bernama Aretha Fortuna sedang menunduk sedih.
Hatinya terasa diremas, diiris dan dihantam batu besar. Sungguh, Aretha merasa dunianya runtuh, harapannya sirna dan angannya dihempaskan sampai ke dasar jurang. Namun, sekuat hati dia membalut luka hatinya sendiri.
Bagaimana tidak, dia harus menyaksikan pernikahan kedua suaminya dengan seorang gadis yang merupakan sahabat baik suaminya. Meskipun sebenarnya dia sakit hati melihat pernikahan itu. Namun, sebisa mungkin dia menyembunyikan kesedihannya.
Teringat jelas di benaknya, bagaimana mertua Aretha terus mendesak suaminya agar menikah lagi. Dengan alasan karena Aretha tak kunjung hamil di usia pernikahannya yang ke tujuh. Bahkan, Bu Lela Komalasari mertuanya Aretha, men-cap dia sebagai wanita yang mandul.
Flashback on
Sore itu Bu Lela datang ke rumah Aretha yang merupakan pemberian dari mertuanya. Wanita paruh baya itu sepertinya sangat tergesa. Dia tidak sabaran ingin menemui putranya karena ada hal penting yang ingin dia sampaikan.
"Assalamu'alaikum," ucap Bu Lela seraya menerobos masuk ke dalam rumah putranya.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa Bu, sepertinya buru-buru sekali?" tanya Aretha seraya mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
"Di mana Ringgo?" Bukannya menjawab, Bu Lela justru balik bertanya
"Mas Ringgo sedang di belakang memberi makan ayam."
"Cepat suruh ke sini! Bilang Ibu ingin mengatakan hal penting sama dia." Bu Lela mendudukkan bokongnya di sofa.
"Baik, Bu." Aretha segera berlalu pergi mencari suaminya.
Tidak berapa lama kemudian, wanita cantik yang kini usianya sudah menginjak 29 tahun itu datang bersama dengan suaminya. Ringgo menatap heran ibunya yang menampilkan wajah tegang. Dia mencium punggung tangan ibunya sebelum berbicara.
"Ibu, ada hal penting apa?" tanya Ringgo to the point.
"Duduklah dulu! Aretha tidak usah membuat minum untuk Ibu. Kamu juga duduk bersama kami karena ini menyangkut kalian berdua," suruh Bu Lela.
"Iya, Bu!" sahut Aretha segera duduk di samping suaminya.
"Ibu mau tanya, kalian menikah sudah berapa tahun?" tanya Bu Lela dengan menatap tajam pada Ringgo dan Aretha bergantian.
"Sudah tujuh tahun, Bu. Memangnya kenapa Ibu bertanya seperti itu? Apa Ibu berniat untuk memberikan aku mobil sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami?"
"Kamu mau mobil? Boleh saja, tapi kamu harus secepatnya memberikan Ibu seorang cucu. Masa paman kamu yang nikahnya belakang sudah punya anak dua tapi kamu yang sudah tujuh tahun belum juga punya anak. Aretha apa mungkin kamu itu mandul? Makanya tidak hamil-hamil," tuduh Bu Lela.
"Ibu jangan bicara sembarangan! Kami hanya belum dipercaya sama Allah," sanggah Ringgo. Dia merasa khawatir Aretha bersedih dengan apa yang dikatakan oleh ibunya.
"Aku tidak tahu Bu. Padahal aku sudah sering minum ramuan penyubur kandungan tapi Allah belum juga mempercayai aku untuk memiliki anak." Aretha menautkan jari jemarinya dengan kepala yang menunduk.
"Jelas-jelas kamu tuh mandul Aretha. Sudah Ringgo, lebih baik kamu mencari istri lagi agar memiliki keturunan. Biar nanti Ibu yang akan mencarikan kamu gadis dari keluarga baik-baik yang jelas asal-usulnya. Bukan perempuan asal yang tidak bisa memiliki anak," ketus seraya mendelik ke arah menantunya.
"Aku tidak mau, Bu! Aku dan Retha sudah memutuskan akan menjadi orang tua asuh Ridho. Lagipula, Mbak juga tidak keberatan kalau aku dan Retha akan menjadi orang tua asuh anaknya. Hitung-hitung sebagai pemancing," tolak Ringgo cepat.
"Tidak bisa! Kamu harus memiliki anak sendiri. Kamu anak lelaki ibu satu-satunya, masa kamu tidak memiliki anak? Lagipula, Mbak kamu itu bukan Mbak kandung. Dia hanya anak bawaan bapak. Kalau kamu tidak punya anak, Ibu tidak punya penerus. Ibu tidak mau semua harta warisan dari bapak jatuh ke anak-anak Mbak kamu. Semua yang sekarang kita miliki hasil kerja keras Ibu dan bapak, jadi semuanya akan menjadi milik kamu."
"Tapi Bu, aku tidak bisa mengkhianati Retha. Aku sangat mencintanya."
"Kamu tidak mengkhianatinya. Kamu hanya menikah lagi dengan gadis yang bisa memberikan kamu keturunan dengan persetujuan Aretha. Kamu juga Aretha, kamu harus memberikan ijin pada suami kamu untuk menikah lagi karena kamu tidak bisa memberikan dia keturunan."
"Aku ... aku ... aku akan memberikan ijin, kalau memang Mas Ringgo ingin menikah lagi. Aku tidak akan menghalangi Mas Ringgo untuk berbakti pada Ibu. Aku juga tidak akan menjadi penyebab Mas Ringgo durhaka pada Ibu." Meskipun dadanya terasa sangat sesak, Aretha berusaha bicara dengan nada sedikit terbata.
"Bagus! Kamu memang harus tahu diri dan bisa menempatkan posisimu dalam keluargaku. Ibu tidak akan menyuruh Ringgo untuk menceraikan kamu, meskipun kamu mandul. Ibu hanya meminta kamu menyetujui Ringgo menikah lagi dengan gadis lain."
Flashback Off
"Aretha, cepat berdiri! Ijab kabulnya sudah selesai. Sekarang mau saweran, mana sini uang dan permen yang ibu titipkan sama kamu," tegur Bu Lela yang sukses mengagetkan Aretha yang sedari tadi melamun.
"Ini, Bu!" Aretha tersenyum samar seraya memberikan satu bungkus uang dan permen yang sudah disiapkan dari rumah. Wanita cantik itu hanya melihat suaminya bersanding di pelaminan dengan senyum yang dipaksakan.
Aretha mengikuti langkah kaki Bu Lela ke pelaminan. Dia tersenyum ramah pada gadis yang menjadi madunya. Dia pun mengulurkan tangan untuk memberikan ucapan selamat pada Ringgo dan istri barunya.
"Selamat, Mas atas pernikahannya. Semoga pernikahan Mas dan Mbak Anita, sakinah, mawadah warahmah." Aretha memaksa tersenyum pada Ringgo.
"Terima kasih, Retha. Maafkan, Mas! Tidak bisa memenuhi janji Mas dulu sama kamu," ucap Ringgo seraya memeluk istrinya.
Setetes cairan bening keluar dari pelupuk mata pasangan suami istri itu. Mereka tidak pernah menyangka, cinta yang mereka harapkan akan dibawa hingga mati. Ternyata harus ternoda dengan kehadiran orang ketiga di antara mereka.
Keduanya pun saling melepaskan pelukannya dengan tangan menghapus jejak air mata yang jatuh ke pipi. Aretha segera berlalu menuju ke istri baru suaminya. Lagi-lagi dia memaksakan tersenyum sebelum berbicara pada Anita.
"Selamat Mbak Nita, semoga bahagia dan cepat dapat momongan. Aku titipkan Mas Ringgo pada Mbak." Aretha menjabat tangan Anita yang terlihat cantik dengan balutan kebaya putih dan hiasan pengantin lainnya yang melekat di sekujur tubuhnya.
"Terima kasih, Mbak Aretha. Aku pasti akan menjaga Ringgo seperti saat kami masih sekolah dulu." Anita tersenyum manis dengan menampilkan deretan gigi putihnya.
Aretha pun segera turun dari pelaminan setelah cukup mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Dia hanya duduk di pojok ruangan mengikuti prosesi demi prosesi adat yang berjalan dengan lancar. Meskipun ini pernikahan kedua suaminya. Akan tetapi, acara pernikahannya terlihat sangat meriah.
Bahkan lebih meriah dari saat dulu dia menikah dengan suaminya. Mertuanya memang sengaja membuat pesta yang sangat meriah. Selain karena mendapatkan seorang gadis. Menantu keduanya merupakan sahabat dekat Ringgo yang baru pulang kerja dari luar negeri.
Kamu terlihat sangat bahagia menikah dengan Anita, Mas. Semoga pernikahan kalian bahagia dan segera mendapatkan momongan seperti yang diharapkan oleh Ibu. Tapi maaf, Mas. Sepertinya ... pengabdianku pada Mas hanya sampai di sini saja. Rasanya aku tidak kuat menahan rasa sakit ini. Lebih baik aku pergi jauh dan biarkan Mas bahagia dengan Anita.
Selesai mengikuti prosesi pernikahan suaminya, Aretha pun memilih untuk pulang lebih dulu. Dia segera membereskan semua bajunya. Untung saja semua barang-barang berharganya sudah dia masukkan ke dalam koper, sehingga Aretha tidak butuh waktu lama untuk bersiap. Dia sengaja memilih waktu untuk pergi saat pesta sedang berlangsung sangat meriah. Agar tidak ada seorang pun yang menyadari kepergiannya.
Maafkan aku, jika aku harus pergi. Bukan karena aku tidak mencintaimu, Mas. Tapi aku tidak bisa berbagi hati dengan wanita lain. Aku terpaksa menyetujui pernikahan Mas dan Anita, karena aku tidak ingin Mas menjadi anak yang durhaka. Biarlah aku pergi dan mencari kebahagiaan yang baru.
Sepanjang perjalanan menuju ke sebuah kota industri, tak hentinya Aretha meneteskan air mata. Meskipun dia terus saja menguatkan hatinya. Namun, tetap saja rasa sakit dan perih terasa menyayat hati. Apalagi, saat dia mengingat bagaimana sikap mertuanya selama ini. Membuat dia semakin merasakan kepiluan hatinya.
Flashback on
Saat Ringgo di-PHK dari tempat kerjanya, Aretha ikut suaminya pulang kampung. Meskipun Aretha masih bekerja di sebuah perusahaan Jepang, mau tidak mau dia mengikuti ajakan suaminya untuk berwirausaha di kampung. Apalagi, mertuanya terus menyuruh Ringgo untuk pulang kampung agar meneruskan usaha keluarganya mengelola peternakan ayam dan kambing.
Awalnya Bu Lela terlihat baik pada Aretha, tetapi lama-kelamaan ibu mertuanya itu senang sekali menjadikan dia seperti seorang romusha. Aretha sering disuruh melakukan pekerjaan berat seperti mengangkang galon dan karung beras. Tidak ingin dianggap sebagai menantu pembangkang, Aretha pun hanya menuruti saja apa yang disuruh mertuanya.
Seperti saat ini, ketika Aretha baru saja pulang mengajar dari taman kanak-kanak, ibu mertuanya terlihat sudah menunggu di teras rumah. Wanita paruh baya itu terlihat menekuk wajahnya. Seperti sedang ada masalah.
"Assalamu'alaikum, Ibu." Aretha langsung mencium punggung tangan ibu mertuanya.
"Wa'alaikumsalam," jawab Bu Lela ketus, "kenapa kamu lama sekali pulangnya? Apa tidak tahu kalau ibu sangat lapar?"
"Memangnya Ibu tidak memasak? Retha beli gado-gado. Kalau Ibu lapar, buat Ibu saja."
"Ibu sangat lapar, sudah sini gado-gadonya buat Ibu. Kamu cepat belikan gas dan air galon. Gas di rumah ibu sudah habis, air galon juga habis. Ringgo sedang sibuk mengantar pesanan kambing. Kakak ipar kamu juga sedang sibuk di kelurahan," cerocos Bu Lela.
Padahal rumah Mbak Rere dan rumahku lebih dekat rumah Mbak Rere, tapi apa-apa pasti nyuruhnya ke sini, batin Aretha.
"Iya, Bu. Nanti aku ganti baju dulu."
"Jangan lama-lama! Ibu harus masak buat adik kamu. Pasti dia pulang sekolah kelaparan."
"Iya, Bu!" sahut Aretha seraya berlalu pergi menuju ke kamarnya.
Sementara Bu Lela menikmati sebungkus gado-gado yang dibawa oleh Aretha. Wanita paruh baya itu menghabiskannya hingga ludes tak bersisa. Aretha yang melihat pengganjal perutnya sudah habis, hanya bisa menelan air liurnya sendiri.
Tak apa, aku bisa beli lagi.
"Bu, aku beli gas sekarang. Uang ...."
"Dari kamu saja dulu. Ibu lupa bawa uang, nanti sore suruh Ringgo untuk ambil uang ke ATM. Tadi Masnya Ringgo kirim pesan kalau dia udah transfer uang. Rangga tuh memang selalu ingat sama ibunya yang janda ini. Setiap dia habis gajian pasti kirim uang buat Ibu. Dia ingat kalau adiknya ada yang masih kuliah. Padahal, biaya kuliah Reva harusnya jadi tanggung jawab Ringgo sebagai kakaknya."
Bagaimana bisa Mas Ringgo kasih uang banyak, kalau hasil peternakan uangnya diambil semua sama Ibu. Mas Ringgo dan aku hanya dapat baunya saja. Sementara uang gaji honorer hanya cukup untuk kami makan saja, batin Aretha.
"Aku berangkat ya, Bu. Ibu tunggu di sini apa mau di rumah?"
"Ibu tunggu di rumah saja."
Aretha pun mengantarkan ibu mertuanya terlebih dahulu sebelum dia membeli gas dan galon. Barulah dia berkeliling kampung mencari gas melon yang dibutuhkan oleh ibu mertuanya. Sekalian dia membeli air galon yang kemudian dia simpan di jok belakang motornya. Setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan oleh ibu mertuanya, Aretha pun membeli gado-gado kembali karena perutnya sangat lapar.
"Ibu, gas dan galonnya sudah aku pasang. Aku pulang dulu ya, Bu. Mau makan dulu," pamit Aretha.
"Kenapa harus pulang? Sekalian saja masak buat Ibu. Biar kamu tidak usah membeli lauk lagi."
"Iya, Bu! Aku mau makan dulu, baru nanti masak." Aretha mengambil piring dan sendok. Dia berniat memakan gado-gado terlebih dahulu sebelum memasak untuk mertuanya. Namun, baru saja dia memasukkan satu suapan gado-gado, terdengar ibu mertuanya berbicara yang tidak enak didengar di telinganya.
"Kamu tuh Aretha, jajan di luar terus. Kalau mau makan ya masak dulu. Jangan terus jajan di luar! Sebagai seorang istri harus bisa sadar diri. Harus bisa menyesuaikan diri, seberapa besar penghasilan suami kamu. Lah ini, tiap hari kamu jajan di luar terus, bagaimana bisa nabung buat kebutuhan yang besar? Pantas saja Tuhan gak percaya sama kamu untuk punya anak. Kamu saja hanya memikirkan diri kamu sendiri," cerocos Bu Lela seperti jalan kereta api yang panjang dan tak berujung.
Aretha hanya bisa menghela napas panjang mendengar ucapan mertuanya. Bukannya mendapatkan ucapan terima kasih, justru mendapatkan ceramah yang membuat pikirannya menjadi kacau. Sebisa mungkin Aretha menahan kekesalannya. Rasanya tidak mungkin jika dia harus melabrak ibu mertuanya. Bagaimana pun juga, wanita paruh baya itu sangat berjasa pada suaminya. Akhirnya Aretha memilih melanjutkan makannya dalam diam. Dia tidak bersuara sedikit pun hingga selesai memasak untuk mertuanya.
"Ibu, lauk dan sayur untuk Ibu dan Reva sudah aku simpan di meja makan. Aku pulang dulu, khawatir Mas Ringgo sudah pulang."
"Ya sudah sana, jangan lupa bawa lauk dan sayur untuk Ringgo."
"Iya, Bu!" sahut Aretha.
Dia segera pulang ke rumahnya yang terhalang lima rumah dari rumah mertuanya karena memang rumah yang ditempatinya sekarang merupakan pemberian dari mertuanya. Dia dan suaminya hanya membeli perabotan rumah saja. Makanya, Aretha lebih banyak mengalah karena malu sudah diberi tempat tinggal jika melawan atau pun menolak permintaan ibu mertuanya.
Sesampainya di rumah, terlihat Ringgo sudah mandi dan berganti pakaian. Biasanya sore hari dia akan pergi ke kandang dan pulang saat menjelang magrib. Sementara Aretha hanya menunggu di rumah.
"Mas, sudah siap. Ini aku bawakan sayur dan lauk. Tadi disuruh ibu masak di sana," ucap Aretha.
"Ayo makan berdua! Kamu jangan sampai telat makan, Dek. Mas menikahi kamu bukan ingin membuat kamu sengsara. Meskipun kehidupan kita sekarang sederhana, tapi jangan sampai tidak makan."
"Sebentar, Mas! Aku siapkan dulu piringnya."
Aretha pun menyimpan piring dan sendok serta gelas yang sudah diisi oleh air minum. Keduanya nampak makan dalam satu piring yang sama. Terkadang Ringgo menyuapi Aretha dan menyeka sisa makanan yang ada di bibir istrinya.
Memang, sikap lembut Ringgo lah yang membuat Aretha mau bertahan tinggal di kampung. Meskipun mertuanya terkadang semena-mena padanya. Seandainya saja pernikahan kedua Ringgo tidak pernah terjadi, mungkin Aretha tidak akan mungkin pergi meninggalkan suaminya.
Flashback off.
"Stasiun Bekasi, stasiun Bekasi ... yang mau turun segera bersiap mendekat ke arah pintu," teriak kondektur kereta api.
Aretha langsung saja menghapus air matanya dengan kasar. Dia memang meminta teman kampusnya untuk mencarikan dia pekerjaan di kota industri itu. Pekerjaan apa pun yang penting halal. Masalah gaji bisa mengikuti nanti.
Selamat datang hidup baru. Selamat tinggal masa lalu. Aku akan terus melangkah, meskipun banyak rintangan yang akan menghadang. Aku yakin Allah tidak akan menguji hamba-NYA di luar batas kemampuannya.
Selepas pesta pernikahannya selesai digelar, Ringgo terus mengedarkan pandangan matanya. Dia mencari keberadaan istri yang dicintainya. Namun, pencariannya hanya berbuah kekecewaan.
"Retha kemana? Dari tadi aku cari tapi tidak kelihatan," gumam Ringgo. Dia pun mendekati ibunya yang sedang sibuk melayani tamu. Sesekali Ringgo pun bersalaman pada semua tamu yang memberikan ucapan selamat padanya.
"Ibu, Retha ke mana? Aku mencarinya tapi dia tidak kelihatan sama sekali."
"Tadi Ibu lihat sedang duduk di sana. Tapi kho gak ada ya! Paling juga dia ke toilet," jawab Bu Lela.
"Ya sudah, Bu. Aku mau cari Retha dulu. Dia pasti belum makan," pamit Ringgo.
"Kamu tuh Ringgo, harusnya lebih perhatian pada istri baru kamu. Masih saja mencari Aretha. Biarkan saja! Dia sudah besar ini, kalau lapar pasti makan sendiri."
Ringgo terus saja melangkahkan kakinya mencari keberadaan Aretha. Dia berkeliling di rumah orang tuanya. Dengan sesekali melakukan panggilan telepon pada Aretha, tetapi tidak satu pun panggilan telepon darinya diangkat oleh Aretha. Meskipun Ringgo terus mencari ke sana ke mari, tetap saja Ringgo tidak menemukan istrinya. Hingga akhirnya dia bertanya pada kakak dan adiknya yang terlihat sedang berbincang.
"Mbak Riri, lihat Retha gak? Aku keliling mencari dia tapi gak ada," tanya Ringgo.
"Mungkin Retha sedang menangis di kamar. Mau bagaimana pun juga, seorang istri pasti sedih saat melihat suaminya menikah lagi. Bohong kalau Retha selalu bilang gak apa-apa. Mbak tadi melihat dia menangis saat kamu ijab kabul," jawab Riri, kakak beda ibu Ringgo.
"Itu salah dia sendiri, Mbak. Kenapa Mbak Retha gak bisa punya anak? Coba kalau Mbak Retha punya anak, mungkin ibu juga tidak akan menyuruh Mas Ringgo untuk menikah dengan Mbak Anita," timpal Reva, adik perempuan Ringgo.
"Kamu tuh jangan bicara seperti itu. Selama ini Retha baik sama kamu. Dia selalu menurut sama ibu. Hanya karena kekurangan yang tidak pernah diharapkannya, kalian berusaha untuk menyingkirkan dia untuk menyerah dengan sendirinya. Padahal Aretha itu anak yang baik. Dia pekerja keras dan tidak pernah gengsi untuk melakukan pekerjaan apa pun. Tanpa Mbak beberkan satu-satu pasti kalian tahu kalau Retha melakukan banyak hal untuk ibu dan keluarga kita."
"Hanya Mbak Riri yang selalu membela dia. Padahal apa bagusnya, Mbak. Mbak Retha masuk ke keluarga kita gak bawa apa-apa. Dia tuh beruntung diterima di keluarga kita. Ya, meskipun sebenarnya, dari awal ibu tidak setuju kalau Mas Ringgo menikah dengan Mbak Retha." Reva mengangkat bahunya seraya mencibir.
"Sudah jangan berdebat! Aku mau pulang ke rumah dulu. Mungkin benar Retha ada di kamar. Reva bilang sama ibu, untuk menerima tamu menggantikan Mas dulu." Ringgo langsung berlari menuju ke rumahnya.
Dia tidak memperdulikan panggilan dari adiknya yang ingin protes. Hatinya was-was merasa khawatir pada istrinya. Hingga sampai di rumahnya, Ringgo langsung masuk dengan tergesa.
"Dek! Retha! Kamu di mana?" teriak Ringgo.
Tidak ada sahutan dari dalam rumah. Ringgo pun mencari dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Hingga akhirnya dia melihat sebuah sticky note yang Aretha tempelkan di pintu lemari es.
Mas, aku menyimpan surat buat Mas di laci lemari baju.
Ringgo kembali ke kamarnya. Dengan tergesa, dia membuka lemari bajunya. Mencari surat yang Aretha simpan di sana. Saat sudah menemukannya, jantung Ringgo langsung berdetak lebih cepat dari biasanya. Dadanya bergemuruh hebat dan wajahnya terasa panas dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya.
Bagaimana tidak, dia menemukan surat perceraian dari pengadilan yang sudah Aretha tanda tangani. Tidak ketinggalan sebuah surat yang Aretha simpan di atas surat perceraian itu. Ringgo pun membaca surat terakhir dari istrinya dengan tangan yang gemetar.
Teruntuk:
Mas Ringgo yang kucintai
Mas, sekali lagi aku ucapkan selamat atas pernikahannya. Semoga Mas selalu bahagia. Meskipun tidak ada aku di sisi Mas.
Mas, aku minta maaf karena aku tidak bisa terus berbakti pada Mas. Aku ingin ikhlas Mas menikah lagi, tapi hatiku terasa sangat sakit Mas. Mungkin pengabdianku pada Mas hanya sampai di sini saja. Semoga ke depannya kita bisa berteman baik.
Selamat tinggal, Mas! Surat perceraian sudah aku tanda tangani. Mas tinggal menandatangani dan memberikannya ke pengadilan.
Salam sayang,
Aretha
"RETHA ...," teriak Ringgo dengan lutut yang terasa lemas.
Dia bersimpuh dan menangis seraya memeluk surat yang Aretha tulis. Sungguh hatinya sangat hancur mendapati kekasih hatinya sudah pergi jauh. Andaikan waktu bisa terulang kembali, mungkin Ringgo tidak akan pernah menyetujui keinginan ibunya agar dia menikah dengan Anita.
"Kenapa kamu harus pergi, Retha? Kenapa kamu tinggalkan Mas. Kamu pergi ke mana? Bukankah paman yang merawat kamu sudah tiada. Ke mana kamu akan berlindung?"
"Retha pulanglah! Kalau kamu tidak ingin dimadu, aku akan menceraikan Anita setelah punya anak. Kenapa kamu tidak bisa bersabar?"
Ringgo menghapus air matanya kasar. Dia mengambil ponselnya dan berniat untuk menghubungi istrinya. Namun tetap saja hanya operator yang menjawab panggilan teleponnya. Dengan keputus-asaannya, Ringgo melemparkan ponsel yang dia pegang. Dia mengepalkan tangannya dan menonjok kaca lemari dengan sekuat tenaga. Hingga menimbulkan suara yang keras dan sukses membuat tetangganya kaget.
PRANG!
"Ringgo, kamu kenapa?" tanya tetangga Ringgo setengah berteriak.
Mereka pun masuk ke dalam rumah Ringgo untuk memastikan. Mereka sangat terkejut melihat tangan Ringgo yang bercucuran darah dengan kaca yang menancap di tangannya. Buru-buru saja seorang bapak tua yang menjadi tetangga Ringgo, membawanya keluar kamar.
"Kamu kenapa Ringgo? Ada masalah apa? Harusnya kamu bahagia karena ini hari pernikahan kamu," tanya Bapak Tua itu seraya mencabut satu persatu pecahan kaca yang menancap di tangan Ringgo
"Bagaimana aku bisa bahagia kalau Retha pergi. Aku tidak mau kehilangan dia."
"Apa? Retha pergi?" tanya Bapak Tua itu, "mungkin dia sudah lelah, Ringgo. Selama ini dia sudah bersabar menghadapi sikap ibu kamu yang suka semena-mena sama dia. Mungkin kesabaran dia sudah habis karena kamu lebih memilih menurut pada ibumu."
"Tapi Pak ... Retha mengijinkan aku menikah lagi."
"Berarti kamu kurang peka terhadap perasaannya. Bapak yakin kalau istri kamu tidak pernah mengeluh soal ibumu. Bapak sering melihat ibu kamu terus menyuruh Retha untuk melakukan pekerjaan berat. Termasuk mengangkat galon yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang perempuan."
Apa benar yang dikatakan oleh Pak Umar? Ibu memang sering menyuruh Retha melakukan ini itu. Tapi aku pikir hanya beres-beres rumah atau memasak saja yang memang biasa dilakukan oleh perempuan.
"Ringgo, lepaskan saja Retha kalau dia memang sudah tidak tahan hidup dengan kamu. Biarkan dia mencari kebahagiaannya sendiri."
"Retha bahagia hidup dengan aku karena kami saling mencintai."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!