NovelToon NovelToon

Suami Tangan Satuku

Dilamar Boss

Amadea Kasea menatap boss barunya yang dua bulan terakhir ini membuatnya sakit kepala itu dengan tatapan tak percaya.

"Menikah? Dengan Pak Mandala?" tanyanya dengan bibir gemetar.

Ya, ia baru saja dilamar pria yang tangan kirinya belum lama diamputasi itu. Boss tampannya itu memang mengalami kecelakaan parah.

Tangan itu tak bisa terselamatkan. Ototnya mati, lukanya membusuk karena potongan besi mobil dan terlambat ditangani karena pria itu kecelakaan di tengah hutan.

Mandala Barata memang tipe pria maskulin yang punya hobby lumayan ekstrim. Offroad di medan sulit alias di hutan bersama teman satu klub-nya bulan kemarin itu menjadi pengganti pesta lajang baginya sebelum menikah.

Mana menyangka ia akan kecelakaan lalu telat dievakuasi karena longsor dan jalur ke kota tertutup. Ia sekarat di tengah hutan, dengan peralatan seadanya, badan kotor, hujan lebat, dan sampai di rumah sakit 2 hari kemudian. Sinyal untuk menghubungi bala bantuan apalagi ambulance pun tak ada.

Mandala menyangka ia akan mati. Tapi ia masih selamat. Hanya saja tangan kirinya harus ia relakan. Juga calon tunangannya. Ia relakan saja wanita itu pergi, karena mau memohon seperti apapun juga ia akan tetap dicampakan karena cacat.

Maka kini Mandala melamar sekretaris barunya sendiri karena putus asa.

"P--Pak Mandala bicara apa barusan? Sa--saya nggak salah dengar, kan?" Dea yang memakai setelan baju kantor rapi itu membulatkan matanya dengan gugup dan dengan wajah tak percaya.

Mandala Barata meringis sambil sedikit membuang muka. Sebenarnya ia benci situasi ini. Tapi otaknya ia paksa untuk memikirkan ide konyol ini demi kepentingannya ke depan.

"Iya, kamu nggak salah dengar. Saya barusan melamar kamu." Suara berat dan sedikit serak khas Mandala membuat Amadea semakin tersentak.

Oh, bahkan kini map berisi berkas yang ia bawa dari kantor ke rumah sakit ini terasa berat karena tangan Dea mendadak berkeringat karena gugup.

"B--Bapak kan punya tunangan. Nona Meirika..." Amadea bahkan tak bisa berkata-kata dengan tenang. Menelan ludah pun susah. Semua hal mengejutkan ini seolah membuat seluruh indra di tubuhnya ikut terkejut dan eror mendadak.

"Dia minta putus. Pengumuman pertunangan minggu depan juga di-cancel sepihak. Cincinnya dibalikin tuh sama manager-nya tadi pagi." Mandala memberi kode dengan gerakan kepala pada meja di samping ranjang rawatnya itu.

Dengan spontan mata Dea menoleh ke arah yang dimaksud Mandala.

Astaga!

Tampak cincin berlian yang bulan lalu ia ambil dengan gemetar dari toko perhiasan ternama itu teronggok di meja.

Dea tercekat. Masalahnya ia ingat betul harga yang tertera di catatan pembelian perhiasan mahal itu.

Ya, harga cincin itu jelas tak main-main. Meirika Jayatri artis kenamaan yang sedang naik daun. Mana mungkin Mandala Barata membelikan cincin murahan untuk pertunangan mereka. Lagipula Mandala kurang kaya apa, sih. Apalagi semenjak papanya meninggal, seluruh perusahaan, aset, saham, dan seluruh harta Tuan Barata menjadi miliknya sepenuhnya.

Cincin mengkilat itu terpantul di mata cantik Dea yang bertubuh ramping itu.

Ah, kalau cincin itu dijual maka hutang ibunya bisa lunas. Bahkan lebih dari cukup. Sisa banyak sekali.

Hutang ibu Dea yang habis tertipu mantan suami keduanya alias ayah tiri Dea hanya 250 juta. Sedangkan cincin itu harganya 500 juta lebih.

Ya, kadang-kadang hidup memang selucu itu. Di belahan bumi satunya seseorang membuang uang untuk hal sepele macam cincin. Di belahan bumi yang lain seseorang bekerja keras tidak tidur hanya untuk makan.

Begitu pula Dea. Sebulan terakhir ini ia bekerja sambil menangis. Selain karena Mandala boss barunya membuatnya sakit kepala karena makin bertingkah setelah kecelakaan, ia juga dibuat pusing dengan tingkah ibunya.

Keputusan ibunya menikah untuk kedua kalinya setelah sang ayah meninggal sebenarnya sudah ditentang oleh Dea. Pria penipu yang ia panggil Om Alik itu memang sudah membuatnya curiga sejak awal.

Namun apa mau dikata. Nasi telah menjadi bubur. Dengan mengatasnamakan nama mamanya, pria tak tahu diri itu berhutang dengan sertifikat rumah satu-satunya peninggalan mandiang ayahnya. Bagaimana Dea tidak meradang.

Hidup setengah mati dengan hati lelah karena kebanyakan menangis ia jalani. Baru kerja 2 bulan setelah kena PHK, dapat boss galak, ditambah terbebani hutang segitu banyaknya.

Mata Dea tak berkedip. Cincin tunangan, lamaran boss-nya yang membingungkan membuatnya merasa seperti berada di alam mimpi. Semua ini jelas membuat otak pintarnya jadi berasa tumpul mendadak.

"Dea? Amadea?" Suara berat Mandala membuyarkan lamunan Dea yang masih berdiri mematung di depan ranjang rawat penuh selang dan alat medis yang tersambung ke tubuh Mandala.

Mata bening Dea tersadar. Ia langsung menoleh ke arah sang boss lagi. Gerakan mendadak itu membuat rambut panjangnya yang tergerai berayun manis macam ombak yang cantik.

"I--iya, Pak." Amadea masih belum bisa bicara dengan normal.

"Jadi gimana? Kita atur kesepakatan kalau kamu mau. Saya perlu menikah karena sudah tersebar rumor ini dimana-mana. Cuma kan nama mempelai-nya dirahasiakan karena Meirika masih ada kontrak kerja dengan brand. Rencana pengumuman tunangan dibatalkan sama dia.

Dia minta putus karena nggak mau punya calon suami cacat. Yaudah lah mau bagaimana. Jadi kelihatan kan kalau dia nggak benar-benar cinta sama saya. Baru kehilangan satu tangan sudah ditinggal. Gimana kalau bisnis saya bermasalah atau bangkrut, bakal langsung minta cerai dia.

Baguslah dia minta putus. Tapi gedung, gaun, semuanya, undangan juga sudah siap disebarkan. Tinggal ganti jadi nama kamu aja nanti. Daripada saya nggak jadi nikah." Mandala mengatakan hal ini seolah pernikahan bukan hal serius baginya.

"Hah?" Amadea makin terlihat konyol dengan respon alami polosnya.

Ya siapa yang tidak terkejut dilamar boss-nya sendiri yang bahkan minggu lalu masih membuatnya menangis di kamar mandi kantor karena tertekan habis diomeli.

Mandala tampak menghembuskan nafas panjang lalu memberi kode dengan tangan kanannya yang baik-baik saja itu agar Dea mendekat ke arahnya. Ia juga menunjuk ke sebuah kursi.

Dea tergopoh-gopoh mendekat dengan gerakan yang kaku dan gugup. Sesekali matanya melirik ke arah pria bermata coklat yang membuatnya kebingungan itu.

"Duduk sini dekat saya." Mandala berkata lagi dengan nada tegasnya.

Amadea sang sekretaris berusia 24 tahun, berlesung pipi, dan berkulit putih itu duduk dengan tegap dan nafas tak beraturan seperti seorang murid yang sedang dipanggil gurunya untuk dihukum.

Mandala tertawa pelan melihat ekspresi Dea yang tegang itu. Ia lalu berdehem dan mulai bicara dengan serius. Tak lupa matanya menatap lurus ke arah Dea.

Dea seolah terhipnotis. Mata coklat bos galak yang sebenarnya wajahnya tampan itu membuatnya terkesima juga pada akhirnya.

"Terima lamaran saya dan mari menikah. Nanti saya lunasi hutang keluarga kamu."

Suara berat Mandala membuat mata Dea makin membulat.

Hah? Apa-apaan ini? Darimana sang boss tahu soal hutang keluarganya?

Tangan Dea makin basah karena gugup dan gemetar.

Bugh!

Map yang ia pangku tergelincir ke lantai.

Mandala tertawa. Mentertawakan kepolosan dan kegugupan sekretaris cantiknya.

Bersmabung...

_____

Halo pembaca, mohon dukung karya ini dengan like, share, komen, dan vote ya.

Satu like dan komentar sangat berarti untuk penulis.

Terima kasih telah mampir membaca.

🥰

Mempelai Pengganti

Hening.

Suasana seperti seakan membeku dan waktu terhenti ketika Dea mengambil map miliknya yang terjatuh ke lantai itu.

Degup jantung wanita muda itu terasa cepat dan tak beraturan.

Lalu ketika ia kembali duduk tegap sambil mengalihkan pandangan menatap tetep tetes-tetes infus yang meluncur ke dalam selang yang terhubung ke lengan kanan Mandala itu, Mandala kembali berdehem.

"Saya tahu kamu sedang tertekan dan butuh uang, Amadea. Saya tahu." Suara Mandala membuat hati Dea makin melonjak-lonjak bingung bercampur kaget.

"Pak Mandala tahu darimana?" Suara lirih Dea akhirnya terdengar juga setelah beberapa detik ia mengatur nafasnya yang masih memburu itu.

Mandala tertawa lagi.

Sungguh Amadea kadang tak mengerti. Pria yang kemarin masih sekarat itu mungkin hanya kehilangan sebelah tangan, tapi energinya seolah tak hilang. Malah makin bertambah menyebalkan.

Bayangkan saja. Setelah operasi selesai pria itu menelponnya untuk urusan pekerjaan dan membuat Dea terbirit-birit lari dari kantor ke rumah sakit karena Mandala menyuruhnya cepat mengantar berkas.

Belum cukup itu saja, suara gelegar amarah dan omelannya masih terdengar sama seperti sebelum ia cuti dan kecelakaan.

Cutinya sang boss dan kecelakaan yang menimpanya awalnya membuat Dea senang bukan main. Artinya ia bebas dari omelan pria itu selama beberapa hari. Tapi rasa senangnya berubah menjadi kasihan begitu mendengar berita kalau sang boss harus kehilangan satu tangan.

Namun lihat sekarang. Setelah tangannya diambil, lalu keadaannya lumayan pulih, pria itu kembali menyiksa Dea dengan perintah-perintah arogannya.

Rasa kasihan Amadea tercabut lagi. Ia merasa lebih layak mengasihani dirinya sendiri daripada mengasihani bosnya yang ternyata tetap menjadi pria kejam itu.

Amadea kini memberanikan diri menatap sang atasan. Ia bingung darimana si boss tahu.

Masalah hutang ini kan masalah pribadinya. Bahkan teman barunya di kantor baru ini pun tidak tahu karena ia memendam masalah ini sendiri. Ia terlalu malu dan stress untuk sekedar curhat atau berbagi keluh kesah dengan siapapun.

"Waktu kemarin kamu ke sini untuk urusan kantor, kamu pikir saya tidur, kan? Nggak! Saya sudah bangun. Tapi saya merem aja karena terlanjur dengar kamu nangis-nangis. Saya pura-pura tidur dan menguping.

Waktu itu kamu ditelpon ibumu, kan? Kamu nangis sambil membahas utang, sertifikat rumah yang ditahan, lalu kamu juga ngeluh karena saya galakin kamu di kantor dan belum gajian.

Saya dengar, Dea. Ya saya nggak marah sih kamu bilang saya galak dan bengis. Memang kenyataannya begitu." Mandala sedikit mencibir, membuat Dea tertunduk malu bukan kepalang.

Kemarin waktu tergopoh datang dari kantor ke rumah sakit karena Mandala mengomel, Dea cukup dibuat kesal.

Bagaimana tidak kesal. Setelah diomeli habis-habisan lewat telepon, lalu disuruh cepat-cepat datang, eh sampai di ruang rawat Mandala malah tidur. Di saat yang sama kebetulan ibunya menelpon dan menagih uang karena tagihan utang sudah keluar, sedangkan Dea belum menerima gaji.

Dea marah, kesal, lelah. Dengan emosi membuncah akhirnya ia menangis sambil menerima telepon tanpa sempat menyingkir dari ruang rawat Mandala sehingga Mandala mendengarnya.

"M--maaf Pak saya nggak bermaksud..." Amadea masih menunduk dan lagi-lagi dari tadi suaranya terbata.

Mandala tertawa dengan nada sengak.

Ya, dari nada suaranya, gesture-nya bahkan di saat ia sedang terbaring lemah dan kehilangan satu tangan begini masih saja tetap menjengkelkan di mata Dea.

Mandala memang dikenal sebagai bos yang galak, arogan, dan susah ditaklukan. Mana pernah ia memuji karyawannya. Kalau ia melintas di kantor, semua orang akan ketakutan.

Mandala akan mengkritik apapun yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Bahkan yang sudah dianggap sesuai pun kadang ternyata masih ia kritik.

"Gimana Dea? Kita menikah. Saya akan lunasi hutang kamu. Paling berapa ratus juta, sih? Kamu juga boleh minta cerai nanti. Ini pernikahan sementara, kok. Kita atur aja kalau sudah sepakat. Gimana? Kalau kamu nggak mau saya bisa nyari calon lain. Waktu saya nggak banyak." Suara Mandala yang berat terasa menggema di telinga Amadea yang kini mengangkat kepalanya makin tinggi.

Ditatapnya bos galak yang sering ia sumpahi karena kesal dalam hati itu dengan tatapan tak percaya.

Hutangnya lunas? Bukankah ini tawaran yang menggiurkan? Ini solusi dari permasalahan yang ia tangisi setiap malam, kan? Yang membuatnya heran, kenapa ia harus menikahi pria itu?

"Tapi kenapa Bapak harus tetap menikah? Bisa saja kan Bapak membatalkan pernikahan saja. Bapak kan kaya. Uang gedung, persiapan resepsi, paling juga tidak seberapa banyak untuk Bapak." Dea membalas dengan takut-takut.

Masalahnya wanita cantik itu penasaran juga. Kenapa pria itu bersikeras harus menikah dan mencari calon pengantin pengganti dari Meirika Jayatri?

"Karena saya pengen nikah aja." Mandala menjawab dengan singkat.

"Hah?"

Lagi-lagi Amadea hanya bisa merespon dengan 'hah'.

"M--maksunya gimana, Pak?" Amadea mengulang pertanyaan ini karena merasa belum sepenuhnya paham.

"Iya. Saya cuma pengin nikah aja. Cuma biar kelihatan udah pernah nikah aja di mata publik. Sekalian biar Meirika kesal sama saya. Dipikirnya habis semuanya dia batalkan sepihak saya akan terpuruk dan memohon-mohon biar dia kembali?

Nggak! Saya tetap pengin melanjutkan rencana pernikahan. Dan saya butuh mempelai pengganti yang pantas. Kalau kita menikah kita sama-sama untung, kan?" Mandala berkata sambil meringis ketika bergerak sedikit dari posisi duduknya.

Dea tercenung.

"Kenapa harus saya, Pak?" Dea terlihat masih syok merespon semua hal gila ini.

"Ya karena kamu cantik aja. Pas lah dibawa ke acara kolega bisnis saya, diliput wartawan. Ngapain saya nyari jauh-jauh. Apalagi kamu juga butuh uang sebagai imbalan. Pas, kan?" Mandala menaikkan sebelah alisnya.

Coba saja tidak galak. Pria ini sangat tampan, maskulin, dan menawan wanita manapun. Harus Dea akui, pria ini berparas di atas rata-rata!

Dea menunduk. Ya, ini solusi masalahnya, kan?

Ada hal mengejutkan lagi sebenarnya dari tawaran ini. Ya, bos galak yang ia benci itu barusan bilang kalau ia cantik.

Dea bukannya GR atau terlalu PD menyebut dirinya sendiri cantik. Nyatanya dari SMP, SMA, sampai kuliah, banyak yang bilang ia cantik. Bukan hanya teman lelakinya yang bilang. Teman perempuan pun mengakui paras cantiknya. Bahkan tak sedikit pula yang iri dan membencinya diam-diam.

Para gadis itu umumnya kesal kan kalau cowok incaran mereka bukannya merespon malah sibuk cari perhatian Dea.

Nyatanya Dea memang mengalihkan pethatian semua orang karena cantiknya tak kalah dengan deretan selebriti kenamaan ibukota.

"Saya nggak mau kasih kamu waktu buat mikir lama-lama, ya. Jawab sekarang juga kamu mau atau tidak. Kalau nggak mau saya suruh Beni nyari pengantin pengganti." Mandala melirik lagi ke arah Dea yang menunduk.

Dea perlahan mengangkat wajahnya.

Apa jawaban yang akan ia lontarkan untuk Mandala Barata?

Iya atau tidak...

BERSMABUNG...

_____

Jangan lupa tinggalkan like dan komentar ya.

Tangan Kiri Sang Boss

Sambil memejamkan mata, berusaha meyakinkan dirinya sendiri, akhirnya Amadea mengangguk pelan dengan tangan tergenggam.

Bahkan tangan yang kini gugup itu meremas kain celana cokelat yang membungkus kaki indahnya. Ya, itulah kebiasaan Amadea ketika ia gugup. Tangannya akan mencari apapun yang bisa ia genggam dan remas.

Mandala tersenyum tipis. Sungguh manis andai saja sikapnya tak menyebalkan.

"Yakin nggak berubah pikiran? Saya nggak mau ya kamu tiba-tiba membatalkan ini semua. Masak saya gagal nikah dua kali. Saya akan buat perjanjian yang apabila kamu melanggar, kamu kena denda lebih besar dari hutang keluarga kamu. Sepakat?" Suara Mandala lebih terdengar seperti ancaman daripada sebuah obrolan normal.

Amadea Kasea mengangguk dengan yakin walau jantungnya mau copot.

Boss yang baru ia kenal 2 bulan terakhir dengan kesan negatif dan membuat trauma itu justru akan menikahinya dan ia sepakat?

Oh, apapun yang terjadi maka terjadilah. Amadea tak bisa berpikir jernih. Yang ia tahu ia tak ingin melewatkan kesempatan untuk jalan pintas pelunas 250 jutanya.

Demi ibunya. Demi kewarasannya dan keselamatannya dari teror ayah tiri dan penagih utang.

"Oke. Daripada aku pusing karena hutang. Lagian aku nggak punya pacar juga. Nanti bisa cerai. Kalaupun jadi janda, nggak papa. Setidaknya aku jadi janda orang kaya."

Begitu batin Dea yang sudah tidak tahu lagi apakah keputusan ini tepat atau tidak untuk masa depannya. Suaranya menggema sendiri di kepalanya yang berdenyut-denyut kebanyakan merespon kejutan.

Amadea berusaha tersenyum sok tegar dan yakin di hadapan Mandala yang menahan senyum menatap tingkahnya.

Yang jelas ia tahu pasti ke depannya akan sulit menghadapi tingkah menyebalkan dan arogan Mandala. Tapi ia meyakinkan dirinya sendiri. Menghadapi Mandala lebih bisa ia tahan daripada menghadapi ibunya dengan segala utang, ancaman diusir dari rumah yang dijadikan jaminan utang, dan teror menjijikkan penagih yang mengutus preman ke rumah mereka.

"Yakin kamu nggak malu sama teman-teman kamu karena punya suami cacat bertangan satu? Gimana dengan keluarga kamu? Kamu yakin?" Mandala seolah menguji keseriusan Dea.

Dea mengangguk mantap. Matanya tak takut lagi menatap Mandala.

"Saya nggak punya teman. Keluarga saya cuma ibu saya. Keluarga besar sudah menjauh setelah ayah saya meninggal dan kondisi ekonomi kami menurun.

Soal cacat, sepertinya kata-kata itu terdengar terlalu kasar, Pak. Mendiang ayah saya juga cacat 3 tahun terakhir sebelum meninggal. Kakinya diamputasi karena diabetes. Dia memakai kursi roda 3 tahun dan saya tidak pernah mengeluh atau malu mengurus beliau dengan keadaannya."

Jawaban Dea membuat Mandala yang mencibir jadi mengatupkan bibir tebalnya yang terbelah di tengah dengan apiknya itu.

Oh, bisa ia rasakan ketulusan dari gadis yang selalu menunduk menahan mata berkaca-kacanya ketika ia semprot dengan kata-katanya yang penuh amarah itu.

Pria itu bahkan terdiam beberapa saat hingga mata mereka saling bertemu dan menatap dengan agak lama.

"Oke. Sepakat. Berapa hutang kamu? Akan saya lunasi setelah kamu tanda tangan kesepakatan. Ingat ya, ini rahasia. Balik lagi ke sini besok pagi setelah kamu pikirkan kesepakatan yang perlu kita rundingkan. Tulis kalau perlu. Besok kita diskusikan sekalian sama pengacara saya." Mandala merasa obrolan ini sudah sampai ujung.

Dea sedikit terbengong. Ia bingung apa maksud Mandala.

"Kesepakatan apa lagi, Pak? Bukankah kita sudah sepakat barusan?" Dea kini menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat anak rambutnya  sedikit mencuat dengan lucu.

Mandala tertawa.

"Ya maksudnya secara lebih rinci. Misalnya soal berapa lama pernikahan kontrak ini berlangsung. Batasan sentuhan fisik. Kamu boleh minta pisah kamar. Kita kan cuma pura-pura menikah. Atau kamu mau sekamar sama sa..."

"Iya, Pak. Nanti saya pikirin." Dea buru-buru memotong ucapan Mandala sambil menunduk malu.

Mandala tertawa lagi, seolah mentertawakan tingkah gugup Dea.

Ah, dasar bos menyebalkan!

Dea hanya bisa membatin jengkel dalam hati.

Tapi jengkel-jengkel begini, entah kenapa Dea merasa nafasnya lebih ringan.

250 juta yang kemarin membuat dadanya seperti tertimpa batu dan membuatnya sesak itu seolah terangkat perlahan.

"Kamu boleh pulang. Mana tadi berkasnya saya tanda tangan dulu. Lalu bantu saya berbaring. Suster baru akan datang mengecek setengah jam lagi soalnya," ucap Mandala lalu memberi kode pada tangannya sambil menunjuk map berkas di pangkuan Dea.

Dea langsung spontan berdiri dan mendekat. Ia siapkan pena yang biasa Mandala pakai.

Bukannya cepat tanda tangan, Mandala justru memegang pena itu dengan tatapan sedih.

"Sial!" Pria itu mengumpat pelan, membuat Dea bingung.

Apa ia salah berkas? Dea mendadak kena serangan panik lagi.

"Ke--kenapa, Pak?" Dea bertanya dengan gugup.

Mandala tak segera menjawab. Ia justru melempar pena mahalnya itu ke lantai.

Dea makin jantungan.

Hening lagi.

Selama beberapa detik keheningan itu, pertama kalinya Dea melihat sisi kesedihan tak tergambar di mata boss kejamnya itu.

Biasanya mata itu akan menyala dengan menyebalkannya. Sungguh sorot matanya saat mengomel mirip sorotan harimau yang hendak menerkam mangsa. Tatapan yang Dea takuti.

Tapi tatapan apa ini? Terlihat begitu asing.

Waktu pertama kali datang ke ruang rawat ini setaleh operasi, Dea pikir ia akan melihat sisi lain si galak Mandala Barata yang sedih karena kehilangan tangan. Tapi ternyata ia salah. Mandala tetap mengomelinya hari itu seolah tak terjadi apapun sebelumnya. Seolah tangannya masih dua dan bisa membanting berkas seperti biasa ke lantai kalau Dea membuat kesalahan.

Tatapan sedih Mandala juga tak Dea lihat sewaktu Mandala bilang Meirika membatalkan pertunangan dan mengembalikan cincin.

Sekarang justru tatapan sedih itu terlihat ketika ia memegang pena.

"Ambil pena itu. Ambil juga kertas lain selain berkas penting ini. Saya perlu latihan tanda tangan." Suara Mandala berubah nadanya menjadi sedikit sendu.

Amadea bergerak mengambil pena dengan seribu pertanyaan mengambang di kepalanya.

Kenapa Mandala perlu latihan tanda tangan? Apa 2 minggu terbaring di rumah sakit membuatnya lupa tanda tangannya sendiri sampai ia kesal dan melempar pena?

"Kenapa perlu latihan, Pak? Saya bisa carikan contoh tanda tangan Bapak dari berkas lama kalau Bapak lupa." Dea menyodorkan pena dengan kata-kata polosnya.

Mandala menatap agak tajam dan mengambil pena itu dengan gerakan kaku.

"Saya nggak lupa tanda tangan saya sendiri. Saya cuma harus latihan pakai tangan kanan. Kamu lupa, sebelumnya saya kidal. Saya terbiasa memakai tangan kiri dari saya lahir. Sekarang tangan kiri saya terpotong!"

Suara Mandala membuat Dea tersentak dan merasa bersalah.

Diperhatikannya dengan tatapan prihatin ketika dengan susah payah Mandala berusaha membuat tanda tangan dengan tangan kanannya.

"Ah, sial!" Mandala tampak menyerah. Dilemparnya pena itu lagi. Bukan ke lantai. Tapi ke sisi kiri kasurnya.

Amadea menunduk. Tidak tahu lagi harus berkata apa.

Dilihatnya hasil tanda tangan Mandala yang mulanya bagus ketika memakai tangan kiri itu jadi terlihat macam coretan anak kecil.

"Nggak akan terverifikasi kalau begitu caranya. Berapa banyak yang perlu tanda tangan fisik saya? Berapa lembar?" Suara Mandala terdengar masih agak lirih.

"Sepuluh berkas. Ditambah lima berkas lama yang tertunda ditandatangani karena Bapak cuti." Dea menjawab dengan suara lirih juga, seolah ikut menjiwai kesedihan Mandala karena kehilangan kemampuan tangannya.

"Pakai cap jari saya. Kamu cari tinta. Nanti saya bilang ke pihak terkait. Nggak bisa tanda tangan digital. Harus dengan tinta basah untuk menghindari pemalsuan dokumen." Mandala memerintahkan dengan suara tak sekeras biasanya.

Dea jadi sungkan sendiri. Ia lalu pamit undur diri untuk mencari tinta yang dimaksud. Tinggallah pria bertangan satu itu sendirian di ruang rawat mewahnya itu.

***

Dea sedang melamum memikirkan keputusan pernikahan kontraknya dengan Mandala saat penjaga toko perlengkapan kantor itu memanggil-manggil namanya untuk menyerahkan kembalian dari membeli tinta.

"Mbak? Permisi, Mbak? Kembaliannya."

Dan Dea belum menyahut. Pikirannya berputar-putar. Bagaimana ia akan mengatakan rencana pernikahan mendadak ini pada ibunya?

BERSAMBUNG

____________

Halo, jangan lupa tinggalkan jejak like dan komentar ya agar penulis semangat nulis ceritanya. 💕

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!