PROLOG 1.1
"Hari yang sama lagi"
Suhu di luar begitu menggila, membuatnya hampir tak bisa bernafas. Matanya memandang sekitar, dan pandangan itu langsung terpaku pada kilatan merah panas di aspal yang terik. Sebagai pemandangan rutin di kota metropolis, lalu lintas macet adalah keadaan yang telah membudaya, tetapi hari ini rasanya lebih menyengat dari biasanya.
Lalu lintas yang melambat ini menampakkan berbagai ekspresi dari pengemudi di sekitarnya. Seorang pengemudi terlihat menggerutu, menggelengkan kepala dengan frustrasi, dan sesekali mengetuk-ngetukkan jari di kemudi mobilnya seolah-olah itu akan membantu mengalihkan situasi. Di seberang jalan, seorang ibu dengan wajah lelah menggendong bayinya sambil melindungi dengan tangannya.
seorang pengamen jalanan berusaha mencari celah di antara mobil-mobil yang terjebak. Ia menggandeng gitar tua yang dipenuhi goresan dan tak lupa sebuah topi untuk menampung recehan dari pengguna jalan yang memberi simpati pada penampilannya yang berdebu. Sinar matahari terik meresap di celah-celah rambutnya, memberi kesan bahwa usaha kerasnya dalam mencari penghidupan semakin terasa.
Tak jauh dari situ, beberapa tukang ojek berusaha menawarkan jasanya kepada para penumpang yang putus asa mencari cara lain untuk melanjutkan perjalanan mereka. "Ojek, ojek, bisa jalan di samping, Bu! Gak macet, deh!" seru salah seorang tukang ojek sambil menepuk-nepuk sisi motor.
Di tengah gemuruh lalu lintas yang tak henti-hentinya, seorang kepolisian lalu lintas berdiri dengan sikap tegap. Seperti seorang dirigent mengarahkan orkestra, dia menjalankan perannya dengan gesit, berusaha menjaga keamanan dan mencegah kecelakaan di persimpangan yang ramai.
Dengan tanda di tangannya, dia memberhentikan aliran kendaraan dari salah satu arah, memberi jalan bagi simpang yang lain untuk melaju lancar. Terik mentari menari-nari di atas kepalanya, menyebabkan setetes keringat mengalir di bawah topi pelindungnya.
"Oppp!" teriaknya dengan suara lantang, memecah kesunyian jalanan. Para pengendara menurut, dan ia melambaikan tangan dengan penuh semangat sebagai tanda izin untuk melintas.
Bibirnya pecah-pecah dan mulutnya kering, keringat membasahi seluruh bajunya, namun ia tak membiarkannya memengaruhi kewaspadaannya.
"Panas sekali" Gumamnya dalam hela nafas,
"Setiap hari melakukan hal yang sama. Datang, pergi mengatur lalu lintas, sesekali menyelesaikan kasus, begitu seterusnya" tambahnya di tengah-tengah situasi yang menggilakan panasnya,
"Oppp, maju maju!!" teriaknya sekali lagi, lantang dan penuh semangat, mengatur lalu lintas dengan gerakan yang gesit seperti seorang penari jalanan. Salah satu simpang dibiarkan mengalir lancar, sementara simpang lain dihentikan dengan satu isyarat tangan yang tegas.
Dalam hati, ada gelombang perasaan yang bercampur aduk.
"Membosankan sekali. Semuanya terasa sama saja. Seandainya aku mempunyai power layaknya orang-orang"
"Kau punya"
Setelah beberapa jam melewati momen penuh tantangan dan tekanan, akhirnya sang polisi lalu lintas digantikan oleh rekannya. Saat ini, dia diberi kesempatan beristirahat di sebuah pos polisi yang strategis di dekat persimpangan tersebut.
"Terimakasih atas kerja kerasmu, William," ucap salah seorang rekannya dengan penuh penghargaan, menunjukkan rasa salut atas upaya nya dalam mengatur lalu lintas.
"Ya ya, berikan aku air" timpalnya, tidak memperdulikan sahutan temannya, Dia bergegas menuju sebuah kotak kardus untuk mengambil air gelas.
Duduk lesu di kursi plastik kondangan, pandangannya tertuju pada hiruk pikuk lalu lintas yang tak terkendali.
"Aneh sekali. Orang-orang mempunyai berbagai macam power, tapi tidak ada dari mereka yang berani menggunakannya. Yah, bagianku sudah selesai. Aku bisa pulang untuk sekarang" gumamnya.
Dia bangkit dari kursi dengan langkah mantap, meraih jaket yang bergantung di pojokan ruangan, dan mengambil helm NJS hitam. Matanya terperangah saat dia melewati seorang polisi buncit yang sedang asyik dengan ponselnya.
"Sutrisno, aku duluan. Tugasku sudah selesai," ujarnya.
Polisi gemuk itu terkejut dan mengangkat kepalanya, "Oh, terima kasih atas kerja kerasnya, William," jawabnya, lalu kembali merunduk ke layar ponselnya.
Dengan pandangannya masih tertuju pada polisi buncit itu, pikirannya dipenuhi dengan ketidakpuasan, "Bangsat, hanya karena senior, kau bisa santai seperti itu sepanjang waktu," gerutunya dalam hati sambil mengenakan jaket dengan cepat, menyembunyikan seragam polisinya.
Langkahnya mantap keluar dari ruangan, meninggalkan polisi dan pos tersebut, lalu menuju motornya yang terparkir di belakang. Sebuah motor XSR 155 berwarna hitam. Dia menyalakannya dan dengan gesit bergabung dalam Aliran lalu lintas yang padat di jalan raya.
***
Ciiitt, suara ban bergesek merdu, mengiringi kedatangan motor XSR 155 yang berjejer dengan motor-motor lain di teras. Derap langkah pelan memecah keheningan lorong yang dipenuhi oleh berbagai pintu berderet. Akhirnya, dia tiba di depan pintu berwarna cokelat bertuliskan angka "13". Cklek, pintu membuka diri dengan suara khasnya.
Dengan gerakan yang cepat, jaket dilepaskannya dan dilemparkan ke atas kasur, lalu dia membaringkan diri dengan posisi telungkup.
"sial, terlalu bau untuk tidur, terlalu malas untuk mandi," keluhnya dengan nada kesal.
Tik tok tik tok, detik-detik jam merayap perlahan ke telinganya, menciptakan keheningan yang singkat. Sebelah matanya tertuju pada laptop yang tergeletak di atas meja. Ia bangkit dari kasurnya, menarik kursi, dan duduk. Dengan gerakan lihai, laptop dibukanya, Membuka sebuah situs web dengan cepat.
"Ternyata benar, Pasukan Khusus sedang giat mencari rekrutan baru."
Dia merayapkan mouse di atas layar laptop, matanya tertarik oleh barisan tulisan yang menjelma di layar.
"Divisi Pasukan Khusus tanpa kekuatan khusus kehilangan salah satu anggotanya dalam sebuah misi..."
Terus ia menjelajahi halaman tersebut dengan semakin tertarik.
"Kemampuanku sepertinya memenuhi semua persyaratan mereka... Yosh, keputusan sudah Bulat, aku akan menjadi bagian dari Pasukan Khusus."
PROLOG 1.2
Di bawah sinar matahari yang terik, langkah mantap seorang pria berjaket melintasi kerumunan orang yang sibuk beraktivitas di pinggir jalan yang dipenuhi berbagai macam toko. Suara klakson kendaraan, tawaran pedagang, dan tawa anak-anak yang bermain di trotoar menciptakan dinamika kota yang sibuk. Sementara langit biru di atasnya menyinari kota dengan hangat
"Namaku William Arthur Schopenhauer. Pria berusia 21 tahun, bekerja sebagai kepolisian biasa. Yah untuk hari ini aku libur"
Dalam keramaian kota, alunan langkahnya seakan menjadi irama perjuangan pria itu, sedang berdampingan dengan pertarungan pikirannya.
"Di dunia ini, masyarakat mayoritas memiliki kekuatan unik, yang semakin membara seiring berlalunya waktu. Pewarisan genetik, bakat, serta anugerah, tiga faktor yang menyimpan rahasia kehadiran power di setiap jiwa manusia. Walau seseorang memiliki power, tapi perlu sesuatu untuk membangkitkannya"
"meski begitu, setiap kekuatan yang dimiliki seseorang dibatasi oleh hukum. Setiap orang tidak boleh menggunakan kekuatannya sesuka hati, jika melanggar, maka tiga lembaga penegak hukum berkekuatan akan melakukan tindakan."
Dia melangkah ke taman yang menakjubkan, air mancur bermain riang, jalan berbatu mengundang petualangan, dan rerumputan menyambut langkahnya. Di antara riuh anak-anak bermain, terpana dia oleh kursi kayu yang menawarkan pemandangan taman yang memukau. Dengan perlahan duduk, meraih Handphone dari saku celananya,
Ia menghidupkan Handphonenya, mengisi password yang tertera, lalu membuka google.
"Pasukan khusus, salah satu lembaga kepolisian penegak hukum tersebut. Mereka bertugas dibawah bayang-bayang, menangkap dan mengatasi orang-orang yang menggunakan kekuatan semena-mena. Aku akan masuk kedalam organisasi itu, bagaimana pun caranya"
PROLOG 1.3
***
"Selamat atas promosimu, William," ujar atasan Will dengan serius, suaranya terdengar di ruangan kantornya yang mewah. "Sekarang, kau telah bergabung dengan pasukan khusus. Kau akan dipindah tugaskan ke jantung kota, ke Badan Penanggulangan Penyalahgunaan Kekuatan."
William menjawab dengan penuh hormat, berdiri tegap di hadapan atasannya. "Terima kasih, pak," ucapnya dengan tulus.
"Akhirnya setelah cukup lama, aku berhasil masuk kedalam pasukan khusus" gumamnya dalam hati
Will melangkah keluar dari ruangan bosnya, menavigasi lorong-lorong kantor dengan langkah mantap, dan akhirnya memasuki ruang kerjanya sendiri. Di sana, dia dengan tekun mempersiapkan perlengkapan kantornya, seperti seorang ahli dalam rutinitas yang telah lama dia kenal.
Sambil dia tengah sibuk, seorang teman setia mendekat dan dengan senyum tulus menyapa, "Selamat atas promosimu, William. Sebagai senior, aku turut bahagia, kita telah menjalani perjalanan panjang ini bersama-sama, sebagai rekan."
Will menoleh kearah suara tersebut,
"Ah.. " pandangannya melihat seorang polisi buncit yang memegang segelas kopi
"Terimakasih Sutrisno. Ini semua juga berkat dirimu"
"Sialan, aku bersyukur tidak melihatmu lagi. Kerjamu selama ini hanya menyuruhku dan santai-santai" umpatnya dalam hati
"Bunuh saja dia"
Will kemudian mengangkat sebuah kardus berisikan barang-barang dengan hati-hati,
"Mau kubantu?" tanya rekan seruangannya
"Jangan sok baik sialan, baru sekarang kau ingin membantuku? kau senangkah aku pergi?" umpat Will dalam hati,
"Boleh..." mulutnya berkata lain.
Will dan rekan seruangannya membawa barang barang keluar kantor dengan hati-hati, kemudian meletakkannya dalam mobil yang terparkir di depan.
"Banyak juga barang-barangmu William" sapa pak supir yang membantu memasukkan barang.
"Begitulah.. " balas Will singkat.
Beberapa waktu berlalu, semua barang-barangnya telah dimasukkan kedalam mobil
Sebelum memasuki kendaraannya, ia melirik sekilas kantor lamanya, memori-memori masa lalu bergelut di benaknya. Dengan langkah mantap, Will masuk ke dalam mobil dan memulai perjalanan.
di tengah perjalanan, Will menatap keluar jendela, menyaksikan keramaian kota. Setiap orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing.
***
Satu jam berlalu, dan akhirnya Will tiba di kantor barunya. Kantor itu menjulang besar, terdapat tulisan yang megah di atas pintu masuk: "Badan Penanggulangan Penyalahgunaan Kekuatan" (B.P2.K)
Mobil Will berhenti di parkiran, dan dengan hati berdebar ia keluar dari kendaraan, memandangi gedung yang megah tersebut. Ia mengambil barang-barang kantor dari bagasi mobil,
"Biarkan saya membantu, Pak," ucap Will kepada supir yang sedang mengangkat barang-barangnya dari bagasi mobil.
"Terima kasih, tapi itu adalah tugas saya untuk mengantar dan membawa barang-barang Anda," jawab Pak Supir dengan ramah.
Will tidak bisa menolak tawaran kebaikan dari Pak Supir. Keduanya masuk ke dalam kantor yang tampak sangat luas. Orang-orang sibuk bergerak kesana kemari, dan Will melihat beberapa penjahat yang terborgol. Mereka berdua berjalan menuju lift dan masuk ke dalamnya.
"Pencet lantai 6, tolong," pinta Pak Supir kepada Will.
Will menekan tombol lantai tersebut, dan segera mereka tiba di lantai 6. Mereka berjalan ke arah barat dan masuk ke sebuah ruangan bertuliskan "6A"
"Ini ruanganmu, William," kata Pak Supir sambil menurunkan barang-barang Will.
"terima kasih telah mengantar dan membawa barang-barang saya," ucap Will sambil menundukkan kepalanya.
Tidak ada balasan yang terucap, hanya tundukan kepala sebagai balasannya. Pak Supir pergi, meninggalkan Will sendirian di ruangan tersebut. Ia melihat-lihat sekelilingnya, tak ada seorang pun di sana, mungkin sedang bertugas, pikirnya. Ruangan itu terasa sempit dengan cat berwarna putih yang melapisi dindingnya.
Pandangannya tertuju pada tiga meja panjang yang tersusun berdampingan di ruangan tersebut, serta berbagai kertas, laptop, printer, dan peralatan lainnya yang tersebar di sekitar. Di dinding terdapat foto-foto orang-orang di ruangan ini, termasuk foto presiden dan wakilnya, serta lukisan-lukisan pemandangan.
Will mulai membongkar dan merapikan barang-barang kantor yang dia bawa. Di meja tempatnya berada, tampak ada namanya tertulis "William"
Setelah selesai mengatur barang-barangnya, Will duduk sejenak di sofa ruangan, membutuhkan istirahat sebelum keluar untuk menjelajahi sekitarnya.
Saat Will hendak membuka pintu ruangan, tiba-tiba seseorang membukanya dengan cepat, membuat terkejut dan refleks mundur. Seorang wanita cantik dengan pakaian kantor berdasi dan memegang buku laporan di tangan kanannya tiba-tiba muncul. Ia terlihat terburu-buru.
"Maaf membuatmu menunggu, huh huh huh," ucap wanita itu sambil menghela nafas, sedikit kelelahan.
Will mempersilahkan wanita itu masuk dan mengajaknya untuk duduk sejenak. Ia mengambilkan air dan memberikannya padanya.
"Terima kasih," ucap wanita itu sambil mengambil dan meminum air tersebut.
"Jadi, ada apa? kok terburu-buru?" tanya Will sambil berdiri.
"Ah, perkenalkan, namaku Putri. Aku ditugaskan untuk membawamu mengelilingi kantor ini. Dan kau pasti William Arthur Schopenhauer. Senang bertemu denganmu, Pak," kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Senang bertemu denganmu juga," jawab Will sambil menjabat tangannya.
Mereka berdua kemudian pergi mengelilingi kantor tersebut.
"Bangunan ini terdiri dari 6 lantai, dan ini adalah tempat Pasukan Khusus Badan Penanggulangan Penyalahgunaan Kekuatan, disingkat B.P2.K, berada. Ruangan di lantai ini terurut, mulai dari 6A di barat, 6B di tengah, dan 6C di ujung," jelas Putri sambil mengarahkan tangan.
"Kalau ruangan yang berada di samping ruangan 6C, yang paling timur, itu ruangan apa?" tanya Will.
"Ah, itu adalah ruangan pemimpin Pasukan Khusus. Hanya beberapa orang yang diperbolehkan masuk ke sana," .
"Ah, bos besar ya," ucap Will.
Mereka berdua melanjutkan mengelilingi seluruh bangunan itu hingga selesai.
"Kurasa sudah selesai. Kamu akan mulai ditugaskan besok. Untuk hari ini, istirahatlah. Pasti kamu lelah setelah proses pindahan ini," kata Putri sambil tersenyum pada Will.
"Terima kasih, Putri,"
***
Sore mulai menjelang, mobil yang mengantar Will datang untuk menjemputnya. Will naik ke dalam mobil dan mereka berangkat. Di tengah perjalanan, mereka melakukan sedikit percakapan.
"Jadi, bagaimana kesanmu tentang kantormu? Apakah ada wanita semok disana?" tanya Pak Supir sambil melirik ke spion mobil.
"Kau menjijikkan, Pak Tua. Sudah bau tanah tapi pikiranmu masih kotor," balas Will dengan suara rendah sambil memandang keluar jendela.
"Hahaha, aku pikir kau akan tertarik dengan hal seperti itu. Tapi yah kau memang pria yang suram, William," tertawa pak supir sembari melihat kearah spion mobil
Mereka melanjutkan obrolan mereka, hingga akhirnya tiba di kos-kosan. Will membuka pintu mobil dan keluar.
"Apa kau tidak ingin pindah kos-kosan? kantor barumu berjarak cukup jauh dari sini" tanya pak supir membuka jendela mobilnya
Will menoleh kearah pak supir
"Yah, sepertinya benar, tapi untuk beberapa hari kedepan kurasa tidak dulu. Merapikan barang-barang terasa melelahkan"
Pak supir hanya mengangguk mengiyakan, kemudian terkejut dengan sesuatu yang disodorkan Will
"Apa ini?" tanya Pak Supir sambil melihatnya
"uang tip" jawab Will.
"Hahaha, tidak perlu, aku sudah dibayar dengan cukup untuk mengantarmu. Kau masih muda William, cobalah bersenang-senang," ucap Pak Supir. Mobilnya kemudian pergi dan menghilang dari pandangan.
Will melihatnya pergi, kemudian memandang motor xsr 155nya, sedikit dielus-elusnya lalu masuk menyusuri lorong bangunan melewati pintu-pintu. Tibalah ia didepan kamarnya, dibuka pintunya dan menyalakan lampu.
Sedikit terpana melihat melihat kos-kosannnya, terasa ada yang berbeda. senyuman tipis terukir di wajahnya, membayangkan dirinya yang bertugas menjadi pasukan khusus besok. ia kemudian segera mandi kemudian tidur...
***
Cahaya mentari merambat masuk melewati tirai tipis, setetes embun terjatuh dari sebuah daun. Burung-burung berkicauan, membalas satu sama lain.
Will bangun pagi dan tiba di kantor setengah jam sebelum pukul tujuh. Ia memakai pakaian polisi yang sangat rapi layaknya polisi biasa. Saat tiba di kantor, suasana masih sepi. Ia langsung menuju ruangannya di lantai enam, tatapan penuh antusias terpancar di wajah,
"Haa... aku tidak sabar untuk misi pertamaku"
hiruk pikuk suara obrolan mulai terdengar,
Pukul 7:30 pagi, teman-teman seruangan Will tiba bersamaan. Mereka memasuki ruangan dengan ceria, sambil bercerita-cerita antara satu sama lain. Namun, keheningan sesaat terjadi begitu mereka melihat ada sosok anggota baru didalam ruangan.
"Wah, pasti kau anggota baru itu, ya... Senang bertemu denganmu. Namaku Dono, aku ketua ruangan ini" ucap Dono sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Dono memiliki wajah dengan kumis yang kental, seperti seorang bapak-bapak.
"ini dia. Aku akan bekerja bersama orang-orang ini, mereka pasti orang-orang berpengalaman"
"Ah... Nama saya William Arthur, baru saja dipindahkan ke sini. Senang bertemu denganmu juga," jawab Will, menerima jabatan tangannya,
"Silakan duduk, semuanya," ucap Dono sambil meletakkan tasnya di meja.
"Hari ini, kita memiliki anggota baru. Silakan perkenalkan dirimu," ucap Dono sambil berdiri dan memberikan kesempatan pada Will untuk memperkenalkan diri.
Will memperkenalkan dirinya, dan rekan-rekan seruangannya pun memperkenalkan diri mereka. ekspresi ceria menyambut wajah setiap orang, senang dengan anggota baru tersebut, mereka berjumlah enam orang di dalam ruangan itu.
tok, tok, tok
Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar ditengah pembicaraan mereka yang santai.
"Silakan masuk," Dono mempersilahkan dengan suara tegas
pintu dibuka dengan pelan, memunculkan sedikit kepala seorang wanita cantik,
"Permisi, satu ruangan ini diminta menghadap pimpinan," ucap Putri, sambil terlihat sedikit malu didepan pintu.
"Ah, ini dia, misi pertamaku" pikir Will antusias.
Mereka dengan segera mengakhiri perkenalan dan obrolan, lalu pergi ke ruang pimpinan. Pertanyaan pun muncul dalam pikiran mereka, Kira-kira kenapa mereka dipanggil?....
Mereka masuk bersama-sama ke dalam ruangan dengan hati-hati, segera mereka berdiri berjejer dihadapan sang pimpinan. Tampak berbeda dengan ruangan-ruangan lain yang dipenuhi dengan nuansa kantor, ruangan ini memancarkan keunikan tersendiri.
Dindingnya terbuat dari susunan batu-bata imitasi yang memberikan kesan cokelat, meskipun sebenarnya hanya wallpaper. Seluruh ruangan didominasi oleh nuansa cokelat, mulai dari meja, kursi, hingga jendela besar yang melingkupi satu sisi ruangan.
Namun yang paling menarik perhatian Will adalah kehadiran pimpinan itu sendiri. Ia terpesona melihat sosok wanita yang begitu cantik, matanya berwarna merah, rambutnya bergradasi hitam dengan sentuhan merah yang memukau. Rambutnya berponi bangs dengan gaya yang begitu mempesona, dan dibagian belakang, rambutnya terikat rapi.
mengenakan kemeja dengan rompi Kevlar yang memberikan kesan profesional, paduannya dengan celana panjang hitam dan sepatu kantor pria menambah kekarismaannya. Wajah Will memerah saat ia melihatnya, seolah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Wanita itu melanjutkan dengan tatapan tajam yang menghujam Will. sontak ia terkejut oleh tatapannya dan terpaksa mengalihkan pandangannya.
Wanita itu mulai berbicara,
"Apa kalian tau, sekelompok penjahat super bernama Tyrant?" tanyanya memulai topik pembicaraan
Will melebarkan matanya, mengetahui siapa yang dimaksud,
"Ah, Tyrant ya... Penjahat dengan kekuatan luar biasa. Reputasi mereka menyebar hingga ke seluruh negara. Jangan bilang misi kali ini melawan mereka" gumamnya dalam hati
"Belakangan ini, kasus-kasus kematian yang mengerikan dan tak wajar terus terjadi," lanjut wanita itu sambil menunjukkan beberapa foto yang terletak di mejanya. Will dan timnya mendekat dan melihat dengan seksama foto-foto itu.
"besi panas, lift yang mendadak rusak dan jatuh, pembunuhan secara sadis. Semua ini terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Ada dua kemungkinan penyebabnya: entah itu ulah iblis atau anggota Tyrant...."
Wanita itu berhenti sejenak, memberikan ruang untuk kata-katanya meresap ke dalam pikiran tim yang mendengarkan dengan hati-hati.
"Oleh karena itu, aku ingin kalian menyelidiki penyebab kasus-kasus aneh yang terjadi di desa ini. Disana terdapat kasus paling banyak dengan kematian tak wajar" lanjutnya sambil menyerahkan sebuah laporan kepada mereka.
Dono, selaku ketua tim, mengambil laporan tersebut dengan hati-hati dan membukanya.
"Bagaimana jika ini merupakan iblis? kalaupun bukan iblis melainkan anggota Tyrant, itu tetap saja akan membuat kami semua terbunuh. Tugas kita adalah menjaga ketertiban dari penjahat-penjahat dengan kekuatan super yang beroperasi di bawah kegelapan malam. Penyihirlah yang bertanggung jawab menghadapi iblis, dan para pahlawanlah yang bertanggung jawab menghadapi anggota Tyrant" ucap Dono dengan serius, wajahnya mencerminkan ketegasan.
"Aku tidak meminta kalian untuk bertarung, melainkan hanya menyelidiki apa yang terjadi didalam desa tersebut. Kalau keadaan menjadi buruk, kalian bisa memanggil bantuan." jelas wanita itu, mengisyaratkan bahwa tugas ini adalah sangat mendesak dan harus segera ditangani
Dono melihat laporan itu. membacanya dengan seksama,
"Baiklah, akan kami laksanakan"
Wanita pimpinan itu mengangguk,
"Bila tidak ada hal lain yang harus ditambahkan, aku ingin kalian pergi ke desa itu dan menyelidiki apa yang terjadi. Semoga kalian beruntung," tambah wanita itu dengan nada tegas.
***
Will dan timnya segera melaksanakan perintah tersebut. Sesaat akan memasuki mobil di parkiran, Will bertanya pada Dono, selalu ketua,
"Apakah berhadapan dengan iblis sebegitu menakutkannya? aku paham kalau anggota Tyrant punya kekuatan luar biasa, tapi aku belum pernah menjumpai iblis sebelumnya" tanya Will polos sembari membuka pintu mobil,
Dono yang hendak memasuki mobil terhenti sejenak,
"Ya, berhadapan dengan iblis lebih menyusahkan ketimbang manusia super. kekuatan iblis terkadang melawan nalar manusia, tidak terdaftar dalam jenis kekuatan yang ada" jelas Dono, dia kemudian memasuki mobil
Begitu juga dengan Will, ia duduk di kursi penumpang. Segera diraihnya safety belt dan dipasangkan,
"Kekuatan tidak terdaftar ya, maka dari itu dibentuk organisasi penyihir untuk melawan mereka. Lalu apa yang terjadi seandainya misi ini adalah melawan iblis dan bukan manusia super?" tanya Will lagi,
Dono terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan tersebut di kepalanya.
"Dahulu, kekuatan super adalah sebuah ancaman yang besar, butuh usaha ekstra hingga ancaman itu terkendali, sampai membentuk kepahlawanan dan polisi pasukan khusus seperti kita.
Namun di saat satu terkendali, muncul satu ancaman lain. Ancaman yang lebih berbahaya dari apapun di dunia ini, iblis. Makhluk yang ntah muncul darimana, meneror ketakutan pada setiap benak semua orang.
Jikalau saja yang akan kita lawan ini adalah makhluk seperti itu, maka kemungkinannya adalah kita semua akan mati" jelasnya panjang lebar.
Will hanya mendengarkan dengan tatapan biasa, seolah tidak ingin memikirkan apa yang akan terjadi.
Tanpa waktu berlalu, mereka bergerak menuju desa tersebut. Ternyata desa tersebut berjarak jauh dan tersembunyi di pelosok. Perjalanan menghabiskan waktu dua jam dan telah melewati pukul 10 pagi. Ketika mereka hendak memasuki pintu selamat datang, mereka dihadang oleh beberapa warga desa.
"Berhenti! Berhenti!! Siapa kalian dan apa tujuan kedatangan kalian di sini?" ucap salah seorang dari mereka sambil mengetuk jendela sebelah kiri mobil. Will duduk di sisi kiri mobil sementara Dono menjadi sopir. Dono membuka jendela mobil.
"Mohon maaf, kami dari kepolisian datang untuk urusan penting di desa ini," ucap Dono sambil menunjukkan kartu identitas dengan tangan kanannya
Orang itu menundukkan kepala dan melongok ke dalam mobil, mencoba melihat kartu identitas Dono.
"Ah... dari kepolisian ya. Kami juga sudah diberitahu bahwa akan ada beberapa polisi yang datang hari ini... Baiklah, silakan masuk," ucap orang itu dengan ramah. Dia memberi isyarat kepada rekannya untuk menjauh dari mobil polisi dan mempersilahkan mereka untuk masuk.
Mereka masuk dan menepikan mobil di depan sebuah rumah di desa tersebut. Tim Will terdiri dari enam anggota dan dua mobil. Will melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil. Ketika dia keluar dari mobil, pandangannya terhenti sejenak pada pemandangan desa itu.
Desa itu menyelimuti suasana yang suram. Meskipun masih setengah sebelas pagi, tetapi seolah malam telah menjelang di sana. Pepohonan kering dan bambu-bambu berjajar di antara rumah-rumah, menciptakan gambaran yang mencekam. Seakan ada kabut tipis yang menyelimuti seluruh desa, memberikan sentuhan misteri
" suramnya desa ini. Padahal masih siang. Rasanya tidak nyaman dengan situasi ini," ucap Dono sambil mendekati Will. Dia membawa senjata M16 yang tergantung di dadanya menggunakan tali, siap untuk digunakan. Sementara itu, Will hanya membawa pistol Glock 22.
"Ya, aku merasa aneh juga, rasanya seperti ada yang mengawasi" balas Will.
Kedua pria itu melihat ke arah pepohonan kering dan sekeliling mereka. Ranting-ranting yang gundul dan kering menggantung dalam keheningan, mengisyaratkan kehidupan yang telah mati atau menghilang.
"Pimpinan kita cantik bukan William?" ucap Dono tiba-tiba.
Mendengar itu tentu membuat Will terkejut, segera ia menoleh,
"Y-ya, dia memang cantik, Dia tipeku" jawab Will malu-malu.
Dono tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, anak muda memang bersemangat"
"Tapi, William... jangan sampai kau lengah. Wanita itu... dia berbahaya... jika saja kami memiliki cukup bukti," tambah Dono dengan serius.
Will menatap Dono dengan tatapan penuh pertanyaan. tidak sepenuhnya mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh Dono. Saat itulah, orang-orang yang menghadang Will dan timnya di depan pintu masuk mendekati mereka.
"Pak polisi, jika ada yang dapat kami bantu, katakan saja. Kami akan dengan senang hati membantu," ucap ketua dari orang-orang yang menghalangi Dono tadi, bersama dengan kedua rekannya.
"Ah, baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai saja... Saya mendengar bahwa tiba-tiba terjadi beberapa kasus pembunuhan di desa ini. Apakah itu benar?" tanya Dono.
"Benar, itu dimulai sekitar dua minggu yang lalu. Anak Pak Galih tiba-tiba mengamuk dan membunuh anggota keluarganya. Kita dengan terpaksa harus mengambil tindakan untuk menghentikannya. Hal itu telah menyebabkan ketakutan di desa ini," jawab orang tersebut dengan suara yang pelan.
"Hingga hari ini, berapa kasus pembunuhan yang terjadi di antara penduduk desa?" tanya Dono lebih lanjut.
Orang itu terdiam sejenak, matanya membesar, dan pandangannya terarah ke bawah.
"S-sampai hari ini, ada 10 orang yang saling membunuh, dan yang paling mengerikan terjadi pada MALAM ITU. Malam itu, tepatnya malam Jumat. Aku baru saja pulang dari kota setelah membeli mainan untuk anakku sebagai hadiah. Ketika aku tiba di rumah, betapa terkejutnya diriku.
Yang kudapati bukanlah anak dan istriku yang sedang bercakap-cakap, melainkan seorang MONSTER. Aku melihat istriku sedang memakan tubuh anakku. Dia menoleh ke arahku dan melompat menyerang. Aku terjatuh dan berusaha menahannya. Wajah istriku pucat, matanya merah, dan giginya tajam, serta mulutnya yang berlumuran darah, aku berusaha melepaskan diri. Saat aku berhasil lepas, aku mengambil kapak di rumah dan menancapkan di kepalanya.
Hah, hah, hah... Kenapa... siapa yang berani melakukan hal seperti itu... Dosa apa yang telah kulakukan, hahahaha," jawab orang itu dengan nada yang semakin gila, tertawa terbahak-bahak.
Will, Dono, dan rekan-rekan orang itu segera mencoba menenangkannya. Mereka memintanya untuk duduk dan memberikan minum. Setelah situasi tenang, orang tersebut mulai berbicara lagi
"Hah, itu terjadi seminggu yang lalu. Sejak malam itu, aku tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Aku bersiap untuk membunuh siapa pun yang menjadi gila di desa ini."
Dia kemudian tertidur duduk. Will dan timnya, yang terdiri dari enam orang, berkumpul di bawah perintah Dono, membentuk lingkaran.
"Ini sangat serius... Hal seperti ini di luar tugas polisi seperti kita," ucap Dono dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Ketua, b-bagaimana kalau kita memanggil bantuan? Ada sesuatu yang tidak beres di desa ini, bahkan dari cerita yang kita dengar saja sudah terasa sangat menakutkan," ucap salah satu anggota tim Dono yang berambut pirang.
"Iblis... Aku yakin ini adalah ulah iblis. Ayo, kita kabur saja, biarkan para penyihir yang menghadapinya," tambah salah satu anggota Dono yang lainnya.
Suasana tegang dan ketakutan terasa di antara mereka. Keputusan berat harus diambil, karena merasakan bahwa mereka berada di tengah-tengah kegelapan yang jauh lebih dalam daripada yang mereka duga.
"Sabar, semuanya. Tugas kita adalah mencari tau apa yang terjadi di desa ini. Kalau kita langsung memanggil bantuan disaat kita baru sampai, tentunya akan dicap sebagai pengecut oleh pimpinan," jawab Dono dengan tegas.
Anggota Dono yang lain beserta Will hanya terdiam.
"Tenang saja, kita akan mencari sebanyak mungkin informasi selama siang hari. Pada malam hari, kita akan berkumpul di titik ini dan bersiap untuk bertarung. Apakah kalian semua mengerti?" tambah Dono.
Anggota tim Dono dan Will hanya bisa mengangguk sebagai tanda persetujuan.
"Bagus. Sekarang, untuk mempercepat prosesnya, kita akan membagi tim menjadi dua. Kalian bertiga akan pergi ke utara dari jalan ini. Sementara itu, aku, Will, dan orang yang tertidur duduk itu akan pergi ke timur desa ini," lanjut Dono.
Mereka segera mengatur strategi dan membagi tugas, menyadari bahwa mereka harus bertindak cepat dan cerdas untuk menghadapi situasi yang mencekam di desa yang suram tersebut.
Mereka membagi diri menjadi dua tim dan menyebar ke kedua arah jalan desa. Sementara orang yang sebelumnya tertidur duduk akhirnya pulih dan bergabung dengan tim Dono,
"Perkenalkan, namaku Dono, dia William, dan disampingnya Farhan. Kalau boleh tau, nama bapak siapa ya?" tanya Dono dengan ramah, berusaha menjadi lebih akrab
"Ah, nama saya Ardianto pak, senang rasanya dapat bekerja sama" balasnya ramah juga
Sementara itu, dua rekan pak Ardianto bergabung dengan tim yang lain. Bersama-sama mereka mendatangi rumah-rumah penduduk desa, menanyakan berbagai pertanyaan. berusaha mencari petunjuk yang mereka butuhkan.
***
Sore hari pun merangkak perlahan menuju senja, Dono dan timnya akhirnya kembali ke tempat parkir mobil mereka. Namun, betapa terkejutnya mereka saat melihat pemandangan yang mengerikan. Mobil-mobil mereka hancur, Bagian depan penyok parah, kaca-kacanya pecah berantakan. Dono, yang pertama kali menyaksikan kerusakan itu, spontan mengisyaratkan "Siap-siap" kepada timnya, dengan gerakan tangannya yang cepat.
Dengan sigap, Dono meraih M16-nya dan melakukan pemeriksaan di sekitar mobil, sementara Will mengeluarkan pistol dari pahanya, dan anggota tim lain mengangkat AR 15-nya. Mereka bergerak terpisah, memastikan keamanan sekitar kendaraan. Saat mereka sedang memeriksa sekitar, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang menggema...
AAAAAA...
Keempat orang itu terkejut dan segera terjun menuju arah teriakan tersebut. Ternyata, di sana mereka menemukan seseorang yang tengah memakan bagian tubuh manusia, sementara ada anak terduduk ketakutan di sebelahnya. posisi orang yang sedang memakan tubuh manusia itu membelakangi Dono dan timnya.
"ANGKAT TANGANMU ATAU KAMI TEMBAK!" teriak Dono dengan suara lantang. Dalam sekejap, Will, Dono, dan anggota tim lainnya memposisikan melebar, dan mengarahkan senjata mereka ke arah monster tersebut.
Will mendekat pelan-pelan ke arah anak kecil yang terduduk ketakutan, sedangkan Pak Ardianto siap dengan kapaknya di belakang mereka.
Monster itu berbalik, wajahnya pucat dan dipenuhi noda darah. Dengan gerakan yang cepat, ia melompat ke arah Will, membuatnya bereaksi instan, melemparkan tubuhnya ke belakang dan terjatuh terlentang di tanah. Dia berhasil menghindari serangan monster itu. Monster itu kemudian mengeluarkan raungan seperti zombie yang menakutkan.
"Tembak!" seru Dono tanpa ragu. Monster itu dihujani peluru hingga nyawanya tak tersisa. mereka menghentikan tembakan setelah monster itu tidak bergerak lagi. Will perlahan mendekati jasad monster itu, memastikan bahwa nyawa makhluk mengerikan itu sudah benar-benar terhenti. Ia mendekatinya dan menguji dengan menginjak kepalanya menggunakan kakinya, mencari tanda-tanda kehidupan.....jasad itu sudah tak berdaya.
Dono kemudian mendekati seorang anak kecil yang masih terduduk ketakutan di samping mayat monster itu.
"Kau baik-baik saja, Nak?" tanya Dono dengan suara lembut. Anak itu hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya, mukanya mengisyaratkan ketakutan yang mendalam.
"Baiklah, Pak Ardianto," ucap Dono dengan nada serak. "Tolong gendong dia. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi."
Sejenak Dono melihati monster itu.
"Apa istrimu menjadi seperti ini, pak Ardianto?" tanya Dono
"Ya, sama persis seperti itu. wajahnya menjadi pucat putih dilumuri darah" jawab pak Ardianto sembari menggendong anak kecil yang ketakutan tadi di punggungnya.
Tak lama setelahnya,
Tiba-tiba terdengar suara teriakan mengerikan yang mencabik-cabik udara! Seperti dikejutkan, mereka langsung bergerak cepat menuju sumber suara tersebut. Kali ini, pemandangan mengerikan menanti mereka—sekelompok orang desa melawan monster-monster mengerikan itu menggunakan sajam.
Tanpa ragu, Dono, Will, dan anggota satunya segera mengangkat senjata mereka dan menembaki monster-monster itu.
Drrr... rentetan suara tembakan penuh determinasi memecah suasana, sedikit demi sedikit bekas-bekas peluru berjatuhan.
"Kalian," seru Dono dengan suara yang penuh tekad. "Mulai saat ini, jangan ragu untuk menembaki siapa pun yang tidak terlihat seperti manusia... sial, apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?"
"Baik, Pak," serentak Will dan anggota lainnya menjawab.
Hari semakin gelap, memunculkan kesan mencekam di udara. Monster-monster itu berhasil dihabisi satu per satu, tetapi banyak orang yang terluka dalam pertempuran tersebut.
"Pak Ardianto," tanya Dono dengan napas terengah-engah, "apakah ada tempat aman di sekitar sini untuk bersembunyi?"
Pak Ardianto mengernyitkan dahinya, memikirkan jawaban yang tepat. "Sepertinya ada, Di dekat sungai, ada sebuah gua rahasia. Kita bisa berlindung di sana."
"Bagus," tambah Dono dengan suara bergetar. "Kita bisa memindahkan orang-orang ini ke sana untuk sementara waktu, kita tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya." ucap Dono. Dia kemudian memandang ke arah anak kecil yang digendong oleh Pak Ardianto.
"Kau baik-baik saja, nak?" tanya Dono dengan khawatir.
Anak itu menundukkan wajahnya di pundak Pak Ardianto, tidak membalas pertanyaan tersebut. dengan cepat dan tak terduga... anak itu menggigit leher Pak Ardianto!
membuatnya berteriak sangat kuat, anak kecil itu menggigit lehernya sampai berdarah banyak. Dono terperangah dan segera mengangkat senjatanya lagi, siap untuk menembak, namun keraguan muncul terhadap tindakannya, karena itu adalah seorang anak kecil.
Will datang dengan cepat dan tanpa ragu, dia menembak ke arah kepala anak kecil tersebut tiga kali dengan pistolnya. Dor dor dor...Bunyi tembakan memecah keheningan malam.
"Jangan ragu, bos. Jika kita ragu, kita akan langsung mati," ucap Will dengan nada tegas.
Tapi dibalik kata-katanya, espresinya menyulut pada sebuah kengerian, ia menyeringai, memperlihatkan sedikit giginya.
Leher Pak Ardianto yang tergigit segera diberi perban oleh salah satu anggota Dono. Namun, tiba-tiba, dengan gerakan yang mendadak, Pak Ardianto menggigit tangan anggota tersebut dengan kuat. Anggota itu berteriak kesakitan.
Will tidak lagi merasa ragu, dia menyadari bahwa keadaan memaksa mereka untuk bertindak tegas. Tanpa ragu, dia mengarahkan senjatanya ke arah Pak Ardianto.
"Dor, dor, dor!" Suara tembakan menghentikan hidup Pak Ardianto dalam sekejap.
Dono terdiam, terpaku oleh apa yang baru saja terjadi. Dia merenung sejenak, mempertanyakan alasan mereka datang ke tempat ini dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik semua ini. Pemikirannya pun berputar dan akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan yang mendasar...
Dalam keadaan yang mencekam, semua orang di sekitar mulai berperilaku aneh. Tubuh mereka mengejan dan melengkung dengan cara yang tidak wajar, melawan sendi-sendi mereka, seperti cacing yang gelisah di atas tanah yang terik. Dono dan timnya merasakan kepanikan memuncak dan mereka menyiapkan langkahnya, bersiap menghadapi ancaman yang tak terduga.
Pandangan mereka terfokus pada kerumunan orang-orang yang tiba-tiba berbalik dan melihat ke arah mereka dengan pandangan yang kosong. Lalu, dengan gerakan yang kasar dan kejam, kerumunan itu mulai berlari menuju Dono dan timnya dengan keganasan yang menakutkan.
Tanpa ragu, mereka bertiga melarikan diri secepat kilat. rasa terkejut menghantam mereka dengan dahsyat. Semua orang yang sebelumnya melawan monster itu berubah menjadi monster itu sendiri. Jumlah mereka begitu banyak dan kini berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Dono dan timnya.
Dalam situasi yang genting ini, Dono dan timnya merasa tidak mampu melawan jumlah yang luar biasa dan jarak yang begitu dekat. Mereka harus segera mencari jalan keluar untuk bertahan hidup.
Sambil berlari secepat mungkin, Dono merenungkan kembali alasan mereka berada di tempat itu. Pemikiran yang bergulir di benaknya membawanya pada satu kesimpulan yang mengejutkan — mereka telah dijebak sejak awal oleh wanita pemimpin yang mengirim mereka ke lokasi ini.
"Wanita itu... Wanita itu..." teriak Dono dalam hati, suaranya tercekik oleh hiruk-pikuk situasi yang semakin memanas.
Namun, dalam kepanikan dan kecepatan berlari, salah satu anggota tim Dono tersangkut tali, membuatnya terjatuh dengan keras. Will segera berhenti berlari dan tanpa ragu, ia melangkah mendekati rekannya yang terjatuh. Dalam momen yang kritis, Will meraih pisau yang tergantung di pinggangnya dan berusaha memotong tali yang menjerat anggota tim tersebut. Namun, monster-monster tersebut semakin mendekat dengan kecepatan mengerikan, mengejar waktu yang semakin sempit....
Dalam keadaan yang genting, Will berusaha keras untuk memotong tali yang tersangkut di kaki anggota tim yang terjatuh. Namun, monster-monster semakin mendekat dengan cepat, mencoba meraih mereka dengan kehausan yang ganas.
Dono melihat situasi itu dan tanpa ragu, ia menghentikan larinya dan bergabung membantu menembaki monster-monster yang mendekat,
"Cepat!" seru Dono dengan suara terengah-engah. "Aku hampir kehabisan peluru!"
Will merasakan semangat yang menggelora dalam dirinya saat tali semakin terlepas. Dia memfokuskan seluruh kekuatannya untuk melepaskan anggota tim yang terjatuh. "Sedikit lagi... yak!" serunya dengan perasaan lega saat tali akhirnya terlepas.
Tanpa membuang waktu, ketiganya melanjutkan larinya dengan secepat mungkin. Mereka mengarahkan langkah mereka menuju sungai, berharap menemukan tempat yang lebih aman di dekat gua rahasia yang disebutkan sebelumnya. Di tengah kegelapan yang semakin dalam, suara deru sungai menjadi semakin nyata, memberikan mereka harapan dan dorongan untuk terus berlari.
"Arah jam dua!!" Seru Will, menunjukkan kemungkinan tempat yang menjadi gua rahasia,
Mereka bertiga menyeberangi sungai yang tidak dalam dan pergi kearah sebuah gundukan, Dan benar saja, disana ada gua rahasia.
Mereka memasuki gua dengan hati-hati, langkah demi langkah melintasi jalur yang terjal dan berbatu. Ketegangan masih terasa di udara, Cahaya redup menggantung di udara, memberikan suasana yang misterius dan memancarkan bayangan-bayangan aneh di sekitar mereka.
Mereka tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang luas. Di sana, cahaya redup menyoroti dinding-dinding batu yang kasar. Suasana gua itu terasa dingin dan lembab. Mereka melihat-lihat dengan hati-hati, waspada terhadap ancaman apa pun yang mungkin muncul.
Dono dan timnya bersiap-siap menunggu kedatangan monster-monster yang mengejar mereka. M16 Dono, pistol Will dan AR 15 nya anggota satu lagi, ketiganya diangkat dan dibidik. ke satu arah yang mana jalan masuk kedalam ruangan bawah tanah itu. Setetes keringat mengalir ke dagu Will dan terjatuh, mendengarkan dengan seksama setiap langkah kaki....
Monster-monster yang mengejar mereka tadi berjatuhan kedalam ruang bawah tanah itu.
Dono dan timnya menghujani monster-monster itu dengan letupan api serta peluru-peluru yang menghiasi udara.
"Drrrr drrr"
Puluhan monster itu tersungkur mati tak bersisa. Dono dan timnya berhenti menembak, mereka kemudian mendekati ke arah tumpukan mayat monster-monster yang telah ditembaki, memeriksa apakah masih ada yang hidup. Dan... sudah mati semua.
"Haaa" helaan nafas mereka bertiga lega.
"kita harus lanjut," ujar Dono dengan tekad yang kuat. "Mungkin ada jalan keluar di sini."
Dengan hati-hati, mereka melanjutkan menjelajahi gua yang gelap itu. Terowongan-terowongan sempit membawa mereka lebih dalam ke dalam labirin yang tidak diketahui. Mereka meluncur melewati ceruk-ceruk yang gelap dan menuruni tangga batu yang licin.
Akhirnya, setelah penelusuran yang penuh ketegangan, mereka berhenti sejenak.
"Mari kita beristirahat sejenak," ucap Dono dengan suara rendah. "Kita perlu mengumpulkan tenaga dan memikirkan langkah berikutnya."
Mereka meletakkan senjata mereka dengan hati-hati dan duduk menyandar pada dinding-dinding gua. Kelelahan mereka sedikit demi sedikit, tetapi tetap waspada terhadap segala kemungkinan di sekitar mereka.
Dono melihat kearah Will yang membuka kaki dan melekukkan lututnya keatas, kepalanya tertunduk kebawah sambil dipegang dengan tangan kanannya seperti orang frustasi.
Dono melangkah perlahan mendekati Will yang terlihat frustasi. Ia mencoba membaca ekspresi wajah temannya itu, mencari tanda-tanda apa yang mungkin membuatnya begitu tertekan di tengah situasi yang sulit ini.
Will mengangkat kepalanya perlahan, matanya terlihat penuh kecemasan. "Dono, aku... aku merasa bersalah," ucapnya dengan suara bergetar.
Dono mendekati Will dan duduk di sampingnya. "Bersalah? Tentang apa?"
Will menatap ke dalam mata Dono dengan raut wajah yang penuh penyesalan. "aku...aku...aku membunuh orang. Aku...menembak kepala anak kecil 3 kali. Aku tahu itu adalah pilihan yang harus diambil, tapi aku merasa seperti aku telah melakukan hal keji kepada mereka." ucapnya dengan nada bergetar
Dono merasa dadanya terasa berat mendengar pengakuan Will. Ia memahami perasaan temannya itu, namun mereka berada dalam situasi yang ekstrem, di mana keputusan cepat dan tegas bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati.
"Dengar, Will," ucap Dono dengan penuh kebijaksanaan. "Kita semua dihadapkan pada situasi yang tak terduga dan penuh bahaya. Tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana kita akan bertindak dalam kondisi seperti ini. Ketakutan dan keragu-raguan adalah reaksi manusiawi. Yang penting sekarang adalah kita harus tetap fokus pada bertahan hidup dan mencari jalan keluar."
Will menatap Dono, mata mereka saling bertemu dalam keheningan gua yang gelap. Perlahan, ia menganggukkan kepala, menerima kata-kata Dono sebagai pengingat bahwa mereka adalah tim yang harus saling mendukung.
"Kau benar, Dono," ucap Will dengan suara yang lebih mantap. "ayo kita lanjutkan"
Dono tersenyum menganggukkan kepala. ia bangkit dari duduk.
"Baiklah, saatnya bangkit dan melanjutkan perjalanan. Kita harus mencari anggota tim yang tersisa dan meninggalkan desa ini," ucap Dono dengan suara yang penuh tekad, sambil mengulurkan tangan kanannya kepada Will, mengajaknya untuk berdiri.
Will memandang tangan Dono dengan rasa ragu sejenak, seolah merenungkan pilihan yang ada. Namun, akhirnya ia menggapai tangan Dono, Mereka berdua berdiri, diikuti oleh anggota tim yang tersisa, siap melanjutkan perjalanan mereka melalui gua yang suram ini.
Mereka melangkah maju dengan hati-hati, mengikuti lorong gua yang semakin dalam. Sampai akhirnya, mereka mencapai ujung gua dan terpampang di hadapan mereka pemandangan yang mengarah ke utara desa.
"Dengan melihat pemisahan jalan di desa ini, aku yakin ini adalah arah yang dituju oleh tim kedua," ucap Will dengan keyakinan dalam suaranya.
Dono mengangguk, menyetujui perkataan Will. "Kau benar. Mari kita terus bergerak ke arah utara dan mencari tim kedua."
Tanpa buang waktu, Dono mengambil telepon radio yang ada pada peralatan mereka. Dia menyalakannya dengan hati-hati dan mendekatkannya ke mulutnya, mencoba memanggil tim kedua dengan harapan mendapatkan tanggapan.
"Unit 06A, Alpha satu disini. Apakah ada yang mendengarku?" ucap Dono melalui radio dengan suara yang penuh harap.
Mereka menunggu dengan penuh harap, berharap ada jawaban yang datang, tanda bahwa mereka tidak sendirian dalam kejadian suram ini.
Belum ada yang menjawab. Dono mengulangi perkataannya, tapi tidak ada tanggapan yang diterima. Tanpa kehilangan harapan, Dono mencoba sekali lagi untuk menghubungi tim kedua. Dan akhirnya, suara bergegas masuk melalui radio.
"Unit 06A, Alpha dua disini... hah... hah... bos. Jangan kemari... apapun yang terjadi, jangan kemari," suara itu terdengar terengah-engah dan terhenti sejenak. "Wanita pimpinan itu... dia menjebak kita... hah... hah...sesosok iblis mengerikan. Iblis itu... memakan rekan-rekan kita. Kaburlah, bos... kabur..." Suara di radio tiba-tiba terputus, memotong kata-katanya.
Mendengar berita mengerikan itu, Dono, Will, dan anggota tim lainnya merasa panik memenuhi hati mereka. menyadari bahwa mereka terlanjur berada di utara desa yang penuh bahaya ini. Dalam keheningan yang mencekam, mereka bertiga terdiam, membiarkan kegelisahan merajai pikiran mereka, memikirkan konsekuensi dari situasi yang akan terjadi selanjutnya....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!