NovelToon NovelToon

KEKEJAMAN SUAMI LUMPUHKU

1. Menikah atau Penjara

"Penjara atau menikah, Asya!" Maria membentak gadis 25 tahun berperawakan ramping dengan kulit putih susu itu. 

Sebuah kecelakaan yang terjadi di depan mata Asya saat itu membuat seorang pria bernama Fagan Elvander mengalami lumpuh di kedua kakinya. Walau Asya sama sekali tak merasa menjadi penyebab kecelakaan itu tapi keluarga Elvander tetap saja bersikeras jika Asya-lah yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. 

"Saya bukan penyebab kecelakaan itu, Nyonya. Bahkan saya berada jauh dari tempat kejadian," jelas Asya membela diri. 

"Fagan kecelakaan karena kamu nyebrang sembarangan, Asya. Masih nggak ngaku," desak wanita berusia 55 tahun itu hampir saja keluar karena emosi yang menguasai dirinya. 

"Enggak, Nyonya. Ini bukan salahku. Saya bahkan nggak nyentuh mobil Tuan Fagan sama sekali." Asya masih terus mempertahankan apa yang dia yakini. 

"Bisa sekali ya, kamu. Bukannya kamu yang tiba-tiba nyebrang tanpa melihat laju mobilku? Apa kamu pikir aku gila dan sengaja membuat mobilku kecelakaan?" Fagan turut membentaknya.

Asya masih bersikeras jika bukan dia yang menyebabkan kecelakaan itu. Dia masih tak mau dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan yang tak dia lakukan. 

"Satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas ini semua adalah kamu, Asya. Jangan menolak lagi. Pilihannya sangat mudah. Kamu hanya perlu menikah dengan Fagan atau memilih di penjara atas kasus kecelakaan itu." Maria mengancam. 

"Saya nggak salah, Nyonya. Saya sudah katakan ini berulang kali, kenapa Anda memaksa?" bantah Asya lagi. 

"Apa keadaanku ini belum cukup jelas kamu lihat? Apa kamu jadi buta saat kami menuntut tanggung jawab?" Fagan ikut bicara. 

Pria bernama Fagan itu baru saja pulih dari kecelakaan mobil yang dia alami. Kecelakaan yang sebenarnya terjadi karena ketidak waspadaannya sendiri, tapi karena Elina membatalkan rencana pernikahannya, terpaksa Fagan harus mencari gadis yang akan menjadi tumbal untuk acara yang sudah delapan puluh persen selesai persiapannya itu. 

"Nak," lirih ayah Asya yang tak tega melihat putrinya ditekan oleh keluarga Elvander. 

Asya melihat ke arah ayahnya, sorot mata khawatir pria itu begitu nampak. Asya tahu benar seperti apa perasaan yang ayahnya rasakan. 

"Kenapa harus menikah, Nyonya?" tanya Asya dengan berani. 

"Persiapan pernikahannya sudah hampir selesai, Asya, semua sudah diboking dan nama besar keluarga sedang dipertaruhkan. Kami nggak mungkin membatalkan pernikahan dengan alasan apa pun. Fagan harus menikah di hari yang sudah ditentukan, walau bukan dengan mempelai yang dia inginkan." Maria memberi penjelasan. 

"Tapi saya bukan calon istri Tuan Fagan. Saya nggak ada hubungan apa pun dan itu bukan rencana pernikahan kami," bantah Asya merasa tak adil. "Lagi pula Tuan Fagan tak menginginkan aku," lanjut Asya. 

"Jangan bantah, ya. Ini sudah diputuskan, ini satu-satunya cara untuk mempertanggungjawabkan semua yang kamu lakukan." Maria menjelaskan dengan napas yang semakin menderu. 

"Pengadilan saja nggak memvonis kecelakaan itu salah saya, Nyonya. Kenapa Anda bersikeras itu salah saya?" Asya masih belum berhenti. 

Karena Asya terus membantag Maria tak bisa mengendalikan emosinya. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi putih gadis cantik berambut panjang lurus itu. 

"Nyonya," sentak ayah Asya spontan melihat putrinya ditampar dengan sangat keras oleh wanita itu. 

"Jangan kasihani dia, Pak. Dia banyak bicara dan berusaha berkelit, aku nggak punya pilihan lain selain itu," kata Maria tanpa rasa bersalah. 

"Asya, ini tawaran bagus. Atau kamu mau aku membuat ayahmu ikut dalam masalah ini?" Fagan ikut mengancam. 

Fagan dengan tatap mata yang tajam itu, mengalihkan pandangan ke arah Asya yang masih mengusap lembut pipinya yang terasa sangat panas itu. Gadis yang memang berusaha mempertahankan harga dirinya itu menahan air matanya agar tak menetes. Dia menarik napas panjang dan membuat keadaan menjadi mudah untuk dia lewati. 

"Asya, kalo kamu mau pengadilan menjatuhimu hukuman penjara, kamu boleh abaikan apa yang sudah aku jelaskan. Tapi, kalo kamu masih mau hidup bebas, kamu harus menikah dengan Fagan." Maria memberikan pilihan yang begitu sulit untuk Asya. 

"Jangan, Nyonya. Jangan penjarakan putriku," mohon ayah Asya. 

Duda yang hanya bisa melihat dengan pilu putrinya diperlakukan dengan sangat kasar itu meminta agar putrinya tak dipenjara. 

"Liat bapakmu itu. Kamu tega banget bikin dia mohon-mohon kaya gitu? Kamu hanya perlu nikah sama putraku dan kamu nggak perlu masuk penjara," ujar Maria. 

Asya mengangkat wajahnya yang tertunduk dan melihat ke arah pria renta yang mulai sakit-sakitan itu. Wajahnya yang mulai keriput dan sesekali terdengar suara batuknya yang begitu menyesakkan dada membuat Asya menjadi tak tega. Melihat ayahnya seperti itu bahkan lebih menyakitkan daripada tamparan yang baru saja dia terima.

"Pak," lirihnya sembari mengusap lembut tangan ayahnya itu. 

"Nak, Bapak nggak mau kamu masuk penjara. Apa jadinya kalo kamu dipenjara, Nak?" ujarnya khawatir. 

"Asya nggak salah, Pak. Asya nggak nglakuin apa pun yang bikin Tuan Fagan kecelakaan. Bener, Pak. Asya nggak salah." Gadis itu masih membantah dengan suara seraknya yang tertahan. 

"Masih aja bantah kamu, ya. Kalo kelamaan aku telepon polisi aja. Fagan, minta mereka buka kembali kasus ini," sela Maria.

Fagan nampak merogoh ponsel yang ada di saku jasnya. Dia mengikuti apa yang ibunya minta. 

"Jangan, Nyonya." Ayah Asya ketakutan. "Ayo, Asya. Kamu ikut mereka aja. Kamu menikah dengan Tuan Fagan dan jangan sampai kamu di penjara. Menikah saja nggak akan menyulitkanmu. Mereka akan menganggapmu seperti layaknya menantu orang kaya, Asya." Pemikiran pria itu begitu pendek. 

Kekhawatiran yang dia rasakan membuatnya tak memikirkan apa pun yang bisa terjadi jika Asya masuk dalam keluarga itu. Tanpa tahu latar belakang sesungguhnya seperti apa keluarga Elvander, ayah Asya memilih menyerahkan putrinya itu. 

"Bapakmu aja khawatir sama masa depanmu kalo sampai kamu di penjara. Kenapa kamu masih bersikeras sama pendapatmu sendiri? Mau bikin bapakmu mati stres?" Maria memberikan tekanan dengan lebih sadis lagi. 

Hati Asya hancur berkeping-keping, kalimat-kalimat kasar yang Maria ucapkan membuat hatinya menjadi rapuh. Apalagi sorot mata ayahnya begitu kosong karena kekhawatiran yang dia rasakan sebagai seorang ayah. 

"Bapak yakin aku akan di penjara kalo mereka lapor?" tanya Asya. 

"Mereka berkuasa, Sya. Mereka mempunyai banyak uang untuk melakukan banyak hal. Kebenaran bisa mereka beli," bisik pria renta itu. 

Ternyata ayah Asya memikirkan apa yang bisa terjadi jika Asya terus menolak apa yang keluarga itu inginkan. Kekuasaan yang keluarga Elvander miliki, bahkan bisa membeli dunia seisinya. Jadi, dia menjadi khawatir apa yang meraka ancamkan benar-benar akan terjadi. 

Mendengar penjelasan yang ayahnya katakan, Asya memikirkan bagaimana seorang ayah yang menjadi orang tua tunggalnya selama lima belas tahun itu begitu mengkhawatirkan dirinya. Asya hanya memiliki pria 58 tahun itu setelah ibunya meninggal saat usianya baru sembilan tahun. Sehingga Asya khawatir jika ayahnya itu merasa tak tenang. 

"Telepon polisi sekarang, Fagan!" Maria mencoba melakukan intimidasi. 

Mereka menggunakan jurus terakhir untuk mengertak Asya dengan mengancam memenjarakan Asya dan hendak beranjak pergi. Baru juga selangkah mereka beranjak dari kursi, ayah Asya sudah bersimpuh di hadapan keduanya. Pria itu memohon sembari menangis agar keluarga itu tak melaporkan putrinya. 

"Apa yang Bapak lakuin? Asya nggak salah, Pak. Bukan Asya yang bikin Tuan Fagan kecelakaan." Asya masih teguh pendirian. 

"Minggir, Pak. Putrimu udah putusin buat masuk penjara, kenapa harus bapak tangisi?" sahut Maria. 

"Asya, minta mereka berhenti, Asya. Bapak nggak mau kamu dipenjara. Bapak nggak mau, Asya." Ayah Asya benar-benar tak bisa membiarkan keluarga itu merenggut kebebasan putrinya dengan menyerahkannya pada pihak kepolisian. "Menikahlah dengan Tuan Fagan, Asya. Bapak mohon. Bapak pilih jalan jauh buat tengokin kamu ke rumah keluarga Tuan Fagan, daripada Bapak harus jalan ke rumah tahanan karena kamu dipenjara," rintih pria itu. 

Air mata ayah Asya membanjiri pipinya yang keriput, hal itu membuat Asya patah arang. Dia tak bisa melihat pria yang selama ini memperjuangkan dirinya itu menangis sembari bersimpuh seperti seorang kesakitan di hadapan Maria Elvander. 

"Bangun, Pak. Asya udah putuskan apa yang akan Asya lakukan." Asya berjalan mendekati ayahnya dan menepuk lembut bahu pria yang duduk bersimpuh di hadapan dua wanita yang sedari tadi mengintimidasi Asya dengan berbagai kalimat ancaman. 

2. Niat Kabur

"Seratus persen." Maria mencoret daftar persiapan persiapan pernikahan putranya. 

Dia mengendus lega dan merasa beban dalam keluarganya akan segera selesai. Sebagai keluarga yang dipandang sangat berpengaruh itu akhirnya hanya menunggu hari itu datang. Asya setuju menikahu Fagan walau dengan sangat terpaksa. 

"Ma, apa nggak akan memalukan? Pengantin pria berada di kursi roda seperti ini?" tanya Fagan khawatir. 

"Jangan pikirkan apa pun, kamu hanya perlu jadi pengantin pria tergagah yang pernah ada, Sayang. Sisanya serahkan sama Mama." Maria menjelaskan. 

Fagan hanya mengangguk setuju. Sejak dia divonis lumpuh karena kecelakaan itu, hanya Maria-lah yang mampu membesarkan hatinya. Ibu kandung Fagan itu bisa membuat kepercayaan dirinya kembali, walau sesekali dia juga merasa minder. Pemberitaan atas kelumpuhannya beberapa waktu yang lalu membuatnya terpukul sangat hebat, belum lagi kekasih yang sangat dia cintai tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan pernikahan sebulan sebelum semua digelar. 

"Elina membuangmu begitu saja setelah tahu kamu lumpuh, Sayang. Dia pergi tanpa berpikir jika kamu adalah pria paling sempurna yang dia miliki selama ini. Mama nggak mau kamu terpuruk karena Elina. Kamu harus bisa bangkit dan membuat hidupmu kembali pada puncak kejayaanmu sebagai putra Elvander." Maria bicara dalam hati sembari memandang ke arah Fagan yang duduk sembari memainkan ponselnya. 

"Nyonya, Nona Asya sudah datang." Seorang pembantu rumah itu mengabarkan. 

Seketika Fagan menoleh ke arah sang pemberi berita. Dia tahu jika hari ini adalah hari terakhir fitting baju pengantin yang akan keduanya kenakan di pesta pernikahan itu. Mendengar nama Asya, Fagan menjadi bersemangat. Dia tahu jika mempelai wanitanya itu akan mencoba gaun yang sudah disiapkan oleh keluarga Elvander untuknya. 

"Ayo, Fagan." Maria membawa putranya menuju ruang tamu dengan mendorong kursi rodanya. 

Wajah tampan dan badan tegap pria itu tak lagu terlihat sejak dia hanya bisa duduk di kursi roda. Keterbatasan Fagan membuatnya sangat payah. Bahkan terkadang Fagan membenci dirinya sendiri karena keadaan itu. 

Perlahan, wajah Asya semakin terlihat oleh keduanya setelah melewati pembatas ruangan yang terdiri dari kaca tebal yang buram itu. Hingga akhirnya gadis ayu yang memilih pasrah itu berdiri menyambut calon suami dan ibu mertuanya itu. 

"Duduk, Asya." Maria mempersilakan duduk gadis itu dengan sangat sopan. 

"Terima kasih, Nyonya," jawab Asya dan kembali duduk sembari menunduk. 

Suasana terasa sangat canggung. Fagan juga tak banyak bicara di sana. Terlihat sekali pria itu memiliki karakter dingin dan tak peka terhadap lingkungannya. 

"Fagan, ada yang mau kamu omongin?" tanya Maria. 

"Akhirnya dia setuju. Aku cuma mau bilang kalo setelah dia jadi pengantinku, dia harus ada untukku 24 jam dan tak boleh membantah apa pun," ujar Fagan. 

Maria mengulas senyum, Fagan yang memang tegas dan berprinsip kuat itu mengatakan apa yang dia inginkan sebagai seorang calon suami. Walau Asya hanya gadis tumbal, tapi sepertinya syarat yang Fagan katakan adalah mutlak. 

"Bawa dia sekarang," pinta Maria pada seorang wanita yang berdiri di depan pintu sebuah ruangan rumah itu. 

Tanpa bisa menolak, Asya hanya menurut dan ikut masuk. Dia berjalan dengan langkah kaki yang begitu berat. Bagi Asya dipenjara atau menikah akan sama saja. Dia akan tersiksa karena ini bukan hal yang dia inginkan. Terlebih saat Fagan menginginkan dia 24 jam selalu ada untuknya. 

Saat pintu terbuka, sebuah gaun putih terpajang dengan penuh kerlip permata. Entah itu permata jenis apa bahkan Asya sendiri tak tahu. Dia hanya mengikuti apa yang wanita itu perintahkan dan segera gaun indah itu melekat pada tubuh putihnya. 

"Kulitmu sangat menarik. Halus, putih dan bersih. Sangat cocok untuk gaun ini," katanya. 

Asya membalas dengan senyum belaka, dia tak tahun harus bereaksi seperti apa sehingga memilih untuk tetap diam dan hanya sesekali saja mengangguk dan menggeleng sesuai permintaan sangat designer. 

"Selera ibu mertuamu sangat luar biasa. Gaun ini adalah yang terbaik," katanya. 

Designer itu menuntun Asya keluar dari ruangan. Gadis yang masih memasang wajah datarnya itu nampak sangat anggun dan berkelas. Bahkan gaun itu menutup kenyataan jika Asya berasal dari tempat yang begitu kumuh dan dari keluarga miskin. 

"Luar biasa, dia sangat mewah," ujar Maria. 

"Anda suka, Nyonya? Apa ada yang harus saya revisi?" tanya designer. 

"Aku suka, kecilkan sedikit lagi bagian pinggangnya. Bagian tubuh itu sepertinya belum maksimal," jelas Maria. 

"Bagian pinggangnya memang masih ukuran Nona Elina, sepertinya tubuh mereka sama, hanya Nona Asya lebih ramping di bagian pinggang," jelas sang designer. 

Maria menganggukkan kepalanya, sementara Asya terkejut karena ternyata gaun yang dia pakai adalah gaun gadis yang seharusnya menikah dengan Fagan sebelum keluarga itu menumbalkan dirinya. 

"Bagaimana, Fagan? Apa kamu suka?" tanya Maria. 

"Elina sangat cantik, Ma." Fagan bahkan masih berhalusinasi jika gadis yang mengenakan gaun itu adalah Elina. 

"Dia Asya, Fagan." Maria merevisi. 

Segera Fagan kembali dari halusinasi yang dia ciptakan sendiri dan melengos ke arah lain. Tak bisa dipungkiri jika hati Fagan masih utuh untuk wanita itu. 

"Elina? Bahkan Fagan saja memanggilku dengan nama itu. Gaun ini juga gaunnya. Apa ini? Kenapa mereka harus menumbalkan aku?" Pertanyaan semacam itu tak berhenti membuat hati Asya menjadi muak. Walau dia memutuskan bersedia menikah, nyatanya dia masih terus dibuat bimbang oleh keadaan.

Fitting selesai dan Asya diantar pulang oleh sopir keluarga itu. Interaksi antara Asya dan Fagan bahkan hampir tak terjadi. Selain hanya saling menatap dengan tajam, tak ada sepatah dua patah kata. 

"Lusa kamu akan dijemput, kamu nggak perlu bawa apa pun karena Nyonya sudah persiapkan semuanya," pesan sopir keluarga Elvander sesuai dengan amanat Masia. 

Asya hanya menganggukkan kepala dan dia segera masuk ke rumah. Tubuhnya yang limbung karena pikirannya melayang jauh itu ambruk ke sofa reyot yang ada di ruang tamu sempit miliknya itu. Kemudian dia menyandarkan kepalanya hingga terlihat langit-langit ruangan itu yang nampak usang. 

"Kabur aja, Mbak." Suara seorang perempuan membuat Asya tersentak. 

"Kabur gimana? Kamu tau siapa mereka," kata Asya menimpali. 

"Mbak Asya keliatan banget tertekan. Apa Mbak yakin bisa lakuin ini semua? Mereka sangat mengerikan," ujar Zalina—adik kandung Asya. 

"Kalo kabur aja bisa selesain semua ini, aku mungkin udah lakuin dari kemarin-kemarin, Lin. Nyatanya aku nggak bisa. Ada kamu sama Bapak yang harus Mbak pikirin," jelas Asya. 

Zalina menundukkan kepalanya, dia prihatin dengan apa yang menimpa kakaknya itu. Dia tahu jika Asya bukanlah orang yang seharusnya dikorbankan, tapi kekuasaan dan kekayaan keluarga Elvander tak bisa dilawan. Mereka bisa saja berbuat diluar dugaan yang bisa membuat Asya menjadi lebih menderita. 

"Lusa akan jadi hal paling mengerikan bagiku. Aku tak tahu bagaimana Fagan yang dingin dan penuh dengan rahasia itu akan memperlakukan aku sebagai istrinya. Aku akan menikah dengan seorang pria lumpuh yang aku ketahui tapi tak pernah aku kenali. Apa bener kata Zalina kalo aku bisa kabur aja?" kata Asya sembari memandang ke arah cermin meja rias lusuhnya.

Pikiran gadis itu terus berkecamuk tiada akhir. Malamnya di kamar usang itu akan segera berakhir. Asya akan segera diboyong ke istana besar Fagan setelah resmi menjadi istri pria yang kini hanya bisa duduk di kursi roda itu.

* * *

Asya sudah disulap menjadi pengantin wanita paling cantik. Dia menggunakan berbagai perhiasan penuh permata yang dipersiapkan Keluarga Elvander untuknya. Hingga setelah selesai, Asya menunggu di sebuah ruangan yang begitu megah. Dia datang sendiri tanpa orang tua dan adiknya. Gaun indah yang melekat di tubuh gadis itu tak sebanding dengan hatinya yang hancur berkeping-keping karena harus menikah dengan Fagan. 

"Apa ada kesempatan buat kabur?" lirihnya. 

Dia berjalan ke arah jendela dan memikirkan untuk melarikan diri sesuai yang dia pikirkan. Namun apa daya, banyaknya penjaga yang berjejer di segala sisi gedung itu jelas sekali tak mungkin Asya tembus. Gadis itu duduk dan memasrahkan semua pada takdir hidupnya. Asya benar-benar tak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan keluarga Elvander.

"Sudah saatnya keluar," kata seorang petugas dari acara pernikahan itu. 

Asya bangkit dari duduknya dan dibantu oleh beberapa orang diiring masuk ke tempat pesta digelar. Dia berusaha tampil maksimal karena tak ingin mengecewakan siapapun. 

Semua tamu bersorak sorai menyambut pengantin wanita itu masuk ke ballroom. Wajah cantik dan gaun mewah yang Asya tunjukkan membuat semua mata tertuju padanya. Decak kagum membuat mereka tersihir sampai lupa jika sang mempelai wanita bukanlah gadis yang namanya tertera di dalam undangan. 

"Cantik sekali," kata seorang tamu dan kalimat itu agaknya disetujui oleh yang lain. Pujian dan juga kekaguman banyak orang terlontar silih berganti sampai Asya berdiri di sisi pria bernama Fagan. 

"Sayang sekali pengantin prianya cacat," celetuk tamu lain. 

"Jangan sembarangan bicara. Siapa yang tak tahu Fagan Elvander. Sekalipun dia sedang sekarat, gadis manapun akan tetap bersedia jadi istrinya," sahut yang lain. 

Fagan sadar jika dia jadi perhatian banyaknya tamu undangan yang hadir. Dia berusaha menutupi rasa kesalnya karena melihat Elina diantara tamu.

"Elina datang sama Aksa? Siapa yang undang mereka?" batin Fagan tersiksa melihat mantan kekasihnya itu datang dengan sahabatnya dengan saling bergandengan tangan. 

3. Caci Maki

Pernikahan termegah tahun itu digelar dengan banyak sekali tragedi. Mulai dari mundurnya Elina sebagai pengantin wanita, sampai Asya yang harus menjadi tumbal. Alunan musik lembut nan menyejukkan hati itu masih mengalun dengan sangat merdu. Para tamu masih tampak menikmati pesta dan si pemilik pesta hanya berdiri di pelaminan dengan senyum terpaksa yang mereka tunjukkan. 

"Asya, penderitaanmu akan dimulai. Kamu akan membayar apa yang sudah kamu lakukan padaku," ujar Fagan dengan suara mengancam. 

Saat itu, Asya mencoba untuk menahan segala yang dia rasakan. Walau merasa khawatir, tapi dia tak mau menunjukkan ketakutannya. 

"Kamu menikmati pestanya?" tanya Fagan. 

Asya memperlihatkan wajah sebabnya tepat di depan mata Fagan. Mereka tak saling pandang sekalipun sudah melakukan ciuman pertama di depan para tamu tadi. 

"Apa mata sembab ini mengisyaratkan sebuah kenikmatan?" balas Asya ketus. 

Melihat apa yang dilakukan Asya, Fagan menjadi kesal. Yang dia ketahui, Asya tak akan melakukan perlawanan apa pun padanya. Namun kali ini, dia berani membantah dan menekan Fagan dengan kalimat yang cukup menyakitkan. 

"Tidak ada kebahagiaan sama sekali di dalam hatiku, Tuan. Termasuk kemewahan yang sekarang menempel di tubuhku dan ada di hadapanku. Ini semua tak berarti apa pun untukku." Asya menyerukan isi hatinya. 

"Ini belum seberapa, kamu akan lebih menderita lagi setelah kamu benar-benar tinggal di rumahku. Setidaknya aku akan membuatmu membayar semua yang sudah kamu lakukan," jelas Fagan mengancam. 

"Ternyata aku nggak salah duga. Kamu, mamamu dan adikmu itu enggak beda sama sekali. Kalian sama," ujar Asya. 

Selama ini Asya memang tak pernah merasakan tekanan apa pun dari Fagan. Dia hanya bicara seperlunya dan berinteraksi seadanya. Mereka tak pernah terlihat pembicaraan yang serius sekalipun Maria sudah menentukan jika Asya akan menjadi istri Fagan. 

"Bisa dibilang aku lebih dari mereka. Kamu hanya perlu bersiap saja," ujar Fagan dengan nada tak sopan. 

Asya mencium aroma penderitaan yang akan menantinya. Dia seperti sudah diberi kisi-kisi bagaimana kehidupan pernikahannya dengan Fagan akan berjalan. 

"Lengkap sudah. Suami yang dingin, mertua yang memaksa dan adik ipar yang sadis. Lengkap." Asya membuang wajahnya dengan bicara dalam hati. 

Bahkan saat Fagan bicara padanya seperti itu, matanya tak beralih dari Elina yang sedang berdansa dengan Aksa. Fagan tak terima jika mantan kekasihnya itu memilih Aksa sebagai pasangannya setelah sebulan memutuskan hubungan mereka yang hampir mencapai pelaminan. 

"Brengsek, dia mengkhianati aku." Fagan menahan emosi di dalam dadanya. "Andai aja aku nggak lumpuh, Elina nggak akan pergi dari aku," lanjutnya tanpa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. 

Fagan dan keluarganya itu masih terus menaruh tuduhan pada Asya. Mereka menganggap kecelakaan itu adalah kesalahan Asya dan tak ada ampun bagi gadis itu. 

* * *

"Bangun, Asya." Suara berat Fagan mengoyak gendang telinga Asya yang masih lelap. 

Pesta berlangsung sampai larut hingga rasa kantuk Asya tak tertahankan lagi. Baru saja dia memejamkan mata sepanjang perjalanan, Fagan sudah meneriakinya dengan kasar. 

"Turun dan siapkan minum. Aku haus," perintah Fagan pada istrinya. 

Beruntung, pengawal pengantin tadi sudah meminta Asya ganti baju sebelum pulang. Sehingga sampai di rumah dia tak perlu lagi repot dengan gaun pengantin mewahnya itu. 

"Baik, Tuan." Asya menurut dan segera berjalan menuju dapur. 

Wanita itu mengambil segelas air putih untuk suaminya dan segera kembali untuk memberikan gelas itu. Karena masih belum hafal letak dan arah rumah itu, Asya sempat bingung dan tak tahu arah.

"Kamu ini sengaja ya, ambil air aja lama banget," sentak Fagan. 

"Nyonya Muda kesasar, Tuan. Dia sampai halaman belakang dan kebingungan." Seorang pembantu menjelaskan. 

"Nyonya Muda? Sejak kapan dia menjadi Nyonya Muda?" Fagan tak setuju Asya dipanggil Nyonya Muda. "Enak aja panggil dia Nyonya. Siapa dia?" lanjutnya. 

Melihat hal itu, pembantu rumah itu seketika tahu jika Fagan tak menyukai Asya sekalipun mereka sudah suami istri. 

"Ini minumnya, Tuan." Asya menyerahkan gelas air yang dia bawa. 

Fagan menerima dan meneguknya segera. Kerongkongan pria itu sudah kering karena rasa marah yang dia pelihara di dalam hatinya. Sejak melihat kemesraan Elina dan Aksa, sikap buruk Fagan semakin terlihat.

"Asya, bantu suamimu berbaring. Sudah larut, kalian harus istirahat." Maria tiba-tiba masuk kamar mereka berdua. 

Asya hanya menganggukkan kepalanya. "Karena semua kerja lembur hari ini, besok pagi kamu bangun untuk masak sarapan. Kamu yang diratukan hari ini, jadi kamu harus bayar dengan sarapan pagi," perintah sang pemilik rumah. 

Ketidakadilan semakin terlihat. Walau nada bicara Maria lebih santun, tapi tetap saja apa yang dia perintahkan membuat Asya tak tenang. Wajah datar Asya mengundang kekesalan Maria. 

"Mau protes? Kamu nggak suka diperintah? Apa kamu mau bantah?" Maria berteriak pada menantunya. 

"E ... enggak, Nyonya. Saya akan lakukan itu semua besok." Asya menyanggupi dengan terpaksa. 

* * *

"Astaga! Apa ini, Asya?" Maria sudah meneriakan kemarahannya. 

Dia melihat dapur masih berantakan dan makan pagi belum siap di meja.

"Maaf, Nyonya. Saya ketiduran dan bangun kesiangan." Asya mengakui. 

Maria sengaja mengunci dari luar ruangan khusus pembantu rumah tangganya karena memang dia sudah memberi mandat Asya untuk menyiapkan sarapan. 

"Bisa-bisanya kamu kesiangan, Asya. Kamu nggak becus banget jadi istri," omelnya. 

"Apa sih, Ma? Pagi-pagi udah teriak-teriak." Cecilia ikut campur. 

"Dia udah sanggup siapin semuanya semalem, tapi sampai jam segini belum mateng." Maria menjelaskan.

Cecilia menatap kakak iparnya dengan tatapan sinis. Dia tahu apa yang ibunya maksudkan hanya dengan melihat wanita lusuh. 

"Becus nggak, sih? Bukannya orang miskin tuh biasa ya, bangun pagi, kerja keras dan kerja kasar. Kenapa masak aja nggak becus?" Cecilia mulai mengeluarkan kecongkakannya. 

"Bukan nggak becus, aku bilang aku bangun kesiangan. Jadi belum beres, kalian hanya perlu tunggu. Sebentar lagi akan selesai," jelas Asya. 

"Diam, Asya. Kenapa kamu bentak mama dan adikku kaya gitu? Berani banget kamu," sentak Fagan. 

Lengkap sudah pagi pertama Asya di rumah itu. Caci maki dan bentakan yang dia terima hanya karena terlambat bangun saja sudah bisa dia pastikan akan terjadi lagi setiap hari.

"Ini baru hari pertama, bahkan baru beberapa jam saja aku menghiruo udara rumah ini. Mereka sudah melayani aku dengan kalimat-kelimat kejam tanpa memikirkan perasaanku." Asya mencuci semua alat masaknya dengan derai air mata. 

Sejak tadi dia menahan semuanya, setelah semua orang berhenti memakinya, tak ada lagi yang bisa dia tahan. Air matanya mengalir tanpa diminta dan terus saja berjatuhan. Dia menyelesaikan pekerjaan dapurnya dan segera ke meja makan untuk memastikan semua orang sudah duduk dan makan. 

"Makan sendiri masakanmu itu, kami sudah kenyang hanya dengan melihatnya." Maria melarang semua orang menyentuh masakan Asya. 

"Ayo makan di luar," ajak Cecilia pada ibunya. 

Sementara Asya hanya berdiri mematung tanpa kata, mereka memarahinya karena terlambat bangun dan menyiapkan sarapan. Tapi setelah semua dihidangkan mereka memilih makan di luar. 

"Ini baru dimulai, Asya." Fagan memberi peringatan. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!