"Aku tidak bisa hidup denganmu lagi Mas, sudah cukup selama ini aku hidup serba kekurangan dan susah seperti ini," kata Selena sambil mengemasi beberapa pakaiannya.
"Selena jangan seperti ini, Mas akan berusaha membuatmu bahagia serta berkecukupan, tapi tolong jangan tinggalkan Mas dan kedua anak kita." Timo, berusaha menghalangi sang istri supaya Selena tidak meninggalkannya. "Mas mohon Selena ...." Lirih Timo yang sekarang terlihat memegang pergelangan tangan wanita yang sudah hampir 15 tahun itu bersamanya.
Namun, hanya gara-gara Timo bangkrut dan jatuh miskin, Selena yang selama ini tidak biasa hidup susah pada akhirnya wanita itu memilih untuk pergi meninggalkan sang suami serta kedua anaknya. Dengan alasan Selena sudah tidak tahan lagi hidup serba kekurangan bersama sang suami.
"Tidak bisa! Aku harus tetap pergi dari sini Mas, urus saja Abra dan Nadia, karena mereka berdua anakmu." Selena lalu dengan kasar menepis tangan laki-laki itu. "Jangan menghalangiku kali ini untuk pergi Mas, karena aku benar-benar merasa sangat muak! Hidup dengan laki-laki sepertimu Mas." Selena sempat mendorong dada sang suami sebelum wanita itu benar-benar pergi dari rumah minimalis tempatnya tinggal selama ini dengan keluarga kecilnya.
"Selena, jangan pergi." Timo terlihat memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sangat sakit. Sambil mengikuti Selena dari belakang yang terlihat terus saja menyeret koper. "Kasihan Abra dan Nadia, pasti mereka akan mencarimu saat mereka pulang sekolah nanti."
"Aku tidak peduli, Mas!" Selena kemudian terlihat mengangkat kopernya untuk segera naik ke sebuah mobil sport yang berwarna hitam, ternyata mobil itu sudah dari tadi menunggu wanita itu disana. "Jalan Pak, jangan hiraukan laki-laki ini," kata Selena sambil menutup pintu mobil itu. Namun, sebelum itu ia tadi sempat mendorong tubuh lemah Timo dengan sangat kasar sehingga laki-laki itu jatuh ke tanah, dan pemandangan yang sangat menyedihkan itu rupanya disaksikan langsung oleh Abra dan Nadia, dua anak yang baru saja pulang sekolah.
"Selena, jangan tinggalkan Mas!" seru Timo sambil mencoba untuk bangun, laki-laki itu juga rasanya ingin berlari mengejar mobil itu. Namun, apa daya laki-laki yang sedang kurang enak badan itu malah jatuh tersungkur.
"Ayah!" Abra dan Nadia langsung saja terlihat berlari menghampiri Timo yang mungkin saja sekarang laki-laki itu sudah tidak sadarkan diri.
"Kak Abra, Ayah kenapa?" Nadia yang beda satu tahun dengan Abraham menarik baju sang kakak saat gadis kecil itu bertanya seperti itu pada kakaknya.
Abraham yang ditanya hanya bisa menggeleng, karena saat ini anak yang belum genap usianya 10 tahun itu sama sekali tidak tahu apa yang saat ini telah terjadi dengan ayah mereka. Sehingga anak itu hanya bisa mengajak adiknya untuk terus saja berlari supaya mereka bisa melihat ayah mereka.
***
Setelah kepergian Selena, kehidupan Timo benar-benar sangat berantakan. Bagimana tidak, pasalnya laki-laki itu sekarang lebih banyak mengurung diri di dalam kamarnya, Timo juga tidak perduli dengan keadaan putra serta putrinya.
"Selena kembalilah padaku, aku janji akan membahagiakanmu dengan segenap jiwa dan ragaku," gumam Timo lirih sambil memegang bingkai foto sang istri. Dimana saat ini laki-laki itu terlihat berbaring di atas ranjang dengan keadaan kamar itu sangatlah berantakan.
Tidak lama terlihat Abraham masuk membawa mapan yang berisi sarapan dan segelas air minum, karena rupanya anak laki-laki itu memilih untuk libur sekolah demi menjaga serta merawat sang ayah yang sudah hampir setengah gila.
"Ayah sarapan dulu, karena tadi malam Ayah juga tidak pernah makan," ucap Abraham yang melihat keadaan Timo yang sangat memperihatinkan. "Ayah makan sarapan ini sedikit saja, asal ada yang mengganjal perut Ayah." Abraham meletakkan mapan itu di atas nakas.
Namun, Timo terlihat sama sekali tidak berniat untuk membalas serta menimpali putranya itu, dan sekarang pria itu lebih memilih untuk membelakangi Abraham tanpa mengucapka sepatah kata. Hanya ada suara nafas Timo yang terdengar tidak beraturan.
"Ayah, jangan begini terus, karena kalau Ayah begini maka siapa yang akan menjaga Abra dan Nadia?" Meski Abraham tahu kalau sang ayah tidak akan mungkin menjawabnya. Namun, anak laki-laki itu akan terus berusaha untuk mengajak Timo berkomonikasi. "Ayah ayo sarapan sedikit saja, jangan sampai Ayah tambah sakit, dan bertahankah demi Abra dan Nadia, karena kami berdua saat ini hanya punya Ayah saja."
Tidak peduli seberapa banyak kali Abraham membujuk Timo untuk sarapan. Namun, laki-laki itu tetap tidak merspon anak laki-lakinya. Sehingga membuat Abraham menghela nafas serta menghembuskannya dengan kasar.
"Baiklah, kalau begitu Abra taruh disini saja. Nanti kalau Ayah lapar tinggal makan saja," ucap Abraham yang mulai menyerah menyuruh sang ayah untuk memakan sesuap nasi.
Detik berikutnya pada saat anak laki-laki itu akan keluar dari kamar Timo, tiba-tiba saja Nadia malah masuk dengan air mata yang sudah membasahi pipi gadis kecil itu.
"Kak Abra," panggil Nadia.
Abra yang takut jika Timo akan memarahi adiknya segera mengajak Nadia untuk keluar dari sana. "Sstt, kita bicara di luar saja Nadia, nanti Ayah bangun," kata Abraham sambil menuntun gadis kecil itu untuk keluar dari sana. "Cerita sama Kakak di luar, karena Kakak takut Ayah akan terganggu dengan suara isak tangismu," sambung anak laki-laki itu.
Tiga bulan kemudian, saat sore menjelang Timo terlihat sedang duduk di teras depan rumahnya, kini pria itu terlihat seperti mayat hidup karena rutinitas sehari-hari pria itu hanya duduk termenung dan berharap kalau Selena akan kembali pulang ke rumah minimalis itu.
Namun, harapan kadang tidak sesuai dengan keinginan dimana bukan Selena yang pulang melainkan sebuah surat undangan yang segaja wanita itu kirim untuk Timo, seorang pria yang sudah tidak memiliki semangat lagi untuk tetap bertahan hidup. Padahal baru kemarin wanita itu juga mengirim surat gugatan cerai pada Timo. Tapi sekarang lihatlah Selena dengan tidak punya hati malah mengirim lagi selembar surat undangan.
"Permisi, apa Anda Pak Timo?" tanya laki-laki yang berpakian serba hitam itu.
Timo hanya mengangguk sambil menatap lurus ke depan, dengan tatapan mata yang sangat kosong dan wajah datarnya.
"Ini Pak surat undangannya, Nyonya Selena sangat berharap Bapak datang di acara beliau." Laki-laki itu terlihat meletakkan surat undangan itu di atas meja. Tepat di depan Timo yang sama sekali tidak tertarik untuk membuka suara. "Kalau begitu saya permisi dulu Pak." Sesaat setelah mengatakan itu laki-laki yang di utus oleh Selena itu langsung pergi begitu saja.
Tepat setelah laki-laki itu pergi Timo sekarang mulai melirik secarik kertas undangan itu, dan tidak berselang lama pria itu malah langsung saja meremas undangan yang di depannya ada foto Selena dan seorang laki-laki yang begitu sangat gagah jauh lebih muda daripada dirinya.
"Tega-teganya kau menghianatiku Selena, rupanya kau benar-benar wanita yang gila harta." Timo tersenyum getir sambil kembali meremas surat undangan itu. "Kau memang sengaja menaburi garam di atas lukaku ini Selena," kata Timo yang sekarang terlihat mulai meranjak dari duduknya, entah apa yang saat ini akan pria itu lakukan.
***
Terlihat dengan senyum yang mengembang Abraham terlihat membawakan mapan yang berisi makan malam untuk sang ayah. Namun, saat anak laki-laki itu akan memegang gagang pintu Nadia, sang adik malah menarik baju Abraham.
"Kak Abra, aku boleh ikut 'kan, masuk ke dalam? Aku janji tidak akan ribut." Nadia gadis kecil yang bermata bulat itu, baru kali ini ingin ikut masuk ke dalam kamar Timo karena biasanya Nadia selama ini malah merasa takut dengan sang ayah.
"Apa benar kamu mau ikut?" Abraham bertanya pada adiknya hanya untuk sekedar memastikan.
Nadia dengan lugunya mengangguk sambil tersenyum simpul. "Benar Kak Abra, karena aku ingin melihat Ayah." Nadia terlihat semakin melebarkan senyumnya.
"Baiklah, kalau begitu tolong kamu buka pintu kamar Ayah karena Kakak sepertinya tidak bisa membuka pintu ini, disaat tangan Kakak sedang memegang mapan," kata Abraham sambil memberikan sang adik isyrat untuk segera masuk dulun ke dalam kamar itu.
Nadia sekali lagi mengangguk dan segera berjalan mendekat ke arah pintu itu, supaya tangan kecilnya bisa meraih gagang pintu.
"Ayo Nadia, buka saja pintu itu karena saat ini pasti Ayah sudah sangat lapar." Abraham terdengar menyuruh Nadia untuk segera membuka pintu.
"Kakak benar aku harus segera membuka pintu ini, karena pasti Ayah sudah sangat lapar." Nadia kemudian dengan semangat terlihat membuka pintu itu.
Namun, pada saat pintu itu sudah berhasil ia buka, gadis kecil bermata bulat itu langsung saja menjerit histeris, karena apa yang Nadia lihat saat ini sangat menyeramkan di kedua mata gadis kecil itu.
"Ayah!" teriak Nadia setengah menjerit.
Sedangkan Abraham yang dari tadi berada di belakang Nadia, segera maju selangkah demi melihat apa yang saat ini sang adik sedang lihat dengan mimik wajah yang begitu panik, karena baru kali ini Abraham mendengar Nadia menjerit histeris seperti saat ini.
"Ayah kenpa–" Kalimat Abraham terputus karena anak laki-laki itu malah melihat Timo yang sudah bu nuh diri dengan cara menggantung di ri pada kipas yang ada di atas sapu lantai. "Ayah!" Abraham tanpa aba-aba langsung saja membuang mapan yang ia bawa, sehingga terdengar suara pecahan gelas serta piring yang berisi makanan tadi.
Ceerangg ...!
Pecahan piring itu sudah terlihat berserakan di lantai. Namun, Abraham tidak mempedulikan akan hal itu demi melihat bagaimana keadaan Timo saat ini.
"Ayah ... Kak Abra, Ayah kenapa?" tanya Nadia yang begitu shock saat melihat sang ayah yang sudah tidak bergerak lagi, dengan posisi kedua tangan yang terkepal serta lidah yang menjulur keluar dan mata yang terpejam.
Abraham yang tahu kalau saat ini Timo sudah tidak bernyawa lagi, dengan cepat menarik pergelangan tangan Nadia dan segera membawa tubuh kecil adiknya itu untuk masuk ke dalam pelukannya, karena anak laki-laki itu merasa kalau saat ini yang harus ia lakukan berusaha untuk saling menguatkan satu sama lain dengan Nadia.
Sebab hanya itu yang bisa Abraham lakukan, dan tidak mungkin anak laki-laki itu akan meraung, menjerit, hingga menangis histeris di saat adiknya saat ini mungkin saja sedang merasa ketakutan. Sehingga membuat Abraham yang umurnya masih terlalu kecil hanya bisa menenangkan adiknya itu sendiri di malam yang sangat sunyi dan sepi ini.
***
Tepat pu kul 12 malam Abraham segera mencari bantuan, supaya bisa menurunkan tubuh kekar sang ayah karena dirinya tidak akan mungkin bisa melakukan itu sendiri.
"Semoga saja, orang-orang di desa masih pada bangun," gumam Abraham pelan dengan air mata yang anak laki-laki itu tidak bisa ia tahan lagi, karena rupanya letak rumah minimalis milik keluarga kecil Abraham terletak agak sedikit jauh dari permukiman warga. Sehingga membuat anak itu harus berjalan beberapa puluhan meter supaya bisa sampai di rumah para warga.
Dinginnya malam, serta suara-suara jangkrik bahkan suara hewan yang lain tidak Abaram hiraukan demi anak laki-laki itu bisa meminta bantuan, karena ia merasa kalau tubuh kaku ayahnya harus segera di turunkan dari atas baling-baling kipas tempat Timo bu nuh diri.
Rupanya di pagi itu Timo memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri, daripada harus melihat Selena bahagia bersama laki-laki lain selain dirinya.
"Ibu, Ibu ... adalah wanita yang sangat tega dan jahat di dunia ini. Lihatlah karena kelakuan Ibu, Ayah sampai mengakhiri hidupnya." Lirih Abraham yang saat ini sedang malihat surat undangan pada telapak tangannya, karena rupaya tadi ia sempat mengambil surat undangan yang sudah di remas itu dari genggaman tangan Timo. "Aku bersumpah akan membalaskan kematian Ayahku ini," kata anak laki-laki itu yang sekarang malah terdengar bersumpah, dikegelapan malam serta rasa sesak dan sakit dada Abraham.
Tepat ketika acara pemakaman sudah selesai Abraham terlihat ingin membawa adiknya pergi ke rumah minimalis itu lagi. Namun, saat anak laki-laki itu baru saja sampai di persimpangan jalan, tiba-tiba saja adik dari almarhum Timo memegang pergelangan tangan anak itu.
"Abra, ikut Bibi saja," kata Sarah seorang janda yang juga baru satu bulan ini diceraikan oleh sang suami, karena wanita itu di kira tidak bisa memberikan keturunan untuk mantan suaminya.
"Bibi Sarah," panggil Nadia dan langsung saja berhambur ke dalam pelukan wanita yang kira-kira umurnya sudah 30 tahun itu.
"Iya Nadia, ini Bibi," ucap Sarah yang segera membalas pelukan tubuh kecil keponakannya itu. "Apa kalian berdua mau ikut bersama Bibi?" tanya Sarah hanya untuk memastikan apakah kedua keponakannya itu ingin tinggal bersamanya.
"Bi, Ayah ... Ayah sudah tidak ada." Bukannya menjawab Nadia malah mengatakan itu pada Sarah, karena tadi wanita itu rupanya tidak pergi ke pemakaman sebab Sarah tidak akan sanggup untuk menyaksikan jenazah saudara laki-laki satu-satunya itu.
"Sabar sayang, ini sudah menjadi takdir Ayah kalian." Sarah berusaha menenangkan Nadia, dengan mengucapkan kata-kata yang wanita itu sampaikan selembut serta sehalus mungkin.
Abraham yang dari tadi hanya diam saja pada akhirnya membuka suara. "Bi, aku titip Nadia dulu karena aku mau mengambil sesuatu di rumahku dulu," kata anak laki-laki itu yang saat ini sedang berbohong, karena sebenarnya Abraham saat ini ingin pergi ke alamat rumah yang ada di undangan yang saat ini masih saja anak itu genggam dengan sangat erat di telapak tangannya.
"Biar Bibi yang akan menemanimu Abra, karena Bibi tidak mungkin membiarkanmu pergi sendiri." Sarah mengatakan itu karena wanita itu tidak akan mungkin membiarkan anak itu pergi sendirian.
"Tidak usah Bi," tolak Abraham. "Bibi bawa saja Nadia ke rumah Bibi karena aku takut, jika dia akan kembali ke rumah itu maka bayangan Ayah akan muncul kembali ke dalam memori ingatannya." Meski umur Abraham baru hari ini usianya genap 10 tahun. Namun, pola berpikir anak laki-laki itu sangat jauh berbeda ketimbang anak-anak lain pada umumnya yang seusia dengannya. Sehingga seringkali orang-orang di sekeliling anak itu berpikirkan kalau IQ Abraham sangat jauh di atas anak seumurannya.
"Tapi Abra, apa kamu tidak apa-apa kesana sendirian?" Terlihat sangat jelas, mimik wajah Sarah sangat mengkhawatirkan anak itu.
"Tidak apa-apa Bi, aku ini sudah biasa pulang sendiri ke rumah itu dan aku jamin tidak akan ada yang terjadi," timpal Abraham yang juga saat ini raut wajah anak itu masih saja terlihat sangat sedih. "Kalau begitu aku pergi dulu Bi," ucap Abraham yang kemudian terlihat berlari meninggalkan Nadia dan Sarah disana.
"Kak Abra!" teriak Nadia yang melihat sang kakak pergi. "Jangan tinggalkan aku!"
"Nadia, Abra hanya ingin mengambil sesuatu di rumah itu. Jadi, kamu tenang saja kalau kakak kamu itu pasti akan segera kembali." Setelah mengatakan itu Sarah mengajak Nadia untuk pergi dari sana, karena terik matahari yang siang ini cuacanya sangat panas full semakin terasa menyengat pada kulit wanita itu.
***
Di sini lain, Abraham rupanya sudah melangkahkan kaki kecilnya ke alamat rumah sang ibu, dengan membawa sebilah pisau entah apa yang saat ini ada di dalam benak anak laki-laki itu. Sehingga dirinya malah nekat akan menghabisi nyawa laki-laki yang anak itu anggap sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kematian sang ayah.
"Jika pria itu adalah penyebab semua ini, maka dia harus membayarnya." Layaknya orang yang sudah tahu tentang semua hal sehingga membuat Abraham terus saja berbicara seperti orang dewasa. "Laki-laki itu harus membayar ini semua," kata Abraham yang terus saja mengulangi kalimatnya berulang-ulang kali. Hingga detik berikutnya langkah kaki anak itu berhenti tepat di depan gerbang yang menjulang sangat tinggi dengan warna gerbang itu kuning keemas-emasan.
"Dek, cari siapa sore-sore begini?" Salah satu satpam yang berjaga di sana malah bertanya pada Abraham. Rupanya anak laki-laki itu malah sampai di sana ketika sore menjelang.
Abraham sempat terdiam di saat anak itu ditanya hanya untuk memikirkan jawaban yang tepat. Sebelum ia menjawab, "Saya sedang mencari Ibu."
"Ibu, kalau boleh tahu nama Ibu adek siapa?" tanya satpam itu yang penasaran.
"Selena, nama Ibu saya Selena." Abraham menjawab begitu lantang dan tenang.
Satpam yang mendengar itu malah tertawa terbahak-bahak. "Setahu saya nama Selena adalah Nyonya besar yang baru kemarin siang menikah dengan Tuan besar Antonio. Adek ini jangan mengada-ngada." Satpam itu rupanya tidak percaya dengan jawaban Abraham. Dan tepat ketika satpam itu masih saja tertawa terbahak-bahak sebuah mobil spots terlihat akan keluar dari gerbang itu.
Membuat Abraham langsung saja berniat ingin menghadang mobil itu, karena tadi ia sempat melihat kalau di dalam mobil itu ada Selena dan suami baru wanita itu.
"Aku harus menghadang mobil itu," gumam Abraham pelan yang sekarang terlihat berlari ke arah depan mobil itu sambil menyembunyikan sebilah pisau di balik bajunya. Ia juga menggunakan kesempatan satpam itu yang lengah.
🍂🍂
Sedangkan di dalam mobil Antonio terlihat langsung saja menginjak pedal rem, karena laki-laki itu melihat ada anak kecil yang menghadang mobilnya.
"Mas, kenapa malah berhenti?" tanya Selena yang saat ini belum melihat putranya, karena dari tadi wanita yang sedang mengandung itu terlihat malah bergelayut manja di lengan laki-laki yang sudah menghamilinya sebelum mereka resmi menikah.
"Sayang, ada anak kecil di depan sana, kamu tunggu di sini dulu. Mas mau lihat." Antonio yang penasaran langsung saja keluar dari dalam mobilnya. Meskipun Selena sempat melarangnya untuk jangan turun karena wanita itu takut jika saja Abraham malah akan mengatakan kebenaran, karena ternyata Selena mengaku pada Antonio kalau dirinya masih gadis.
"Mas, jangan turun itu pasti pengemis!" seru Selena yang malah mengatakan kalau putranya sendiri adalah pengemis.
"Sebentar saja sayang," kata Antonio yang sekarang terlihat senyum ke arah Abraham, setelah laki-laki itu sempat terlebih dahulu tersenyum ke arah Selena.
Tepat ketika laki-laki itu akan menghampiri Abraham, tiba-tiba saja anak laki-laki itu langsung saja berlari sekuat tenaga sambil melompat dan tepat ketika Abraham di depan Antonio, anak laki-laki itu segera menancapkan sebilah pisau itu beberapa kali tepat di jantung suami baru sang ibu dengan sangat brutal.
"Akhh!" ringis Antonio kesakitan dan dalam hitungan detik ia malah langsung jatuh tersungkur dengan darah yang terus saja mengalir deras dari dada laki-laki itu.
"Mas Antonio!" teriak Selena yang begitu kaget melihat apa yang saat ini terjadi di depan mata kepalanya sendiri. "Kau, anak s*alan!" seru wanita itu yang sekarang keluar dari dalam mobil dan segera duduk di sebelah Antonio yang terus saja mengerang kesakitan.
Sedangkan Abraham terlihat langsung saja mundur beberapa langkah, bersamaan dengan itu suara gemuruh mulai terdengar menggema di atas langit yang tadi cerah terang benderang, kini malah menjadi gelap gulita dan tidak lama gerimispun mulai turun membasahi bumi.
"Kau! Pembunuh!" teriak Selena lagi sambil menatap putranya penuh kebencian, saat wanita itu melihat bahwa suami kaya rayanya sudah tidak bergerak serta tidak mengerang kesakitan lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!