Kisah enam orang mahasiswa yang terjebak di sebuah Panti Jompo yang diselimuti berbagai kejadian mistis. Banyak kejadian gaib yang diluar nalar terjadi selama mereka berada disana. Tujuan mereka membantu pengelola Panti untuk mengurus para lansia yang ada disana, membuat mereka terjebak dengan berbagai ritual sesat yang dilakukan oleh pemimpin Panti itu sendiri. Akankah ke enam mahasiswa itu selamat dari ritual sesat yang menjadikan mereka calon tumbal?
Tepat jam dua belas siang, di Kampus Merdeka didatangi seorang perempuan misterius yang mengenakan gaun serba hitam dengan kerudung hitam yang menutupi wajahnya. Ia datang ke kantor rektor dan meminta beberapa mahasiswa dan mahasiswi di kampus itu untuk menjadi sukarelawan di panti jompo yang ia kelola.
“Perkenalkan nama saya Mariyati, pengelola Yayasan Panti Jompo Muara Hati. Saya membutuhkan bantuan dari beberapa mahasiswa yang ada di Universitas ini. Saya sudah bawakan daftar nama-nama mahasiswa yang harus membantu saya di Panti.” Ucap Mariyati seraya menyerahkan amplop merah yang berisikan data beserta foto-foto beberapa mahasiswa di Universitas Merdeka.
Nampak sang rektor beserta para dekan tercengang, mereka semua bingung sekaligus heran. Kenapa tiba-tiba ada seseorang yang mendatangi mereka dan meminta beberapa mahasiswanya untuk melakukan kerja lapangan di sebuah Panti Jompo.
“Apa maksud anda? Kami tidak tau siapa dan kenapa anda tiba-tiba datang kesini, dan ingin meminta bantuan para mahasiswa. Sebenarnya apa tujuan anda?” Tanya Pak Asmi dengan mengangkat tinggi amplop merah yang ada di tangannya.
Tak ada jawabannya dari Mariyati, ia hanya tersenyum datar seraya memandang ke segala arah. Kemudian ia meminta sang rektor dan dekan menatapnya dengan lebih dekat lagi.
“Silahkan duduk dengan tenang, dan dengarkan penjelasan saya. Kalian semua silahkan tatap mata saya baik-baik.” Mariyati membulatkan kedua mata menatap ke semua orang yang ada di hadapan nya, terlihat suar cahaya merah keluar dari kedua bola matanya. Tak lama semua orang yang ada disana langsung patuh dengan ucapan Mariyati.
Beberapa orang ditugaskan oleh Pak Asmi, seorang dekan di Fakultas Ekonomi untuk memanggil beberapa mahasiswa yang daftarnya ada di dalam amplop merah. Terlihat dari daftarnya, ada tiga orang perempuan dan tiga lainnya laki-laki. Singkat cerita ketiganya datang ke ruang rektor, dan disana mereka mendapat penjelasan dari sang dekan, jika mereka ingin nilainya bagus tanpa mengikuti ujian mereka diharuskan membantu di sebuah Panti Jompo.
“Kalian tak perlu memikirkan bagaimana pembelajaran di kampus, pergi dan lakukan tugas lapangan kalian dengan baik. Saya akan memastikan nilai kalian semua bagus di atas rata-rata, untuk lebih detailnya akan dijelaskan langsung oleh pengelola Panti Jompo itu.” Kata Pak Asmi dengan tatapan mata yang kosong.
Ceklek.
Terdengar derit suara pintu yang ditarik paksa oleh seseorang dari luar sana.
Tap tap tap. Seorang perempuan paruh baya berjalan dengan wibawanya, sorot matanya tajam dan mengeluarkan aura negatif yang sangat besar. Di dalam sana hanya ada empat orang mahasiswa, dan Mariyati membulatkan matanya penuh amarah.
“Dimana yang dua orang lagi Pak? Saya minta enam orang yang harus ikut saya, tapi dimana mereka?” Mariyati melotot membuat ke empat mahasiswa yang ada di dalam ruangan itu sedikit merasa ngeri.
“Dih perempuan itu serem banget sih Don!” Celetuk Widia seraya menyenggol Doni yang duduk di sebelahnya, dan dibalas anggukkan kepala oleh Doni.
“Hussd jangan berisik kalian, mau tawaran Pak Asmi dibatalkan?” Sahut Beni dengan mengaitkan kedua alis mata.
“Diam kalian jangan ribut disini!” Kata Pak Asmi dengan nada suara tinggi.
Pak Asmi memerintahkan Riko salah satu dari mahasiswa yang ada di ruangan nya, untuk memanggil kedua mahasiswi yang belum datang ke ruangan nya. Setelah itu Riko pergi mencari Sintia dan Dina, keduanya ternyata sedang berdebat di kantin. Dan keributan itu pun mengakibatkan kerumunan. Riko datang melerai mereka, lalu meminta keduanya untuk cepat pergi ke ruang dekan.
“Gak ada gunanya kalian ribut disini, ada hal yang lebih penting. Kita sudah ditunggu Pak Asmi di ruangan nya!” Riko menatap kedua perempuan yang masih saling pandang dengan sorot mata kesal satu sama lain.
“Riko... Tolong bantu gue jalan sampe ruang dekan ya. Kaki gue sakit tadi habis didorong sama perempuan gak tau diri ini!” Perkataan Dina sangat menyakiti harga diri Sintia, apalagi Dina berlagak mesra di depan nya.
Riko dan Sintia dulunya adalah sepasang kekasih, karena ada sedikit perselisihan di antara keduanya, akhirnya hubungan mereka berakhir. Dan tentu saja semua itu karena masalah yang sengaja dibuat oleh Dina, karena dari dulu Dina sangat menyukai Riko. Tapi perasaan nya bertepuk sebelah tangan. Riko hanya mencintai Sintia, dan membuat kedua perempuan itu saling bermusuhan sampai sekarang.
“Dasar gatel!” Celetuk Sintia seraya melangkahkan kakinya pergi.
“Heh apa lu bilang hah!” Bentak Dina yang hendak menjambak rambut Sintia dari belakang.
“Udah deh Din, gak usah ribut lagi. Kali ini lu punya kesempatan buat dapetin nilai bagus, makanya kita sekarang harus ke ruang dekan!”
“Sorry deh Ko, gue kesel banget sama Sintia. Ya udah yuk kita bareng aja kesananya!”
Sesampainya di ruang dekan, mereka semua duduk di hadapan Pak Asmi dan juga perempuan pengelola Panti Jompo.
“Nama saya Mariyati, saya yang akan membimbing kalian dalam mengurus semua lansia yang ada disana.”
“Apa lansia? Jadi kita harus mengurus semua orang tua yang ada disana. Ih gue gak mau lah, gak bisa Pak lebih baik nilai saya jelek daripada harus menghabiskan waktu bersama para lansia itu!” Dina protes seraya bangkit berdiri.
Nampak Mariyati kesal, ia membulatkan matanya seraya komat-kamit membaca sesuatu. Semacam mantra yang ia gunakan sebelumnya untuk menghipnotis rektor dan dekan.
“Berhenti Dina! Cepat lihat mata saya, dan kalian semua juga! Mulai sekarang kalian akan membantu saya mengurus Panti Jompo Muara Hati. Tak ada yang bisa pergi setelah kalian ikut bersama saya, apa kalian mengerti?” Ucap Mariyati dengan sorot mata mengeluarkan suar cahaya berwarna merah.
Hanya anggukan kepala yang terlihat dari ke enam mahasiswa itu. Mereka tak diberikan waktu untuk pulang mengambil perlengkapan ataupun ijin pada keluarganya masing-masing. Mereka langsung dibawa menggunakan mobil kijang tua. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara, semuanya hanya duduk diam di sepanjang perjalanan.
“Kalian semua boleh tidur, kalau sudah sampai akan saya beritahu!” Pungkas Mariyati seraya tertawa penuh kemenangan.
Ia masih mengemudikan mobil meninggalkan kota kembang, ke daerah Jawa Tengah. Entah nasib apa yang akan di alami ke enam mahasiswa dari Universitas Merdeka itu. Dan untuk apa Mariyati membawa mereka ke Panti Jompo yang ia kelola?.
Waktu berlalu dengan cepat, tepat sebelum jam sepuluh malam rombongan mahasiswa itu sampai di sebuah bangunan tua peninggalan Belanda. Bangunan yang dijadikan Panti Jompo yang dikelola oleh Mariyati. Hanya ada kesan wingit begitu mereka sampai disana.
“Mulai sekarang kalian yang akan membantu saya mengelola dan mengurus para lansia yang ada disini. Hanya tersisa enam orang tua yang tinggal di tempat ini, dan masing-masing dari kalian akan merawat dan menjaga satu orang tua setiap harinya. Malam ini kalian boleh istirahat, dan melanjutkan kegiatan di pagi hari. Para orang tua yang tinggal disini akan bangun sangat pagi, jadi kalian juga harus mengikuti jam aktivitas mereka. Di siang hari sebelum tepat jam dua belas, mereka semua harus tidur siang. Dan akan bangun setelah jam tiga pagi, barulah kalian bisa mengurus mereka lagi. Membantu menyiapkan alat mandi ataupun makan serta obat-obatan yang harus mereka konsumsi. Lalu sebelum jam enam sore, kalian harus mengantarkan mereka kembali ke kamarnya masing-masing. Mereka tidak boleh terlalu capek, biarkan mereka istirahat sampai jam setengah delapan. Bantu dan layani mereka, jika mereka membutuhkan sesuatu. Barulah kalian antarkan mereka kembali ke kamar lagi sebelum jam dua belas tengah malam. Dan ingat perkataan saya! Tak ada yang boleh keluar kamar setelah jam dua belas malam, segala sesuatu yang kalian butuhkan harus kalian siapkan di dalam kamar kalian masing-masing. Sudah ada kamar mandi dalam di setiap kamar kalian, jadi jangan pernah meninggalkan kamar kalian. Karena setelah tepat jam dua belas tengah malam, semua lampu di Panti Jompo harus padam. Disini daerah pedesaan yang jauh dari fasilitas umum, kita harus menghemat listrik kalau tak dipergunakan. Apa kalian sudah paham dengan penjelasan saya? Jika sampai kalian melanggar peringatan saya ini, lalu terjadi sesuatu pada kalian, itu bukanlah tanggung jawab saya. Disini masih banyak pencuri ataupun perampok, bahkan para pembunuh yang bersembunyi di daerah terpencil seperti tempat ini!” Mariyati menatap satu persatu dari ke enam mahasiswa yang ada di depannya. Kali ini mereka semua dengan kompak menjawab ucapan Mariyati.
Setelah memberi penjelasan, Mariyati mengantarkan mereka semua ke kamar. Tiga laki-laki di dalam satu kamar yang sama, begitu juga dengan para perempuan yang dijadikan satu di sebuah kamar. Kali ini Dina terang-terangan protes pada Mariyati, karena ia tak ingin berada di dalam satu kamar yang sama dengan Sintia.
“Kalian harus berada di dalam satu kamar yang sama, kau tak bisa protes Dina! Kau berada disini karena memang sudah seharusnya begitu, tak ada pilihan lain selain mengikuti perkataan ku. Apa kau mengerti Dina?” Mariyati membentak Dina seraya membulatkan kedua mata.
“Ba baiklah kalau memang begitu, tapi aku tak mau satu ranjang dengan Sintia!” Dina menyipitkan kedua mata menatap Sintia penuh kebencian.
“Widia dan Sintia, kalian tidur satu ranjang.” Ucap Mariyati dengan nada suara datar.
Hanya anggukan kepala yang menjadi jawaban Widia dan juga Sintia. Mereka semua masih dalam keadaan bingung, kenapa mereka semua tiba-tiba sudah berada di Panti Jompo Muara Hati. Karena seingat mereka, tadi mereka masih ada di ruangan dekan membahas kerja lapangan di Panti Jompo ini. Tak ada satupun dari mereka yang membawa perlengkapan dari rumah, karena menurut Mariyati semua sudah disiapkan di Panti tersebut. Dina yang terkenal sebagai selebgram, selalu mengupdate sesuatu setiap harinya. Dan hari ini ia belum sempat mengupdate sesuatu sama sekali. Dina mencari ponselnya di dalam tas yang ia bawa, tapi ia tak menemukan ponselnya. Dina berteriak kencang, menuduh Sintia yang iseng mengambil ponselnya.
“Lu jangan asal ngomong ya Din, kita sama-sama baru datang. Mana gue tau ponsel lu dimana!” Kata Sintia dengan berkacak pinggang.
“Gaes tunggu deh! Ponsel gue juga gak ada loh, coba deh Sin lu periksa tas lu. Ponsel lu hilang juga gak?” Tanya Widia dengan raut wajah yang panik.
Akhirnya Sintia membuka tas ranselnya, dan ia juga tak dapat menemukan ponselnya. Ketiganya mendongakkan kepala ke atas jam dinding, mereka melihat waktu belum menunjukkan pukul dua belas malam. Akhirnya Dina keluar lebih dulu dari kamar, nampak suasana jangal menyelimuti bangunan peninggalan jaman Belanda ini. Dina berjalan menyusuri lorong mencari ruangan pengelola Panti, dibelakangnya nampak Sintia dan Widia yang berusaha mengejar Dina. Tapi mereka terlambat, karena Dina sudah sampai di depan pintu ruangan Mariyati.
Tok tok tok.
Dina mengetuk pintu yang ada di depannya tanpa jeda sedikitpun, sampai akhirnya Mariyati keluar dengan membulatkan kedua mata menatap mereka penuh amarah.
“Ada apa kalian semua kesini?”
“Sebenarnya saya sudah sangat terpaksa berada disini, tapi kenapa ponsel saya juga gak ada? Pasti ibu tau kan dimana ponsel saya?” Dina menghembuskan nafas panjang seraya mengatungkan tangannya.
“Lancang kau Dina!” Bentak Mariyati melotot dengan berkacak pinggang.
Karena terdengar suara yang gaduh, akhirnya ketiga mahasiswa laki-laki keluar dari kamar mereka masing-masing. Mereka bertanya pada Widia dan juga Sintia, kenapa Dina berdebat dengan Mariyati. Widia hanya menjelaskan, jika semuanya terjadi karena Dina kehilangan ponselnya. Sampai akhirnya ketiganya pun baru menyadari, jika ponsel ketiganya juga tak ada. Karena suasana menjadi ricuh, Mariyati mengatakan pada mereka semua jika semua ponsel sudah ia simpan di ruangan nya.
“Selama membantu di Panti ini kalian semua tak di ijinkan menggunakan ponsel. Karena itulah saya mengambil semua ponsel kalian.”
“Tapi kita semua juga perlu menghubungi keluarga bu, bagaimana kalau orang tua kita cemas karena anak-anaknya pergi tanpa berpamitan!” Sahut Sintia dengan memijat pangkal hidungnya.
Mariyati diam lalu menyeringai di hadapan mereka semua. “Tak perlu cemas, orang tua kalian tak akan mencari kalian semua!” Mariyati melotot membuat mereka semua merunduk.
“Maksudnya gimana ya Bu?” Tanya Riko memberanikan diri.
“Pihak Universitas sudah memberitahu keluarga kalian masing-masing. Jadi mereka tak akan mencari kalian lagi, jika ingin semua cepat selesai. Ikuti semua perintah saya, dan jangan banyak protes lagi. Lihat mata saya, dan dengarkan ucapan saya baik-baik.” Kata Mariyati seraya komat-kamit membaca mantra lalu membulatkan kedua mata menatap ke enam mahasiswa di depannya.
Nampak suar cahaya merah keluar dari matanya, Mariyati memerintahkan mereka untuk melupakan segala hal yang terjadi diluar Panti Jompo.
“Mulai sekarang kalian tak akan mengingat hal apapun yang terjadi diluar sana. Fokus kalian hanya satu, mengurus dan menjaga semua orang tua yang ada disini. Lupakan kehidupan kalian sebelum kalian datang ke tempat ini, apa kalian sudah paham dengan ucapan saya?” Tanya Mariyati menatap mereka semua dan hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh ke enam mahasiswa itu.
Setelah itu mereka semua diminta kembali ke kamar mereka masing-masing. Mereka berjalan dengan sorot mata yang kosong. Semua perkataan Mariyati adalah perintah yang harus diikuti, karena bagaimanapun mereka semua tak dapat melawan kehendak Mariyati. Sekarang adalah malam pertama mereka di Panti Jompo itu, dan tak ada yang tau apa yang akan terjadi di malam-malam selanjutnya.
Ke enam mahasiswa itu kembali ke dalam kamar mereka. Nampak Dina masih kesal lalu membanting pintu dengan kencang. Sintia yang tak mau ikut campur dengan urusan Dina hanya diam, sementara Widia berusaha menenangkan Dina.
"Sebentar lagi udah mau jam dua belas Din, jangan buat kegaduhan lagi. Gak tau kenapa gue ngerasa ada hal yang janggal di tempat ini, mungkin yang dikatakan bu Mariyati benar kalau disekitar tempat ini berbahaya. Jangan-jangan memang ada buronan yang sembunyi di dekat sini." Ucap Widia seraya merapatkan duduknya ke Dina.
"Udahlah gak usah mikirin hal yang terjadi diluar Panti. Gue bakal coba bertahan di tempat terkutuk ini, seenggaknya pas gue balik dapat nilai bagus. Udah sono gue mau tidur!" Dina merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dan benar-benar melupakan masalah ponsel yang sempat ia ributkan tadi.
Waktu berlalu dengan cepat, setelah jam lima pagi para lansia yang ada disana sudah bangun. Mereka membutuhkan bantuan dari para mahasiswa itu untuk membersihkan diri dan sebagainya. Sintia yang lebih dulu bangun sudah membantu Nek Siti, lalu mengajaknya duduk di halaman belakang. Kebanyakan para orang tua yang ada disana tak terlalu suka berada dibawah sinar cahaya apalagi terik matahari. Jadi mereka hanya akan duduk di teras halaman belakang ataupun ruang tamu saja.
"Nek kenapa kita gak duduk di teras depan saja. Bukankah taman di depan lebih sejuk dan rindang. Nenek bisa dapat udara segar disana." Kata Sintia seraya memberikan obat pada Nek Siti.
"Pintu depan selalu terkunci Sin, gak ada yang bisa keluar tanpa seijin Mariyati. Kami juga dilarang keluar disekitar taman, hanya halaman belakang ini saja tempat kami para orang tua duduk santai kalau diluar rumah." Nek Siti duduk menatap wajah Sintia tanpa berkedip, lalu ia mengusap lembut pipi Sintia.
"Ada apa Nek? Kenapa tiba-tiba Nek Siti jadi murung?"
"Gak apa-apa kok Sin, Nenek hanya teringat seseorang saja."
Tiba-tiba Mariyati datang, ia mendatangi Sintia dan Nek Siti. Sepertinya Mariyati tau jika Nek Siti sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Sintia pergilah ke dapur, bantu Widia untuk menyiapkan makanan. Karena Dina sedang membantu Nenek Dijah dan Nenek Windu mandi." Perintah Mariyati dengan sorot mata tajam.
Setelah Sintia pergi, nampak Mariyati berbicara serius dengan Nek Siti. Ia memperingatkan Nek Siti untuk tetap diam, dan tak membicarakan hal-hal yang sudah ia larang.
"Tapi Mar, mereka tak bersalah. Kenapa kau harus melakukan semua ini?" Mata Nek Siti berkaca-kaca.
"Siapa yang berhak memutuskan mereka bersalah atau tidak Siti? Hanya aku yang bisa membuat keputusan, dan kau pun paham betul apa yang sudah kita sepakati sebelumnya!" Mariyati berang lalu meninggalkan Nek Siti seorang diri di halaman belakang.
Sementara di bangunan sebelah, tempat para laki-laki tinggal terjadi keributan. Karena Beni dan Doni tidak becus mengurus lansia yang mereka jaga. Kakek Bimo dan Kakek Dodit sampai terpeleset dari kamar mandi, dan keduanya terpaksa harus duduk di kursi roda. Mariyati yang melihat kejadian itu kesal, dan berniat memberi hukuman pada Beni dan Doni. Tapi Riko dan Kakek Ridho yang mengetahui kejadian sebenarnya, menceritakan jika semuanya hanyalah kecelakaan. Tapi Mariyati tetap kekeh pada pendiriannya, kalau Beni dan Doni harus dihukum supaya mereka tak teledor dalam menjaga para lansia itu.
"Nanti malam kalian tak diperbolehkan tidur di kamar! Kalian berdua harus menanggung hukuman karena lalai menjaga kedua Kakek ini." Kata Mariyati sebelum melangkah pergi.
Nampak Kakek Bimo dan Dodit tersenyum senang melihat kedua anak muda itu akan dihukum oleh Mariyati.
"Halah cuma disuruh tidur diluar kamar aja kan gak masalah Ben."
"Tapi kan Don, kata Bu Mariyati tempat ini kalau malam agak berbahaya."
"Udah gak usah ribut lagi, cepat bawa kedua Kakek itu ke ruang makan. Kita harus sarapan pagi juga, jangan sampai Bu Mariyati marah lagi dengan kalian!" Kata Riko seraya membantu memapah Kakek Ridho berjalan.
Dihari pertama mereka membantu disana, masih belum ada keanehan ataupun hal-hal diluar nalar yang terjadi. Mereka melakukan aktivitas seperti yang dilakukan orang pada umumnya. Sintia diminta pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan yang diperlukan. Tapi ia memberanikan diri untuk bertanya, karena menurut nya biasanya ada yang melakukan tugas itu sendiri. Tapi di Panti itu sudah lama tak ada yang melakukannya, karena beberapa pegawai banyak yang mengundurkan diri karena faktor financial. Begitulah yang dijelaskan oleh Mariyati, hanya dirinya seorang yang menjaga dan mengurus para lansia disana.
"Para orang tua lanjut usia yang ada disini sudah ditelantarkan oleh keluarganya. Dan tak ada yang membiayai mereka lagi, hanya saya saja yang masih mengurus dan memperjuangkan mereka semua. Dari lima puluhan orang hanya tersisa mereka berenam saja, saya susah payah pontang panting mengurus mereka seorang diri. Dan sekarang adalah waktunya mereka untuk bisa hidup lebih layak, tentunya dengan berkat kalian semua. Semua lansia yang ada disini bisa menikmati rasanya hidup kembali dan menjadi lebih berguna daripada sebelumnya."
Sintia merasa ada yang janggal dengan setiap kalimat yang Mariyati ucapkan, bahkan ia bergumam di dalam hatinya.
"Kenapa bu Mariyati memilih kata-kata rasanya hidup kembali, seakan mereka baru saja bangkit dari kematian. Mungkin karena sudah lama mereka terlantar dan tak terurus." Batin Sintia dengan mengaitkan kedua alis matanya.
"Kenapa Sin kok lu malah bengong?" Tanya Widia seraya menyikut lengan Sintia.
Mariyati langsung mengarahkan pandangannya pada Sintia, lalu ia tersenyum miring dengan membulatkan kedua mata. Sontak saja bulu-bulu halus di tubuh Sintia meremang. Ia mengusap belakang lehernya lalu bergidik.
"Gue gak apa-apa kok Wid, lu temenin gue ke pasar ya. Gue takut sendirian soalnya!" Jawab Sintia mengeluh.
"Apa yang kau takutkan Sintia? Selama saya masih melindungi mu, tak akan ada yang terjadi padamu. Pergilah ke pasar sendiri, karena Widia harus membantu menjaga Nek Siti selagi kau pergi."
"Tapi Bu, bukankah kau memintaku untuk membeli beras satu karung untuk persediaan selama beberapa minggu. Saya nanti kerepotan membawanya sendiri."
"Baiklah kalau begitu, kau bisa pergi bersama Riko. Di ujung jalan pengkolan ada delman yang biasa mangkal. Naiklah delman itu bersama Riko, mintalah kusir itu untuk menunggu selama kalian berbelanja." Kata Mariyati seraya memanggil Riko yang sedang sibuk membereskan piring makan Kakek Ridho.
Disaat Sintia bersama Widia sibuk dengan catatan belanja, Mariyati mengambil sesuatu dari belakang gelungan rambutnya. Ia menarik beberapa helai rambut yang secara tiba-tiba menjadi beberapa lembar uang seratus ribuan. Tanpa Mariyati sadari ternyata Dina melihat apa yang baru saja ia lakukan. Nampak Dina terperanjat, ia membuka mulutnya lebar seraya berjalan mundur ke belakang. Dina ketakutan melihat hal gaib yang ia lihat secara tak sengaja tadi.
"Sebenarnya bu Mariyati itu siapa sih, kenapa dia bisa melakukan hal itu. Apakah dia pesulap atau dukun ilmu hitam?" Batin Dina di dalam hati dipenuhi tanda tanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!