Milly masih terpaku memandangi seseorang yang baru saja bertabrakan dengan nya.
Maksud hati mau marah, tapi tiba-tiba saja lidahnya terasa beku untuk berkata.
"Maaf, saya benar-benar tidak sengaja. Saya tadi terburu-buru, sekali lagi saya minta maaf ya."
Pria itu menyodorkan tangannya, untuk membantu Milly berdiri. Seperti orang linglung, Milly tidak menjawab atau pun membalas uluran tangan pria itu.
Dirinya masih tidak percaya, dengan apa yang dilihat nya saat ini. Meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, dengan pria yang baru saja bertabrakan dangan nya, tapi dia masih bisa mengingat dengan jelas siapa pria itu.
Pria yang selalu hadir mengganggu ketenangan nya sewaktu sekolah SMP di kampungnya dulu. Pria yang selalu datang menawarkan bantuan di saat dia kesusahan. Dan juga selalu membela nya, jika ada teman-teman sekolah yang mengganggu nya.
Pria yang terkenal baik di seluruh antero sekolah. Tidak hanya baik, dia juga termasuk siswa yang pintar dan berprestasi. Dia sering mewakili sekolahnya dalam berbagai perlombaan. Siswa yang membuat banyak siswi jatuh hati pada nya.
Tapi sayang, pria itu sudah menaruh hatinya hanya pada Milly. Itu semua tidak sedikit pun membuat Milly berbaik hati pada pria itu. Bahkan Milly selalu berusaha untuk menghindari nya.
Dan sungguh keberuntungan tidak berpihak pada Milly, dia selalu satu kelas dengan Dean.
Ya, pria itu adalah Dean. Pria yang selalu mengatakan cinta pada Milly. Dan itu lah yang membuat Milly membenci nya.
Druuttt ... druuutt ... druuutt.
Suara ponsel yang di pegang Dean, membuat Milly tersadar dari ingatan masa lalu nya. Milly buru-buru berdiri dan membiarkan tangan Dean tetap mengambang di udara.
"Hallo"
"Hallo Pak Dean, saya sudah menunggu dari tadi."
"Maaf, oke saya segera kesana."
Tut..tut...tut...
Panggilan di matikan oleh orang yang menelpon Dean tadi.
"Maaf, saya ada keperluan yang harus segera saya kerjakan. Kalau kamu berkenan, mau kah kamu menunggu saya sebentar? Kira-kira tiga puluh menit lagi, saya temui kamu di sini.
Sungguh, ini seperti keajaiban bagi saya. Sudah bertahun-tahun kita tidak bertemu, dan sekarang kamu hadir dihadapan saya. Mungkin kita bisa ngobrol sambil ngopi sebentar."
Dean berbicara dengan penuh pengharapan kepada Milly.
Milly hanya diam, dia tak tau mau menjawab apa. Ternyata Dean juga masih mengingat nya.
"Baik lah Milly, saya permisi dulu, ya. Saya harap kamu mau menunggu saya sebentar," lanjut Dean. Kemudian Dean pun berlalu meninggalkan Milly.
*****
Milly menatap Dean yang berlalu masuk ke dalam kafe. Sedangkan Milly masih terpaku di pintu kafe itu. Tempat dimana dia baru saja bertabrakan dengan Dean. Milly bingung, apakah dia harus menunggu seperti yang dikatakan Dean? dan kembali kedalam kafe, atau langsung pergi saja.
Sedikit di hatinya ada keinginan untuk menunggu Dean. Tapi sebagian besar lagi, hati Milly masih membenci Dean seperti dulu nya. Dan Milly masih mau menghindari Dean.
Bukan tanpa alasan Milly membenci Dean. Bukan juga karna wajahnya, karna Dean termasuk memiliki wajah yang tampan dan juga seorang yang pintar.
Meskipun Dean juga sedikit nakal.
Tapi Milly tidak suka sikap Dean, yang berterus terang mengatakan cinta padanya, di hadapan banyak siswa. Sehingga semua orang mengetahuinya. Jika kebanyakan siswa perempuan senang di perlakukan seperti itu, tapi tidak dengan Milly.
Itu terasa sangat mengganggu dan membuatnya malu. Bahkan orang tua Dean pun tau akan itu. Dan kemarahan Milly bertambah, saat orang tua Dean memanggilnya dengan panggilan menantu, di hadapan teman-teman sekelasnya. Dan di sana juga ada orang tua dari teman-teman Milly.
Saat itu, hari pembagian lapor kenaikan kelas, setiap siswa di dampingi oleh orang tua masing-masing.
"Wah, Menantu Ibu emang hebat, selalu juara kelas," kata bu Santy, ibunya Dean pada Milly.
"Selamat ya, Menantu," lanjut bu Santy sambil memeluk Milly.
"Makasi ya, Bu," balas Milly.
Ciee ... cieee ... ciee ....
Seperti di komando, teman-teman sekelas Milly langsung meneriakinya. Milly malu, pengen rasa nya dia marah pada Dean dan teman-temannya. Tapi urang di lakukan Milly, karna dia menghargai bu Santy.
Entah apa, yang sudah di ceritakan Dean pada ibunya, sehingga bu Santy bisa bicara seperti itu.
Ibunya Milly yang juga hadir saat itu, hanya tersenyum pada bu Santy dan Milly.
Baru lah saat di rumah, ibunya Milly yang bernama bu Rina menanyakan hal itu pada Milly.
Milly menceritakan semua nya pada sang ibu. Juga tentang perasaannya terhadap Dean.
"Kita tidak bisa menyuruh atau pun melarang seseorang untuk menyukai atau pun membenci kita. Kita tidak ada hak akan itu, jika seseorang membenci kita jangan kita balas dengan membenci juga. Biarkan itu menjadi urusannya dengan Allah.
Tapi jika seseorang menyukai kita dan kita tidak menyukainya, biarkan saja. Itu akan jadi urasannya dengan Allah juga. Tapi ada satu hal yang harus kamu ingat, jangan membenci berlebihan dan jangan juga membalas dengan perkataan atau perbuatan buruk.
Karna itu bisa menyakiti hatinya, dan ditakutkan itu akan berakibat buruk pada kita nanti. Karna kita tidak tau, ada apa dengan kehidupan dimasa datang? Tetap lah menjadi baik apapun keadaannya."
Milly masih sangat ingat, dengan apa yang di katakan ibunya saat itu. Sehingga, Milly lebih memilih menghindar. Meski hatinya membenci Dean dan menjaga jarak dengan Dean, tapi tidak sekali pun Milly berbuat atau berkata yang menyakiti hati Dean.
Tanpa Milly sadari, hal itu juga yang membuat Dean makin penasaran dan suka kepada Milly.
_*****_
Masih di kafe yang sama, di sebuah ruangan VIP. Dean yang melakukan pertemuan dengan rekan kerjanya, merasa jam begitu lambat berbutar. Fikirannya terbagi, harap-harap camas Dean memikirkan, apakah Milly akan menunggu atau tidak. Besar harapan Dean agar Milly mau menunggu. Jika tidak, maka tidak ada petunjuk untuk Dean akan bisa bertemu lagi dengan Milly.
"Baik lah, Pak Dean. Seperti nya, pertemuaan kita hari ini sudah cukup.Terima kasih untuk waktunya, Pak. Semoga kerjasama ini bisa berjalan lancar ke depannya."
Setelah berbasa basi sebentar, akhirnya Dean dan rekan kerjanya keluar dari ruangan itu. Tapi Dean tidak langsung pergi, dia mengedarkan pandangan kesetiap sudut ruangan kafe. Sambil berdoa dalam hatinya, agar Milly benar-benar menunggu. Tapi tidak ditemukan nya orang yang dia cari.
Terakhir Dean melihat ke bagian depan kafe. Tapi hasilnya masih sama. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Milly di sana.
Lama berdiri di depan kafe, akhirnya Dean memutuskan untuk pulang. Sesampai di dalam mobil, Dean menyenderkan punggunggung di kursi kemudi, dengan kepala yang mendongak kelangit-langit mobil.
Kecewa dan menyesal adalah dua hal yang dirasakan Dean. Menyesal kerena tadi, dia tidak meminta nomor ponsel Milly.
"Ahh ... apa mungkin, dia mau membagi nomor ponselnya? Dia begitu sulit untuk di dekati. Apa sekarang dia, masih sama seperti dulu?" Dean berbica sendiri.
Kemudian dia tersenyum mengingat akan tingkah lakunya dulu. Dan bagaimana Milly dulu nya. Milly yang seperti magnet bagi Dean. Apa yang ada di diri Milly, seperti selalu menarik di hati Dean.
"Apa masih mungkin?" hati Dean kembali berbicara.
Dean kemudian meninggalkan kafe itu. Berulang kali dia menengok ke belakang, berharap orang yang di tunggu-tunggu nya hadir. Tapi hasil nya masih sama.
Dean mengemudikan mobilnya dengan pelan menyusuri jalanan ibu kota yang padat. Kebetulan jalanan ibu kota sedang macet, karna bertepatan dengan orang-orang pulang bekerja.
Jika biasa nya, macet adalah hal yang sangat menyebalkan bagi Dean. Tapi kali ini Dean sangat menikmati nya. Hatinya sedang berbunga-bunga. Fikirannya sedang memutar memori-memori indah masa lalu.
Di temani dengan lagu romantis yang indah, Dean seperti menyaksikan mesin waktu, yang sedang menampilkan potongan-potongan kecil kisah cinta nya yang tak terbalas. Meski begitu, cinta itu sangat indah dan berbekas di hati Dean.
Pertemuannya tadi mengingatkan Dean ketika ia bertemu Milly untuk pertama kali nya. Dan saat itu juga Dean langsung jatuh hati pada nya. Gadis sederhana tapi sungguh mahal karena kecantikan paras dan hati nya.
Hari itu pertama masuk sekolah, dan semua siswa baru melaksana kan MOS. Semua siswa di bagi atas berapa kelompok, dan Dean satu kelompok dengan Milly. Ternyata tidak hanya cantik, Milly juga pintar, semua tugas yang di berikan oleh kakak pembina bisa mereka selesaikan dengan baik. Itu semua berkat adanya Milly. Saat itu Dean dan Milly bisa dekat dan bercanda ria dengan bebas.
Sampai suatu saat, ketika Milly berulang tahun, Dean yang memang sudah menyimpan perasaan pada milly, berinisiatif untuk memberian kejutan untuk nya. Waktu jam istirahat, Dean melihat Milly duduk bersama teman-temannya di pinggir lapangan basket sekolah.
Dengan sangat percaya diri, Dean meminjam mikrofon siswa yang sedang latihan bernyanyi.
Kebetulan minggu depan akan di gelar pentas seni di sekolah mereka.
"Slamat ulang tahun ... slamat ulang tahun
... slamat ulang tahun Milly, slamat ulang tahun."
Milly terlihat sangat kaget, tak ada sedikit pun senyum atau raut bahagia di wajah cantik itu. Wajah nya merona merah,entah malu atau karna marah. Sesaat kemudian dia langsung menunduk.
Meski begitu, Dean tetap tidak mensia-siakan kesempatan. Dia langsung berjongkok di hadapan Milly. Sambil memegang bunga mawar merah, yang diambilnya dari taman sekolah. Dean mengungkap kan isi hati nya.
"Maaf milly, jika aku lancang berbicara seperti ini. Tapi sungguh dari lubuk hati yang paling dalam, aku sudah lama menyukai mu. Semenjak pertama kali aku melihat mu, aku sudah jatuh hati pada mu. Aku mencintai mu Milly. Mau kah kamu menjadi pacarku?" lanjut Dean.
Setelah beberapa detik diam, kemudian sorak sorai para siswa yang menyaksikan itu terdengar sangat riuh.
"Terima ... terima ... terima."
Teriakan siswa yang lain. Ada juga yang bersiul-siul. Ada juga yang menyoraki Dean. Hati Dean deg-degan, karna dari tadi, Dean melihat Milly masih menunduk dan diam di tempat duduk nya. Kemudian Milly berdiri dan langsung meninggalkan Dean.
Ricuh kembali terdengar mengiringi langkah Milly. Bahkan ada beberapa siswa yang terang terangan mencemooh Dean. Tapi itu tidak membuat Dean berkecil hati atau marah. Malah dia tetap pada keyakinan nya untuk bisa memiliki Milly.
***
Milly baru saja tiba di kosnya. Setelah terlebih dahulu menemui ibunya. Milly langsung masuk ke kamar dan merebahkan dirinya di kasur. Kepalanya terasa berat dan sangat sakit. Masalah akhir-akhir ini, rasa nya tiada berhenti mendatangi nya.
Sambil menatap langit-langit kamar, Milly berusaha menenangkan dirinya.
Sesaat dia teringat akan kejadian tadi, bertemu dengan orang yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya oleh Milly, dan itu hanya menambah rasa kesal di hati Milly.
Tidur adalah hal yg diinginkan Milly saat ini. Meski susah memejamkan mata.Tapi karna benar-benar lelah, akhirnya Milly tertidur juga.
Dreeeed ... dreed ... dreead ....
Suara berisik dari ponsel Milly membangunkan nya.
Kepalanya terasa masih sakit dan malah bertambah dari yang dirasakan nya tadi. Bergegas Milly meraih ponselnya, yang kemudian berhenti berdering.
Milly kaget, ternyata sudah banyak panggilan masuk dari tadi. Dia benar-benar lelah, sehingga tidak cepat terbangun, saat ponselnya berbunyi dari tadi.
Milly merasa gelisah setelah tau siapa yang sudah menelpon nya dari tadi.
Milly melihat jam di ponselnya, ternyata dia bangun disaat waktu magrib sudah lewat tiga puluh menit.
"Ternyata sudah lewat waktunya sholat magrib, hari ini benar-benar membuat ku lelah. Lebih baik sekarang aku sholat dulu," guman Milly.
Apapun keadaan nya, ibadah sholat adalah hal yang tidak pernah di tinggalkan Milly. Kecuali saat dia datang bulan saja. Itu sudah menjadi kebiasaan Milly semenjak dia kecil dulu.
Ketika Milly berumur tujuh tahun dan dia sudah hafal bacaan sholat seutuh nya. Semenjak itu lah Milly tidak pernah melupakan sholat.
Ibunya adalah orang yang selalu mengajarkan dan mengingatkan itu pada Milly.
Milly pun beranjak mau berwudhu ke kamar mandi. Tapi, baru saja Milly mau meletakkan ponsel. Sebuah pesan masuk, membuat Milly urung melakukan nya.
(Apa keputusan mu? Saya tidak bisa menunggu lama. Pilihannya ada di tangan mu )
Sebuah pesan, dari nomor yang sama dengan yang menelpon nya tadi. Pesan itu dari bu Vania, atasannya di kantor tempat Milly bekerja.
Tadi pagi Milly mau meminjam uang kepada bu Vania. Tapi bukan nya mendapat kan uang itu. Milly malah di tawarkan solusi yang lain, oleh atasannya itu. Solusi yang membuat kepalanya menjadi pusing. Bukan hanya itu, bisa saja hal itu akan mendatangkan banyak masalah lain ke depan nya. Tapi Milly benar benar tidak punya solusi lain.
Milly kembali memegangi kepalanya yang terasa bertambah sakit. Pesan itu membuat nya semakin gelisah. Tidak ada sedikit pun keinginan Milly untuk membalas pesan itu.
Milly bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu, dan segera menunaikan ibadah sholatnya. Mencurahkan seluruh isi hatinya, dan berharap ada petunjuk yang akan di berikan Allah padanya. Berserah dan mendekat kan diri kepada Allah saat bersujud, akan sedikit menenangkan hati Milly.
Selesai melaksanakan sholat Magrib, Milly tidak langsung beranjak dari sajadahnya. Dia masih bersimpuh di atas sajadah itu, berdzikir dan melantunkan ayat suci Al qur'an, sambil menunggu datang nya waktu sholat Isya.
Suara perut Milly yang keroncongan, menandakan minta segera di isi, tapi sama sekali tidak di hiraukan Milly. Masalah ini, benar-benar membuat nya kehilangan selera makan. Dekat dengan sang pencipta lah yang di inginkan Milly saat ini.
****
Malam telah berganti pagi.
Matahari mulai muncul menggantikan bulan. Memberikan cahaya terang, menggantikan malam yang kelam.
Seperti hal nya kehidupan, pagi memberikan secercah harapan baru bagi setiap orang, untuk menjemput kehidupan yg lebih baik,setelah beristirahat sejenak di malam hari.
Meninggalkan lelahnya hari kemarin.
Berharap hari ini akan lebih baik dari hari kemarin.
Tapi, seperti nya itu tidak dirasakan Milly. Gadis cantik itu baru saja menaiki motor matic milik nya. Dia akan menuju aktivitas hariannya, bekerja disebuah perusahaan yang memproduksi berbagai macam produk kecantikan wanita.
Tempat yg memberikan kehidupan untuk Milly dan ibunya.
Ya, saat ini Milly memang sepenuh nya bertanggung jawab atas kehidupan ibunya. Ibu Milly yang sekarang sedang terkena stroke, harus ikut tinggal bersama Milly di kosnya.
Milly memboyong sang ibu, tinggal di kos dekat tempat dia bekerja, setelah rumahnya di kampung di sita oleh rentenir, karena digadaikan oleh ayahnya untuk membayar hutang judi. Ayah Milly meninggalkan ibunya sendiri di kampung dengan hutang yang sangat banyak.
Semenjak ayah nya tidak ada kabar, ibu Milly mulai sering sakit-sakitan, ditambah banyak nya orang yang datang menagih hutang. Itu membuat ibu Milly kesulitan dan tertekan.
Sebagai seorang istri yang mencintai suami nya, ibu Milly sangat cemas memikirkan keadaan ayahnya, takut terjadi apa-apa pada suaminya itu.
Enam bulan lama nya tanpa ada kabar dan tanpa tau keberadaan ayah Milly. Sampai suatu saat ibunya Milly mendapat kabar jika ayah Milly sudah menikah dengan seorang janda dari kampung sebelah dan sekarang tinggal di kota yang sama dengan tempat Milly kerja.
***
Hari itu, untuk memastikan kebenaran kabar nya, berbekal dari alamat yang di berikan oleh seseorang yang di kenal Milly, Milly dan ibunya pergi ke tempat tersebut.
Dan benar saja, mereka menemukan ayahnya Milly, bersama seorang perempuan di rumah itu. Ternyata betul jika mereka sudah menikah.
Ibunya Milly shock akan hal itu. Meski begitu ibunya Milly masih berusaha untuk membujuk ayahnya Milly untuk pulang bersama mereka. Tapi bukan nya luluh, ayah Milly dengan tegas menalak ibunya Milly saat itu juga.
Ibunya Milly yang shock dan juga dalam keadaan yang kurang sehat, seketika jatuh dan tidak sadarkan diri.
Dua minggu lama nya, ibu Milly di rawat di Rumah sakit dan dinyatakan mengalami stroke. Tubuhnya lemah dan tidak bisa bergerak seperti biasa nya.
Sudah banyak uang yang di keluarkan Milly untuk mengobati ibunya. Uang tabungannya yang juga tidak seberapa juga sudah habis. Beruntung Milly bisa meminjam uang di kantor tempat Milly bekerja. Dan di cicil setiap bulan nya saat dia gajian.
Sambil menata hati yang kecewa, terhadap sikap ayahnya, sekarang Milly fokus untuk melanjutkan hidup sambil menjaga sang ibu. Bersyukur, ia masih bisa tinggal bersama ibunya. Milly berjanji akan selalu merawat ibunya dan juga bertekat di dalam hati untuk selalu membahagiakan wanita yang telah melahirkan nya ke dunia ini.
Ibunya juga lah yang menjadi alasan Milly, untuk tetap semangat menjalani hidup.
Dua bulan berlalu, kini Milly sudah menerima semua yang terjadi dan dia pun bahagia bisa selalu bersama ibunya. Meski dengan keadan Ibu yang sedang sakit.
Sampai suatu hari, ketika Milly sedang di kantor, Milly mendapat telpon dari tetangga kos nya. Dia mengabari jika ada sekelompok orang mencari Milly dan menggedor-gedor pintu kosan Milly.
Milly pun meminta izin untuk pulang ke kos nya. Sesampai nya di sana, Milly kaget melihat ada sekitar lima orang laki-laki berbadan besar sedang menggedor gedor pintu kos nya.
Meski sedikit takut, Milly menemui orang itu dan menanyai siapa mereka.
"Maaf, bapak-bapak sedang apa di kosan saya, dan mencari siapa?" Dengan perasaan cemas Milly memberanikan diri untuk bertanya.
"Kami mencari pak Sapto, kami dapat kabar jika anak dan istrinya tinggal di sini. Kamu pasti anak nya pak sapto kan."
Seorang pria berkepala plontos yang menjawab pertanyaan Milly.
"Cepat bayar hutang bapakmu! Sudah lama bapakmu menghilang dan tidak membayar hutangnya. Kami tidak mau tau, sekarang juga kamu harus membayar lunas hutang beserta seluruh bunganya. Jika tidak kami akan menjebloskan ibu mu kepenjara," lanjut pria itu.
"Ibu? kenapa harus ibu? jangan melibatkan ibu dalam hutang ayah saya. Karena ibu sudah berpisah dengan ayah. Silahkan kalian mendatangi ayah dan tagih hutangnya kesana. Saya akan memberikan alamat rumahnya."
Dengan sedikit keras Milly menjawab perkataan pria itu.
Seorang teman pria tadi mendekat pada Milly.
"Maaf nona manis, setelah lama kami mencari bapakmu dan baru kemarin kami menemukan nya. Tapi sayang, dia tidak mau membayar hutang itu. Karna dia bilang hutang itu untuk ibumu, dan hutang itu benar di atas namakan ibu Rina Wijaya. Jadi, jangan mempersulit kami, pilihan mu hanya dua, bayar hutang bapakmu sekarang juga atau kami akan menyeret ibu mu ke kantor polisi," Ujar pria itu.
Seperti mendengar petir di siang bolong, Milly benar-benar kaget dan marah mendengar apa yang di katakan pria itu. Belum sembuh betul kecewa nya terhadap lelaki yang bergelar ayah itu, karena sudah mencampakkan dia dan ibunya.
Kenyataan kini ayahnya melimpahkan hutang pada ibunya membuat Milly benar-benar sakit hati.
Sudah hilang rasa hormatnya pada ayahnya itu. Kini hanya ada kebencian di hati Milly.
"Benarkah ayah berkata seperti itu?" lirih suara Milly bertanya. Dia berharap apa yang di dengarnya tadi salah. Tapi, satu anggukan dari kepala pria itu menandakan jika apa yg di dengar nya tadi adalah benar.
"Berapa hutang ayah?"
"Seratus lima puluh juta termasuk dengan bunga nya."
"Se ... seratus lima puluh juta, dari mana saya akan mendapatkan uang sebanyak itu. Saya benar-benar tidak punya uang sebanyak itu," jelas Milly.
Brukk ... brukk ... Brukk.
Belum hilang keterkejutan Milly dengan apa yang di dengar nya.Terdengar suara benda jatuh yang cukup keras dari dalam rumah. Bergegas Milly membuka kunci pintu. Dengan langkah cepat, Milly langsung lari kekamar ibunya, di ikuti oleh beberapa pria tadi.
Betapa terkejutnya Milly, mendapati ibunya sudah tergeletak di lantai kamar, dengan posisi terhimpit oleh kursi roda. Dimana tadi, kursi roda memang di letakkan Milly di samping tempat tidur ibunya.
Tanpa Milly sadari, dari tadi ibunya memang mendengar apa yang terjadi di luar. Karna kosannya memang kecil dan kamar ibunya berada di depan. Sehingga dengan mudah mendengar apa yang mereka bicara kan.
Cemas terjadi sesuatu dengan Milly, ibunya berusaha menjangkau kursi roda yang di letak kan Milly di samping tempat tidurnya. Tadi pagi di gunakan Milly untuk mendorong ibunya ke kamar mandi. Sebelum bekerja, Milly selalu mencuci badan ibunya. Lalu memberi makan dan obat. Sedangkan untuk buang air ibu nya sudah di pakekan diapers.
Siang hari, saat jam istirahat kantor, Milly akan pulang dan menyuapi ibunya makan. Lalu kembali lagi sebelum jam masuk kantor.
Tapi malang, belum lagi berhasil menaiki kursi roda itu, karna kondisi tangan dan kaki nya lemah, ibunya Milly terjatuh. Sedangkan kursi roda itu menimpa tubuh lemah nya.
Tanpa pikir panjang, Milly langsung mengangkat tubuh ibunya dan mendudukan di kursi roda. Tubuh ibu nya yang kurus tidak lah sulit bagi Milly melakukan itu. Tidak mau terjadi hal yang tidak di ingin kan, Milly bermaksud membawa ibu nya ke rumah sakit.
Tapi langkah nya di cegat oleh orang orang itu di pintu keluar rumah. Tadi ketika melihat ibunya jatuh, Milly jadi lupa dengan keberadaan mereka.
"Mau kemana kalian? bayar dulu hutang kalian, baru kalian boleh pergi," seseorang dari mereka berbicara.
Milly memohon dan berjanji akan melunasi hutang itu segera. Dia minta waktu untuk mencari uang terlebih dahulu. Meski dia sendiri tidak tau di mana dia bisa mendapatkan nya.
Setelah itu seorang dari mereka menelpon. Entah siapa yang mereka telpon.
"Baik lah, bos kami memberi mu waktu satu minggu. Satu minggu lagi kami akan ke sini. Uangnya sudah harus ada. Kami tidak mendengar alasan apa pun lagi. Jangan sekali sekali mencoba untuk kabur. Dan kami meminta KTP kamu untuk jaminan nya," ucap pria itu.
Perkataan pria itu, terdengar seperti ancaman di telinga Milly. Milly langsung merogoh tasnya, lalu mengeluarkan KTP dan memberikan pada pria tadi. Bagi Milly yang penting sekarang ibunya bisa segera di bawa ke rumah sakit.
Setelah mendapat KTP Milly, mereka semua pun pergi dari rumah Milly. Milly bergegas mengunci pintu dan memesan taksi untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Karena tidak memungkin kan, ia membawa ibunya menggunakan motor.
Milly baru saja sampai di kantor tempat dia bekerja. Setelah memarkirkan motornya di parkiran khusus karyawan, Milly bergegas masuk kantor. Mengisi daftar hadir, kemudian berjalan menuju ruangan kerjanya.
Baru saja memasuki ruang kerja, Milly langsung di hadang oleh Rara, teman satu ruangan Milly.
"Hai Mil ... selamat pagi, tadi bu Vania mencari mu. Dia berpesan, jika kamu datang temui dia keruangannya," kata Rara.
"Kira-kira ada apa ya, Mil, bu Vania mencari mu. Kamu gak melakukan kesalahan kan, sampai-sampai bu Vania mencari mu langsung ke sini. Biasa nya jika butuh sesuatu, bu Vania akan menyuruh sekretarisnya. Tapi kok sekarang dia turun tangan langsun ya," cecar Rara dengan raut wajah heran.
"Gak tau juga, Ra. Lebih baik sekarang aku ke sana dulu ya. Mungkin ada sesuatu yang penting, berhubungan dengan pekerjaan," bohong Milly.
Sebenar nya, Milly sudah tau betul apa yang akan di bicara kan bu Vania ke pada nya. Ini sudah di pastikan tentang pesan yang di kirim bu Vania tadi malam.
Setelah beberapa hari meminjam uang ke sana ke mari. Untuk membayar hutang ayahnya yang dibebankan kepada sang ibu. Milly tidak berhasil mendapatkan pinjaman. Mau cari kerjaan tambahan pun, rasa nya sangat mustahil untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam satu minggu.
Bingung harus mau gimana lagi, kemarin Milly memberanikan diri untuk meminjam uang lagi kepada bu Vania. Meskipun dia tidak yakin akan di berikan, karna hutang yang lama saja belum lunas.
Tapi tidak ada salahnya jika di coba dulu, fikir Milly waktu itu.
Setelah mencobanya, ternyata bu Vania tidak bisa memberikan nya. Alasan nya karna memang hutang Milly yang lama belum lunas dan bu Vania takut jika di berikan, karyawan yang lain akan iri dan ikut-ikutan juga seperti Milly. Milly pun mengerti dengan keputusan Bu Vania.
Tapi bu Vania juga memberikan pilihan bantuan kepada Milly. Lebih tepat nya kerja sama, dimana Milly dan bu Vania akan memperoleh keuntungan masing-masing.
Bagi Milly, dia tidak hanya mendapat keuntungan, tapi juga mendapatkan masalah, yang selama ini tidak pernah terfikir oleh Milly. Milly di berikan waktu satu hari untuk mempertimbangkan itu.
****
Dan disini lah Milly sekarang, berdiri di depan pintu ruangan bu Vania. Untuk memberikan keputusan nya akan tawaran itu.
Dengan sedikit ragu, Milly mengetuk pintu ruangan itu.
Tok ... tok ... tok.
"Masuk"
Terdengar suara dari orang yang ada di dalam. Dengan pelan, Milly mendorong pintu yang kebetulan memang tidak di kunci.
"Assalamualaikum"
"Waalaikum salam, masuk Mil," jawab bu Vania.
Masih dengan langkah pelan, Milly melangkah mendekat ke sofa, tempat bu Vania duduk menunggu nya. Dan ternyata, di sana bu Vania bersama seorang pria, Milly tidak tau, entah siapa pria itu. Karna Milly baru pertama kali melihat nya ada di kantor ini.
"Duduk, Mil."
Bu Vania mempersilahkan Milly duduk di sofa. Posisi duduk mereka berseberangan. Ada satu meja kecil di tengah nya.
"Mmmhhh ..."
Terdengan bu Vania menarik nafas panjang.
"Oh ya, Mil, perkenalkan ini pak Adrian."
Bu Vania membuka obrolan nya. Kemudian kembali diam seperti menjeda ucapan nya. Milly menatap sebentar ke arah pak Adrian, dan tersenyum pada pria itu. Kebetulan pak Adrian juga tersenyum ke pada Milly.
Kemudian Pak Adrian mengulurkan tangan nya untuk bersalaman dengan Milly. Milly membalas dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Melihat itu Pak Adrian kembali menarik tangannya dan menganggukkan kepala nya dua kali. Entah apa maksud anggukan kepalanya itu.
"Pak Adrian ini adalah suami saya, Mil," lanjut bu Vania. Suasana tiba-tiba saja berubah canggung. Semua seolah sibuk dengan fikiran masing-masing. Milly terlihat menundukkan kepala nya. Bermacam rasa bercampur di hati dan fikirannya.
Ruangan yang tadi nya sejuk, tiba-tiba berubah terasa panas oleh Milly. Rasa nya Milly ingin cepat cepat hilang dari ruangan itu.
"Jadi, apa keputusan kamu, Mil?"
Belum lagi Milly mampu menenangkan hati nya, bu Vania kembali mengajukan pertanyaan, yang membuat Milly semakin tidak merasakan sejuk nya AC, yang dari tadi hidup di ruangan itu.
Tadi Milly berfikir, jika ia hanya akan bicara ber dua dengan bu Vania. Ternyata kenyataan nya berbeda. bu Vania mempertemukan nya langsung dengan Pak Adrian.
"Milly, kamu baik baik saja kan?"
Setelah lama diam, bu Vania kembali menanyai Milly.
Dengan sedikit mengangkat kepala Milly melihat Bu Vania.
"Bismillah" Milly membaca basmalah dalam hati nya.
"Sa ... saya mau Bu, tapi saya punya satu permintaan. Jika Ibu setuju, maka saya juga akan setuju dengen permintaan Ibu.
"Baik lah, katakan apa permintaan, mu?" tanya bu Vania.
"Saya mau menerima tawaran Ibu, tapi saya mau suami Ibu menikahi saya terlebih dahulu."
"Jangan ngelunjak kamu ya, Milly. Mau merusak rumah tangga saya, kamu. Kamu fikir kamu siapa, mau menikah dengan suami saya. Sudah bagus saya bantu kamu. Bukan nya berterima kasih malah mau menikam saya.
Silahkan kamu keluar dari ruangan saya! Urus hutang mu sendiri, dasar tidak tau diri."
Bu Vania sangat marah terhadap Milly. Melihat Milly yang masih diam bu Vania langsung menyeret tangannya dan mendorong Milly ke arah pintu.
"Maaf Bu, seperti nya Ibu salah paham. Saya tidak akan pernah menghianati ibu, saya cuma tidak mau berbuat dosa."
"Licik kamu, Milly. Kamu fikir saya tidak tau niat kamu."
"Dengarkan penjelasan saya dulu, Bu. Saya mohon."
Milly memohon sambil berjongkok memegang kaki bu Vania.
"Saya tidak mau mendengar penjelasan apa pun. Jangan pura pura alim kamu, untuk menutupi niat busuk mu."
"Sayang, dengarkan dulu apa yang akan dia ketakan. Setelah itu kamu bisa mengambil keputusan nya."
Pak Adrian datang menenangkan istrinya.
"Mas ... kamu?"
Bu Vania tidak percaya dengan perkataan suaminya, yang seolah memihak pada Milly. Tadi saja sebelum bertemu Milly, dia mengatakan semoga saja Milly tidak mau. Tapi kenapa sekarang seolah kebalikan nya.
"Apa Mas Adrian terpincut akan kecantikan Milly?"
Hati kecil bu Vania mencurigai nya.
"Jangan salah paham dulu, sayang. Mas bukan membela nya. Tapi tidak salah juga kita mendengar penjelasan nya dulu." Seolah tau isi hati istrinya, Pak Adrian segera memberikan penjelasan nya.
"Baik lah, jangan berbelit belit, katakan apa maksud mu?"
Meski ada sedikit kecewa di hati nya. Bu Vania tetap mengikuti perkataan suaminya, dan kembali duduk si sofa.
Milly pun mengikuti untuk kembali duduk di tempat tadi.
"Cepat jelaskan apa maksud mu? jangan membuang-buang waktu saya. Setelah itu kembali bekerja. Saya membayar kamu di sini untuk bekerja, bukan untuk jadi pelakor," bu Vania berujar masih dengan penuh amarah.
Pak Adrian mengelus pundak istrinya. Seolah menyuruh nya sabar.
"Maaf Bu, saya tidak bermaksud seperti yang Ibu tuduhkan, hanya saja, saya tidak mau melakukan itu tanpa adanya pernikahan terlebih dahulu. Saya tidak mau berdosa Bu. Saya juga takut, jika tanpa pernikahan, akan berakibat buruk pada anak yang akan lahir nanti nya."
"Akibat buruk apa maksud mu? jangan mengada-ada kamu ya."
"Tenang dulu sayang, biarkan dia melanjutkan penjelasan nya," kata pak Adrian.
"Begini Bu, saya benar-benar takut berbuat dosa. Satu lagi jika tanpa pernikahan, anak yang lahir nanti tidak bisa bernasab pada ayahnya, yang mana di sini adalah suami Ibu. Jika nanti anak yang lahir itu laki-laki, mungkin tidak akan terlalu memerlukan ayahnya saat menikah, tapi jika anak itu perempuan, maka nanti pas menikah suami Ibu tidak bisa menjadi wali nya. Semua orang akan mengetahui rahasia ini. Akan buruk akibat nya buat anak tersebut dan juga akan mendatangkan masalah dalam keluarga besar Ibu. Saya yakin Ibu pasti tidak mau itu terjadi," Milly menjelaskan panjang lebar.
"Akhhh ... itu pasti akal-akalan mu saja kan." Meski hatinya membenarkan perkataan Milly, tapi diri nya belum bisa menerima itu.
"Ibu jangan takut, semua akan sesuai keinginan Ibu. Jika perlu Ibu bisa membuat surat pernyataan tertulis untuk saya. Bahwa saya tidak akan melakukan di luar yang Ibu perintahkan. Saya akan siap dengan konsekuensi nya," jelas Milly.
"Baik lah, saya terima syarat dari mu, jangan pernah sekali kali kamu mencoba berkhianat. Jika itu terjadi saya pastikan kamu dan keluarga mu akan merasakan akibat nya."
Setelah berfikir sebentar Bu Vania menyetujui nya. Dia meyakin kan diri nya jika semua tetap akan dalam kendali nya.
"Sekarang silahkan keluar, lanjutkan pekerjaan mu, nanti saya akan mengatur semuanya."
"Satu lagi bu," kata Milly.
"Kamu jangan coba-coba mengatur saya, ya. Apa lagi yang akan kamu katakan," bu Vania kembali terpancing amarah.
"Jika nanti anak itu lahir, Saya tidak pernah menjual nya, anggap saja Ibu mengadopsi nya karna saya tidak mampu mengasuh nya."
"Terserah kamu saja, saya peringatkan kamu, jangan sekali-kali membuka mulat pada siapa pun. Saya akan membuatkan surat perjanjian nya nanti ," Jelas bu Vania.
"Sekarang pergilah, lama-lama bisa banyak permintaan mu."
Milly pun bergegas pergi meninggalkan ruangan itu.
Berjalan dengan gontai, meyakin kan hati nya jika keputusan yang di ambilnya adalah keputusan yang terbaik. Semua di lakukan Milly demi ibunya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada sang ibu.
Sudah cukup penderitaan yang di alami ibu nya.
Biar lah ini di lakukan Milly, demi bakti nya pada seseorang yang pernah bertaruh nyawa saat melahirkan nya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!