NovelToon NovelToon

Bos Perkasa Mengejar Istri Nakal yang Kabur

Kabur Adventure Part 1 : Belum Apa-Apa Sudah Kualat

"Brengsek kamu Olla!"

PRANG!

PRANG!

PRANG!

Alvin membanting dan memporak-porandakan semua benda yang terlihat oleh matanya. Siang tadi—ya, benar, baru siang tadi dia menikah, tetapi malam ini pengantinnya kabur, hilang, dan lenyap. Sialan!

Wanita itu mahal sekali nilainya. Bukan hanya uang tetapi harga dirinya di bawa pergi oleh wanitanya.

"Sialan kamu, Olla!" Napas Alvin tersengal-sengal. Dadanya naik turun tak keruan. Sungguh kemarahannya tidak terkendali dengan tidak ditemukannya Olla dimanapun. Tak peduli ke lubang semut dia mencarinya.

Bibir pria itu terus mengumpat. Terlebih jika ingat senyum sang Ayah dan Kakak tirinya yang tamak dan serakah itu. Amarah Alvin menggelegak panas. Rasanya, sesak dan ingin meledak.

Sekitar dua jam yang lalu, Alvin terpaksa datang seorang diri menemui keluarganya, mengingat Olla belum juga ditemukan. Pikirnya, Andika Utama—ayahnya, bisa memaklumi jika Alvin membuat alasan yang masuk akal. Tetapi, Demian Perkasa—kakak tirinya, justru mempersulit keadaan.

"Vin, jaman sekarang ... bibir kita bisa berkata apa saja, bisa beralasan apa saja, tetapi Ayah tidak akan mengubah keputusannya hanya karena alasan konyolmu itu. Bawa Olla kemari, dan perusahaan ibu kamu akan aku serahkan! Mudah, bukan?"

Suara dan senyuman licik di bibir Demian itu membuat Alvin ingin menonjok rahangnya yang sudah sangat gendut itu. Matanya yang bulat berlapis lemak itu sepertinya pantas menerima bogem mentah nan kokoh seorang Alvin. Tetapi, pikiran jernihnya mengatakan; kemarahan tak terbendung hanya akan menimbulkan masalah baru dan merugikan diri sendiri, jadi dia bertanya sekali lagi ke Andika Utama. Alvin yang kesabarannya hanya setebal rambut dibelag tujuh, mencoba menahan diri.

"Ayah sudah melihat pernikahan ku, kan? Dan di depan begitu banyak orang yang Ayah kenal, apa aku berani membuat Ayah malu?" Alvin sepenuhnya menatap Ayahnya yang membentuk segitiga dengan tangannya di depan wajah.

Wajah Andika Utama terlihat menyurutkan senyum kemenangan barusan. Maksudnya Alvin apa? Keluarganya yang harmonis ini menyimpan sekam panas menyala? Andika Utama yang berkuasa tidak mampu meredam parasit kecil yang hendak membunuhnya? Itu bukan hal yang bisa diterima.

"Ada banyak orang yang Ayah kenal di sana, jadi aku menikahi Olla dengan kesungguhan, sepenuh hati, dan tidak main-main. Jika aku berbohong, atau membayar mereka, apa mereka tidak bertanya kenapa dan untuk apa aku melakukan hal hina seperti itu?"

Ya, pernikahan sandiwara adalah hal hina di mata Andika Utama. Dia sering menyebut itu demi membuat Alvin tidak bertindak macam-macam untuk merebut perusahaan mendiang ibunya.

"Sudahlah Vin—"

"Belum ada yang mesti di sudahi, Demian!" sela Alvin tidak sabar. Matanya nanar penuh amarah dan kekecewaan menatap Demian. "Aku sudah melakukan apa yang kalian minta, tanpa kebohongan dan tipuan, tetapi yang kalian janjikan tidak pernah kalian berikan! Jadi, apa aku bisa menyudahi?"

Demian sedikit khawatir akan perasaan dan dendam seorang Alvin. Mungkin memang ini ambang batas kesabaran pria itu, tetapi Andika Utama Tambang, tentu bukan sesuatu yang mudah untuk diberikan pada pemilik sesungguhnya, kan? Meski Andika Perkasa dan Perkasa Prima sudah berdiri, tetapi Andika Utama Tambang tetaplah sumber keuangan paling besar. AUT sudah menjadi jantung hidup mereka berdua.

"Bukan begitu, Al ... maksudku, meski kau tidak mengelolanya sendiri, kau tetap dapat keuntungan dari deviden dan gaji sebagai petinggi, kan?"

Alvin menatap Demian sinis. "Jadi kau sudah kehabisan cara untuk menghentikan ku, sehingga kau pilih jalan damai?!"

"Bukan begitu—"

"Demian benar," potong Andika dari kursinya. Ia menatap Alvin yang tampak syok tak percaya mendengarnya. "Ayah tetap pada prinsip Ayah. Olla harus datang di sini malam ini dan bersedia menjadi ibu dari anakmu, mengabdi sepenuhnya padamu, dan meninggalkan pekerjaannya sekarang."

"Dia sedang stres memikirkan tuntutan gila ini!" Alvin berang ingat soal itu. Olla bukan wanita yang mudah, meski sudah terlihat menyerah. Alvin belajar soal itu hari ini. Jadi sejujurnya, dia pesimis bisa membawa Olla ke hadapan dua manusia brengsek ini.

"Kalau begitu, dengarkan Kakakmu dan jadilah anak yang baik." Andika berdiri. "Kau menuntut terlalu banyak pada wanita yang katanya kau cintai itu!"

"Ta-tapi—!"

Andika berlalu begitu saja usai menatap Alvin tanpa belas kasihan.

Demian menipiskan bibir dan menepuk kedua belah pundak Alvin. "Ayah benar, jadilah pria dan suami yang baik sekarang, Alvin ... suatu saat, kau akan ada di posisi ini. Sekarang kau harus banyak belajar!"

Demian menatap miris adiknya, tetapi bagi Alvin itu adalah sebuah cemoohan yang menyakitkan.

Ini semua gara-gara Olla.

"Olla sialan!"

Alvin berteriak kencang hingga membuat telinga siapapun berdenging.

"NGGGINGGG!"

***

"NGGIIIING!"

"Ouch!" Olla secara refleks menutup telinganya yang pengang. Suara berdenging membuat tidurnya yang lelap terganggu.

"Suara apa tadi?!"

Dia di bis yang akan membawanya sampai di sebuah desa terpencil di Jawa Timur. Kepala Olla menoleh kanan dan kiri. Semua orang terlelap, sisa beberapa orang yang bicara dalam suara pelan di belakang.

Ia sejenak berpikir, lalu tersenyum saat mengetahui jawabnnya.

"Jangan mengumpati istri yang membuatmu kaya raya, Alvin Perkasa!" Ia terkekeh setelah gumamannya berakhir. Astaga, bebas itu begini rasanya.

Bye Mama, bye Alvin, bye masa lalu dan kota yang menyebalkan, selamat datang masa depan yang indah....

Hahaha, Olla tertawa senang dalam hati sampai ia tak sadar merentangkan tangannya ke atas.

"Mbak, tangannya kena mukaku ini loh!" seru orang di samping Olla yang mengerjap karena matanya kecolok tangan Olla.

"Eh, astaga! Maaf-maaf!" Olla langsung menurunkan tangannya cepat-cepat, tetapi sialnya malah menggeplak kepala pria itu. Keras sekali sampai tangan Olla mati rasa sejenak.

"Ouch!" pekik pria itu seraya memegangi kepalanya. "Mbak mau bunuh saya?!"

"Hah?!" Olla kaget saat pria itu berdiri dan berteriak, membuat orang-orang dalam bus terbangun dan memfokuskan perhatian ke arah mereka. Bahkan sopir sampai menghentikan laju bisnya. "Nggak-enggak!"

"Dia psiko—"

"Enak saja! Bukan ya!" Olla berdiri cepat-cepat dan sayangnya, tas miliknya yang tidak tertutup rapat terjatuh. Isinya berserakan.

"Lihat!"

"Wah iya ... dia bawa gunting!"

"Tasnya beneran terbuka loh!"

"Pasti memang udah direncanakan!"

Olla membeliak, lalu mengibaskan tangan ke arah para penumpang. "Itu nggak benar, saya ini dokter. Ini adalah perlengkapan medis saya!"

"Jangan percaya!"

"Kita bawa ke kantor polisi saja, siapa tau dia buronan! Lihat dia pake topi yang nutup wajah, masker dan jaketnya mencurigakan!"

"Iya, mirip buronan yang ngumpet!"

"Hah?!" Olla menunduk dan meraba kepalanya. "Astaga!"

Dia lupa kalau dia kabur dan demi tidak dikenali, dia memakai topi, masker, dan jaket kebesaran.

"Ya Tuhan, kualat sama suami, gue!"

Kabur Adventure Part 2 : Istriku Perampok Licik

"Haish!" Olla benar-benar kesal saat berada di pos polisi tak jauh dari lokasi bis berhenti. Ia menatap satu-persatu penumpang yang kembali naik ke bis. Dia barusan diinterogasi, pun dengan beberapa penumpang sebagai saksi juga pelapor.

"Ayo-ayo, cepat! Jangan sampai ada yang tertinggal!" perintah kondektur bis. "Kita lanjutkan perjalanan dengan tenang. Kita sudah aman!"

Olla mendelik mendengar ucapan kondektur tersebut. "Hei, maksud kamu apa? Kamu pikir aku ancaman?!"

Kondektur tersebut mengabaikan Olla sepenuhnya.

"Hei jangan ngawur! Ini salah paham! Aku bukan penjahat!" teriaknya histeris.

"Ck, kalau penjahat ngaku, penjara penuh dan polisi nggak ada kerjaan!" gumam sang kondektur sambil terus memastikan penumpangnya naik semua.

"Tapi aku beneran bukan penjahat!" Olla frustrasi.

"Oke, sudah lengkap semuanya! Berangkat yo!"

"Hey, apa maksudmu? Aku masih diinterogasi gara-gara kalian! Tungguin lah, kenapa malah mau ditinggal?!" Olla berlari lebih dekat ke bis.

Kondektur itu memutar tubuhnya dengan malas. "Apa kami sudah nggak waras, mau bawa penjahat lagi ke bis kami!?"

"Tapi, Pak—!"

"Mbak, kamu itu nggak bisa nelpon keluarga atau sodara kamu, dan nggak ada yang percaya sama kamu di sini! Jadi, polisi masih akan nahan kamu di sini sampai kamu terbukti salah atau enggak!" jelas si Kondektur menahan sabar.

"A-apa?" Astaga ... sial sekali!

Lagian dia sedang kabur, kalau nelpon orang rumah, pasti ketahuan kan? Olla berpikir cepat. Dia tidak akan begini jika bukan karena ulah bocah kurang ajar di sebelahnya tadi.

"Hei-hei ... mana bocah ingusan yang bibirnya lower tadi?!" Olla berjinjit demi mencari lelaki yang kelihatan masih muda tadi.

"Hei—kamu!" teriak Olla, "Kamu yang duduk sebelahan sama aku! Keluar kalau berani! Ini semua gara-gara kamu, ya! Sini turun hadapi aku!"

Si Kondektur yang tak tahan dengan suara Olla yang berisik, akhirnya menarik Olla menjauh dari bis

"Mbak udah!" ucap si kondektur pelan. "Saran saya, Mbak kasih tau keluarga Embak, biar dilepas sama polisi. Lagian selama belum masuk ke laporan resmi, kemungkinan bebas besar!" Kondektur itu terkekeh penuh arti.

Olla berdecih seraya membuang muka. Orang ini tidak tahu apa-apa, tapi sok tahu.

"Tidur di pos juga bukan sesuatu yang buruk kalau Mbak mau!' KOndektur itu menaikkan kedua alisnya, lalu berjalan mendekati pintu. "Yok, brangkat!"

Olla membeliak kaget. "hei! Nggak bisa gini dong!"

Ia mendongak, tepat saat seorang pemuda yang duduk di sebelahnya tadi mengintip dari tirai jendela.

"Hei, kamu!" Olla menuding pemuda itu seraya melotot. Astaga, dia kesal sekali pada anak kurang ajar yang langsung menarik lagi kepalanya dari jendela begitu ketahuan Olla.

"Hei!" Olla menggedor badan bis. "Berhenti!"

Tapi, tak seorangpun mengindahkannya. Olla benar-benar ditinggalkan di sini, sementara jarak ke kota tujuan masih sekitar 4 jam lagi.

"Astaga!"

Kualat gue!

Olla membatin seraya menatap sekeliling, kalut dan takut. Dia menguras ATM Alvin yang dengan bodohnya hanya diberi pin standart. Tanggal ulang tahun pria tersebut. Lalu mengambil uang di dompet dan makan di resto hotel dengan tagihan dibebankan ke Alvin.

Belum, ia berbelanja pakaian menggunakan kartu kredit pria itu. Haish sial!

"Bu Olla, bagaimana?"

Olla tersentak mendengar suara polisi di belakangnya. Ia langsung memutar badan dan berusaha bersikap normal.

"Keluarga sudah ada yang bisa dihubungi?" tanya polisi itu lembut.

Olla menggigit bibir saking galau bin dilema. Ini adalah jalannya menuju kebebasan dan hidup baru, apa iya dia harus kembali?

Bayangkan Mamanya?

Bayangkan orang-orang di sekelilingya?

Bayangkan si monster kepala botak itu! Haish, bisa-bisanya dia membuat mahkotanya rusak parah! Bahkan Olla harus membeli obat agar di sana tidak terasa nyeri.

"Nggak!' batin Olla mantap. "Aku harus bertahan! Jika memang harus bermalam di sini, maka mari kita jalani dan lalui sepenuh hati!"

Ingat kata Spongebob dan Squidward: dunia luar itu mengerikan. Alam bebas dan liar itu berbahaya, jadi biasakanlah.

"Maaf, Pak! Saya sebatang kara, tidak ada kerabat yang bisa saya hubungi, karena saya dianggap anak pembawa sial! Huhuhu!"

Olla menangis sehingga mengundang simpati si polisi. "Mbaknya di sini aman, besok setelah memastikan Mbak ngga bersalah, Mbak bisa lanjutkan perjalanan!"

Olla mencebik memelas, memeluk tas ranselnya erat-erat. Ugh, dia sudah mirip gelandangan.

Gelandangan kaya raya.

"Ya, Mas Alvin sudah menafkahi aku sebagai suami yang baik. Ckck, bahkan tidak bekerja selama 20 tahun juga tidak akan kelaparan!" Olla membatin seraya membayangkan uang yang ditabungkan Nahwa untuknya. Bahkan Nahwa mau membatu mengembangkan uang miliknya—uang Alvin maksudnya, sehingga dia bisa menadapat keuntungan secara berkala.

"Ah, Nahwa ... gimana aku balas kebaikan kamu."

***

"Gimana?" Alvin menghubungi seseorang yang begitu dia percaya. Dia masih di hotel dengan segala kekacauan buatannya.

Ia menyesap rokok kuat-kuat sampai tulang di lehernya terlihat semua sambil mendengar penjelasan dari orang di seberang. Tangan Alvin dibalut kain seadanya sebab terkena pecahan meja kaca yang dihancurkannya tadi.

"Sudah dapat lokasi tepatnya dengan pasti? Yakin ini bukan tipuan wanita brengsek itu?" Dia hanya memastikan. Sebagai orang yang terlihat lemah dan bodoh juga tidak berdaya, ia tidak boleh terlihat punya teman apalagi orang kepercayaan. Bahkan tak seorangpun tahu, Alvin punya perusahaan transportasi online juga ekspedisi. Sekarang, selain fokus merebut usaha milik ibunya, Alvin juga masuk ke jajaran pemegang saham terbesar di perusahaan timah.

Ckck, mereka tidak boleh tahu sekaya dan secerdas apa seorang Alvin ini. Dia super power, tapi belum selebar ayahnya dalam urusan lobi. Dia menjalankan usahanya sembunyi-sembunyi.

"Awasi terus wanita itu, aku sendiri yang akan menyeretnya kembali ke sini!" Alvin mematikan panggilan dengan kasar lalu meremas ponsel kuat-kuat. Mata pria itu menyiratkan kemarahan yang tak bisa padam meski hujan terus turun selama setahun.

"Lebih mudah kalau mereka berdua aku tembak isi kepalanya dari pada pakai cara halus begini! Sial, aku benci terlihat lemah dan bodoh seperti ini!" batin Alvin semakin erat meremas ponselnya, hingga luka yang semula kering, kini meneteskan darah kembali.

"Haish!" Alvin meninju tembok hingga tangannya mati rasa. "Sial!"

Dia benci jalan yang dianggap baik dan bermoral. Seorang ALvin lebih suka tindakan matikan di tempat dan diam-diam. Baik menggunakan taktik maupun senjata.

Alvin membuang napasnya kuat-kuat, lalu berbalik menuju sofa dan memakai jas untuk menutupi citra dirinya yang berantakan. Dia sudah mengurus check-out sejak tadi serta menyatakan kesediaan membayar kerugian.

Namun, baru saja memasukkan sebelah lengan ke jas, telepon kamar berdering. Alvin bergegas mengankatnya.

"Ya ...!?"

"Maaf, Pak Alvin ... Istri anda tadi makan di restoran dan billnya baru sampai ke saya. Jadi anda harus mentransfer lagi 3 juta rupiah."

Alvin mengeratkan gigi dan bibirnya. Seakan semuanya belum selesai, ketika telepon belum dimatikan, pintu terbuka, menampakkan sosok Devon—orang kepercayannya, dengan ekspresi tegang dan mengerikan.

"Dia menguras uang anda, Pak!"

"Shiiit!" Alvin berteriak seraya menendang apa saj ayang ada di dekatnya."Kita datangi wanita sialan itu sekarang juga!"

Kabur Adventure Part 3: Musibah Yang Menyelamatkan

"Kosong, Pak!" lapor pria berbadan tegap yang baru masuk dan duduk di balik kemudi. Raut wajahnya terlihat ketakutan, tetapi dia segera mengambil ponsel untuk memeriksa alamat yang dibagikan oleh seseorang di partai.

"Sudah pasti di sini, kan?!" Alvin memandang berang sebuah rumah yang tampak kosong. Padahal ketika berangkat ke sini, dia ingin langsung meratakan tempat ini, ingin mencabik si Olla itu hingga lumpuh kalau bisa. Bahkan, Alvin membawa tongkat baseball kesayangannya, sudah dipoles hingga mengkilap.

Tapi sial sekali, ketika tiba di sini, baunya Olla saja dia tidak tercium sama sekali. Terpaksa Alvin menahan diri, jika tidak ... mereka akan ketahuan pernah kemari dan hanya akan membuat mangsa makin waspada, hingga akhirnya susah ditemukan.

Alvin menghitung jarak antara kedatangan Olla dengannya. Harusnya jarak mereka tiba tidak terlalu lama, tapi ini sudah hampir setengah jam tidak ada tanda-tanda munculnya ujung hidung wanita tesebut.

"Hei jawab!" bentak Alvin seraya menendang belakang kursi kemudi, tepat di bagian kepala.

"Saya sudah memastikan dengan pihak partai yang mempekerjakan Dokter Olla, Pak ... saya yakin sekali—"

"Tapi apa buktinya?!" Alvin makin geram sehingga langsung menempeleng kepala sopir sekaligus mata-matanya ini. "Kau sudah membuang waktuku, kau tau?!"

Pria bernama Sony itu menunduk, gemetar hingga nafasnya susah keluar, "Saya tidak bermaksud, Pak ... tapi, saya sungguh tidak salah baca atau salah lihat. Saya menemui orang partai itu secara langsung!"

"Bodoh!" sembur Alvin. Bisa-bisanya malah datang terang-terangan. "Kau tahu kan, kita siapa?"

"Maaf, Pak!" Sony sekali lagi menunduk dan memejamkan mata rapat-rapat. Dia yakin, dia tidak ketahuan, dan tidak salah baca. Dia melakukannya dengan mulus.

Alvin makin meradang hingga dia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia mendengkuskan napas keras sampai Sony tidak berani bernapas.

"Biar saya tanya ke warga sekitar dulu, Pak!" Sony berusaha menenangkan bosnya. Perlahan dia turun, tanpa membuat suara sedikit pun.

Alvin hanya melirik sekilas Sony. Terserah saja mau melakukan apa, Alvin tidak peduli. Yang dia tahu, rumah itu kosong dan Olla masih tersangkut entah kemana. Sialan wanita itu!

Tak selang sepuluh menit, Sony datang dengan tangan dan tubuh makin gemetar. Dan Alvin tidak perlu bertanya untuk mengetahui apa hasilnya.

"Shiiiiiit!" Kakinya yang panjang kembali menerjang jok di depannya. Jika saja tidak malu, ingin rasanya Alvin menangis saking frustrasinya, tetapi baginya menangis adalah kelemahan.

Dia harus bagaimana untuk membuat ibunya tersenyum di surga? Wanita cantik kesayangannya itu pasti tersiksa melihat keserakahan suaminya dan ketidakberdayaan anak satu-satunya ini.

"Olla sialan! Dimana kamu sembunyi, brengsek!" geram Alvin.

"Tolong jangan umpat istri berharga anda, Pak," pinta Sony takut-takut. Wanita secantik itu kenapa di umpat begini, sayang bener.

Alvin mendelik kesal seraya memajukan tubuh ke depan. Ia meraih kerah baju Sony dan mengayunkan tinjunya.

Sony ketakutan hingga memejamkan matanya rapat.

Alvin berdesis marah dan menarik lagi tangannya. Haish ...!! Peruma juga menghajar Sony. Dia tahu, Sony sudah berusaha.

***

"Entah ini pilihan yang benar atau tidak, tapi rasanya terlalu berat bagiku!" Olla memijat lengannya yang sakit dan kaku, setelah semalam digunakan sebagai bantal. Dia tidur di bangku kayu panjang, digigit nyamuk hingga pipi dan kakinya banyak bekas merah juga barut akibat digaruk.

Mata Olla menatap kosong ke jalanan yang mulai ramai. Polisi juga entah pergi kemana. Sesekali ia menggosok hidungnya yang mampet. Rasanya dia akan terkena flu. Haish ... menyebalkan. Menyerah saja nggak sih? Kembali ke rumah dan menjadi ....

Olla langsung berdiri, membeliak dan dendam menyala lagi di matanya begitu ingat Alvin beserta kekejamannya. "Nggak! Nggak bisa begini!"

Tapi ... kalau nekat ke desa itu, dia masih akan di sini sampai entah kapan!

Olla terduduk lemas. "Ya ampun! Kenapa aku baru merasa nggak berdaya sekarang sih?" Ya, betapa lemahnya dia.

"Kenapa aku nggak kabur aja sih? Ngapain aku bengong di sini?" Olla berdiri dan mengikat rambutnya yang berantakan. Ia meraih tas dan memeriksa isinya. Memang ada gunting dan perlengkapan medis lain, yang akan ia gunakan untuk bekerja selama di desa. Ia hanya berjaga kalau membutuhkan alat tersebut nanti.

Olla bisa menunjukkan kalau dia dokter, hanya dia tidak punya surat tugas atau semacamnya. Lagipula, dia bisa ke sini karena bantuan seseorang di partai dan Vincent. Jadi ... karena terdesak dia terpaksa meminta bantuan Vincent—terpaksa sekali ya, ingat—walau dia benci pria itu setengah mati.

Pria itu memang punya pengetahuan yang bagus soal lowongan kerja, terkenal di kalangan dokter, tetapi pria itu selalu saja bersikap dingin dan tidak mudah. Olla malas berdekatan dengannya. Sumpah.

"Cih, dasar pria aneh!" maki Olla seraya membuang ludah. Meski dia tetap berterimakasih, tapi mumpung Vincent tidak melihat jadi tidak masalah meluapkan kekesalan.

"Ah, kebetulan—"

"Oo-oow!" Olla terhuyung mundur saking kagetnya saat seorang polisi muncul begitu saja di depannya. Polisi itu juga sama kagetnya dengan Olla.

"Ya ampun, Bu Dokter!" Polisi itu mengusap dadanya. "Ngagetin aja!"

"Bapak yang ngagetin!" bentak Olla seraya menguasai dirinya kembali. "Jadi saya boleh pergi, kan, Pak?"

Polisi itu tertawa kecil. "Boleh-boleh! Kami akan antar ke kota tujuan dengan selamat sebagai bentuk permintaan maaf!"

"Saya bisa naik bis, Pak ... nggak usah repot! Lagian saya nggak apa-apa—haatcing!"

Olla bersin sangat keras.

"Nah kan, Bu Dokter nggak usah sungkan. Sudah kewajiban kami untuk melindungi warga kami!" Polisi itu tersenyum seraya menyilakan Olla keluar.

Olla mendengkus tak suka. Tapi dia tetap berjalan keluar.

"Mari Bu Dokter." Polisi itu membukakan pintu segala, tersenyum seperti seorang sopir penjilat yang ada di film-film.

Olla menatap sekeliling. Polisi lain juga tersenyum.

Ya sudah sih, nggak mungkin Polisi berniat jahat padanya. Dia dokter. Pasti bisa melakukan sesuatu nanti. Tasnya penuh benda tajam. Em, maksudnya gunting tadi. Dia tidak punya pisau bedah, karena dia bukan dokter bedah.

Begitu Olla naik, polisi di luar sana langsung berbicara satu sama lain.

"Dia dokter dari partai P, yang kerja sama dengan pejabat di kota itu. Mengingat ada beberapa desa yang belum ada dokternya, jadi Dokter ini yang ngisi. Ya taulah, tahun depan kan pemilu. Jadi mereka sedang ambil hati agar banyak yang milih."

Olla mendengarnya dengan jelas sebab kaca mobil tidak tertutup sepenuhnya.

"Selain itu, aku khawatir dia bukan orang sembarangan, lalu menuntut balik karena salah tangkap. Lagian semalam agak menakutkan, kan? Kelihatannya dia bukan orang yang lemah dan menyerah gitu aja! Lihat semalam dia bahkan nggak merengek atau apa. Tidur saja tenang gitu, padahal dia orang kota!"

Olla tersenyum sinis. Jadi begini biar terlihat tangguh? Jadi apa sikapnya dulu membuatnya terlihat lemah? Ah, boleh dipraktekkan sikapnya yang ini. Tidak mengeluh, tidak merengek, dan tenang.

"Kita berangkat ya, Bu!"

Olla dan polisi itu saling pandang melalui kaca spion tengah. Mereka saling melempar senyum. Olla tersenyum licik, sementara polisi itu sedikit takut.

"Bapak tau kan, saya bisa melaporkan balik tindakan Bapak semalam?"

Polisi itu membeku. "Bu—"

"Tapi bisa saja tidak kalau Bapak mau bantu saya."

Keduanya saling pandang lagi. Lagi-lagi, senyum licik Olla keluar. Dan membuat polisi itu sedikit gemetar. Apa mau wanita ini?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!