NovelToon NovelToon

Anak CEO Yang Tersembunyi

Semalam bersama

Drrttt drrttt drrttt...

Jam alarm di ponsel Arkan berbunyi.

Waktu saat ini, sudah menunjukkan jam setengah lima pagi. Arkan dan Arumi masih berbaring di dalam satu selimut yang sama dalam keadaan tubuh polos tanpa busana.

Setelah semalam mereka melewati malam penuh gairah, akhirnya mereka pun terlelap.

Arkan yang merasa terganggu dengan suara alarmnya, mengerjapkan matanya. Dia terkejut saat melihat Arumi tidur di sisinya.

Arkan beringsut duduk dan menyingkap selimutnya. Dia kembali terkejut saat dia dalam keadaan tidak berbusana.

"Apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa Arumi bisa tidur di sini bersamaku. Dan apa yang sudah kita lakukan semalam," ucap Arkan.

Arkan mencoba untuk mengingat kejadian apa yang sudah terjadi semalam. Namun Arkan sama sekali tidak mengingat sesuatu.

Arkan buru-buru membangunkan Arumi.

"Arumi, bangun Arumi," ucap Arkan dengan suara serak khas bangun tidur.

Arumi mengerjapkan matanya dan terbangun saat mendengar suara Arkan. Arumi terkejut saat melihat ke sampingnya tidur.

"Tu-tuan Arkan," ucap Arumi dengan tubuh gemetaran.

Arumi buru-buru beringsut duduk. Dia mengangkat selimutnya dan langsung menutupi bagian tubuhnya dengan selimut.

Arumi masih ingat betul bagaimana kejadian semalam. Sementara Arkan sama sekali tidak mengingat apa yang sudah dia lakukan ke Arumi semalam, karena semalam Arkan mabuk.

"Arumi, bisa kamu jelaskan apa yang terjadi semalam Arumi?" tanya Arkan datar.

Arumi tidak langsung menjawab pertanyaan Arkan. Dia yang ditanya hanya bisa menangis.

Arkan menatap Arumi tajam. Dia kemudian memegang ke dua bahu Arumi dan mencengkeramnya dengan kuat.

"Arumi. Ayo katakan sama aku! apa yang terjadi semalam Arumi...!" Arkan sudah meninggikan nada suaranya, yang membuat Arumi ketakutan.

"Tu-tuan, semalam mabuk. Dan Tuan, semalam memaksa aku untuk melakukannya," jelas Arumi yang masih tampak gugup.

"Melakukan apa!" Arkan melotot ke arah Arumi.

Dengan tubuh bergetar, Arumi berkata. "Tu-Tuan sudah menodaiku semalam."

"Apa! nggak mungkin itu Arumi. Kamu jangan bohong Arumi...!"

"Untuk apa aku bohong. Tuan lihat sendiri kan sekarang, kenapa aku bisa ada di sini. Dan lihat keadaan kita. Ini semua karena perbuatan bejat Tuan," ucap Arumi menegaskan.

Arkan menatap Arumi nanar. Rahangnya sudah mulai mengeras. Dia kemudian mengepalkan tangannya geram. Sepertinya dia marah pada Arumi.

Arkan memungut bajunya yang ada di lantai. Dia kemudian memakai baju itu. Setelah rapi, Arkan turun dari tempat tidurnya. Dia kemudian mengambil baju Arumi yang masih tergeletak di lantai. Dia kemudian melemparkan baju Arumi sampai mengenai wajah Arumi.

"Pakai bajumu. Dan jangan pernah kamu ceritakan ke siapapun masalah kita semalam," ucap Arkan dengan tatapan yang begitu dingin.

Arumi sejak tadi masih menangis. Sementara Arkan tidak berhenti bicara dan terus mengancam Arumi.

"Kalau kamu sampai ceritakan kejadian semalam pada orang tuamu, atau pada siapapun, aku akan hancurkan keluarga kamu Arumi. Bila perlu, aku akan usir kalian dari rumahku. Biar kalian jadi gembel sekalian," ancam Arkan.

****

Semalam, Arkan pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Dan Arumi yang membawa Arkan masuk ke dalam rumah dan membawanya sampai ke dalam kamar.

Namun, apa yang terjadi saat di dalam kamar Arkan. Arkan memaksa Arumi untuk berhubungan dengannya.

Arumi sangat sayang sama kedua orang tuanya. Arumi tidak mau terjadi apa-apa sama ke dua orang tuanya. Arkan mengancam Arumi akan membuat keluarga Arumi hancur. Dan Arumi takut ancaman Arkan itu tidak main-main.

Arumi sudah mengenal betul siapa Arkan. Dia tidak pernah main-main dengan ucapannya. Arkan sangat berbeda sekali dengan Mahendra ayahnya, yang terkenal baik dan bijaksana.

Arkan, Dia lelaki yang angkuh, keras kepala dan sulit untuk di atur. Dia juga sosok lelaki yang kejam.

"Hiks...hiks...hiks..." tangis Arumi masih terdengar nyaring di dalam kamar Arkan.

Arkan menatap tajam ke arah Arumi.

"Kenapa kamu malah nangis di sini? cepat sana pergi dari kamar aku...!" sentak Arkan.

Arumi mencoba memberanikan diri untuk menatap Arkan.

Arkan, lelaki tampan namun tak tersentuh. Hatinya beku seperti es. Dia tidak pernah mau mengenal yang namanya cinta.

Sejak ibunya pergi meninggalkan ayahnya dengan lelaki lain, dia seakan membenci semua wanita. Dia fikir, semua wanita itu sama seperti ibunya.

"Tu-tuan Arkan, aku takut. Aku takut hamil..." ucap Arumi dengan berderaian air mata.

Arkan terkejut saat mendengar ucapan Arumi.

Hah, hamil. Duh, bagaimana kalau wanita ini hamil. Apa yang harus aku lakukan kalau Arumi sampai hamil, batin Arkan.

"Hamil?" Arkan menatap Arumi tajam.

Arumi mengangguk.

"hiks...hiks... Iya Tuan Arkan. Aku takut aku hamil, karena semalam, kita tidak melakukannya cuma satu kali. Tapi..."

"Sudah cukup! hentikan bicaramu. Sekarang, aku minta sama kamu, pergi dari kamarku...! jangan menangis di sini, dan jangan membuat semua orang curiga kalau semalam kamu tidur bersamaku di kamar ini."

"I-iya Tuan."

Arumi memungut bajunya yang berserakan di atas tempat tidur Arkan. Dia kemudian memakai bajunya kembali.

Arumi akan beranjak pergi dari tempat tidur Arkan, namun rasanya sulit sekali. Karena dia masih merasakan perih di kedua pangkal pahanya.

"Kenapa kamu malah duduk ! Ayo pergi dari sini...!" Arkan sejak tadi sudah mengusir Arumi. Namun Arumi belum mau pergi juga dari kamarnya.

Arkan takut jika kelamaan Arumi berada di kamarnya, akan ada orang yang melihat mereka berdua di dalam kamar.

"I-iya Tuan," ucap Arumi dengan terbata.

Aku harus kuat, aku harus pergi dari kamar terkutuk ini. Kalau sampai Tuan Mahendra tahu aku ada di sini, bisa marah besar dia sama aku dan Tuan Arkan," batin Arumi.

Arumi turun dari tempat tidur Arkan. Dengan langkah berat, dia kemudian pergi meninggalkan kamar Arkan.

Arumi menuruni anak tangga dengan perlahan. Dia berjalan ke arah paviliun yang ada di belakang rumah Tuan Mahendra.

Ya, selama ini Arumi tinggal di sebuah paviliun yang letaknya terpisah dari rumah utama Tuan Mahendra.

Dia tinggal bersama ibu, ayah, dan kakak perempuannya. Sementara pembantu yang lain, tidur di kamar pembantu yang sudah disediakan di belakang rumah Tuan Mahendra.

Hanya keluarga Arumi saja yang dispesialkan oleh Tuan Mahendra, dan diberikan paviliun yang letaknya ada di belakang rumah Tuan Mahendra.

Karena mereka sudah mengabdi lama di rumah Tuan Mahendra. Mungkin sejak Arkan dan Arumi kecil mereka sudah bekerja di rumah keluarga Mahendra.

"Arumi. Kamu dari mana?" tanya Hesti ibu Arumi tiba-tiba.

"Ibu. Aku... aku nggak dari mana-mana," ucap Arumi tampak gugup.

Bu Hesti menatap wajah anaknya yang tampak pucat.

"Kamu kenapa Arumi? kamu nggak apa-apa kan? wajah kamu pucat?"tanya Bu Hesti.

Arumi menggeleng.

"Aku... aku nggak apa-apa Bu."

"Mata kamu sembab. Kamu habis nangis?"

Noda

"Mata kamu sembab. Kamu habis nangis?" tanya Bu Hesti.

Arumi kembali menggeleng.

"Aku nggak apa-apa Bu. Aku mau ke kamar, aku mau mandi dan mau siap-siap untuk ke kampus," ucap Arumi.

"Oh, ya udah sana. Jangan lupa ya, nanti bantu-bantu ibu di dapur."

Arumi mengangguk. Setelah itu dia melangkah untuk ke kamarnya.

Bu Hesti masih menatap Arumi, sampai Arumi menghilang dari hadapannya.

"Arumi kenapa ya, wajahnya pucat banget begitu jalannya juga beda. Apa dia lagi sakit," ucap Bu Hesti.

Bu Hesti sama sekali tidak tahu, kalau semalam Arumi tidak tidur di kamarnya. Melainkan semalaman dia tidur di kamar Arkan anak majikannya.

Bu Hesti kemudian melanjutkan untuk ke dapur. Karena setiap pagi, dia harus memasak untuk Tuan Mahendra dengan Arkan dan menyiapkan sarapan sebelum mereka berdua pergi ke kantor.

****

Sesampainya di depan kamar, Arumi membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Dia kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Arumi menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Dia kemudian duduk di sisi ranjangnya.

Arumi kembali menangis saat dia diingatkan dengan kejadian semalam, saat Arkan menodainya.

Arkan sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang sudah dia lakukan ke Arumi. Arkan justru mengancam Arumi agar dia mau tutup mulut dengan semua perbuatannya semalam.

Arumi menghela nafas dalam. Dia kemudian mengusap air matanya.

"Aku nggak boleh nangis. Aku harus bisa menyembunyikan semua masalah ini dari ibu, ayah dan Mbak Lira. Mereka nggak boleh tahu, dengan hubungan satu malam aku dengan Tuan Arkan. Mudah-mudahan saja aku nggak hamil," ucap Arumi.

Dia masih takut dengan ancaman-ancaman Tuan mudanya. Ucapan-ucapan kasar Arkan tadi, masing terngiang-ngiang jelas di telinga Arumi.

Arumi adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ke dua orang tua Arumi sudah mengabdi lama menjadi pelayan di keluarga Mahendra, keluarga kaya raya yang cabang bisnisnya pun menyebar di seantero negeri.

Di rumah besar tiga lantai, Tuan Mahendra hanya tinggal bersama Arkan Mahendra. Anak satu-satunya yang dia punya.

Sejak perceraiannya beberapa tahun yang lalu dengan Anita, ibunya Arkan, Tuan Mahendra memilih menduda sampai usianya sudah memasuki setengah abad.

Tuan Mahendra sepertinya juga trauma untuk punya istri lagi. Pengkhianatan Anita, sudah menyisakan luka yang mendalam untuk Tuan Mahendra dan Arkan anaknya.

Arumi bangkit dari duduknya. Setelah itu dia mendekat ke arah cermin riasnya. Arumi terkejut saat menatap lehernya. Banyak bekas merah yang sudah Arkan tinggalkan di lehernya.

"Ya ampun, apa ini. Aku yakin, ini pasti ulahnya Tuan muda. Bagaimana caranya aku menghapus noda-noda ini. Apakah tadi ibu melihatnya," ucap Arumi yang sudah merasa resah saat melihat bekas-bekas merah itu.

"Mudah-mudahan tadi ibu nggak melihat ini. Aku harus pakai syal nanti kalau ke kampus," ucap Arumi sembari mengusap-usap tanda merah dilehernya yang susah untuk dia hilangkan.

Arumi mengambil handuk. Setelah itu dia berjalan untuk ke kamar mandi. Kebetulan kamar mandi Arumi ada di dalam kamar. Jadi, dia tidak harus keluar kamar untuk mandi.

Arumi mengguyur tubuhnya dengan shower. Dia menggosok-gosokan tubuhnya untuk menghilangkan bekas sentuhan-sentuhan Arkan semalam.

Selesai mandi, Arumi ganti baju. Dia mencari syal yang ada di lemari bajunya.

"Duh, kemana ya syal aku. Aku harus pakai Syal. Kalau nggak, semua orang akan curiga sama aku. Pasti mereka fikir, aku sudah di apa-apain lagi sama pacar aku."

Arumi kemudian memakai syal itu untuk ke kampus. Berharap tidak ada orang yang tahu hubungan satu malamnya dengan Arkan.

Setelah rapi, Arumi keluar dari kamarnya. Seperti biasa, dia akan membantu ibunya di dapur untuk memasak.

"Bu," ucap Arumi setelah sampai di dekat ibunya.

Bu Hesti menatap Arumi lekat.

"Tumben kamu pakai syal. Kamu lagi sakit?" tanya Bu Hesti.

"Iya Bu. Aku sebenarnya lagi nggak enak badan. semalam aku kedinginan."

"Oh. Ya udah sini bantuin ibu. Biar masakan ibu cepat matang. Sebentar lagi, Tuan muda dan Tuan Mahendra turun ke bawah."

"Iya Bu."

Arumi sudah tidak ingin memikirkan kejadian semalam. Dia mencoba untuk bersikap seperti biasa di depan keluarganya, Arumi tidak mau ada yang curiga padanya.

"Bu, Mbak Lira mana? dia mau ke kantor kan?" tanya Arumi.

"Mbak kamu sudah pergi kerja Arumi dari tadi."

"Oh, dia sudah duluan berangkat ya? tumben cepat."

"Iya. Tadi di jemput sama pacarnya. Kamu berangkat sendirian aja."

"Iya Bu"

Lira kakak Arumi sekarang sudah bekerja di kantor besarnya Tuan Mahendra. Tuan Mahendra sudah memberikan posisi yang bagus untuk Lira di kantornya. Dan Tuan Mahendra juga saat ini, masih membantu membiayai kuliah Arumi.

****

Di kamarnya, Arkan tampak sudah rapi dengan baju kantornya. Sebelum pergi, dia menyisir rambutnya.

Arkan menatap pantulan dirinya di depan cermin.

"Apa ya, yang sudah aku lakukan semalam pada Arumi. Jangan-jangan aku memang sudah ngapa-ngapain dia lagi," ucap Arkan.

Arkan mencoba untuk mengingat-ingat apa yang sudah terjadi semalam. Namun, Arkan belum bisa mengingat sepenuhnya apa yang sudah dilakukan pada Arumi.

Arkan menghampiri tempat tidurnya untuk mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Arkan terkejut saat melihat bercak merah ada di atas sepreinya.

"Ya ampun, jangan-jangan itu darah. Nggak, Bik Hesti nggak boleh lihat darah ini. Aku harus menyembunyikan seprei ini."

Arkan melepas seprei itu dari kasurnya. Setelah itu dia menyembunyikan seprei itu di tempat yang aman.

"Aku harus jaga semua rahasia ini. Jangan sampai ada orang yang curiga dengan hubungan satu malam aku dengan Arumi," ucap Arkan.

Arkan kemudian mengambil tas kantornya dan pergi keluar dari kamarnya. Arkan turun ke lantai bawah dan berjalan ke ruang makan.

Arkan menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi meja makan. Dia kemudian mengambil ponselnya dan membalas chat-chat penting yang masuk ke dalam ponselnya.

Beberapa saat kemudian, Tuan Mahendra turun dari lantai atas. Karena kebetulan kamar Tuan Mahendra dan anaknya memang ada di lantai atas.

Tuan Mahendra berjalan ke meja makan. Dia kemudian duduk di sisi Arkan.

"Arkan," ucap Tuan Mahendra.

"Iya Pa." Arkan menatap ayahnya lekat.

"Bagaimana kerjaan kamu di kantor?" tanya Tuan Mahendra pada anaknya.

"Baik Pa. Nggak ada masalah, untuk saat ini," jawab Arkan datar.

"Arkan, kamu sekarang harus serius dengan pekerjaan kamu. Papa sudah memberikan posisi yang paling tinggi di kantor Papa. Papa harap, kamu nggak mengecewakan Papa nantinya."

"Papa tenang saja, aku pasti bisa seperti Papa, karena aku anak Papa," ucap Arkan yang membuat Tuan Mahendra tersenyum.

"Bagus Arkan. Kamu harus bisa membuktikan ke Mama kamu, kalau kamu memang anak yang bisa di andalkan. Biar Mama kamu lihat, bagaimana didikan Papa pada seorang Arkan Mahendra."

Satu meja

Arumi berjalan ke arah meja makan, sembari membawa semangkuk sup. Dia kemudian meletakan mangkuk itu di atas meja makan.

Pak Mahendra dan Arkan menatap Arumi tak biasa. Nampaknya mereka heran dengan penampilan Arumi saat ini.

Biasanya rambut panjang Arumi selalu di ikat ke atas. Dan saat ini, Arumi membiarkan rambutnya tanpa ikatan.

Arumi juga tidak pernah menggunakan syal. Dan sekarang dia menggunakan syal. Semua orang tidak tahu, kalau Arumi sedang menutupi tanda merah di lehernya.

"Arumi. Kamu kenapa? kamu sakit?" tanya Pak Mahendra pada Arumi.

Arumi menggeleng.

"Aku tidak apa-apa Tuan," jawab Arumi.

"Kalau kamu sakit, minum obat dong. Dan nggak usah ke kampus dulu," ucap Pak Mahendra.

Pak Mahendra memang selalu perhatian pada semua pembantunya. Apalagi itu Arumi. Dia sudah menganggap Lira dan Arumi seperti anaknya sendiri. Karena Pak Mahendra tidak punya anak perempuan.

"Iya Tuan."

Setelah meletakkan mangkuk itu di atas meja, Arumi memutar tubuhnya. Dia akan melangkah pergi, namun Pak Mahendra buru-buru memanggilnya.

"Arumi."

Arumi menoleh ke arah Pak Mahendra.

"Iya Tuan."

"Arumi, kamu mau ke mana?" tanya Pak Mahendra.

"Aku mau bantu ibu. Pekerjaan ibu masih banyak di dapur Tuan."

"Arumi. Nanti kamu ke sini lagi ya. Kita sarapan bareng. Kamu pasti belum sarapan kan?"

Arumi terkejut saat mendengar ucapan Pak Mahendra. Seumur-umur baru kali ini, Pak Mahendra mengajak Arumi untuk makan bareng bersama mereka.

"Arumi bisa makan di belakang Tuan," tolak Arumi yang merasa tidak enak, harus makan satu meja dengan majikannya. Apalagi dengan Arkan.

"Arumi, tidak apa-apa. Ini perintah saya."

"Baik Tuan. Saya tidak akan mungkin menolak perintah dari Tuan. Kalau begitu saya ke dapur dulu Tuan."

"Iya. Silahkan."

Arumi kemudian kembali ke dapur untuk mengambil beberapa makanan yang akan dia hidangkan di meja makan.

"Pa, untuk apa sih, Papa nyuruh Arumi makan bareng kita," ucap Arkan.

Dia tampak tidak suka dengan sikap ayahnya yang terlalu baik pada Arumi.

"Nggak apa-apa Arkan. Sekali-kalilah ajak Arumi makan bareng kita."

"Tapi aku nggak suka Pa. Dia nggak pantas makan satu meja dengan kita. Karena dia kan cuma anak pembantu."

"Arkan, jangan bicara begitu. Bik Hesti dan Mang Tama udah lama kerja di sini. Arumi dan Lira juga sudah lama tinggal di sini. Papa juga udah menganggap anak-anak Bu Hesti anak papa sendiri."

***

Setelah semua makanan, sudah tersaji di atas meja makan, Arumi kemudian mendekat ke meja makan seperti apa yang Pak Mahendra perintahkan.

"Arumi, ayo duduk Arumi!" pinta Pak Mahendra.

Ada angin apa ya Tuan nyuruh aku sarapan satu meja dengannya, batin Arumi.

Arumi masih berdiri dan masih ragu untuk duduk di sisi Arkan. Dia masih takut dan trauma dengan kejadian yang semalam menimpanya.

"Arumi kenapa masih berdiri. Ayo duduk Arumi. Temani kami makan!"

"Ta-tapi... rasanya saya tidak pantas untuk makan bersama Tuan di sini."

Pak Mahendra tersenyum.

"Arumi. Saya sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri. Jadi jangan malu-malu Arumi. Ayo duduk !" pinta Pak Mahendra untuk yang ke tiga kalinya.

"Baik Tuan."

Arumi sudah tidak bisa menolak majikannya lagi. akhirnya Arumi mau juga duduk di sisi Arkan.

Arkan sejak tadi masih diam. Dia masih sibuk menatap ke layar ponselnya. Sementara Arumi masih tampak gugup saat bertemu lagi dengan Arkan. Semua rasa sudah bercampur menjadi satu di hati Arumi saat ini.

Setelah makanannya habis, Arkan mengambil susu hangat yang ada di atas meja dan lantas meminumnya.

"Pa, aku mau langsung ke kantor aja ya," ucap Arkan.

"Kamu nggak mau berangkat bareng Papa?" tanya Pak Mahendra pada anaknya.

Arkan menggeleng.

"Arkan bawa mobil sendiri aja Pa. Papa mau sama Mang Tama kan?"

"Iya."

Selesai makan, Arkan bangkit dari duduk. Dia melangkah pergi meninggalkan meja makan. Dia keluar dari rumah untuk mengambil mobilnya yang terparkir di garasi rumahnya. Setelah itu, Arkan pun meluncur pergi dengan mobilnya.

Pak Mahendra menatap Arumi lekat.

"Arumi, bagaimana kuliah kamu?" tanya Pak Mahendra.

"Kuliah aku, baik-baik aja Tuan."

"Satu tahun lagi kan, kamu lulus?"

Arumi mengangguk. "Iya."

"Nanti kalau udah lulus kuliah, kerja ya di kantor saya sama Arkan dan kakak kamu."

"Iya Tuan. Insya Allah."

"Lira mana? kok nggak kelihatan?"

"Mbak udah pergi dari tadi pagi Tuan."

"Oh. Gesit banget ya kakak kamu. Saya suka dengan kinerja kakak kamu."

Arumi hanya tersenyum.

Pak Mahendra memang orang yang baik. Dia sangat ramah pada semua orang dan pandai bergaul.

Berbeda dari Arkan anaknya. Dia sosok yang pendiam, serius, dan terkenal arogan. Tidak ada satu pun yang berani sama Arkan karena dia kejam. Dia tidak akan pernah main-main untuk membalas orang yang menyakitinya.

Bahkan tak ada satu pun wanita yang berani untuk mendekatinya. Mereka hanya bisa menganggumi ketampanan lelaki itu dari jauh.

****

Pagi ini, Kenzo sudah sampai duluan di kampusnya. Lelaki tampan itu, sejak tadi masih menatap Arumi dari kejauhan.

Dia tersenyum saat melihat kekasihnya sudah sampai di kampus. Tanpa butuh waktu lama, Kenzo mendekati Arumi. Dengan sekejap, Kenzo sudah berdiri di depan Arumi.

"Sayang," ucap Kenzo tersenyum menunjukan deretan gigi putihnya.

"Ken, kamu udah ada di sini?" tanya Arumi.

Kenzo mengangguk.

"Iya sayang. Aku lagi nungguin kamu. Aku kangen sama kamu."

Kenzo menatap Arumi lekat. Seperti ada yang berbeda dengan penampilan Arumi.

"Tumben kamu pakai syal? kamu kedinginan?"

"Aku nggak apa-apa Ken. Aku cuma pengin pakai aja. Udah lama juga, syal ini ada di lemari. Sayang kalau nggak di pakai."

"Tapi kamu lebih cantik dengan penampilan kamu seperti ini sayang," puji Kenzo yang hanya di tanggapi Arumi dengan senyum.

"Ya udah yuk sayang, kita ke sana!" ajak Kenzo.

Kenzo meraih tangan Arumi dan menggandengnya.

Kenzo adalah kekasih Arumi. Usianya sudah 21 tahun sepantaran Arumi. Sudah dua tahun mereka menjalin hubungan.

Kenzo sangat mencintai Arumi, walau dia tahu kalau status Arumi adalah anak pembantu. Sementara dia anak orang kaya.

Tetap saja, Arumi merasa minder saat jalan dengan Kenzo. Karena menurut Arumi, dia tidak pantas saja pacaran dengan Kenzo.

Tapi, kampus Arumi adalah kampus orang-orang elit, semua yang sekolah di sana adalah anak-anak orang kaya. Dan Arumi bisa masuk ke sekolah itu, karena Pak Mahendra.

***

Siang ini, Arkan masih duduk di kursi kebesarannya. Dia masih melamun memikirkan kejadian semalam.

"Kenapa sih, aku sampai tidak sadar, kalau aku udah menyentuh gadis kampung itu. Bagaimana kalau Mami dan Papi tahu, aku sudah menodai Arumi. Mereka akan marah besar sama aku," ucap Arkan.

Saat ini, Arkan memang sangat bingung. Dia tidak tahu dengan apa yang akan dia lakukan sekarang.

Bagaimana kalau Arumi hamil. Apa yang akan aku lakukan. Aku benar-benar bodoh...

Sejak tadi, Arkan masih merutuki dirinya sendiri karena kesalahannya.

Tok tok tok...

Suara ketukan dari luar ruangan Arkan membuyarkan Arkan dari lamunannya.

"Masuk...!" seru Arkan.

Seorang lelaki masuk ke dalam ruangan Arkan. Sepertinya lelaki itu adalah karyawan di kantor Arkan.

"Selamat pagi Pak Arkan," ucap lelaki itu.

"Pagi."

"Pak Arkan, sudah di tunggu di ruang meeting."

"Pak Mahendra sudah ada di sana?" tanya Arkan.

"Iya. Dia juga sedang menunggu anda."

"Baik. Sebentar lagi saya ke sana."

"Iya."

Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan ruangan Arkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!